Di Sebuah ruang bawah tanah, di mana tidak ada sinar matahari yang dapat menembus, disertai udara lembab yang berasal dari permukaan tanah yang sedikit tergenang. Di sinilah seseorang sedang mengalami penyiksaan.
Bukkkk!
Tubuh tua Tuan Gamal terhempas ke tanah, menyebabkan genangan air di permukaannya menyembur. Dentuman keras ikut terdengar ketika Tuan Ridwan mendaratkan sebuah tongkat tepat ke rahang dengan rambut-rambut memutih miliknya. Sudut bibirnya terluka dan mengeluarkan cairan merah segar. Pria itu berlutut memohon belas kasihan.
"A-ampun ... Sungguh aku tidak tahu di mana Fatma berada saat ini." Tuan Gamal memelas dengan tubuh gemetar.
Tuan Ridwan melayangkan tinjuan berkali-kali, hingga Tuan Gamal merasakan posisi tulang rahangnya seolah bergeser dari tempat yang seharusnya.
Tuan Ridwan mendengkus, "Jelas kamu tidak tahu apa-apa! Karena ketidak tahuanmu itulah membuat kamu berada di tempat ini."
Dengan sedikit cahaya yang berasal dari penerangan di ruangan itu, tatapan mematikan dari Tuan Ridwan menghunus pandangan Tuan Gamal. Wajah menantunya itu tak ubah seperti malaikat pencabut nyawa yang bersiap mengirimnya ke neraka.
"Dia, bukankah dia putrimu? Lalu selama dia berada di rumah sakit, apakah kamu pernah mengunjunginya? Setidaknya jaga dia untukku!"
"Tolong bebaskan aku, Tuan. Aku berjanji untuk menemukan Fatma," mohon Tuan Gamal yang bersimpuh dengan menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang mertua.
Setelah mendengarnya, bibir Tuan Ridwan melengkung disertai tatapan dingin, "Apa yang kau janjikan? Jangan mebuatku tertawa!"
Ekspresi Tuan Ridwan berubah menjadi buruk, "Kamu tidak perlu repot-repot untuk mencarinya. Dia pasti akan kembali jika mendengar bahwa ayahnya berada dalam pilihan antara hidup dan mati!"
Tuan Gamal merasakan aliran darah di tubuhnya seketika berhenti. Dia pernah mendengar rumor jika pria itu bertangan dingin. Dia mampu melakukan hal-hal di luar nalar manusia untuk melampiaskan emosinya. Kini dia mengalaminya sendiri dan membenarkan jika Tuan Ridwan begitu kejam.
Apakah mungkin Tuan Gamal harus bersiap menghadapi berbagai penyiksaan? Saat itu Tuan Gamal baru menyesali akan keputusannya menikahkan Fatma dengan pria itu. Saat sebelum terjadi pernikahan itu, dia hanya terobsesi dengan uang yang ditawarkan oleh Tuan Ridwan sebagai bentuk kompensasi. Dengan kata lain, dia telah tega menjual putrinya sendiri.
Seringai iblis yang dia layangkan mampu membuat seluruh rambut-rambut di tubuh menjadi tegak bagi siapapun yang menyaksikannya.
"Berikan dia makanan basah hanya sekali setiap dua hari!" Tuan Ridwan memerintahkan salah seorang anak buahnya yang ditugasi untuk memantau keadaan ayah mertuanya itu. Pria itu benar-benar kejam, dengan sengaja memberikan makanan basah agar ayah mertuanya bisa bertahan hidup tanpa minuman namun menderita karena kehausan dalam waktu yang bersamaan.
Tuan Ridwan membenarkan posisi mantelnya dan melangkah pergi meninggalkan pria yang terlihat memprihatinkan itu.
Tepat sesuai dugaan Tuan Ayyoub, setelah Tuan Ridwan bebas dari kasus yang sempat membuatnya ditahan selama beberapa hari, pria itu langsung menuju rumah sakit untuk menemui Fatma. Akan tetapi, beruntung Fatma dan Tuan Ayyoub mengambil langkah cepat untuk melarikan diri.
Entah apa niat Tuan Ridwan menemui istri kecilnya. Dia begitu bahagia setelah mengetahui kabar jika Fatma sedang mengandung. Akan tetapi, kebahagiaanya berubah drastis saat menemukan ruang perawatan Fatma yang terlihat tak berpenghuni. Pada saat itu juga dia mengerahkan beberapa orang kepercayaan untuk melacak keberadaan Fatma. Amarahnya semakin meledak setelah mengetahui bahwa di saat yang bersamaan Tuan Ayyoub juga dinyatakan ikut menghilang.
***
"Apa kamu masih sanggup untuk meneruskan perjalanan?" tanya Tuan Ayyoub.
Sekuat tenaga Fatma mengangguk. Dia menolak untuk digendong seperti sebelumnya. Meskipun Tuan Ayyoub berkata bahwa dia baik-baik saja, tapi reaksi tubuhnya tidak menunjukkan demikian. Pria itu melangkah dengan kaki yang terluka akibat tertusuk akar dan duri dari pepohonan. Ditambah lagi beban tubuh Fatma yang membuat tumpuan kakinya terlalu dibebani.
Keduanya tersenyum puas saat melihat ada bayangan mobil melintas dari kejauhan yang terlihat melalui celah dedaunan dan ranting-ranting pohon. Ini artinya mereka sudah hampir tiba ke jalan utama. Namun, hal ini tidak sepenuhnya menjadi kabar baik. Mereka harus lebih waspada, karena jika hari ini Tuan Ridwan mengetahui bahwa mereka melarikan diri lalu menyuruh anak buahnya untuk mencari Fatma dan Tuan Ayyoub, maka kemungkinan besar orang-orang suruhan itu akan menemukan mereka dalam waktu dekat.
Tentu saja mereka tidak akan melewati hutan yang menyita lebih banyak waktu untuk tiba di jalan utama dari pada jalan alternatif yang lain. Yah, Tuan Ayyoub sudah menduga ini sebelumnya. Melarikan diri dan Fatma merupakan keputusan terbesar di dalam hidupnya. Dan benar saja! Apa yang mereka khawatirkan kini terbukti. Beberapa pria berbadan besar menggunakan kendaraan roda dua berpencar di seluruh sisi jalan. Diantara mereka ada yang terlihat familiar wajahnya bagi Tuan Ayyoub dan Fatma, ada pula yang tak dikenal.
"Tenanglah! Jangan panik. Tuhan pasti bersama kita." Tuan Ayyoub berbisik.
Wajah Fatma memucat seolah darah di tubuhnya berhenti mengalir. Akankah ini akhir dari segalanya? Fatma hampir saja menangis putus asa, bersamaan bulir keringat yang berjatuhan di pelipis wanita cantik itu.
Krek!
Suara patahan kayu yang terinjak terdengar cukup keras. Fatma tiba-tiba sempoyongan. Tubuhnya seakan-akan kehilangan kendali.
"Fatma!" Tuan Ayyoub meraih tubuh lemah wanita itu ke dalam pelukannya. Jika tidak, Fatma akan semakin hilang kendali dan terjatuh. Hal itu tentu saja akan menghasilkan suara yang lebih nyaring dan menarik perhatian bagi siapapun yang mendengar. Tubuhnya lemah, tapi Fatma masih dalam keadaan setengah sadar.
"A-akh!" Rintihan kesakitan dari mulut Fatma terdengar samar-samar. Pelukan Tuan Ayyoub benar-benar membuatnya merasa lebih nyaman. Rasa nyaman yang belum sama sekali dia alami sejak hidup di dunia ini. Tuan Ayyoub benar-benar frustasi dengan kejadian yang mereka alami saat ini. Keinginannya begitu besar untuk melindungi Fatma. Meskipun harus ditebus dengan nyawanya sendiri.
"Fatma, tetaplah sadar. Aku tahu ini tidak mudah. Tapi tolong bertahanlah!" Pria itu menepuk-nepuk pipi Fatma dengan lembut untuk membuat Fatma tetap membuka matanya. Seolah mengerti, Fatma sesekali membuka-tutup kelopak matanya untuk mencoba bertahan sekuat mungkin. Fatma harus kuat jika tidak ingin tertangkap dan berakhir di tangan Tuan Ridwan. Ini adalah kesempatannya untuk bertahan. Dia tidak ingin lagi menerima cambukan dan berbagai siksaan dari suaminya itu.
Assalamu'alaykum Warahmatullah Wabarakatuh ... Salam Sejahtera ... Dear, Sahabat Readers. Terima kasih atas kesediaan kalian mengikuti kisah FATMA BOUSSETTA ini dari awal hingga akhir. Semoga ada banyak pesan moral yang bisa kalian ambil dari kisah ini. Kisah ini sebagian besar diambil dari kisah nyata kehidupan milik mertua Author yang berasal dari Negara Maroko (Maghriby). Fatma Boussetta kini sudah berusia 87 tahun dan masih terlihat bugar, meskipun saat ini hidupnya ditunjang dengan pacemaker (sebuah alat pacu jantung yang menggunakan tenaga baterai yang ditanamkan melalui pembedahan ke dalam dada). Mohon kiranya Sahabat Readers berkenan meluangkan waktu untuk memberikan doa kepada beliau agar memiliki kesehatan serta umur yang panjang. Kisah ini sudah mendapatkan persetujuan dari beliau untuk dipublikasikan oleh Author. Semoga para Sahabat Readers menyukai kisah ini dan jangan lupa untuk terus memberikan dukungan d
"Maju satu langkah lagi, maka aku akan melenyapkan nyawa istrimu." Tuan Gamal memberikan ancaman yang serius. Ujung kayu itu sudah menyentuh perut tawanannya. Dia siap menghujamkan benda itu jika dirinya merasa terancam. Salah satu penjaga mendekati Tuan Gamal, kemudian membisikkan sesuatu. "Bagus, kau sudah menyiapkan helikopter itu." Tuan Gamal tersenyum puas, dengan satu kibasan tangan dia mengisyaratkan penjaga itu untuk berdiri tepat di belakang tubuh tawanannya. "Brengs**k!" umpat Omran. Tidak ada yang bisa dia lakukan, selain mengikuti kemauan Tuan Gamal. "Jangan banyak mengulur waktu, lepaskan cucuku sekarang juga!" ucap Tuan Besar Benmoussa. Matanya melirik ke arah wanita yang bersimbah darah terduduk dan terikat di kursi tua itu. Tuan Benmoussa tidak bisa membayangkan betapa sakit yang dirasakan cucu kesayangannya. Tapi dia bisa memastikan wanita itu masih bergerak. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala saat ujung kayu terasa menyentuh perutnya. Se
["Bu, aku tidak bisa menemuimu, ada banyak orang-orang suruhan Keluarga Benmoussa sedang berkeliran mencari keberadaanku."] Pesan singkat diterima oleh Meryem yang berasal dari ponsel milik Sabrina. Sebenarnya Meryem ingin menyiksa Fatma secara bergantian bersama Sabrina--putri kesayangannya. Namun, sepertinya hal itu tidak memungkinkan saat ini."Ibu akan memastikan kamu mendapatkan apa yang semestinya kamu dapatkan, Sayang." Maryem kemudian mengirimkan video rekaman penyiksaan yang dia lakukan terhadap tawanannya.["Aku serahkan semuanya kepadamu, Bu. Aku menyesal tidak bisa membalaskan dendam itu dengan tanganku sendiri. Maafkan aku."]"Tenanglah, Sayang ... Sepertinya Keluarga Ahbity dan Benmoussa sudah masuk ke dalam perangkap, sebentar lagi ayahmu akan bernegosiasi dengan mereka. Ibu bisa pastikan setelah ini kita bisa hidup bebas." Meryem begitu bangga dengan pencapaiannya hari ini. Suara ringisan dan penyiksaan itu seolah membuatnya semakin bersemangat m
Tuan Khaleed segera menghubungi Tuan Ayyoub melalui sambungan telepon untuk memastikan bahwa Fatma sudah tiba di kediaman mereka. Namun, sayangnya Tuan Ayyoub justru mengatakan bahwa putrinya dan Faissal tidak dapat dihubungi, setelah tadi Fatma sempat menghubunginya dan mengatakan bahwa mereka baru saja mendarat melalui bandara yang berada di Tangier.Kegelisahan tiba-tiba saja membuat semua orang kini tidak mampu mengenyahkan pikiran buruk mereka tentang Fatma. Sabrina mungkin belum lari terlalu jauh. Tapi, tidak menutup kemungkinan dia bisa melancarkan aksinya melalui orang lain.Kepanikan semakin menyerang membabi buta di dalam benak Omran kala cuaca buruk tiba-tiba saja menyelimuti langit Paris, sehingga tidak memungkinkan bagi Omran dan kedua orang tuanya untuk segera menyusul Fatma menggunakan jet pribadi yang mereka miliki. Waktu seolah tidak berpihak pada mereka. Di kala Fatma sedang terancam, seolah langkah mereka harus berhenti tanpa bisa melakukan apa-apa s
"Apa kamu tidak sedang bercanda, Omar?" tanya Nyonya Adeline yang kini merasakan sendi-sendinya melemah sehingga dia seolah tidak lagi mampu berpijak. "Maaf, Ma ... Kami memiliki sebuah alasan menyembunyikannya yang kini alasan itu sudah tidak penting lagi." Omran menatap ke arah Sabrina yang kikuk, secepat mungkin wanita itu merubah raut wajahnya seolah terlihat bersalah, sehingga Omran yakin untuk tidak perlu membuka jati diri Sabrina yang menyamar sebagai Cassandra. "Kami benar-benar menikah sejak beberapa bulan yang lalu." Omran meneruskan ucapannya. "Ja-jadi ... Fatma mengandung janin siapa?" tanya Nyonya Adeline. "Janin si brengsek ini!" Omran menoleh kasar ke arah Dokter Farouk. "... Dia pasti sudah menjebak Fatma, karena aku yakin Fatma tidak serendah itu jika bukan karena dijebak," lanjutnya. "Benarkah itu, Dok?" tanya Soraya berusaha tegar. "Ibu sering melihat kebersamaan mereka di kantin." Bibi Halima menegaskan opini yang belum dipastikan kebe
"Wanita itu meninggalkanku," ucap Omran dengan suara yang lemah."Wanita itu meninggalkanku!" Dia mengulangi kalimat itu dengan suara yang sedikit lebih keras. Sesaat kemudian dia bangkit sambil meneriakkan kalimat yang sama, " Wanita itu meninggalkanku!" Kali ini suara Omran terdengar lebih keras lagi, bersamaan dengan kerasnya suara pecahan kaca meja rias yang baru saya dia pukul menggunakan genggaman tangannya."Aaaakh ..." Nyonya Adeline yang terkejut ikut berteriak histeris sambil memejamkan mata dengan kedua tangan mengepal menutupi wajah. Ketika matanya terbuka, dia harus kembali berteriak untuk kedua kali. Darah segar mengalir dari kepalan tangan Omran. Namun, pria itu seolah-olah tidak merasakan sakit sama sekali. Tentu, jika dibandingkan dengan luka itu, hatinya merasakan sakit yang jauh lebih besar.Tuan Khaleed refleks memeluk Nyonya Adeline yang terlihat syok."Omran! Kamu sadar apa yang baru saja kamu lakukan?" Tuan Khaleed meninggikan inton