*******
"Ratu Freyaaa!!!"
Anak laki-laki berambut hitam legam dengan netra hijau itu berteriak dengan keras membuat wanita yang sedang duduk memandangi bintang di tanah tinggi dekat kolam ajaib itu sontak berdiri dan menghampirinya dengan panik.
"Ada apa Frank, kenapa kamu berteriak seperti itu?" Tanyanya.
"I-itu..." Frank menunjuk kearah belakangnya panik.
"Iya, itu apa?" Tanya Freya sekali lagi.
"Frank, bisakah kau pelan sedikit, aku sudah lelah..." Mereka mengalihkan pandangan kearah sosok berambut pirang platina yang sedang menyenderkan tubuhnya di bawah pohon mapple.
"D-dia—"
"Felix," ucap Freya terkejut karena tidak menyangka jika Felix bisa secepat itu menemukan jalan menuju ke sini. Dia berjalan mendekat kearah anak laki-laki yang memejamkan matanya itu diikuti oleh Frank, entah tak sadarkan diri atau memang hanya memejamkan mata saja.
"Anda mengenalnya?" Tanya Frank kepada wanita di sampingnya, yang menurut pengakuan Felix adalah ibu dari laki-laki itu.
"Tentu saja. Ngomong-ngomong bicaramu santai saja, jangan terlalu formal, kan, aku sudah bilang berkali-kali," ujar Freya sambil menepuk-nepuk pelan pipi Felix agar anak itu terbangun, sedangkan Frank hanya menyengir.
Felix yang mendengar sayup-sayup pembicaraan dari orang di depannya perlahan membuka matanya dan menyipitkan matanya kala melihat orang yang kini berada di hadapannya yang seperti tidak asing.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, "ah, pasti hanya mimpi," ucapnya, lalu memejamkan matanya kembali.
"HEI!" Frank berseru dengan keras tepat di telinganya membuatnya tersentak kaget.
"Frank! Tidak baik seperti itu." Freya menarik telinga Frank pelan. Membuat anak laki-laki itu menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya tanda 'peace' kepada Freya sembari menyengir kuda.
Sedangkan Felix memandangi wanita cantik di depannya dengan pandangan tak percaya, "ibu?"
Wanita itu memandang anak laki-lakinya yang saat ini berada di depannya dengan senyuman tipis.
"Iya?" Katanya masih tersenyum.
"Benarkah ini ibu?" Freya mengusap ramput pirang platina anak itu lalu mengangguk.
Tanpa basa-basi dia memeluk wanita itu dengan erat seakan tak mau ibunya hilang dari hadapannya.
Dia tidak tahu ini nyata atau tidak, tapi dia berharap jika ini hanya mimpi tolong jangan bangunkan dia seperti sebelum-sebelumnya.
Tapi jelas-jelas ini bukanlah mimpi, sedari tadi dia dalam keadaan sadar. Ya, walaupun tadi dia hampir pingsan karena kelelahan mengejar Frank yang berlari begitu cepat. Entah ada masalah apa dengan anak itu, dia sungguh tak mengerti, padahal dia mempunyai sayap kenapa harus berlari. Kalau jalan datar mungkin dia masih sanggup, sedangkan ini bukit.
"Benarkah dia anakmu, Ratu? Kenapa dia payah sekali? Berlari sebentar saja sudah lelah," ucap Frank sambil berkacak pinggang, membuat Felix melepaskan pelukannya dan menatapnya kesal dengan mata sembab. Enak saja dia dibilang payah!
"Kamu punya kekuatan, Frank, sedangkan dia tidak," ujar Freya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Oh, iya, Ratu. Mengapa dia tidak mempunyai sayap?" Tanya Frank.
"Aku sengaja menghilangkannya dulu. Karena dia sudah di sini, maka akan ku berikan kembali," balasnya kedua laki-laki berusia sama itu bersorak senang.
"Sekarang?" Tanya Felix dengan mata berbinar.
"Tentu saja! Iya, kan, Ratu? Wah, aku tidak sabar ingin melihat sayapmu, nanti akan ku ajak kau berkeliling negeri Wynstelle," ucapnya sambil berputar-putar di udara dan memijak di tanah kembali, melihat keantusiasan Frank membuat Felix mengangguk-angguk sambil tersenyum sumringah.
"Eitts, kalian tidak lihat ini sudah larut malam? Kita pulang lalu tidur," kata Freya tegas membuat bahu kedua anak laki-laki itu merosot dan wajah antusias mereka tadi berubah masam.
"Yahhhh."
********
"Biasanya setiap malam aku selalu melihat bintang dan menerka-nerka wajah ibu seperti apa." Anak laki-laki itu menyangga dagu dengan tangannya sambil memandangi bintang di langit melalui jendela yang berada di sebuah kamar. Dia sedang berada di rumah minimalis bergaya sederhana yang tampak begitu indah dengan bunga-bunga yang menghiasi setiap sudut pagar rumah, bunga yang mengeluarkan cahaya-cahaya kecil menjadi lebih cantik diantara gelapnya malam, seperti kunang-kunang yang berterbangan di atas kelopak bunga.
"Tak ku sangka jika sekarang aku bisa bertemu dengan ibu," ucapnya lagi sambil tanpa mengalihkan pandangannya dari langit.
"Kamu mau mendengar sedikit cerita?" Dia menolehkan kepalanya ke belakang melihat ibunya sedang duduk di tepi kasur, langkah kecilnya membawanya menghampiri wanita itu.
"Sini," ucap wanita itu sambil menepuk pahanya membuat Felix merebahkan badanya dan menjadikan paha ibunya sebagai bantal.
Ibunya mengelus rambutnya pelan membuatnya ingin menangis lagi, inilah yang dia inginkan sedari dulu. Tidur dengan tenang di pangkuan ibunya, tanpa takut akan mimpi buruk yang selalu datang mengganggu waktu tidurnya setiap malam.
"Kau tahu kenapa ibu membiarkanmu tumbuh belasan tahun tanpa ibu di sampingmu?" Ucapnya.
"Mengapa?" Tanya Felix.
Freya tersenyum tipis dan melihat jendela kamar yang menampilkan taburan bintang di langit membuat Felix mengikuti arah pandangannya, "karena ibu ingin kamu seperti mereka, bisa bersinar sendiri tanpa pantulan cahaya dari benda langit lain."
"Ibu mau kamu belajar untuk mengerti dunia sendirian dan tidak bergantung pada ibu, karena kelak hidupmu akan berada di titik paling rumit yang tak pernah kamu bayangkan." Perkataan Ibunya itu sontak membuat Felix menatap wanita itu.
"Ibu ini bisa melihat masa depan, ya?" Ucapnya bingung, sedangkan Freya hanya terkekeh pelan.
"Manurutmu?" Balas wanita itu menatap yang saat ini berada di pangkuannya.
"Menurutku...bisa. Karena Frank tadi pun bisa membaca pikiranku, tapi itu berbeda, tapi bisa saja sama bukan?" Gumamnya tidak jelas, membuat ibunya mencubit hidungnya gemas sendiri.
"Kamu ini lucu sekali, umurmu itu sudah tiga belas tahun tapi kenapa kamu masih terlihat mungil," ujar wanita itu.
"Aku tidak mungil ibu, bahkan Frank saja kalah tinggi denganku," balasnya melepaskan cubitan ibu pada pipinya, dirinya bahkan dikenal paling tinggi dikelasnya. Hanya saja wajahnya memang seperti anak kecil, jadi tidak heran jika dia selalu dibilang seperti anak berumur tujuh tahunan.
"Iya-iya, tapi wajahmu memang seperti bayi," ujar Freya membuatnya mendengus kesal.
"Tapi ibu, kenapa di sini banyak sekali bunga dandelion? Apa ini berhubungan dengan ukiran bunga dandelion pada kotak itu?" Tanya Felix, sebenarnya bukan di semua tempat, hanya di sekitar rumah ibunya saja yang kebanyakan bunganya adalah bunga dandelion.
"Kotak? Kamu menemukan kotak itu?" Freya menatap Felix terkejut. Karena sedari tadi Felix tidak membawa benda apapun.
"Iya, kotak—" Dia menghentikan perkataannya saat menyadari kotak itu sudah tidak ada lagi di tangannya. Jangan bilang...dia menjatuhkan kotak itu di perbatasan tadi.
Dia bangkit dan meraba celana serta saku bajunya namun tidak ada apapun, "ibu, kotaknya hilang."
"A-apakah tidak masalah jika kotak itu diambil oleh peri hitam..?"
****
*****"Jangan aku..."Anak laki-laki yang baru saja masuk ke dalam kamar tempat Felix tidur itu terkejut melihat anak itu mengigau tak jelas sambil bergerak-gerak gusar."J-jangan..." Frank menghampiri ranjang dan menggoyang-goyangkan tubuh anak itu pelan."Hei," ujarnya, namun tak membuat Felix bangun juga."Temannn bangunn!" Teriakan anak laki-laki dengan sayap putih itu membuat Felix seketika terlonjak kaget dan terbangun dari tidur dengan napas memburu.Setelah sadar sepenuhnya, dia menoleh kearah Frank dengan raut kesal. Frank sudah menahan tawanya karena melihat reaksi berlebihan dari Felix, ya, siapa suruh dibangunkan secara halus tidak mempan, jadinya dia memilih cara yang sedikit jahat."Kau mimpi buruk?" Tanya Frank kepadanya membuatnya terdiam dan mengingat apa yang baru saja terjadi padanya.Mimpi buruk itu lagi.Kenapa itu harus terjadi saat Frank
******"Frank, ayolah jelaskan sedikit padaku," Anak laki-laki itu mondar-mandir karena mengikuti Frank yang entah kenapa sejak tadi terus menghindar saat dia bertanya kenapa anak itu tak melanjutkan ceritanya tentang seluk-beluk Negeri Wynstelle.Salahkan saja Frank, kenapa dia menyebutkan jika tidak mau menjelaskan? Membuat orang penasaran saja!Sedangkan Frank sudah risau setengah mati karena dia keceplosan dan berakhir memberitahu Felix tadi, bagaimana tidak? Menurut rumor dari teman-teman bermainnya, orang yang membocorkan rahasia ini tanpa izin Ratu akan ditahan di penjara besi emas yang mana di dalam penjara tersebut suhunya sangat panas seperti kau masuk neraka ditambah lagi dengan wajah penjaganya yang sangat mengerikan. Ah, membayangkan saja sudah membuat Frank ngeri."Biar aku saja yang jelaskan." Kedua anak laki-laki itu menoleh kearah belakang dan mendapati Edward di sana."Ayah?"&nbs
******Prangg!Pria bertanduk hitam serta sayap hitam itu membanting kotak berukiran bunga dandelion tepat di depan wanita bersayap putih yang tengah menatapnya datar."Kenapa? Kenapa kau biarkan dia kemari?!" Teriaknya marah membuat wanita di depannya itu terkekeh pelan."Kau takut?" Tandasnya dengan sisa-sisa tawa lirih.Rahang pria itu mengeras dan giginya bergemelutuk menandakan dia kesal dengan wanita di depannya itu."Kau bilang kutukan itu hanya bualan semata, tapi lihatlah kali ini kau pun takut sendiri." Wanita itu tersenyum kiri membuat pria yang merupakan bagian dari keluarganya itu makin merasa dipermalukan.Wanita itu adalah Freya dengan Orazio yang berada di depannya."Kau ingin membuat kakakmu sendiri menemui ajalnya?" Ujar Orazio menurunkan nada bicaranya.Seketika wanita itu merubah rautnya, mata Freya menajam kearah pria itu. "Kau bukan saudaraku lagi sejak kau
*******"Semua yang ada di sini tidak akan mati kecuali dimatikan."Itu bukan suara mereka. Melainkan suara seseorang dari belakang mereka.Kedua anak laki-laki itu menoleh kebelakang kala suara berat terdengar menyahut dari sana. Terlihat sosok laki-laki berambut orange dengan netra yang sama seperti rambutnya sedang menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuhnya sambil menatap kearah Felix dan Gazza. "Paman James?" Ucap Gazza."James?" Tanya Felix menatap Gazza kebingungan.Gazza mengalihkan pandangannya kearah Felix, baru ingat jika anak itu baru tiba di tempat ini. "Ah, dia teman ayahku," jawabnya membuat Felix mengangguk-angguk mengerti.Pria itu meliriknya sekilas lalu kembali menatap Gazza, "ayahmu mencarimu.""Iya paman, setelah ini aku akan pulang," balas Gazza dibalas senyuman dan usapan pelan di kepala oleh pria itu."Hati-hati saat melewati hutan cahaya," ucapnya lagi dengan seseka
*******Jlebb!"Felix!" Keempatnya berteriak secara bersamaan ketika anak panah itu mengenai bahu kanan Felix bagian atas.Felix meringis melihat darah yang mulai mengucur deras dari bahu bagian depannya. Dia menatap penuh emosi kearah ketiga peri penjaga perbatasan yang kini menatapnya puas. Dengan menahan mati-matian sakit yang ada di bahunya, dia memunculkan cahaya biru pada kedua tangannya yang masih baik-baik saja dan mengarahkannya pada ketiga peri tersebut.Frank, Dean, Hardwin dan Gazza sukses terkejut dengan yang dilakukan Felix kepada ketiga peri hitam itu.Mereka diselimuti bongkahan es sekarang.Bruk!Kelimanya menoleh kearah sumber suara, tampak seorang peri bersayap hitam tengah turun dari pohon. Dengan sigap tangan Frank bergerak memunculkan akar dari tanah yang mengikat kaki peri tersebut hingga tersungkur.Sudah dapat ditebak, itu pasti orang yang mencoba memanah mereka
******"Dari mana kau tahu?" Tanya James kepada Felix yang tengah duduk di ruang tamu rumahnya bersama anak-anak lainnya.James meletakkan teh buatannya di hadapan mereka berlima. Tampak Gazza, Frank, Hardwin dan Dean mengernyit menatap teh yang kini berada di hadapan mereka. Felix mengabaikan reaksi mereka yang ia rasa seperti sedang jijik dengan minuman itu, dia kembali melihat James yang duduk di hadapannya, terlihat sedang menunggu jawaban darinya."Dari mimpi," ucapnya serius.Frank yang sedang meminum teh sontak menyemburkannya kearah Gazza yang kini berada di depannya."Hei, kau bercanda?" Ucapnya dengan mata melotot.Sudah terpaksa minum teh yang rasanya seperti air comberan, ditambah kaget karena pengakuan Felix yang tidak masuk akal. Oh, ayolah, dia meminumnya hanya untuk menjaga kesopanan, karena tidak mau bermasalah dengan peri bermata orange. Dan jika Felix hanya bercanda seperti ini, sia-sia saja d
*****"Akh! Kubun—"Brakk!Keenam peri itu sontak menoleh kearah pintu yang dibuka secara kasar oleh seseorang, bahkan Felix pun menggantungkan teriakannya karena terkejut.Tampak seorang anak yang berambut sama seperti James sedang menatap pria itu panik. Terlihat dari deru napasnya yang tak teratur. "Ayah, mereka menyerang warga lagi!"Mendengar berita itu James langsung berlari kearah luar meninggalkan ruangan itu disusul anak perempuan tadi. Hal itu membuat Felix dan yang ketiga temannya bertanya-tanya, kecuali Gazza tentunya."Haruskah kita mengikuti mereka?" Tanya Hardwin menatap satu persatu temannya."Jangan. Itu diluar kemampuan kita," balas Gazza."Lalu, haruskah kita melanjutkan misi kita?" Ucap Frank yang dibalas anggukan serta senyuman kiri oleh Dean, Gazza dan Hardwin.Sedangkan Felix memiringkan kepalanya sembari menatap mereka berempat, bingung apa yang dibicarakan oleh
***** "Siapa di sana?" Suara berat laki-laki yang menggema di goa itu membuat ketujuh anak peri itu terkesiap dan saling memandang satu sama lain. Seolah mata mereka menjadi pengganti mulut sebagai alat berkomunikasi untuk saat ini. Cahaya dari obor yang mungkin dibawa oleh si pemilik suara itu makin terlihat jelas di depan mereka. Mereka memejamkan matanya kala bayangan orang itu tampak mendekat kearah mereka bertujuh. "Kalian? kenapa di sini?" Suara yang terasa sangat tidak asing di telinga mereka itu terdengar menginterogasi, membuat Felix, Dean, Hardwin, Gazza, Frank, Lavender, dan Vancy membuka mata mereka, terkejut melihat siapa yang kini berada di hadapan mereka. "Ayah?" Frank menatap Edward bingung sekaligus terkejut karena tak mengerti mengapa ayahnya itu berada di sini. Namun tak lama, anak laki-laki bernetra hijau emerald itu menundukkan kepalanya kala mata Edward menatapnya tajam.