Share

|5. Is Lost

last update Last Updated: 2021-08-23 23:43:54

*******

"Ratu Freyaaa!!!" 

Anak laki-laki berambut hitam legam dengan netra hijau itu berteriak dengan keras membuat wanita yang sedang duduk memandangi bintang di tanah tinggi dekat kolam ajaib itu sontak berdiri dan menghampirinya dengan panik. 

"Ada apa Frank, kenapa kamu berteriak seperti itu?" Tanyanya. 

"I-itu..." Frank menunjuk kearah belakangnya panik. 

"Iya, itu apa?" Tanya Freya sekali lagi. 

"Frank, bisakah kau pelan sedikit, aku sudah lelah..." Mereka mengalihkan pandangan kearah sosok berambut pirang platina yang sedang menyenderkan tubuhnya di bawah pohon mapple. 

"D-dia—"

"Felix," ucap Freya terkejut karena tidak menyangka jika Felix bisa secepat itu menemukan jalan menuju ke sini. Dia berjalan mendekat kearah anak laki-laki yang memejamkan matanya itu diikuti oleh Frank, entah tak sadarkan diri atau memang hanya memejamkan mata saja. 

"Anda mengenalnya?" Tanya Frank kepada wanita di sampingnya, yang menurut pengakuan Felix adalah ibu dari laki-laki itu.

"Tentu saja. Ngomong-ngomong bicaramu santai saja, jangan terlalu formal, kan, aku sudah bilang berkali-kali," ujar Freya sambil menepuk-nepuk pelan pipi Felix agar anak itu terbangun, sedangkan Frank hanya menyengir. 

Felix yang mendengar sayup-sayup pembicaraan dari orang di depannya perlahan membuka matanya dan menyipitkan matanya kala melihat orang yang kini berada di hadapannya yang seperti tidak asing. 

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, "ah, pasti hanya mimpi," ucapnya, lalu memejamkan matanya kembali.

"HEI!" Frank berseru dengan keras tepat di telinganya membuatnya tersentak kaget. 

"Frank! Tidak baik seperti itu." Freya menarik telinga Frank pelan. Membuat anak laki-laki itu menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya tanda 'peace' kepada Freya sembari menyengir kuda. 

Sedangkan Felix memandangi wanita cantik di depannya dengan pandangan tak percaya, "ibu?"

Wanita itu memandang anak laki-lakinya yang saat ini berada di depannya dengan senyuman tipis. 

"Iya?" Katanya masih tersenyum. 

"Benarkah ini ibu?" Freya mengusap ramput pirang platina anak itu lalu mengangguk. 

Tanpa basa-basi dia memeluk wanita itu dengan erat seakan tak mau ibunya hilang dari hadapannya. 

Dia tidak tahu ini nyata atau tidak, tapi dia berharap jika ini hanya mimpi tolong jangan bangunkan dia seperti sebelum-sebelumnya. 

Tapi jelas-jelas ini bukanlah mimpi, sedari tadi dia dalam keadaan sadar. Ya, walaupun tadi dia hampir pingsan karena kelelahan mengejar Frank yang berlari begitu cepat. Entah ada masalah apa dengan anak itu, dia sungguh tak mengerti, padahal dia mempunyai sayap kenapa harus berlari. Kalau jalan datar mungkin dia masih sanggup, sedangkan ini bukit. 

"Benarkah dia anakmu, Ratu? Kenapa dia payah sekali? Berlari sebentar saja sudah lelah," ucap Frank sambil berkacak pinggang, membuat Felix melepaskan pelukannya dan menatapnya kesal dengan mata sembab. Enak saja dia dibilang payah!

"Kamu punya kekuatan, Frank, sedangkan dia tidak," ujar Freya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Oh, iya, Ratu. Mengapa dia tidak mempunyai sayap?" Tanya Frank. 

"Aku sengaja menghilangkannya dulu. Karena dia sudah di sini, maka akan ku berikan kembali," balasnya kedua laki-laki berusia sama itu bersorak senang. 

"Sekarang?" Tanya Felix dengan mata berbinar. 

"Tentu saja! Iya, kan, Ratu? Wah, aku tidak sabar ingin melihat sayapmu, nanti akan ku ajak kau berkeliling negeri Wynstelle," ucapnya sambil berputar-putar di udara dan memijak di tanah kembali, melihat keantusiasan Frank membuat Felix mengangguk-angguk sambil tersenyum sumringah. 

"Eitts, kalian tidak lihat ini sudah larut malam? Kita pulang lalu tidur," kata Freya tegas membuat bahu kedua anak laki-laki itu merosot dan wajah antusias mereka tadi berubah masam. 

"Yahhhh."

********

"Biasanya setiap malam aku selalu melihat bintang dan menerka-nerka wajah ibu seperti apa." Anak laki-laki itu menyangga dagu dengan tangannya sambil memandangi bintang di langit melalui jendela yang berada di sebuah kamar. Dia sedang berada di rumah minimalis bergaya sederhana yang tampak begitu indah dengan bunga-bunga yang menghiasi setiap sudut pagar rumah, bunga yang mengeluarkan cahaya-cahaya kecil menjadi lebih cantik diantara gelapnya malam, seperti kunang-kunang yang berterbangan di atas kelopak bunga. 

"Tak ku sangka jika sekarang aku bisa bertemu dengan ibu," ucapnya lagi sambil tanpa mengalihkan pandangannya dari langit. 

"Kamu mau mendengar sedikit cerita?" Dia menolehkan kepalanya ke belakang melihat ibunya sedang duduk di tepi kasur, langkah kecilnya membawanya menghampiri wanita itu. 

"Sini," ucap wanita itu sambil menepuk pahanya membuat Felix merebahkan badanya dan menjadikan paha ibunya sebagai bantal. 

Ibunya mengelus rambutnya pelan membuatnya ingin menangis lagi, inilah yang dia inginkan sedari dulu. Tidur dengan tenang di pangkuan ibunya, tanpa takut akan mimpi buruk yang selalu datang mengganggu waktu tidurnya setiap malam. 

"Kau tahu kenapa ibu membiarkanmu tumbuh belasan tahun tanpa ibu di sampingmu?" Ucapnya. 

"Mengapa?" Tanya Felix. 

Freya tersenyum tipis dan melihat jendela kamar yang menampilkan taburan bintang di langit membuat Felix mengikuti arah pandangannya, "karena ibu ingin kamu seperti mereka, bisa bersinar sendiri tanpa pantulan cahaya dari benda langit lain."

"Ibu mau kamu belajar untuk mengerti dunia sendirian dan tidak bergantung pada ibu, karena kelak hidupmu akan berada di titik paling rumit yang tak pernah kamu bayangkan." Perkataan Ibunya itu sontak membuat Felix menatap wanita itu. 

"Ibu ini bisa melihat masa depan, ya?" Ucapnya bingung, sedangkan Freya hanya terkekeh pelan. 

"Manurutmu?" Balas wanita itu menatap yang saat ini berada di pangkuannya. 

"Menurutku...bisa. Karena Frank tadi pun bisa membaca pikiranku, tapi itu berbeda, tapi bisa saja sama bukan?" Gumamnya tidak jelas, membuat ibunya mencubit hidungnya gemas sendiri. 

"Kamu ini lucu sekali, umurmu itu sudah tiga belas tahun tapi kenapa kamu masih terlihat mungil," ujar wanita itu. 

"Aku tidak mungil ibu, bahkan Frank saja kalah tinggi denganku," balasnya melepaskan cubitan ibu pada pipinya, dirinya bahkan dikenal paling tinggi dikelasnya. Hanya saja wajahnya memang seperti anak kecil, jadi tidak heran jika dia selalu dibilang seperti anak berumur tujuh tahunan. 

"Iya-iya, tapi wajahmu memang seperti bayi," ujar Freya membuatnya mendengus kesal. 

"Tapi ibu, kenapa di sini banyak sekali bunga dandelion? Apa ini berhubungan dengan ukiran bunga dandelion pada kotak itu?" Tanya Felix, sebenarnya bukan di semua tempat, hanya di sekitar rumah ibunya saja yang kebanyakan bunganya adalah bunga dandelion. 

"Kotak? Kamu menemukan kotak itu?" Freya menatap Felix terkejut. Karena sedari tadi Felix tidak membawa benda apapun. 

"Iya, kotak—" Dia menghentikan perkataannya saat menyadari kotak itu sudah tidak ada lagi di tangannya. Jangan bilang...dia menjatuhkan kotak itu di perbatasan tadi.

Dia bangkit dan meraba celana serta saku bajunya namun tidak ada apapun, "ibu, kotaknya hilang."

"A-apakah tidak masalah jika kotak itu diambil oleh peri hitam..?"

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Felix And The Star Gemstone   |29. PALSU

    ****"Paman Edward?"Keenam anak peri itu terlonjak kaget kala tak sengaja mendapati Edward yang tengah berdiri tepat di depan Goa Dua Pintu.Frank menelan salivanya susah payah lalu membalikkan badannya, namun ditahan oleh Gazza dengan cara ditarik ujung kerah lehernya. Lagi? Astaga, dia lelah terus yang terkena omelan Ayahnya karena ketahuan melakukan hal mencurigakan. Padahal Ratu Freya biasa-biasa saja, tapi respon Ayahnya sangat berlebihan menurutnya."Frank?" panggil Edward ke arah putranya yang kini tengah menundukkan kepala.Frank yang sangat tahu apa maksud dari Sang Ayah pun memejamkan matanya sebentar, mendongakkan kepalanya dan menghalau semua rasa gugup bercampur takut yang ada. "Kami ingin mengambil Batu Permata Bintang," ucapnya.Edward menaikkan sebelah alisnya bingung. "Batu Permata Bintang? Mengapa di sini?" tanyanya ke arah ketujuh anak itu.Frank menyerahkan peta yang sedari tadi berada di tangannya kepada Edward.Dengan ragu, Edward menerima peta itu. Dia cukup t

  • Felix And The Star Gemstone   28. Salah Paham.

    ***** "AAAAAA!" "TIDAKKK!" Kaki Edward melemas melihat kedua sahabatnya yang kini telah tak sadarkan diri akibat diserang Habis-habisan oleh Raja Peri Hitam. Dia terlambat. Netra hijau emeraldnya mengamati anak laki-laki bersurai pirang platina yang kini tengah mengarahkan tatapan membunuh ke arah pria yang menjadi biang keladi dari kerusuhan yang terjadi malam ini. "BERANI SEKALI KAU MENGHENTIKAN MANTRAKU, BOCAH!!" Pria bertanduk hitam itu menatap tajam Felix yang baru saja menghalau mantranya, sehingga mantra itu tidak mengenai Andrio sepenuhnya. Tapi, bagaimana anak itu bisa bangun lebih cepat dari dugaanya? "Kau mencariku, bukan? Lalu untuk apa kau membunuhnya? Melakukan hal yang sia-sia?" ucap Felix tak berekspresi sambil menaikkan sebelah alisnya. Rahang Orazio mengeras melihat ekspresi anak laki-laki di depannya. "Kau tidak tahu apapun!" Felix terkekeh pelan, "ken

  • Felix And The Star Gemstone   27. That's Him?

    ***** "Hahaha, apakah kau akan terus melindunginya, Andrio?" Suara tawa terdengar menggema di sebuah rumah yang hanya di terangi oleh cahaya lilin dan pantulan cahaya dari sang bulan. Anak bersurai pirang platina itu perlahan membuka matanya, merasakan tubuhnya tengah terbaring di atas lantai marmer berwarna hitam yang terasa begitu dingin menusuk tulangnya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk. Di depannya terlihat kedua pria yang mungkin seumuran Paman Edward tengah saling bertarung mengeluarkan kekuatan mereka masing-masing. Salah satu diantara mereka bertanduk hitam serta bersayap hitam sedangkan yang satunya tidak mempunyai sayap maupun tanduk. Peri bersayap hitam itu tampak sedang membelakangi seseorang yang sedang disekap pada sebuah kursi dengan sihir merah yang mengelilingi tubuhnya. Dia mengucek-ucek matanya yang masih buram karena mungkin sudah terlelap entah berapa lama. Tapi, kenapa dia berada

  • Felix And The Star Gemstone   |26. Tidak Bernapas

    ***** "Paman, Ibu tidak bernapas. Aku harus bagaimana?" Ucapnya lirih, bahkan mungkin tak terdengar oleh yang lain selain mereka. Suara putus asa itu membuat jantung Andrio serasa berhenti berdetak detik itu juga. Kepalanya menoleh cepat kearah perempuan bersurai pirang platina tergerai bebas yang sedari tadi masih dalam keadaan memejamkan mata. Dia menggeleng pelan. Itu tidak mungkin. Dia belum menyalurkan mantra itu sepenuhnya. Seharusnya tidak secepat itu. Andrio berlari cepat ke arah wanita yang masih berstatus pasangan hidupnya tersebut. "Freya... Itu tidak benar, kan?" Ucapnya lirih di hadapan Freya. Telunjuknya bergerak untuk dia taruh di depan lubang hidung Freya agar ia bisa merasakan deru napas wanitanya. Oh, masihkah kata itu berlaku? Tepat sebelum hal itu terjadi, Felix lebih dahulu menyambarkan petir yang berasal dari Berlian Biru yang tengah ia hadapkan ke arah pria itu. A

  • Felix And The Star Gemstone   |25. Penangkapan

    ***** Felix berlari tergesa-gesa diantara beberapa pohon yang tumbuh tinggi menjulang di sekitar Hutan Cahaya. Ibunya ditangkap. Berita sampah macam apa itu? Awas saja jika dia dibohongi. Tidak mungkin ada yang menyakiti Ibunya. "Kau punya sayap, bodoh! Kenapa malah berlari?!" Ujar Frank yang kini sedang terbang di atasnya bersama dengan keenam temannya yang lain. Anak laki-laki bersurai pirang platina itu mendongak. Seketika timbul keinginan menempeleng kepala anak itu karena cara mengingatkannya yang amat menyebalkan. Tapi...benar juga kata Frank. Kenapa dia seketika melupakan fungsi sayapnya? Ah, entahlah. Pikirannya campur aduk sekarang. Entah itu tentang keberadaan Batu Permata Bintang maupun tentang ibunya yang katanya ditangkap entah oleh siapa. Dia mengepakkan sayapnya, ikut terbang bersama dengan teman-temannya. Namun diantara ketujuhnya, Felix lah yang terbang dengan sangat cepat da

  • Felix And The Star Gemstone   |24. 00.00

    ***** "Vancy dan Lavender sedang ditugaskan Paman James untuk meneliti sesuatu, jadi mungkin mereka tidak akan datang malam ini," ucap Gazza yang tengah merebahkan dirinya di kursi empuk di ruang tengah. Tunggu, kursi empuk? Anak laki-laki itu kembali duduk, menoleh ke belakang untuk mengamati kursi kayu yang biasanya selalu ia duduki sekarang sudah berubah menjadi kursi empuk berwarna biru. Dia melirik keempat temannya yang sedang sibuk bermain membentuk kunang-kunang menjadi sebuah bentuk hewan sesuai yang diperintah oleh pemain lain. "Siapa yang mengubah kursi ini?" Tepat saat giliran Hardwin yang akan membentuk kunang-kunang, Gazza bertanya kepada mereka mereka. Mendengar itu, keempatnya menoleh ke arah sofa tempat Gazza duduk. "Siapa lagi kalau bukan temanmu yang berasal dari dunia manusia ini," ujar Dean sambil melirik Felix. Anak laki-laki bersurai pirang platina

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status