Share

|5. Is Lost

*******

"Ratu Freyaaa!!!" 

Anak laki-laki berambut hitam legam dengan netra hijau itu berteriak dengan keras membuat wanita yang sedang duduk memandangi bintang di tanah tinggi dekat kolam ajaib itu sontak berdiri dan menghampirinya dengan panik. 

"Ada apa Frank, kenapa kamu berteriak seperti itu?" Tanyanya. 

"I-itu..." Frank menunjuk kearah belakangnya panik. 

"Iya, itu apa?" Tanya Freya sekali lagi. 

"Frank, bisakah kau pelan sedikit, aku sudah lelah..." Mereka mengalihkan pandangan kearah sosok berambut pirang platina yang sedang menyenderkan tubuhnya di bawah pohon mapple. 

"D-dia—"

"Felix," ucap Freya terkejut karena tidak menyangka jika Felix bisa secepat itu menemukan jalan menuju ke sini. Dia berjalan mendekat kearah anak laki-laki yang memejamkan matanya itu diikuti oleh Frank, entah tak sadarkan diri atau memang hanya memejamkan mata saja. 

"Anda mengenalnya?" Tanya Frank kepada wanita di sampingnya, yang menurut pengakuan Felix adalah ibu dari laki-laki itu.

"Tentu saja. Ngomong-ngomong bicaramu santai saja, jangan terlalu formal, kan, aku sudah bilang berkali-kali," ujar Freya sambil menepuk-nepuk pelan pipi Felix agar anak itu terbangun, sedangkan Frank hanya menyengir. 

Felix yang mendengar sayup-sayup pembicaraan dari orang di depannya perlahan membuka matanya dan menyipitkan matanya kala melihat orang yang kini berada di hadapannya yang seperti tidak asing. 

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, "ah, pasti hanya mimpi," ucapnya, lalu memejamkan matanya kembali.

"HEI!" Frank berseru dengan keras tepat di telinganya membuatnya tersentak kaget. 

"Frank! Tidak baik seperti itu." Freya menarik telinga Frank pelan. Membuat anak laki-laki itu menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya tanda 'peace' kepada Freya sembari menyengir kuda. 

Sedangkan Felix memandangi wanita cantik di depannya dengan pandangan tak percaya, "ibu?"

Wanita itu memandang anak laki-lakinya yang saat ini berada di depannya dengan senyuman tipis. 

"Iya?" Katanya masih tersenyum. 

"Benarkah ini ibu?" Freya mengusap ramput pirang platina anak itu lalu mengangguk. 

Tanpa basa-basi dia memeluk wanita itu dengan erat seakan tak mau ibunya hilang dari hadapannya. 

Dia tidak tahu ini nyata atau tidak, tapi dia berharap jika ini hanya mimpi tolong jangan bangunkan dia seperti sebelum-sebelumnya. 

Tapi jelas-jelas ini bukanlah mimpi, sedari tadi dia dalam keadaan sadar. Ya, walaupun tadi dia hampir pingsan karena kelelahan mengejar Frank yang berlari begitu cepat. Entah ada masalah apa dengan anak itu, dia sungguh tak mengerti, padahal dia mempunyai sayap kenapa harus berlari. Kalau jalan datar mungkin dia masih sanggup, sedangkan ini bukit. 

"Benarkah dia anakmu, Ratu? Kenapa dia payah sekali? Berlari sebentar saja sudah lelah," ucap Frank sambil berkacak pinggang, membuat Felix melepaskan pelukannya dan menatapnya kesal dengan mata sembab. Enak saja dia dibilang payah!

"Kamu punya kekuatan, Frank, sedangkan dia tidak," ujar Freya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Oh, iya, Ratu. Mengapa dia tidak mempunyai sayap?" Tanya Frank. 

"Aku sengaja menghilangkannya dulu. Karena dia sudah di sini, maka akan ku berikan kembali," balasnya kedua laki-laki berusia sama itu bersorak senang. 

"Sekarang?" Tanya Felix dengan mata berbinar. 

"Tentu saja! Iya, kan, Ratu? Wah, aku tidak sabar ingin melihat sayapmu, nanti akan ku ajak kau berkeliling negeri Wynstelle," ucapnya sambil berputar-putar di udara dan memijak di tanah kembali, melihat keantusiasan Frank membuat Felix mengangguk-angguk sambil tersenyum sumringah. 

"Eitts, kalian tidak lihat ini sudah larut malam? Kita pulang lalu tidur," kata Freya tegas membuat bahu kedua anak laki-laki itu merosot dan wajah antusias mereka tadi berubah masam. 

"Yahhhh."

********

"Biasanya setiap malam aku selalu melihat bintang dan menerka-nerka wajah ibu seperti apa." Anak laki-laki itu menyangga dagu dengan tangannya sambil memandangi bintang di langit melalui jendela yang berada di sebuah kamar. Dia sedang berada di rumah minimalis bergaya sederhana yang tampak begitu indah dengan bunga-bunga yang menghiasi setiap sudut pagar rumah, bunga yang mengeluarkan cahaya-cahaya kecil menjadi lebih cantik diantara gelapnya malam, seperti kunang-kunang yang berterbangan di atas kelopak bunga. 

"Tak ku sangka jika sekarang aku bisa bertemu dengan ibu," ucapnya lagi sambil tanpa mengalihkan pandangannya dari langit. 

"Kamu mau mendengar sedikit cerita?" Dia menolehkan kepalanya ke belakang melihat ibunya sedang duduk di tepi kasur, langkah kecilnya membawanya menghampiri wanita itu. 

"Sini," ucap wanita itu sambil menepuk pahanya membuat Felix merebahkan badanya dan menjadikan paha ibunya sebagai bantal. 

Ibunya mengelus rambutnya pelan membuatnya ingin menangis lagi, inilah yang dia inginkan sedari dulu. Tidur dengan tenang di pangkuan ibunya, tanpa takut akan mimpi buruk yang selalu datang mengganggu waktu tidurnya setiap malam. 

"Kau tahu kenapa ibu membiarkanmu tumbuh belasan tahun tanpa ibu di sampingmu?" Ucapnya. 

"Mengapa?" Tanya Felix. 

Freya tersenyum tipis dan melihat jendela kamar yang menampilkan taburan bintang di langit membuat Felix mengikuti arah pandangannya, "karena ibu ingin kamu seperti mereka, bisa bersinar sendiri tanpa pantulan cahaya dari benda langit lain."

"Ibu mau kamu belajar untuk mengerti dunia sendirian dan tidak bergantung pada ibu, karena kelak hidupmu akan berada di titik paling rumit yang tak pernah kamu bayangkan." Perkataan Ibunya itu sontak membuat Felix menatap wanita itu. 

"Ibu ini bisa melihat masa depan, ya?" Ucapnya bingung, sedangkan Freya hanya terkekeh pelan. 

"Manurutmu?" Balas wanita itu menatap yang saat ini berada di pangkuannya. 

"Menurutku...bisa. Karena Frank tadi pun bisa membaca pikiranku, tapi itu berbeda, tapi bisa saja sama bukan?" Gumamnya tidak jelas, membuat ibunya mencubit hidungnya gemas sendiri. 

"Kamu ini lucu sekali, umurmu itu sudah tiga belas tahun tapi kenapa kamu masih terlihat mungil," ujar wanita itu. 

"Aku tidak mungil ibu, bahkan Frank saja kalah tinggi denganku," balasnya melepaskan cubitan ibu pada pipinya, dirinya bahkan dikenal paling tinggi dikelasnya. Hanya saja wajahnya memang seperti anak kecil, jadi tidak heran jika dia selalu dibilang seperti anak berumur tujuh tahunan. 

"Iya-iya, tapi wajahmu memang seperti bayi," ujar Freya membuatnya mendengus kesal. 

"Tapi ibu, kenapa di sini banyak sekali bunga dandelion? Apa ini berhubungan dengan ukiran bunga dandelion pada kotak itu?" Tanya Felix, sebenarnya bukan di semua tempat, hanya di sekitar rumah ibunya saja yang kebanyakan bunganya adalah bunga dandelion. 

"Kotak? Kamu menemukan kotak itu?" Freya menatap Felix terkejut. Karena sedari tadi Felix tidak membawa benda apapun. 

"Iya, kotak—" Dia menghentikan perkataannya saat menyadari kotak itu sudah tidak ada lagi di tangannya. Jangan bilang...dia menjatuhkan kotak itu di perbatasan tadi.

Dia bangkit dan meraba celana serta saku bajunya namun tidak ada apapun, "ibu, kotaknya hilang."

"A-apakah tidak masalah jika kotak itu diambil oleh peri hitam..?"

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status