Share

|6. Cursed Land?

*****

"Jangan aku..." 

Anak laki-laki yang baru saja masuk ke dalam kamar tempat Felix tidur itu terkejut melihat anak itu mengigau tak jelas sambil bergerak-gerak gusar. 

"J-jangan..." Frank menghampiri ranjang dan menggoyang-goyangkan tubuh anak itu pelan. 

"Hei," ujarnya, namun tak membuat Felix bangun juga. 

"Temannn bangunn!" Teriakan anak laki-laki dengan sayap putih itu membuat Felix seketika terlonjak kaget dan terbangun dari tidur dengan napas memburu. 

Setelah sadar sepenuhnya, dia menoleh kearah Frank dengan raut kesal. Frank sudah menahan tawanya karena melihat reaksi berlebihan dari Felix, ya, siapa suruh dibangunkan secara halus tidak mempan, jadinya dia memilih cara yang sedikit jahat. 

"Kau mimpi buruk?" Tanya Frank kepadanya membuatnya terdiam dan mengingat apa yang baru saja terjadi padanya. 

Mimpi buruk itu lagi. 

Kenapa itu harus terjadi saat Frank melihatnya? Ah, ini menjengkelkan. Sepertinya dia bisa bertanya kepada Frank tentang siapa sosok yang terus menghantuinya saat dia tidur. Tapi tadi samar-samar dia bisa melihat sayap hitam di punggung orang itu, entahlah, dia tidak tahu pasti. 

Tapi sebenarnya...dia saja tidak bisa mengingat wajah orang itu, lalu bagaimana caranya dia bertanya kepada Frank? Yang ada dia malah diejek bodoh dengan anak lelaki satu itu. 

"Tidak ada, aku hanya sering mengigau," ucapnya tidak jadi menanyakan hal itu. Biarlah ini menjadi rahasianya dahulu. 

Frank mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti, tapi dari raut wajah anak laki-laki itu dia sudah bisa menangkap ada yang disembunyikan, tapi sudahlah, setiap orang mempunyai privasi bukan? 

"Ngomong-ngomong teman, kamu tidak merasakan ada yang berubah pada penampilanmu?" Tanyanya kepada Felix. 

"Memangnya apa?" Tanyanya kebingungan, dia meraba badannya tapi tidak ada yang aneh, lalu saat tangannya menyentuh telinganya dia terkejut. 

Telinganya runcing seperti milik Frank.

Matanya melirik ke belakang punggungnya dan teryata benar, ada sepasang sayap di sana, dia sudah berubah menjadi peri. Senyumnya merekah, karena akhirnya dia merasakan menjadi dirinya yang sebenarnya. Tapi jujur, ini agak aneh. 

"Sudahlah, lama-lama juga kamu terbiasa dengan wujudmu yang saat ini," ujar Frank lalu berdiri.

"Hei, kau itu tidak boleh membaca pikiran orang sembarangan, itu namanya tidak sopan, kau tahu?" Mata Felix sedikit memicing kearah anak itu, tapi yang di tatap hanya tertawa. 

"Maaf, aku tidak bisa menyia-nyiakan kelebihanku yang satu ini." Anak itu menarik tangan Felix—err sedikit kasar membuat anak itu sempoyongan karena belum siap berdiri. 

Dia berdecak, "sabarlah sedikit, Frank."

Sesampainya di ruang tamu, dia mendapati ibunya dengan seorang pria dewasa. Mereka seperti sedang diskusi, namun entah apa yang di diskusikan.

"Ratu, bolehkah aku membawa Felix keluar?" Tanya Frank namun mereka tidak ada yang menyahut. 

"Bagaimana dengan buah-buahan?" ucap pria itu sambil memunculkan bayangan apel dengan kekuatanya, sebenarnya Felix ragu jika itu pria dewasa karena wajahnya masih seperti remaja berusia tujuh belas tahun atau mungkin..dua puluh?

"Tidak, Ed. Itu terlalu membosankan," bantah Freya. 

"Lalu apalagi? Kau ini minta pendapat tapi pendapatku selalu kau tolak." Pria itu menatap malas wanita di depannya. 

"Karena pendapatmu itu tidak ada yang menarik, kau tahu?" Wanita itu menatap pria di depannya dengan mata memicing. 

"Ya, sudah, jika seperti itu pikirkanlah sendiri jangan meminta pendapatku!" Pria itu membalas dengan tatapan tajam, mereka saling melemparkan tatapan ingin perang hingga asap biru dan hijau menguar dari tubuh mereka berdua. 

Frank dan Felix menatap mereka tak percaya, sudah tua tapi tingkahnya masih seperti remaja. 

"Kalian ini tidak ingat umur atau bagaimana?" Ujar Frank sambil melipat tangannya di depan dada membuat kedua peri itu menoleh. 

"Ada apa? Apa ada masalah?" Tanya Freya kearah kedua anak itu. Sedangkan Edward mengerutkan alisnya bingung melihat anak yang berada di samping Frank itu. 

"Tidak ada, aku hanya ingin mengajak Felix jalan-jalan," balas Frank. 

"Dia siapa?" Tanya Edward. Frank mengikuti arah pandangan pria itu. 

"Ayah sungguh tidak mengenalnya? Wah, ayah ini sahabat macam apa tidak mengenali putra dari sahabatnya sendiri," ujar anak itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Felix menatap mereka berdua bergantian, pantas saja wajahnya dan warna matanya mirip, ternyata memang ayah dan anak. Kalian tahu apa yang dia pikirkan saat melihat pria itu? Iya, dia kira itu ayahnya, ternyata itu hanya sahabat ibunya. 

"Diam kau anak nakal!" Sentak Edward kepada putranya itu. 

Frank malah menjulurkan lidahnya kearah pria itu lalu berlari menuju halaman rumah diikuti oleh Felix. Seketika raut wajah ceria Felix berubah saat dia melihat pemandangan diluar rumah. 

Semuanya telah...berubah.

Apa-apaan ini? Kenapa bunga bewarna-warni, rumput yang indah, dan cahaya-cahaya kuning yang selalu mengikuti para kupu-kupu itu lenyap begitu saja dalam semalam? 

Semuanya sekarang berubah menjadi abu-abu, dan ini sangat membuat Felix kebingungan dan bertanya-tanya apa yang terjadi. 

Frank yang sadar akan perubahan ekspresi dari Felix pun menghembuskan napasnya pelan lalu duduk di sebuah bangku taman yang berada didekat sana. 

"Kamu pasti terkejut karena baru mengetahui bagaimana penampilan alam kami yang sebenarnya," ujarnya membuat Felix menoleh kearah anak laki-laki itu. 

"Lalu kemarin itu apa?" Tanyanya. 

Frank terkekeh pelan, "mungkin...ilusi?"

Anak laki-laki itu menghampiri Felix yang masih menatapnya bingung, "mau kutunjukan yang lainnya?" Ucapnya, Felix menggeleng. 

"Kenapa? Kau tidak suka lagi karena sekarang negeri ini tak seindah kemarin? Jangan bilang kau juga ingin kembali ke alam manusia?" Tanya Frank secara beruntun membuat Felix menatapnya malas dan secara refleks menjitak dahi anak laki-laki itu keras-keras. 

"Pikiranmu itu buruk sekali," ujarnya. 

"Ah, kau ini kejam," kata Frank sedikit dramatis, sambil mengelus dahinya kesakitan. 

"Dasar payah." Felix melanjutkan langkahnya meninggalkan Frank, entah akan pergi kemana. 

Frank mengejar anak itu, "ngomong-ngomong, ingin belajar terbang bersamaku?" Tawarnya membuat Felix menoleh kearahnya. 

********

"AAAAA!" 

Anak laki-laki bermata biru itu entah sudah keberapa kali berteriak histeris karena dibuat melayang-layang tak tentu arah oleh Frank.

"Sepertinya kau berbohong teman, karena buktinya kau takut terbang tinggi," ucap anak laki-laki itu dengan santainya membuat Felix seketika ingin menyumpal mulutnya menggunakan kotoran kucing Scarlett. Dasar tak punya hati! Bagaimana dia tidak takut jika diombang-ambingkan ke sana kemari? Ayolah, bahkan dia sudah mual sekarang. 

Pertama-tama tadi memang Frank mengajarinya dengan baik, bahkan dia sudah bisa terbang tinggi. Namun saat dia sibuk terbang dengan perasaan senang setengah mati, Frank mengendalikan angin dan membuat pergerakannya tak sebebas tadi dan ikut dikendalikan oleh anak laki-laki itu. 

Kau tahu alasan dibalik dia dihukum seperti ini? Iya, karena dia menjitak dahi anak laki-laki itu dengan keras tadi. Sepertinya Frank memang pendendam, bahkan jitakan itu tak seberapa dibandingkan—

"AAAA!" 

Ini. 

Dia mengumpat dalam hati, bayangkan, dia dijatuhkan dari ketinggian yang menurutnya lumayan tinggi—ah tidak, sangat tinggi.

"Maaf teman, aku tidak sengaja, apelku terjatuh tadi, jadi aku tidak fokus." Anak itu menyengir sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal, memandangi Felix yang jatuh ke tanah dengan cara tidak elit sama sekali. Dia menatap anak laki-laki itu datar, rasanya dia ingin melempar anak itu ke danau depan rumah pohon kemarin saja. Felix memukul tanah di sampingnya menggunakan telapak tangannya. 

Tanpa ia dan Frank sadari, tanah itu perlahan retak dan menyemburkan air tepat di tempat Frank berdiri. Anak laki-laki itu refleks terbang dan menghindar dari semburan air yang berasal dari tanah itu, walaupun bajunya sedikit basah, sedangkan Felix menatap kejadian itu dengan pandangan aneh. 

Air itu perlahan berhenti menyembur, "apa itu tadi?" Tanya Felix. 

"Kau baru saja menggunakan kekuatanmu?" Frank menghampirinya. 

"Kekuatan? Apa maksudmu? Aku tidak mengerti," ujarnya. 

"Ratu Freya juga mempunyai kekuatan seperti yang tadi kau tunjukkan, itulah sebabnya aku menyebut kau menggunakan kekuatanmu, karena kau anaknya," jelas Frank. 

Felix memandangi kedua tangannya bergantian, dia? Mempunyai kekuatan? Baiklah, sepertinya dia sudah kehilangan jiwa manusianya secara keseluruhan. 

Dia menggerakkan sayapnya, "bukankah kau ingin mengajakku berkeliling?" Ujarnya kepada Frank. 

Jangan tanya kenapa sekarang dia sudah bisa terbang dengan baik, tentu saja karena ajaran dari Frank. Anak itu menggunakan kekuatan anginnya untuk mengajarinya agar tetap seimbang dan tidak jatuh. Ya, walaupun akhirnya disiksa. 

Frank mengangguk, lalu mereka mulai berputar-putar di udara bersama, menikmati pemandangan Wynstelle. Walau tak seindah kemarin, tapi tetap saja isinya tak berubah bukan? Hanya warnanya yang berubah. Jika negeri ini tidak kehilangan warnanya mungkin akan menjadi negeri favoritnya. Sungguh, dia seperti melihat dunia 'Moors' di film 'Maleficent' secara nyata, walaupun dari keseluruhannya negeri ini jauh lebih indah. 

"Ngomong-ngomong kenapa negeri ini menjadi tak punya warna?" Tanya Felix penasaran. 

"Karena negeri ini telah dikutuk," balas Frank dengan serius. 

*******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status