Bertahun-tahun lalu, disebuah negeri bernama Wynstelle, terjadi sebuah penghianatan keji yang dilakukan oleh putra pertama dari Raja ke-3 negeri tersebut. Raja Aldric yang merupakan Raja ke-3 sempat membuat keputusan untuk membebaskan negeri itu dan membiarkannya berdiri tanpa Raja. Hal tersebut dikarenakan sebuah ramalan yang menyebutkan bahwa ada salah satu keturunannya yang mempunyai aura kegelapan yang begitu pekat, dan bahkan bisa merubah kesucian negeri itu hanya dengan kalimat manisnya yang berbisa. Karena dibuatnya keputusan itu, Orazio--putra pertamanya yang seharusnya menjadi Raja selanjutnya tidak terima hingga berakhir memenggal kepala Sang Ayah dengan tangannya sendiri. Setelah meninggalnya Raja Aldric, ia akhirnya mengklaim Batu Permata Bintang menjadi miliknya. Alhasil, Ramalan itu menjadi nyata. Negeri yang mendapat kutukan akan kehilangan warna disaat Batu simbol dari Wynstelle itu jatuh ke-tangan yang salah pun terjadi. Namun disamping ramalan itu, ada juga sebuah ramalan yang mengatakan akan ada keturunan lain yang membawa cahaya terang yang akan melenyapkan kegelapan. Anak itu lahir dari sepasang suami-istri seorang peri dan seorang siluman naga. Sedangkan beberapa hari sebelum peristiwa itu, seorang anak berdarah peri dan siluman naga pertama lahir dari putri kedua Raja Aldric, atau sebut saja adiknya sendiri. Orazio yang mengetahui hal itu pun berusaha melenyapkan anak itu. Namun, kekuatannya dengan kekuatan siluman naga sepadan, hingga membuatnya sulit untuk mendekati anak itu. Kekacauan tak bermoral yang terjadi ini mengakibatkan renggangnya hubungan antara kaum peri dan kaum siluman naga. Hingga melebernya larangan tegas dari kaum siluman naga yaitu; tidak boleh ada satupun kaum naga yang berhubungan dengan kaum peri. Hal itu tentu membuat Andrio--menantu Raja Aldric meninggalkan istri serta putranya. Karena kesepakatan suami-istri itu, Anak itu tumbuh bersama manusia dan akan ia kembalikan ke dunianya kala usianya sudah cukup. Hal itu tentu saja tak jauh dari takdir Felix yang sudah digariskan untuk melenyapkan sang pembawa kegelapan.
Lihat lebih banyak*****
Sosok anak laki-laki berambut pirang dengan netra biru yang indah tampak sedang memandang luasnya langit malam yang begitu indah dengan ribuan gemerlap bintang menghiasinya.
Dia menumpukan tangannya pada pagar minimalis yang berada di balkon kamarnya, enggan untuk beranjak dari sana walaupun udara dingin malam itu terasa semakin menusuk tulang.
Suara derap langkah kaki terdengar mendekat kearahnya, namun itu tak membuat dirinya mengalihkan tatapannya dari benda kecil bercahaya di langit yang saat ini menjadi pemandangan paling lebih menarik untuknya.
"Kenapa belum tidur?" Suara itu terdengar sangat menenangkan di telinganya, apalagi ditambah dengan usapan lembut di rambutnya yang diberikan oleh pemilik suara.
Dia menoleh kesamping dan mendapati neneknya sedang menatapnya teduh, dia tersenyum tipis lalu mengalihkan tatapannya kembali kearah langit.
"Sedang melihat ibu," balasnya, membuat nenek yang berada di sampingnya menurunkan tangannya yang berada di kepala anak itu.
"Felix, nenek tau perasaanmu. Tapi untuk sekarang nenek belum bisa memberitahumu," jelas nenek dengan raut khawatir tergambar jelas diwajahnya.
Felix menghadap neneknya dan memegang pundak wanita yang sudah merawatnya sedari kecil sekaligus menggantikan peran seorang ibu yang sampai sekarang tidak ia tahu identitasnya.
Bagaimana wajah ibunya itu pun tidak pernah sekalipun ditunjukkan kepadanya.
"Tidak mengapa nenek, aku mengerti. Sekarang nenek kembali ke kamar saja, sudah malam."
"Tapiβ" Sebelum berbicara lebih panjang lagi, Felix mendorong pelan bahu nenek menuju pintu keluar kamarnya.
"Sudahlah, nek. Felix akan tidur juga." Dia menutup pintunya saat neneknya sudah sepenuhnya keluar, membuat wanita itu menghembuskan napas berat lalu tak lama mulai beranjak dari depan kamar sang cucu.
Felix menyandarkan tubuhnya di pintu, sudah hampir dua belas tahun dia hidup dengan sebuah pertanyaan yang selalu bersemayam di otaknya. Dia tidak pernah mencari tahu, karena dia kecewa terhadap ibunya yang meninggalkannya begitu saja.
Kamu tahu rasanya ingin membenci seseorang tapi selalu kalah dengan rasa cinta yang begitu besar? Ah, itu sangat tidak enak. Kuharap kalian tidak pernah merasakannya.
Tapi entah mengapa hatinya berkata dia harus memecahkan teka-teki ini.
Terakhir kali saat dia mengutarakan niatnya, neneknya menangis dan memeluknya erat. Seakan melarangnya untuk tidak mencari tahu.
Sebagai anak yang cukup mengerti keadaan hanya dengan melihat raut wajah, Felix sangat mengerti bahwa ada hal buruk yang seharusnya tidak ia dekati saat itu.
"Sebenarnya ada masalah apa?" batinnya.
*******
"HEI ANAK PEMALAS! BANGUN KAMU!"
Suara menggelegar beserta gedoran pintu dari luar itu sontak membuatnya terbangun dari tidur. Dengan mata setengah terpejam dia bergegas membuka pintu sebelum bibinya lebih marah lagi.
Saat pintu terbuka, terlihat seorang wanita paruh baya sedang berkacak pinggang dan menatap galak kearahnya, membuat dia berusaha membuka matanya agar terbuka sepenuhnya.
"Enak sekali kamu bangun siang seperti ini. Sana bersih-bersih halaman rumah!" Sentak wanita berambut keriting nan mengembang itu.
"Jangan lupa siram tanamannya juga," lanjut bibi.
"Tidak sarapan dahulu, bi?" tanyanya polos, membuat wanita di depannya itu menurunkan tangannya yang semula berada di pinggang.
"Salah siapa bangun kesiangan." Bibi melengos dan pergi dari hadapannya membuatnya menunduk sedih lalu kembali masuk kedalam kamarnya untuk mandi.
Dia mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi dengan langkah lesu sambil menguap sesekali, dia sangat mengantuk sekali. Bagaimana tidak? dia baru saja terlelap jam empat pagi tadi karena mimpi buruk sialan yang selalu mengganggu tidur nyenyaknya itu.
Felix memang sering sekali bermimpi buruk sedari kecil, sehingga membuatnya sulit tertidur di malam hari. Dahulu, biasanya kakeknya yang akan selalu menemaninya sampai bisa tertidur dengan nyenyak tanpa bermimpi buruk. Tapi sejak kakek tiada, dia tidak mengerti bagaimana caranya untuk tidur dengan tenang seperti dahulu, bagaimana cara mengatasi mimpi buruknya ini, dan terkadang dia bahkan begitu takut untuk sekedar memejamkan mata. Untung saja hari ini hari minggu.
Dia berdecak melihat jam yang baru menunjukkan pukul tujuh pagi kala sudah keluar dari kamar mandi. Oke, sepertinya bibi memang sengaja menjahilinya agar dia tidak terus-terusan bangun siang. Dan dia melotot kaget saat menyadari kamarnya begitu berantakan dari mulai sprei yang semula sudah dirapikannya kini acak-acakan dan beberapa camilan nampak berjatuhan di lantai kamar. Hanya dengan melihat tentu ia sudah tau siapa pelakunya.
"Biβ"
"Felix cepat turun sarapan! Kalau satu menit lagi belum turun kamu tidak dapat sarapan!"
Baru saja ingin berteriak marah karena dia kehilangan kesempatan tidur berharganya serta kamarnya menjadi kacau, bibi sudah memotong kalimatnya membuatnya bergegas turun dari kamarnya dengan langkah secepat kilat hingga dia terpleset di tangga paling bawah karena licin.
Bukannya meringis kesakitan karena pantatnya sudah sakit bukan main, dia justru malah melongo tak percaya karena didepannya ada bibi dan neneknya tersenyum kearahnya sembari membawa kue ditangan mereka, dilengkapi juga dengan anak kecil yang baru berumur tiga tahunan memutari badannya sambil melempar-lemparkan tepung kearahnya sambil tertawa kecil.
"Selamat ulang tahun Felix!" seru nenek dan bibinya bersamaan. Sedangkan dia yang masih dengan posisi yang sama hanya mengerjapkan matanya bingung, sebenarnya dia terlalu banyak pikiran atau bagaimana sampai tidak ingat sama sekali jika hari ini adalah hari peringatan kelahirannya yang ke tiga belas.
"Selamat ulang tahun, kakak," ucap bocah kecil itu saat berhenti di depannya sambil membelai pipinya dengan tangan kecilnya itu. Tindakan itu sukses membuat Felix gemas sendiri, tanpa pikir panjang dia langsung berdiri dan menggendong bocah itu.
Itu adalah Scarlett, anak perempuan dari bibi yang sekarang tinggal dengannya.
"Terima kasih, anak cantik," ujarnya sembari mencubit pelan hidung bocah itu.
"Maaf karena kami baru sempat memberimu kejutan pagi ini, sekarang ayo tiup lilinnya," perintah nenek, dia menghampiri bibi dan neneknya yang membawa kue masih dengan posisi menggendong Scarlett, sebelum bibi mengambil alih Scarlett dari gendongannya.
Felix mengepalkan tangannya meminta permohonan kepada Tuhan sebelum meniup lilin. Jangan tanyakan apa permohonannya, sudah tentu tentang ibunya yang tak kunjung dipertemukan oleh Tuhan dengannya.
Dia meniup lilinnya saat sudah selesai berdo'a, dihadiahi tepuk tangan kecil dari Scarlett.
"Kamu tahun ini mau hadiah apa?" tanya nenek kepadanya.
"Felix ingin nenek menceritakan tentang ibu," balasnya, membuat kedua orang dewasa itu seketika tertegun lalu saling bertatapan sesaat.
Nenek menghembuskan napasnya pelan, lalu menuntun Felix untuk duduk di bangku meja makan. Nenek mengambil tangan kirinya dan menggenggamnya.
"Baca pikiran nenek Felix, kamu akan menemukan jawabannya setelah itu," ucap nenek membuat dia mengerutkan alisnya bingung. Maksudnya? Memangnya dia cenayang apa bagaimana?
"Kamu bisa, coba lihat mata nenek." Bibinya menyahut dari sampingnya membuat Felix menatapnya. Sekali lagi dia memandang kearah nenek dengan ragu tapi dibalas anggukkan oleh wanita itu.
Netra birunya menatap netra karamel yang kelam milik sang nenek. Tak lama sekelebat ingatan mulai nampak dimatanya, seperti sebuah kaset lama yang diputar kembali.
Disana terlihat seorang wanita cantikβralat cantik sekali dengan sayap putih dan telinga runcing, tampak sedang dikejar oleh segerombolan lebah raksasa yang sangat mengerikan. Wanita itu membawa bayi kecil yang sedang menangis di gendongannya.
Terlihat cahaya biru dari tangannya yang diarahkan kepada bayi itu hingga membuat bayi itu diam, tidak menangis lagi. Tapi perlahan tubuhnya dan bayi itu mengecil, wanita cantik itu dengan gerakan cepat bersembunyi di pohon beringin besar yang berada di depan sebuah rumah satu-satunya di daerah itu.
Setelah dilihat sudah tidak dikejar lagi, tangannya sekali lagi melambai, membuat keduanya kembali ke bentuk semula.
"Kau siapa?" Wanita itu menengok kearah pintu yang terbuka dengan terkejut, disana terlihat nenek dan kakek sedang berdiri diambang pintu dengan raut bingung. Wanita itu berniat kabur, namun ambruk karena sayapnya terluka.
Nenek berlari kedalam dan mengambil sesuatuβseperti obat dari dedaunan, lalu keluar menghampiri wanita itu dan membantunya diikuti oleh kakek. Beliau mengolesi bagian sayap yang terluka dengan obat yang dia bawa tadi.
Terdengar suara tangisan dari bayi yang berada di gendongan wanita itu membuat nenek ingin mengambil alih dari gendongan wanita itu tapi diurungkan.
"Boleh aku meminta tolong kepada kalian berdua?" ucap wanita itu mulai membuka suara.
"Meminta tolong apa?" tanya kakek.
Wanita itu menatap kakek, "tolong jaga anakku."
Kakek dan nenek langsung tercengang ditempat, "m-memangnya ada masalah apa?" Tanya nenek.
"Dia akan selalu berada dalam bahaya jika terus bersamaku." Wanita itu menatap anaknya sendu lalu kembali menatap nenek dan kakek.
"Aku tahu kalian menginginkan anak laki-laki," ujar wanita itu dengan senyuman walau matanya sudah berkaca-kaca.
Wanita itu menyerahkan bayinya kepada nenek.
"Namanya Felix, tolong jaga dia seperti kalian menjaga anak kalian sendiri." Dia mengusap rambut anaknya pelan, sembari menitikkan air mata.
"Jangan beri tahu dia tentang aku sampai dia cukup umur," wanita itu mencium pucuk kepala anak laki-lakinya lama.
Mata Felix mengerjap, dia seakan ditarik kembali ke dunia nyata. Dadanya bergemuruh hebat, dia hampir jatuh dari kursi jika tidak ditahan oleh bibi.
Felix memegangi dadanya sambil menatap lantai nanar. Nenek memegang pundaknya, "dia tidak membuangmu tapi menyelamatkanmu."
"Jadi ibuku itu bukan manusia?" tanyanya.
"Bukan, ibumu seorang peri."
****"Paman Edward?"Keenam anak peri itu terlonjak kaget kala tak sengaja mendapati Edward yang tengah berdiri tepat di depan Goa Dua Pintu.Frank menelan salivanya susah payah lalu membalikkan badannya, namun ditahan oleh Gazza dengan cara ditarik ujung kerah lehernya. Lagi? Astaga, dia lelah terus yang terkena omelan Ayahnya karena ketahuan melakukan hal mencurigakan. Padahal Ratu Freya biasa-biasa saja, tapi respon Ayahnya sangat berlebihan menurutnya."Frank?" panggil Edward ke arah putranya yang kini tengah menundukkan kepala.Frank yang sangat tahu apa maksud dari Sang Ayah pun memejamkan matanya sebentar, mendongakkan kepalanya dan menghalau semua rasa gugup bercampur takut yang ada. "Kami ingin mengambil Batu Permata Bintang," ucapnya.Edward menaikkan sebelah alisnya bingung. "Batu Permata Bintang? Mengapa di sini?" tanyanya ke arah ketujuh anak itu.Frank menyerahkan peta yang sedari tadi berada di tangannya kepada Edward.Dengan ragu, Edward menerima peta itu. Dia cukup t
***** "AAAAAA!" "TIDAKKK!" Kaki Edward melemas melihat kedua sahabatnya yang kini telah tak sadarkan diri akibat diserang Habis-habisan oleh Raja Peri Hitam. Dia terlambat. Netra hijau emeraldnya mengamati anak laki-laki bersurai pirang platina yang kini tengah mengarahkan tatapan membunuh ke arah pria yang menjadi biang keladi dari kerusuhan yang terjadi malam ini. "BERANI SEKALI KAU MENGHENTIKAN MANTRAKU, BOCAH!!" Pria bertanduk hitam itu menatap tajam Felix yang baru saja menghalau mantranya, sehingga mantra itu tidak mengenai Andrio sepenuhnya. Tapi, bagaimana anak itu bisa bangun lebih cepat dari dugaanya? "Kau mencariku, bukan? Lalu untuk apa kau membunuhnya? Melakukan hal yang sia-sia?" ucap Felix tak berekspresi sambil menaikkan sebelah alisnya. Rahang Orazio mengeras melihat ekspresi anak laki-laki di depannya. "Kau tidak tahu apapun!" Felix terkekeh pelan, "ken
***** "Hahaha, apakah kau akan terus melindunginya, Andrio?" Suara tawa terdengar menggema di sebuah rumah yang hanya di terangi oleh cahaya lilin dan pantulan cahaya dari sang bulan. Anak bersurai pirang platina itu perlahan membuka matanya, merasakan tubuhnya tengah terbaring di atas lantai marmer berwarna hitam yang terasa begitu dingin menusuk tulangnya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk. Di depannya terlihat kedua pria yang mungkin seumuran Paman Edward tengah saling bertarung mengeluarkan kekuatan mereka masing-masing. Salah satu diantara mereka bertanduk hitam serta bersayap hitam sedangkan yang satunya tidak mempunyai sayap maupun tanduk. Peri bersayap hitam itu tampak sedang membelakangi seseorang yang sedang disekap pada sebuah kursi dengan sihir merah yang mengelilingi tubuhnya. Dia mengucek-ucek matanya yang masih buram karena mungkin sudah terlelap entah berapa lama. Tapi, kenapa dia berada
***** "Paman, Ibu tidak bernapas. Aku harus bagaimana?" Ucapnya lirih, bahkan mungkin tak terdengar oleh yang lain selain mereka. Suara putus asa itu membuat jantung Andrio serasa berhenti berdetak detik itu juga. Kepalanya menoleh cepat kearah perempuan bersurai pirang platina tergerai bebas yang sedari tadi masih dalam keadaan memejamkan mata. Dia menggeleng pelan. Itu tidak mungkin. Dia belum menyalurkan mantra itu sepenuhnya. Seharusnya tidak secepat itu. Andrio berlari cepat ke arah wanita yang masih berstatus pasangan hidupnya tersebut. "Freya... Itu tidak benar, kan?" Ucapnya lirih di hadapan Freya. Telunjuknya bergerak untuk dia taruh di depan lubang hidung Freya agar ia bisa merasakan deru napas wanitanya. Oh, masihkah kata itu berlaku? Tepat sebelum hal itu terjadi, Felix lebih dahulu menyambarkan petir yang berasal dari Berlian Biru yang tengah ia hadapkan ke arah pria itu. A
***** Felix berlari tergesa-gesa diantara beberapa pohon yang tumbuh tinggi menjulang di sekitar Hutan Cahaya. Ibunya ditangkap. Berita sampah macam apa itu? Awas saja jika dia dibohongi. Tidak mungkin ada yang menyakiti Ibunya. "Kau punya sayap, bodoh! Kenapa malah berlari?!" Ujar Frank yang kini sedang terbang di atasnya bersama dengan keenam temannya yang lain. Anak laki-laki bersurai pirang platina itu mendongak. Seketika timbul keinginan menempeleng kepala anak itu karena cara mengingatkannya yang amat menyebalkan. Tapi...benar juga kata Frank. Kenapa dia seketika melupakan fungsi sayapnya? Ah, entahlah. Pikirannya campur aduk sekarang. Entah itu tentang keberadaan Batu Permata Bintang maupun tentang ibunya yang katanya ditangkap entah oleh siapa. Dia mengepakkan sayapnya, ikut terbang bersama dengan teman-temannya. Namun diantara ketujuhnya, Felix lah yang terbang dengan sangat cepat da
***** "Vancy dan Lavender sedang ditugaskan Paman James untuk meneliti sesuatu, jadi mungkin mereka tidak akan datang malam ini," ucap Gazza yang tengah merebahkan dirinya di kursi empuk di ruang tengah. Tunggu, kursi empuk? Anak laki-laki itu kembali duduk, menoleh ke belakang untuk mengamati kursi kayu yang biasanya selalu ia duduki sekarang sudah berubah menjadi kursi empuk berwarna biru. Dia melirik keempat temannya yang sedang sibuk bermain membentuk kunang-kunang menjadi sebuah bentuk hewan sesuai yang diperintah oleh pemain lain. "Siapa yang mengubah kursi ini?" Tepat saat giliran Hardwin yang akan membentuk kunang-kunang, Gazza bertanya kepada mereka mereka. Mendengar itu, keempatnya menoleh ke arah sofa tempat Gazza duduk. "Siapa lagi kalau bukan temanmu yang berasal dari dunia manusia ini," ujar Dean sambil melirik Felix. Anak laki-laki bersurai pirang platina
***** Frank, Gazza, Dean, dan Hardwin memandang aneh makanan yang kini tersaji di depan mereka. "Kenapa?" Tanya Felix yang tengah menatap keempat temannya sambil melingkarkan tangannya di depan dadanya yang terlapisi oleh apron tersebut. "Ini apa?" Tanya Dean sambil menoel-noel pelan kue yang berbentuk bulat dan mempunyai lubang pada bagian tengah itu. "Itu makanan," balas Felix lalu ikut mendudukkan dirinya di depan teman-temannya. "Benarkah? Kurasa ini terlalu lucu untuk ukuran makanan," ucap Hardwin yang dibalas anggukan oleh Gazza dan Frank. Felix memutar bola matanya malas. Iya, dia tadi membuat beberapa donat yang dengan sengaja dia buat dengan bentuk beberapa hewan. Seperti koala, panda, hamster, rubah, dan beruang. Bentuk mereka sangat lucu, oleh karena itu mereka sampai terheran-heran. Karena di Wynstelle tidak ada makanan semacam itu. Jangan tanya kenapa Felix bisa membuatnya, nenek
***** Frank menepuk pundak Gazza kala melihat hal aneh yang dilakukan oleh pria bertudung yang berada di tribun sebelah mereka. "Lihat itu," ucap anak laki-laki bersurai hijau apel itu membuat Gazza serta Si Kembar Tak Bersaudara mengikuti arah pandangnya. Pria bertudung hitam yang hanya terlihat mulutnya saja itu menggerakkan bibirnya seperti sedang memantrai sesuatu. Gazza beralih menatap Black Dragon yang mulai mengendus-endus, padahal semula tidak. "Naga itu," ujarnya sambil menunjuk Black Dragon. Frank, Dean, dan Hardwin menoleh ke arah anak laki-laki bernetra abu-abu itu. "Dia telah memantrainya," sambungnya. Frank, Dean, dan Hardwin menatap khawatir Felix kala Black Dragon mulai bisa mencium kehadiran anak itu. Sedangkan Gazza mencoba berkomunikasi dengan Felix, siapa tahu kali ini akan berhasil. Dia bernapas lega saat Felix menatap pria bertudung itu. "Perasaanku sungguh tak
π²π²π²π² Ssssshhhh! Dak! Byurrr! Felix menepuk pelan tanah di depannya, mencoba melindungi dirinya dengan mencoba mengeluarkan air asin dari tanah tempat Black Dragon berpijak menggunakan kekuatan airnya. Naga bersisik hitam itu terangkat ke atas udara karena semburan air dari tanah ulah Felix tadi yang begitu kuat dan banyak. Anak itu dengan cepat terbang menjauh dari sana untuk kembali ke stadion sebelum naga itu berhasil lolos. Ketika hampir sampai di stadion, matanya tak sengaja menangkap sebuah objek yang menurutnya sekarang sangat ia butuhkan sekarang ini. Senyumnya merekah kala menyadari apa itu. Itu apel dari pohon kembar. Kata Frank, jika ada yang memakan buah itu, orang yang memakannya akan menjadi tak kasat mata hanya pada orang yang dia ingin dirinya tak terlihat di mata orang itu, sedangkan untuk orang lain dia tetap terlihat. Atau dalam kata lain, te
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen