Yang Huajin melirik pada tangan Huang yang menutupi sesuatu itu dengan kening mengernyit.“Apa itu?” tanyanya dan lantas mereguk habis minuman di tangannya. “A Yin?”“Biaya atas tumpangan kami berdua,” jawab Huang.Yang Huajin terkekeh. Sementara Huang saling pandang dengan Feng.“Satu tael emas, hah?” Lagi, si pemilik kapal tertawa-tawa dengan gelengan kepala.“Jika kau merasa kurang,” kata Huang, “kami bersedia menambahkan satu tael emas lagi.”“Oh, tidak, tidak, A Yin,” ucap Yang Huajin. “Jangan salah menanggapiku. Aku tertawa sebab jarang-jarang ada yang memberiku uang sebanyak ini.”Feng dan Huang sama merasa lega.“Apa pun yang kalian kejar ke Hainan,” lanjut Yang Huajin seraya melirik pada Feng dan Huang bergantian. “Sepertinya sesuatu yang besar. Dan aku lebih baik tidak mengetahuinya.”Feng dan Huang kembali saling pandang. Intuisi si pemilik kapal ini sepertinya tidak bisa dianggap remeh.“Kami belum mengatakan apa-apa,” kata Huang. “Tapi―”Yang Huajin kembali mengangkat sat
“Tapi, tunggu dulu!” Hoaren mendelik memandangi si pemilik penginapan, lalu pada gadis pelayan di belakangnya. “Bagaimana kalian bisa tahu?”Kebingungan juga muncul di wajah si pemilik penginapan dan si gadis pelayan terhadap Hoaren sendiri.“Tuan Muda?”“Sebentar, sebentar!” Hoaren mengangkat satu tangan. “Apakah aku pernah mengatakan padamu,” deliknya pada wanita paruh baya berdandan sedikit menor itu, “bahwa aku sedang mencari seorang Biksu?”“Bukan mencari,” kata si pemilik penginapan. “Anda justru hendak menghindarinya, Tuan Muda.”Hoaren mengernyit lagi sembari memijit keningnya. Dia bahkan tidak bisa mengingat sama sekali kapan dia mengatakan hal semacam itu pada si pemilik penginapan.“Hei, hei, hei … Sepertinya ada yang salah di sini!”Wanita paruh baya tersenyum lebar. “Oh, Tuan Muda,” ujarnya. “Aku tidak akan heran jika Anda tidak mengingat ucapan Anda sendiri, Tuan Muda.”“Jadi, aku benar-benar mengatakan hal ini padamu?”“Bukan hanya padaku,” jawab si pemilik penginapan,
Pelayaran di atas kapal yang lebih besar tentu saja memberikan sensasi yang lebih menyenangkan dan lebih menenangkan. Alunan ombak yang mengguncang kapal tidak begitu terasa berbanding ketika berada di atas kapal yang lebih kecil.Meskipun perjalanan mereka bukanlah untuk bersenang-senang, bukan sebuah darmawisata, akan tetapi, mereka cukup menikmati ketenangan yang ada, terutama pada Huang yang belakangan suasana hatinya menjadi tak terlalu baik.Setidaknya, ada sekitar lima puluh penumpang di kapal itu, termasuk dengan Feng dan Huang sendiri, dan sekitar lima belas orang awak kapal beserta nakhodanya.Di geladak kapal, sebagian besar mereka sedang menikmati makanan dalam kelompok-kelompok kecil. Lainnya ada yang menikmati pemandang laut di siang hari, ada yang bersama kekasihnya, ada pula yang bersama anak-istri mereka.“Mungkin pria itu sudah berada di Hainan,” ucap Huang. “Mungkin pula dia telah menyeberang ke daratan lainnya.”“Adik―”“Yang ingin aku katakan adalah,” Huang meliri
Dari satu atap, Hoaren melompat lagi ke atap lainnya, dan berpindah lagi dengan gerakan yang sangat ringan, tanpa kesulitan. Dia sengaja memilih sisi yang sepi sehingga gerak-geriknya yang mencurigakan itu tidak diketahui oleh orang lain.Hoaren mengawasi kondisi di bawah. Dia melihat dua biksu muda sedang menuju ke sebuah kuil yang berada paling belakang. Dua biksu muda masing-masing membawa kain bersih yang terlipat dengan baik.Dia tersenyum, menunggu kedua biksu muda memasuki kuil di belakang, dan kemudian melompat lagi dengan ilmu meringankan tubuhnya yang baik hingga dia menjejakkan kakinya di atap kuil itu tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.Hoaren mencari celah agar dapat melihat bagian dalam kuil atau setidaknya, mendengar pembicaraan di dalam.“Guru Ma,” ujar seorang tetua kuil dengan sedikit membungkukkan badan.Dari segi usia, dia jelas lebih tua daripada Guru Ma sendiri. Akan tetapi, soal pendalaman ilmu Sutra, Guru Ma jelas lebih unggul.“Perjalanan menuju Laut Melayu
“Anak Muda!” Tetua kedua melesat dengan satu cakar terjulur pada Hoaren.Teph!Cakar itu hinggap di bahu kanan Hoaren. Akan tetapi, dia sudah bersiap untuk itu sehingga cakar sang tetua tidak mampu menembus pertahanan tenaga dalamnya.Desg!Sebaliknya, dengan menggeser sedikit bahunya, Hoaren telah mampu memaksa tetua kedua menjauh dan dia sendiri melompat dua langkah ke belakang.“Kau!” Tetua kedua tertegun. “Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau menguasai jurus-jurus Shaolin?”Hoaren menyeringai sementara dua biksu muda dengan toya dan sepasang ruyung terlihat ragu-ragu, berdiri di belakang tetua kedua.“Benar!” sahut biksu muda bertoya sembari menunjuk Hoaren. “Kau mengalahkan adik kami dengan jurus Tinju Baju Besi. Dari mana kau mempelajari itu?!”Hoaren menyeringai dan berkata, “Aku tidak perlu menjawab keingintahuan kalian.”“Lancang!” hardik biksu muda dengan sepasang ruyung di tangannya.“Lagi pula,” lanjut Hoaren tanpa menghiraukan si biksu muda. “Bukan hanya Shaolin saja yang pun
“Terima kasih karena sudah mengantar kami,” ucap Feng pada si pemilik kapal.“Silakan, Tuan Muda,” balas pria paruh baya tersebut. “Nona!”Feng dan Huang turun dari kapal yang telah berlabuh di salah satu dermaga yang ada di Kota Haikou.Sang pemuda tersenyum mendapati sang kekasih memandang ke sana dan kemari, seolah mengawasi sestuatu di tengah keramaian pelabuhan itu di pergantian senja ke malam hari saat ini.Dia menghela napas lebih dalam. “Di sini jauh lebih ramai.”Huang melirik ke samping kiri. “Tentu saja,” ujarnya. “Dari apa yang pernah kupelajari, Hainan adalah pulau yang berada di antara lalu-lalang kapal-kapal dagang. Jadi, sudah pasti mereka jauh lebih sibuk daripada kawasan lain.”Feng tersenyum menahan tawa. Dia bukannya tidak mengetahui akan hal ini, namun lebih kepada upayanya untuk membuat Huang tidak begitu tegang dalam perburuan mereka terhadap Hoaren.“Kurasa,” ujarnya kemudian, “untuk saat ini, lebih baik kita mencari tempat penginapan terlebih dahulu. Bos kapal
Hoaren menyeringai memandangi Huang yang begitu kesal terhadapnya dan masih berdiri di dermaga bersama Feng.“Bodoh!” umpatnya.Dan ketika dia berbalik, seorang anak buah kapal memergokinya yang menumpang secara gelap di kapal besar tersebut.“Hei, kau tidak seharusnya―”Sang awak kapal terdiam ketika Hoaren dengan cepat memperlihatkan satu tael emas di depan wajahnya.“Apakah ini cukup untuk membuatmu tutup mulut?” Hoaren menyeringai. “Hmm?”Bola mata sang awak kapal membesar dan Hoaren tahu pasti bahwa ABK yang satu ini sangat tergoda pada satu tael emas di tangannya.“Simpanlah dan aku tidak akan mengatakan pada siapa pun tentang ini!”“Te-Terima kasih, Tuan Muda,” ujar sang awak kapal seraya menerima satu tael emas itu dengan tergesa-gesa, dan menyimpannya ke balik pakaiannya. “A-Akan saya atur satu kamar untuk Anda nanti.”Hoaren menepuk-nepuk bahu sang awak kapal. “Bagus, bagus, itulah yang aku harapkan!” ujarnya. “Sekarang, aku ingin melihat-lihat dulu seisi kapal ini.”“Si-Sil
Guru Ma tidak ingin menikmati makan malam di geladak sebab angin laut di malam hari yang lumayan kuat. Jadi, He Hwan memerintahkan anak buahnya untuk menyediakan makanan bagi Guru Ma yang vegetarian di kamarnya saja.“Guru, silakan,” kata He Hwan yang dia sendirilah orang yang menghidangkan makanan bagi si Guru Besar. “Semoga Guru suka dan menikmati makanan ini.”“Amitabha,” Guru Ma tersenyum. “Tuan He, Anda tidak saja dermawan tapi juga budiman. Terima kasih, semoga apa pun yang Anda cita-citakan dalam hidup mendapat keberkahan dari langit.”He Hwan tersenyum lebar. “Terima kasih atas doa berkatnya, Guru. Silakan, mari dinikmati.” Dia melirik pada Daiyun. “Guru Kecil, Anda juga, mari silakan.”“Shan cai, shan cai,” ucap Daiyun. “Terima kasih banyak, Tuan He.”“Tuan He.”Si pemilik kapal yang akan keluar dari kamar itu memutar badan. “Guru, Anda membutuhkan sesuatu?”Kembali Guru Ma tersenyum. “Tidak,” jawabnya. “Hanya saja, apakah Nona Huang dan Tuan Muda Feng masih di kamarnya?”He