Setelah perdebatan beberapa waktu yang lalu, aku segera menyusul ke kamar. Suara genericik air mengalir membuatku sedikit resah, kuputar kenop kamar mandi untuk memastikan sesuatu, sayangnya pintu terkunci. Mungkin dia ingin menyegarkan pikiran, jadi lebih baik membiarkannya saja. Aku menunggu sembari membuka laptop dan mengecek pekerjaan hari ini. Meskipun tak bisa ke kantor, aku harus memastikan semua berjalan dengan lancar. Aku sengaja duduk di dekat kamar mandi, agar tahu kapan Kirana keluar.Mataku terfokus pada file yang dikirim oleh Gilang dan mulai mengerjakan pekerjaanku yang semoat tertunda sebelumnya. Aku mengambil ponsel sembari mengirim pesan kepada Gilang. Sesaat kemudian aku baru tersadar jika ada yang tidak beres. Aku melihat jam yang ada di ponsel. Tak terasa sudah hampir satu jam Kirana mandi. Aku beranjak mendekati pintu kamar mandi. Aku mulai panik, namun juga harus tetap bersikap tenang bukan. Ku ketuk pintu kamar mandi perlahan. Sekali ketukan dua kali bahkan
Aku segera membawa Kirana menuju ke ruang sidang. Mama menyuruh kami agar meninggalakannya dengan mantan ibu tiri istriku. Aku sempat ragu meninggalkan mama dengan wanita itu, bukan karena tak yakin mama tak bisa mengatasi perempuan itu.Aku lebih takut jika mama akan memberikan pelajaran padanya. Mama bukanlah perempuan yang lemah lebut seperti ibu-ibu pada umumnya. Dia bahkan tak segan memukul lawan jika memang hal itu diperlukan. Tapi kali ini akan kupercayakan sisanya kepada mama. --Sidang telah selesai, kulihat Anya menangis meraung menxengar hasil putusan hakim kepadanya. Aku lihat wajah Kirana mulai berubah. Aku segera berdiri dan mengajaknya untuk segera meninggalkan ruang sidang. Takut hal buruk akn terjadi lagi.“Ayo kita pulang!” kataku sedikit mendorongnya agar segera bergerak meninggalkan kursinya. Untungnya dia menuruti perkataanku tanpa banyak protes. Aku sedikit lega, segera kugenggam tangannya meninggalkan ruang sidang.“Iya mas.” Sepanjang jalan hanya ada kehening
PoV DirgaAku merasa bersalah kepada Ayah mertua, rasanya sungguh memalukan jika faktanya aku tak becus menjaga putrinya. Dia begitu baik, tak menyalahkan aku dalam situasi saat ini. Namun tetap saja aku merasa sangat tak enak hati kepadanya. --Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa Kirana sudah di rawat selama dua hari di sini, sekarang waktunya untuk pulang. Ku menyuruh Kirana dan mama menunggu di loby rumah sakit. Segera kuurus administrasi dan berharap bisa segera membawanya pulang. Aku yakin dia sangat lelah saat ini. Rangkaian peristiwa yang cuku rumit pasti membuatnya sangat kelelahan.“Sudah, pak. Silahkan tanda tangan di sini!” kata perawat yang bernama Naura sembari menunjuk ujung kertas, aku tahu namanya dari name tag yang menempel di bajunya. “Di sini lagi!” lanjutnya yang aku kira sudah selesai. Namun ternyata masih ada beberapa yang harus kutanda tangani lagi. “Masih ada lagi?” tanyaku mengernyitkan dahi.Sejujurnya aku sudah mulai lelah dan ingin segera beristir
PoV Dirga.Sepanjang perjalanan aku senantiasa berdoa agar istriku selamat. Aku bahkan tanpa sadar mengenggam jemarinya sejak tadi. Bodoh-bodoh ... Kenapa aku bodoh sekali, menjaga seorang wanta saja tak becus. Bagaimana jika kelak kau dititipan seorang anak, Dirga?Apakah kau akan mampu menjaganya, huh?Setelah sampai di IGD rumah sakit, Kirana mendapatkan perawatan dari dokter. Aku menunggu dengan cemas. Tak sedetikpun aku meninggalkannya kali ini.Rasa bersalahku sangatlah besar setelah kejadian hari ini. Aku berjanji pada diriku sendiri, di masa depan tak akan pernah kuizinkan siapapun menyentuh dan menyakiti istriku. Aku mungkin tak akan memaafkan diriku sendiri jika sampai hal itu terjadi. Ah ... Apa yang harus kukatakan kepada ayah mertuaku kelak?Dia pasti kecewa kepadaku. Aku mengusap wajah dengan gusar. Melihat Kirana belum ada perubahan membuatku semakin was-was. Dokter telah selesai menanganinya. Aku segera menghampiri untuk menanyakan keadaannya.“Bagaimana keadaan ist
PoV Dirga“Jalan Merak, bos,” kata Nanda. Aku segera memacu mobil dengan keceoataj tinggi menuju jalan itu, berharap jika istri dan mama baik-baik saja. “Astagfirullah, gua masih mau idup,” gumam Gilang disepanjang perjalanan. Persetan dengan keselamatan kami, saat ini istriku lebih membutuhkan aku. Entah apa yang sebenarnya terjadi, aku hanya berharap tidak terjadi hak buruk tentunya. Jarak jalan Merak dari kantor tak terlalu jauh. Aku melihat mama duduk di pinggir jalan ditemani oleh beberapa orang. Segera kutepikan mobil dan menghampiri mama.“Ga, Kirana Ga!” wajah mama memucat, tangannya bergetar. Aku segera memeluknya agar lebuh tenang.“Tenang, Ma. Ceritakan perlahan,” kataku sembari mengusap punggungnya.“Ki-kirana diculik sama beberapa orang. Ma-ma nggak bisa ngejar.”Di saat seperti ini aku harus berusaha tetap tenang. Memikirkan cara bagaimana menyelamatkan nyawa istriku segera. “Ini nomor kendaraan penculik itu, Mas. Maaf kami nggak sempat mengejarnya. Mereka keburu ja
PoV Dirga(Pov Dirga dimulai setelah pulang dari hotel sebelum penculikan.)Setelah menghabiskan malam panas bersama istriku, dengan berat hati aku harus mengantarkannya pulang. Jika bukan karna client, aku pasti tak akan sudi pergi ke kantor sepagi ini. Selain itu, ada hal yang harus kupastikan dan kuselesaian secepatnya. Shit, padahal aku masih ingin memeluk tubuh hangatnya dan bermanja dengannya di atas tempat tidur. Lihatlah, wajah lelahnya membuatku ingin menyeretnya kembali ke tempat tidur. Pelukkan manjanya membuatku rindu, padahal dia masih ada di hadapanku. Tidak, Dirga kali ini ayo selesaikan urusan penting dan kerja dari rumah, mungkin dalam satu bulan kedepan aku akan bekerja dari rumah. Biarkan saja Gilang yang menghandle urusan kantor. Toh dia juga sudah cukup mahir untuk diandalkan.Kiran mengantarkan aku sampai ke pintu depan. Tatapannya seakan menyuruhku agar tak meninggalkannya. Sial, di saat seperti ini aku malah ingin kembali membawanya ke kamar.“Mas langsung jal