Kirana
“Saya batalkan pernikahan ini, Pak. Saya tidak sudi menikah dengan wanita murahan seperti anak bapak ini!” ucap Mas Ferdi dengan lantang di hadapan Ayah, dan keluargaku. Tepat di ruang keluarga, di mana semua keluarga intiku berkumpul. Aku kaget dengan peryataan yang begitu tiba-tiba, yang keluar begitu saja dari mulut pria yang seharusnya menikahiku satu jam lagi. Kenapa ini? Ada apa? Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku secara mendadak. Aku kira, tadi Mas Ferdi akan menyampaikan sesuatu hal yang penting sebelum kami melangsungkan akad. Karena dia menyuruh kami berkumpul di ruang keluarga. Tapi yang aku dengar, di luar dari isi kepalaku. Membatalkan pernikahan? Kata-kata itu keluar begitu saja dari pria yang aku kenal dua tahun silam, dan melamarku seminggu yang lalu. Aku tak percaya dengan apa yang ku dengar dari bibirnya. Membatalkan pernikahan dan mengataiku wanita murahan di saat seperti ini, apakah dia sudah benar-benar gila? Jujur saja hatiku sangat sakit ,dan hancur setelah mendengar ucapannya yang barusaja dilontarkan. Katakan jika semua ini hanya bercanda! Atau hanya mimpi belaka. Satu jam lagi akad akan dimulai. Tapi cobaan apa ini ya Allah? Apakah semua ini hanya prank biar suasana menjadi menegangkan, tapi mana mungkin. Orang gila mana yang mengatai calon istrinya seperti itu. Rasanga seperti dihantam ombak besar, ketika aku mendengar ucapan Mas Ferdi. “A-apa maksudnya, Nak Ferdi?” tanya ayahku dengan raut wajah bingung dan kaget. Ayah yang tadinya tersenyum bahagia karena putrinya sebentar lagi akan mengakhiri masa lajangnya, kini raut bahagia itu berubah menjadi muram dan tampak bingung. Ayah tampak menahan emosinya dan mencoba bersabar. Mas Ferdi menarik napas seakan menahan emosi yang hendak meluap. Aku tau dari wajahnya yang sudah mulai memerah saat ini. Tak pernah sebelumnya dia menunjukkan sikap seerti itu kepadaku. Aku semakin diliputi rasa penasaran dan bingung. “Putri bapak telah bermain api di belakang saya, ini buktinya,” kata Mas Ferdi menyodorkan beberapa lembar kertas kepada Ayah. Akupun ikut penasaran apa sebenarnya yang diberikan oleh mas Ferdi hingga membuat kedua bola mata Ayah melotot dengan sempurna. Wajah Ayah memucat seakan aliran darahnya terhenti seketika. “Apa maksudnya, Mas?” aku bingung dengan yang di maksud oleh Mas Ferdi. Kenapa dia tiba-tiba datang mengatakan hal itu. Fitnah apa sebenarnya yang sedang terjadi? Mas Ferdi menatapku dengan tatapan jijik, dan bahkan dia memundurkan langkahnya ketika aku mencoba mendekatinya. Seakan aku adalah barang naji, dan haram untuk disentuh. “Alah, dasar perempuan jalang! Kau berlagak sok suci di hadapanku, tapi apa semua ini? Dasar jalang. Kau jangan mendekat! Aku benci melihatmu!" ucapnya dengan suara yang lantang. Deg! Apa tadi? Jalang, sok suci? Apa-apaan semua ini. Jantungku berdegub semakin kencang mendengar umpatan dari pria yang telah melamarku. Bahkan aku sangat menyayanginya selama ini. Tapi ada apa ini? Aku tak percaya dengan apa yang kudengar. “Astagfirullah, Mas!” bentakku. “Hentikan Ferdi!” teriak Ayah tak terima, jika putrinya di tuduh seenaknya seperti ini. Orang tua mana yang rela anaknya dihina di hadapan orang banyak. Dadaku terasa sesak dan nyeri mendengar apa yang dia katakannya kepadaku. Aku segera merebut kertas yang ada di tangan Ayahku. Kakiku terasa lemas, seakan tak bertulang lagi. Mataku mulai terasa perih dan berair. Dadaku semakin sesak melihat gambar yang berada dalam genggamanku. Akupun tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Foto-foto itu direbut oleh saudari tiriku, “Ya Ampun, Ma. Apa ini. Lihat!” triak Anya yang membuatku semakin tak berdaya. Bahkan ibu tiriku juga ikut melihat gambar itu. “Tidak-tidak itu bukan aku, Mas!” jeritku menggeleng tak percaya. “Cih, masih mengelak lagi? Kau tak pantas menikah dengan anakku, Kiran. Saya tidak sudi melanjutkan pernikahan mereka. Pak Gandi, Kami permisi, ayo Fer!” pamit Bu Rita sembari menarik lengan mas Ferdi dan mengapitnya lalu beranjak pergi meninggalkan kami. Aku mencoba menahan kepergian mas Ferdi. “Itu bukan Aku, Mas. Tolong dengar penjelasanku dulu! Demi Tuhan bukan Aku!” kataku berlutut dan bersimpuh menahan langkah kaki mas Ferdi. Aku bersumpah jika aku tak pernah melakukan hal yang ada di foto itu. Mas Ferdi menghentikan langkahnya. Bahkan aku tak kenal siapa pria itu. “Kau bikin malu keluarga saja, Kiran!” kata ibu tiriku. Wajahnya terlihat marah, dan seakan hendak mencabikku. Tapi bagaimana aku menjelaskan semuanya jika itu bukanlah aku. “Usir saja dia, Ma!” ucap Anya adik tiriku yang semakin manasi situasi. Dia memang tak suka denganku sejak awal. Aku menoleh ke arah Ayah. Kulihat wajah Ayah yang bingung bercampur malu. “Ayah, dengarkan Kiran. Ini tidak seperti yang sebenarnya,” kataku mencoba membela. Aku berlari memohon agar mereka tak membatalkan pernikahan kami. Bagaimana tidak. Ayahku terlihat tak bisa berkata-kata lagi dan dia begitu syok mendengar perkataan mas Ferdi. “Biarkan dia pergi, Kiran!" teriak Ayahku ketika melihat aku bersimpuh dan menangis di hadapam Ferdi. Jujur saja aku merasa sakit hati karena memang bukan aku yang berada di foto itu. “Tapi, ayah!” “Cukup Kiran, berdiri kata Ayah!” Tangisku semakin pecah tatkala melihat Ferdi bernar-benar menghilang dari pandanganku. Hatiku hancur di tuduh seenaknya seperti itu. “Kamu cuma bisa bikin malu keluarga saja, Kiran. Lihatlah berapa banyak biaya yang sudah kami keluarkan untuk semua persiapan ini. Dekorasi, ketring, MUA dan masih banyak lagi!” teriak ibu. “Cukup! Jangan bikin masalah semakin rumit, Sukma!" kata Ayahku mencoba menenangkan ibu tiriku. Bukannya menenngkan dia malah ikut memojokkan aku. Aku berlari ke arah ayah dengan penuh rasa sesak. Aku berlutut di hadapan ayahku. “Ayah, aku tak pernah melakukan semua itu, Ayah. Itu semua fitnah Ayah!" kataku dengan isak tangis yang tak bisa ku tahan lagi. “Alah ... Jangan sok suci deh mbak. Tinggal ngaku aja apa susahnya sih. Di luar sana banyak kok perempuan yang lebih parah dari Mbak Kiran!” kata Anya menimpali. Entah apa maksud dari ucapannya. Namun bukannya dia menenangkan aku tapi dia malah ikut menyudutkan aku di sini. “Hentikan Anya! Ayah pusing,” potong Ayah, dia terlihat bingung, wajahnya terlihat merah padam aku sangat tahu apa yang di rasakan oleh ayah. Dia sangat malu dan kecewa kepadaku pastinya. “Kita batalkan saja pernikahan ini, tidak ada jalan lain,” kata Ayah berdiri dan melepaskan kedua tanganku yang sejak tadi menempel di lutut Ayahku. Tubuhku semakin bergetar, aku tertunduk dengan air yang semakin mengalir deras membasahi pipiku. Aku tak tahu harus berbuat apalagi, menjelaskan apapun juga tak akan mengubah keadaan, bahkan hanya akan memerkeruh suasana. “Bagaimana bisa di batalkan tamu udangan sudah hampir datang semua, Mas!” protes ibu tiriku. Dia tampak kesal dan marah. Aku tau dia hanya mengincar uang sumbangan dari para tamu undangan. Terebih dia sengaja mengundang teman-teman Ayah dan relasi Ayah yang banyak demi hal itu. Bukan fitnah tapi ibu tiriku memang mata duitan kata orang. “Tak ada jalan lain, Sukma. Biarkan kita menanahan malu. Paling beberapa bulan juga akan berlalu. Orang-orang akan segera melupakan semuanya. Kabar mempelai pria membatalkan pernikahan pun sampai ada sebagian tamu undangan. Kerabat dari jauh memasuki ruang keluarga dan mencoba membantu mencarikan jalan keluar. Namun hatiku sudah sangat kacau, aku kecewa, marah dan tak bisa lagi berpikir jernih. Sungguh siapa yang telah berbuat jahat kepadaku, tapi kali ini benar-benar keterlaluan. “Nggak bisa, dek. Aku akan mencarikan jalan keluar,” kata pakde Sultan kakak dari Ayahku. Budeku membantuku berdiri dan bangkit untuk duduk di kursi. Sebagian keluargaku juga ikut mencoba menenangkanku. “Biar saya saja yang menggantikan pengantin pria.” Seorang pria muncul dari ambang pintu, entah siapa dia. Aku melihat dengan samar. Kepalaku mendadak pusing dan berat. Mungkin karena hiasan di kepalaku yang sudah sejam aku pakai, jadi kepalaku mendadak pening. “Baiklah kita langsungkan akad sekarang juga!” kata ayahku yang seakin ku dengar perlahan. “Kiran!”“Angkat tangan, jangan bergerak!” Seketika Anya dan para orang suruhannya terlihat panik dan kebingungan. “Hei, kalian mau ke mana?” teriak Nya ketika para orang suruhannya pergi satu-persatu meninggalkannya. Bahkan orang yang dia percaya saja bisa menghianatinya. Aku masih berdiam di tempat. Tiba-tiba Anya berlari ke arahku. Gawat! Aku tahu apa yang akan dia lakukan. Dia mengambil sebilah pisau dan menarik kursi, membuatku tersentak. Aku belum bisa lepas dari ikatan mereka, kesempatan untukku berlaripun sama sekali tak ada. Oh Tuhan, tolonglah aku kali ini. Aku belum siap mati konyol. “Jika aku hancur, maka kita harus hancur bersama!” ancamnya dengan nada bergetar. Aku tahu dia sangat panik saat ini, terlihat dari peluhnya yang bercucuran membasahi dahinya. “Anya, tenang. Kamu jangan gegabah, jika kamu tenang. Polisi tak akan menyakitimu,” kataku berus
Aku dan mama masih berdiam di atas motor. Sial sekali, seharusnya kami pergi ke pasar dengan mobil saja tadi. Entah siapa dan apa tujuan orang-orang itu, yang jelas ini sama sekali tak lucu. “Gimana, ini, Ki?” bisik mama ketika pria bertubuh kekar itu, hampir sampai ke arah kami. Aku berusaha mencari cara agar bisa terhindar dari orang yang tak ku tahu apa alasan dan tujuannya. Aku bahkan tak mengenalnya sama sekali. “Pegangan, ya ma! Yang kenceng pokoknya!” kataku mencoba membuat strategi baru. Berharap kami bisa lepas dari orang-orang itu. “Mau kemana kalian!” ujar pria itu yang dengan sigap membaca pergerakan kami. Mereka segera mengepung scuter yang ku kendarai. Aku berusaha menabrak pria itu agar berhenti menghadang kami. Apapun akan kulakulan agar terhindar dari orang yang tak jelas itu. Enak saja tiba-tiba muncul. Aku curiga dia tukang palak atau begal, ya mungkin sejenisnya. Terserah deh, yang penting, b
“Oh, di sini rupanya kamu tinggal?” Deg! Aku terkejut melihat kedatangan bu Sukma. Entah apa niat dan tujuannya, tapi aku rasa, sekarang kami sudah tak memiliki urusan lagi. Semenjak Ayah menjatuhkan talak kepadanya, hubungan kami sudah berakhir. Kami juga tak memiliki hubungan darah, jadi sah-sah saja aku mengusirnya. “Iya, di sinilah saya tinggal. Ngapain anda datang ke sini?” tanyaku dengan nada ketus. Jujur saja, aku sangat malas melihatnya di sini. Terlebih aku hanya sendirian di rumah. Aku sengaja berusaha menunjukkan sikap yang berani. Dia selalu menindasku selama menjadi ibu tiri. Bukan niat untuk membalas, akan tetapi aku sangat hafal tabiat buruk yang dia miliki. Dia hanya akan datang ketika butuh sesuatu, atau ada niat lain yang entah aku sendiri tak tahu. “Cuma mau lihat-lihat saja. Kamu jangan sombong ya, mentang-mentang sudah dinikahi pria kaya,” selorohnya sembari menerobos masuk melewatiku begitu saja. Aku
Mas Dirga ternyata tak main-main dengan ucapannya, kami benar-benar sudah check in, dan berada di hotel yang tak jauh dari area pantai. Sebelumnya, kami sudah mampir ke sebuah toko baju untuk membeli pakaian ganti. “Kamu mandi dulu saja, nanti mas nyusul,” ujarnya yang terdengar begitu ambigu. What? Nyusul? Pikiranku mendadak menjadi kotor. Astagfirullah. Tapi dia duluan yang mulai, dia masih mematung di dekat pintu sembari menatap layar ponselnya dengan serius. Alah, palingan dia juga asal ngomong aja. Aku buru-buru menuju ke kamar mandi. Badanku juga sudah terasa dingin, takut kalo kelamaan malah akan masuk angin. Semoga saja dia tak benar-benar menyusul aku ke kamar mandi. Aku buru-buru menyelesaikan ritual mandi. Beruntungnya mas Dirga tak benar-benar menyusulku. Aku hanya mengenakan bathrobe, dan segera keluar dengan rambut yang sudah terlilit handuk karena basah. Bukan mak
Ayah mengatakan jika dia akan pergi ke rumah Bude Diyah. Dia akan menetap untuk beberapa waktu, sampai pikirannya menjadi lebih tenang. Aku tak bisa menahan kepergian Ayah, meskipun aku ingin. Aku juga sudah bukan tanggungan Ayah lagi, tak mungkin juga membawa bliau tinggal denganku, di rumah suami. Tentu saja rasanya akan aneh. Jadi aku hanya bisa mendukung keputusan Ayah saat ini. Kami sudah berada di stasiun kereta yang ada di kota kami. Aku berjalan mengikuti langkah kaki ayah untuk menyamainya, rasanya kejadian begitu cepat. Bahkan aku tak mengira akan berdiri di sini sekarang. Mengantarkan ayah ke stasiun bukan sebuah agenda yang ada di dalam hidupku. Ternyata rencana-rencana yang kita susun sedemikian rupa, bisa dalam sekejap berubah seketika ya. Itulah salah satu kuasa Tuhan yang tak bisa kita tebak, bahkan untuk besok saja kita hanya bisa berencana. Semua keputusan akan kembali kepada sang pencipta. Seandain
“Cukup Sukma! Aku jatuhkan talak tiga kepadamu, mulai hari ini, kamu bukan istriku lagi!” “Mas!” protes Ibu tampak sangat terkejut. Dia sepertinya tak akan menyangka jika Ayah akan mengatakan itu. Selama ini Ayah selalu mengalah. Ucapan ayah terdengar bagai petir yang menyambar di siang bolong. Entahlah, apakah aku harus senang atau sedih mendengar kabar ini. “Sudah cukup aku menahan sabarku selama ini, Sukma! Kamu benar-benar keterlaluan, baik perlakuan, dan juga ucapanmu. Terlebih jika berbicara dengan Kirana. Sejak awal memang semua salahku. Mengizinkannya masuk ke rumah ini juga bagai bencana bagi kami,” ujar Ayah yang selama ini lebih terlihat sabar dan diam. Aku dan mas Dirga tak tahu harus melakukan apa, kami masih terpaku menjadi saksi pertengkaran antara mereka. “Oh begitu ya, jadi selama ini mas menyesal menikahiku? Kenapa tidak sejak awal mas mengatakan, jika mas tak suka denganku. Kenapa sampai
“Untuk apa kamu datang ke sini?” tanyaku dengan suara lantang, kedatangannya sama sekali tak pernah terpikir dalam benakku. Aku kira dia masih memiliki urat malu, dan tak akan pernah muncul di hadapanku lagi. Setelah kejadian hari itu. Tapi nyatanya dia masih berani muncul di hadapanku. Atau mungkin, dia memang merasa akulah yang salah. Pastinya memang seperti itu. Aku menghela napas panjang berusaha tetap tenang. Dia adalah salah satu orang yang paling aku hindari saat ini. Aku bahkan malas melihat wajahnya lagi. Napasku sedikit memburu, tatkala kakinya mulai mendekat. Entah apa yang dia inginkan, tapi aku sudah sama sekali tak berminat bertemu dengannya. “Ada masalah apa ya, Bu?” tanya pak Ilham yang sepertinya menyadari ada yang janggal. Dia memang masih berdiri di dekat kami. Sambutanku yang sama sekali tak ramah segera menyadarkan pak Ilham, jika pria yang datang saat ini bukanlah suamiku. Aku memang beberapa kali di
Aku membuka mata perlahan, dengan kepala terasa sedikit pusing. Kutatap langit-langit bewarna putih bersih yang ada di kamar kami. Aku menoleh ke samping, tak ada mas Dirga di sana. Entah sejak kapan aku terlelap. Yang kuingat, sebelumnya hanya mas Dirga yang berpamitan akan keluar. Tenggorokanku terasa kering, aku memutuskan untuk turun ke lantai satu untuk mengambil air di dapur. Ternyata sudah jam 11 malam. Aku tak melihat sosok suamiku di rumah ini. Pandangan mataku mengedar ke seluruh penjuru berharap menemukan sosok yang aku cari. Aku gak sengaja menyenggol sendok hingga jatuh ke lantai. Kuembuskan napas berat, dan segera meraih sendok yang terjatuh karena ulahku yang tak hati-hati. “Kamu sudah bangun, Ki?” sapa mama. Membuatku sedikit terjengit kaget, karena mama muncul dari arah belakang. “Eh, Ma. Kiki bangunin mama ya? Maaf ya, Ma,” kataku merasa tak enak. Takut jika menganggu waktu ist
“Ma?” Sapa mas Dirga, ketika sampai di resto tempat kami membuntuti Anya dan Ferdi. Dia terlihat panik karena mama menyuruh segera datang, hanya itu yang aku tahu. Tapi tak tahu alasan apa yang digunakan oleh mama, sehingga Mas Dirga datang secepat kilat. Atau mungkin kebetulan mas Dirga memang berada tak jauh dari sini? Oh ... Ayolah, hanya dia dan Tuhan yang tau. Kenapa malah memikirkan hal itu sih, yang sama sekali tak penting. Aku masih tak habis pikir dengan rentetan kejadian akhir-akhir ini di kehidupanku. Bahkan pada akhirnya, hanya mampu menebak-nebak apa, bagaimana, dan siapa yang menjadi dalang dari semua kisah kelamku. Jika aku menemukan pelakunya, tak ada kata maaf, apapun alasan orang itu. Aku sungguh penasaran, tujuan apa yang membuat orang itu tega melakukannya kepadaku? Mas Dirga, langsung menatapku. Aku tersenyum agar terlihat baik-baik saja. T