Share

6. Apa Mereka Mengenali Alina?

Alina dan Raka mengucapkan terimakasih kepada warga tersebut, mereka juga memberikan sejumlah uang untuk bapak-bapak tersebut. Bapak tersebut langsung menolak uang itu, karena ia tulus membantu Alina dan Raka.

"Pak, ini diambil. Jika bapak tidak mengambil uang ini, kami tetap akan membuangnya," ucap Raka sambil memberikan empat lembar uang bewarna hijau tersebut.

"Tapi ini kebanyakan, Dik," ucap bapak-bapak tersebut.

"Udah, Pak ambil saja lagian daripada kakak saya membuang uang tersebut jadinya mubasir kan? Oh, iya kita belom kenalan loh, Pak. Masa udah bantu kami tapi kami belum tau nama bapak," ucap Alina.

"Oh, iya dik. Saya Mulyadi, orang di sini sering manggil saya Pak Didi atau Om Didi kebetulan kalau sore saya jadi ojek."

Raka menyodorkan uang itu ke Mulyadi, akhirnya Mulyadi mengambil uang tersebut. Sebenarnya ia semenjak tadi sudah mau mengambil uang tersebut. Namun, ia merasa sungkan karena Alina dan Raka masih pendatang baru.

"Saya Alin dan ini kakak saya, Kak Raka. Pak Didi, boleh memanggil kami dengan sebutan apa saja," ucap Alina mencoba tersenyum ramah.

Mulyadi segera berpamitan dari hadapan Alina dan Raka, dia mengatakan masih ada urusan jadi tak bisa berlama-lama.

Alina menatap pagar besi di depannya, sudah ada perubahan dair rumah kepala desa ini. Ia menatap tempat Resta dan Restu bermain dulu. Tempat tersebut sudah terdapat ayunan panjang. Alina melihat seseorang yang sedang tertidur di ayunan tersebut.

"Lin, menurutmu ada orang nggak?" Alina menatap Raka, lalu menunjuk ayunan.

"Kak Restu!" panggil Alina.

"Bego! Kamu kenapa manggil Restu? Astaga, Alin," Raka mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Ya maaf, keceplosan."

Restu terbangun karena mendengar suara lembut memanggilnya, ia melihat ke depan pagar lalu menghampiri Alina dan Raka.

"Maaf, kalian siapa ya?" tanya Restu.

"Kami calon penduduk baru di sini, tapi kami bingung apa pak kepala desa ada di rumah atau tidak," ucap Raka.

"Dan kamu ... pernah tinggal di sini kah? Kenapa kamu memanggil namaku?"

Alina gelagapan, jantungnya berdetak tak karuan. Kecerobohannya sangat fatal, belum apa-apa dia sudah melakukan kecerobohan.

"Siapa yang tidak tau, Kak Restu? Semenjak masuk ke desa ini, banyak warga yang membicarakanmu. Melihat kakak awalnya kukira penjaga rumah, tapi melihat penampilanmu sepertinya tak mungkin penjaga rumah setampan ini," ucap Alina dengan gugup.

Ia memilin-milin bajunya di bagian belakang, semoga saja Restu percaya.

"Oke, ada ibuku di dalam. Masuk saja," ucap Restu.

Restu melangkahkan kaki menuju ke dalam rumah, Alina menatap gudang tempat kakaknya di bunuh dulu, tapi ada yang aneh gudang tersebut sudah tidak ada. Apa bangunan tersebut dihancurkan?

"Mencari apa?" bisik Raka.

"Tempat kakakku di bunuh sudah dihancurkan," ucap Alina.

Restu menunggu mereka di depan pintu. Ada gelagat aneh dari dua orang di depannya ini, kenapa mereka berbisik-bisik?

"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Restu

Alina gelagapan mau menjawab apa, satu ide jahil terbesit di otak Raka.

"Biasalah cewek, Bro nggak bisa liat yang tampan dikit langsung terpesona," ucap Raka.

Alina melotot, apa-apaan itu?

Restu tersenyum melihat Alina. Ia menggelengkan kepalanya, sebenarnya ia ingin tertawa melihat ekspresi protes Alina. Namun, ia harus menjaga imagenya bukan?

"Masuk."

Restu mempersilahkan Raka dan Alina masuk, lalu meminta mereka duduk menunggu sang ibu.

"Ma, Ada tamu nih!"

"Bentar, bilangin," ucap Marni.

"Kalian tunggu di sini, ya? Soalnya aku mau ke belakang sebentar."

Raka dan Alina duduk di ruangan tersebut. Ia melihat poto-poto yang terpajang di dinding, kebanyakan Poto Resta. Tak lama Marni datang dan duduk di hadapan mereka, sejenak Marni seperti terpana dengan ketampanan Raka.

"Kalian yang mencari saya?" tanya Marni.

"Iya, Tante. Tante ini istrinya pak kepala desa ya?" tanya Raka.

"Iya, saya istri dari kepala desa," ucap Marni.

"Jadi gini, Tante maksud saya dan adek saya ke sini ingin meminta izin langsung ke tante untuk tinggal di sini. Namun, pak kepala desanya lagi tidak di rumah apa bisa sama, Tante aja?" tanya Raka.

Alina terus menatap Marni semenjak tadi, Marni yang di tatap pun menyadari hal itu. Raka melihat Marni mulai tak nyaman dengan tatapan Alina pun berusaha untuk menegur Alina.

"Lin, Husst! Nggak sopan banget," tegur Raka.

Marni tersenyum dengan ramah ke Alina.

"Ada apa?"

"Tante, cantik dan tidak adakah niat kita untuk berkenalan? Saya rasa semenjak awal nggak ada yang mau berkenalan," ucap Alina.

"Astaga karena itu? Astaga maafkan adek saya, Tante, dia emang rada-rada kadang."

Marni tertawa, polos sekali gadis di depannya ini. Ingin ia menjadikannya menantu. Namun, ia lebih tertarik dengan saudaranya.

"Maaf ya, Tante belum perkenalan kami. Nama saya Raka dan ini adek saya Alina, panggil saja Alin," ucap Raka.

"Kek nggak asing dengan muka adikmu," celetuk Marni.

Seketika tubuh Alina menegang, tamat riwayatnya.

"Tante sering ke mall? Kalau iya, mungkin tak sengaja kalian bertemu. Kami pindah ke desa tanpa di ikuti orang tua tujuannya mau menghukum Alina yang kehidupannya suka foya-foya, Tante," ucap Raka yang langsung mendapat pelototan tajam.

Hancur sudah citra kalem Alina, tadi di tuding kakaknya mengagumi Restu dan sekarang dibilang suka foya-foya.

Marni tersenyum mendengar kata-kata dari Raka, memang beberapa kali dia sering pergi ke mall.

"Oh, iya kalian mau tinggal di mana?" tanya Marni.

Raka memberikan sertifikat tanah, ia menunjukkan sertifikat tersebut untuk minta petunjuk arah.

Marni membukanya dan ia sempat terkejut dengan nama pemilik rumah tersebut.

"Itu dibeli ayah saya ketika aku dan Alina masih kecil, kurang ingat sih umur berapa. Lalu ayah memberikan itu, katanya selama di desa tinggal di sana saja," ucap Raka.

"Rumah itu sudah sangat lama tinggal, sepertinya ada baiknya kalian tinggal di sini dahulu besok baru ke sana," ucap Marni.

Akhirnya setelah lama mengobrol Raka dan Alina setuju untuk tinggal di rumah Marni sementara. Saat ini Alina melihat poto yang terpajang di dinding. Di lihatnya satu persatu, semenjak ia melangkahkan kaki ke sini dia belum melihat Resta. Kemana anak itu?

Alina merasa tenggorokannya kering, ia pergi ke dapur untuk mengambil minuman.

"Capek banget harus tinggal di sini." Alina menuangkan air lalu meminumnya.

"Enak ya, dapat tumpangan gratis." Alina menoleh, ternyata itu Restu.

"Iyalah, enak, Kak. Apapun yang gratis pasti enak," ucap Alina.

"Alina, orang kota, kasian perlu banyak beradaptasi di sini." Restu mendekati Alina yang saat itu masih setia berdiri di dekat kulkas yang terbuka.

Restu menyudutkan Alina, sehingga ia tersudut seperti mau masuk kulkas. Restu mendekatkan wajahnya ke Alina, ia menatapnya sesaat.

"Aku seperti tak asing dengan mukamu, Alina."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status