Sore itu, sekitar jam 6 sore, setengah jam setelah jam besuk akhirnya dibuka, Jonas dan Darryl kembali ke rumah sakit sambil membawa baju ganti milik Anna dan menyerahkannya pada Gina yang menungguinya di kamar.
Tepat saat kedatangan mereka, sebuah mobil ambulance berwarna cokelat gelap milik kepolisian datang dan membuka pintu belakang mobilnya.
Dari sana, beberapa petugas mengeluarkan sebuah tandu yang berisi sosok seorang pria yang telah mengenakan oksigen. Mata pria itu terpejam dan ia seperti tidak sadarkan diri.
Jonas tidak dapat membendung rasa penasarannya, ia lalu maju sedikit untuk mendekat.
“Itu… Rian?” kata Jonas dengan mata memicing saat para perawat memindahkan tubuh Rian ke ranjang rumah sakit dan segera dibawa masuk ke dalam hingga sosoknya menghilang saat pintu IGD tersebut di tutup.
Jonas memanggil supir ambulance itu dan bertanya, “apa yang terjadi? Kenapa Rian dibawa ke sini?”
“Pak Rian tiba-tiba pingsan di penjara,
Setelah satu bulan mengenal kakak laki-laki satu-satunya itu, Darryl sudah bisa membaca gerak-gerik kakaknya mulai dari saat tidur hingga bangun pagi. Rata-rata, kakaknya itu akan tidur pukul 11 hingga 12 malam. Kali ini, ia berharap kalau rencananya akan berhasil, dan ia akan membebaskan kakak perempuannya dari semua perih yang dia rasakan. Seseorang harus bertanggung jawab akan hal ini, dan ia tahu kemana harus mencarinya. Darryl memakai sneakers, celana jeans biru dan jaket dengan hoodie cokelat tua. Ia mengambil beberapa peralatan yang diperlukan dan ia masukkan dalam tas, berjaga-jaga siapa tahu ia harus menggunakan alat nantinya. Darryl mengambil ponselnya dan mengendarai mobil Gina menuju rumah sakit. Sesampainya di sana, Darryl memperhatikan bentuk rumah sakit itu terlebih dahulu. Rumah sakit itu besar dan luas, desainnya sederhana namun dipenuhi banyak taman. Semua bangunan hanya terdiri dari satu lantai. Darryl melihat banyak
Dua hari kemudian, Anna sudah diperbolehkan pulang. Ia dijemput oleh Gina, Darryl dan Paman Rudy untuk dibawa langsung ke apartemen Gina. Menyadari kalau mereka tidak membawanya menuju jalan yang seharusnya ditempuh menuju kontrakannya, Anna bertanya. “Kita mau ke mana?” Darryl mengelus tangan kakaknya. “Kita akan tinggal di rumah Kak Gina.” “Hah?” mulut Anna terbuka tetapi setelah itu kepalanya menggeleng-geleng. “Tidak, aku tidak mau tinggal di rumahmu, Gina.” Gina memandang Anna dari pantulan rear vision mirror tepat di langit-langit mobilnya. “Kenapa kau tidak mau? Kau tidak akan merepotkanku sama sekali.” “Tapi…” “Pakaian kakak juga sudah kami pindahkan ke apartemen Kak Gina,” imbuh Darryl. “Tapi…” “Laptop dan semua keperluanmu selain pakaian juga sudah ada di sana,” kata Paman Rudy dengan mata yang melihat ke jalan, yang membuat Anna tidak bisa lagi membantah. “Atau kau ingin tinggal dengan paman?” “Papa,
Baru saja Anna keluar, ia harus masuk lagi ke rumah sakit yang sama untuk membawa Gina. Jonas menepikan mobilnya tepat di depan pintu IGD. Tak sampai hitungan detik, pintu IGD terbuka dan dua orang perawat pria mendorong ranjang rumah sakit itu keluar dari dalam menuju pintu mobil Jonas yang telah terbuka. Mereka bekerja sama menggotong Gina yang sedang pingsan itu dan meletakkannya ke atas ranjang sebelum para perawat mendorong ranjangnya masuk ke dalam. “Apa yang terjadi?” tanya seorang dokter jaga pada Anna. Anna meremas tas selempang yang dia kenakan. “Aku tidak begitu tau, dok. Yang ku ingat, teman saya terpeleset di kamar mandi, dan tak lama kemudian, dia sudah pingsan. Ada darah yang mengalir dari pangkal pahanya, dok.” Dokter wanita itu melihat pendarahan yang dialami Gina dan mengerutkan keningnya. “Apa dia hamil?” “Hah?” saking kagetnya mendengar pertanyaan dokter itu, rahang Anna terbuka selebar-lebarnya dan hampir menyentuh
Keadaan Anna maupun Gina semakin membaik dalam seminggu ini, Anna sudah mau lebih banyak berbicara. Sedangkan Gina telah diizinkan pulang setelah 2 hari dalam perawatan. Kejadian tersebut hanyalah Anna dan Jonas yang tahu. Telah beberapa kali Gina mencoba meyakinkan mereka kalau dia akan baik-baik saja. Memang saat ini, Gina sangat terluka karena kehilangan calon bayi sekaligus ditinggal pasangan yang tidak bertanggung jawab. Namun, Gina adalah sosok kuat dan tangguh. Dan keesokan harinya, Gina langsung kembali bekerja. Staminanya itu membuat Anna heran. Dia pergi ke kantor seperti tidak mengalami sakit apa pun. “Hei, kau harus membawa bekal du…” omongan Anna terputus saat Gina mengambil kunci mobilnya dan memutar gagang pintu. “Aku sudah telat. Bye!” kata Gina dengan bersemangat dan menghilang dari balik pintu. Mungkin kepindahannya ke sini adalah ide terbaik. Anna jadi punya teman bicara, dia juga dapat merasa sibuk dan sedikit lebih bersema
Meski mereka sudah kembali bersama, mental Anna tidak semerta-merta langsung membaik. Anna masih mengalami masa-masa sulit dan terkadang tidak mau bertemu dengan Jonas. Tetapi pria itu tetap sabar menghadapi mood Anna yang selalu berubah-rubah. Kejadian itu memang membuat Anna menjadi pribadi yang berbeda. Lebih pendiam, cenderung pemarah, dan masih sering bermimpi buruk. Jonas dan Darryl menginap di apartemen Gina selama akhir pekan setiap jumat malam dan sabtu malam. Selama mereka di sana, Jonas beberapa kali pergi ke kamar Anna ketika wanita itu bermimpi buruk dan menangis dalam tidur. Pria itu juga dengan setia mendampingi Anna saat terapi. Ibu Purnama mengatakan bahwa keberadaan Jonas rupanya sangat membantu, tetapi untuk sembuh dari luka batin memang memerlukan waktu dan mereka harus bersabar. Malam itu, Jonas membawakan masakan China untuk mereka makan bersama di rumah. Anna menyiapkan semua di atas meja mulai dari mie, ayam asam manis, capcay
“Tentang Rian.” Kata Silvanna. Mendengar nama itu, suasana hati Anna berubah drastis. “Aku tidak tertarik berbicara tentangnya.” “Ku mohon, Anna. Bertemulah denganku. Sekarang aku ada di dekat apartemen di mana kau tinggal. “Dari mana kau tahu aku tinggal di sini?” “Dari mantan rekan kerjamu. Aku akan menunggumu di bawah, di kafe seberang. Aku janji, hanya sebentar saja.” “Apa yang membuatmu berpikir aku akan menemuimu?” “Aku hanya takut nanti kau menyesal.” “Dia tidak menyesal memperkosaku.” Kata Anna dengan skeptis. Silvanna mendesah. “Aku prihatin hal itu terjadi padamu. Tetapi percayalah, dia amat menyesal. Hanya saja, dia tidak bisa berbicara dan tidak akan pernah bisa berbicara langsung lagi kepadamu.” “Apa maksudmu?” “Temui dulu aku. Oke? Aku akan menunggmu di sini. Kau punya satu jam.” Kata Silvanna langsung menutup telepon itu. Anna tidak bisa berhenti memikirkan apa yang Silvanna akan k
Anna pulang ke apartemennya dengan pikiran yang kalut. Ia duduk di lantai dekat ranjangnya dan bersandar di sana sambil memeluk lututnya yang tertekuk. Belas kasihan membujuk egonya untuk segera menengok Rian, tetapi batinnya menentang hal tersebut. Ia sungguh tidak ingin bertemu dengan Rian, mendengar namanya saja, membuatnya hampir kena serangan panik. Bagaimana jika bertemu langsung? Rian belum sempat dihukum atas kejahatannya, dan Anna merasa belum puas. Tetapi ia bukan menginginkan Rian mati, hatinya tidak sejahat itu. Anna menutup matanya untuk mengusir semua beban pikirannya hingga ia mendengar pintu terbuka dan seseorang berteriak dari depan. “Anna, kau di mana?” Anna mengangkat kepalanya untuk mendapati Gina berdiri di depannya dengan wajah kusut dan rambut berantakkan. “Kau di sini rupanya. Aku akan mandi dan berganti sebentar, oke? Aku sudah membelikan bahan makanan. Jika kau tidak keberatan, masaklah untukku,” kata Gina dengan manja.
Gina dan Anna telah berada di parkiran rumah sakit. Mereka masih di dalam mobil. Gina memberi waktu agar Anna siap turun untuk bertemu dengan Rian. Tetapi saat mereka mencari Rian, dia malah tidak ada. Anna lalu memanggil perawat yang tengah memberi seprai baru ke atas ranjang kosong itu. “Bu, pasien yang bernama Rian di sini, ke mana ya?” Perawat itu menaikkan alisnya karena tidak familiar dengan nama itu. “Rian?” Ia lalu berpikir sejenak. “Oh, Tuan Antonius?” “Benar.” “Beliau dipindahkan ke ruang ICU tadi pagi.” “ICU?” tanya Anna. Perawat itu memberitahukan di mana ruang ICU berada, dan mereka langsung pergi ke sana, mendapati Pak Hendri yang menunggu dengan wajah yang terlihat muram. “Anna?” kata pria paruh baya itu melihat Anna. “Bagaimana keadaan Rian?” Ia mengerutkan keningnya, “dia dalam keadaan koma.” Anna terkejut dan menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Gina yang berdiri di sebelahnya juga