Setelah pemakaman ibunya, mereka akhirnya pulang ke rumah. Gina tidak berhenti melepas genggaman tangannya dari tangan sahabatnya yang sedang berduka cita itu sambil memeluk Darryl digendongannya. Anak kecil itu tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada orang tuanya. Ia tertidur setelah acara pemakaman itu selesai dan belum bangun hingga sekarang. Di sana, Gina bisa melihata air mata Anna telah mengering, matanya bengkak, dan wajahnya terlihat kusut.
Setelah sampai di rumah itu, paman Rudy memarkirkan mobilnya di luar tanpa memasukkannya ke dalam garasi. Mereka lalu melompat ke luar satu per satu dari dalam mobil itu.
“Aku akan mengurus Darryl, kau bisa beristirahat,” ucap Gina pada sahabatnya itu.
Anna menunggu hingga semua orang masuk saat matanya tertuju pada rumah yang menjadi saksi bisu tragedi mengerikan yang terjadi dua hari sebelumnya.
Tiba-tiba sebuah mobil sedan muncul dari ujung jalan. Mobil itu terparkir tepat di depan rumah Anna. Kemudian, seorang anak laki-laki turun dari mobil itu.
“Anna,” panggilnya dengan lembut.
Rian datang padanya dengan pakaian serba hitam dan wajah yang canggung. Ia tidak tahu harus bagaimana dengan Anna saat itu. Saat di pemakaman, ia tidak berani mendekati Anna. Hatinya remuk redam saat melihat perempuan yang disukainya itu terpuruk dalam kondisi yang tidak dapat dibayangkannya. Jadi ia memutuskan datang pada Anna setelah ia menjauh dari pemakaman itu.
“Rian?”
“Hai… Maaf, aku tidak menyapamu saat pemakaman tadi. Ada terlalu banyak orang.” Hatinya tidak berkata seperti itu. Bukan karena terlalu banyak orang, tetapi karena ia tidak ingin ikut menangis dalam kesedihan perempuan yang bahkan bukan siapa-siapa untuknya itu. Siapa dia? Bukan sahabat, bukan pula kekasih, tidak etis jika Rian datang dan memeluknya secara tiba-tiba
“Tidak masalah,” bisik Anna sambil memandang sepatunya.
“Aku turut berduka cita.”
“Terima kasih.”
Mereka terdiam sejenak. Rian tidak tahu hendak berbuat apa, tetapi ia juga tidak ingin membuat hal yang berlebihan pada Anna.
Satu hal yang baru Rian sadari, tidak ada Jonas di pemakaman itu. Setitik harapan muncul dalam hati Rian. Mungkinkah ia punya kesempatan untuk mendekati gadis ini?
Tetapi ia juga tidak habis pikir, bagaimana bisa ia tidak ada di pemakaman orang tua dari gadis yang telah menjadi kekasihnya itu? Di mana hati dan belas keasihannya?Jonas memang kurang ajar, seharusnya Anna menolak saja ketika laki-laki itu memintanya untuk jadi kekasihnya.
---------------
Cahaya matahari membangunkan Anna yang tertidur dikamarnya. Matanya yang terpejam itu pelan-pelan terbuka karena tertanggu akan sinarnya yang melesat masuk lewat celah matanya. Saat ia bangkit, ia membuka selimut yang menutupi tubuhnya.
Ia lalu teringat dengan Jonas. Pria itu di sini tadi malam. Ia memeriksa tubuhnya, dan hatinya sedikit lega karena ia masih berpakaian lengkap. Lalu ia berjalan ke depan, untuk memeriksa apakah mungkin Jonas tinggal di sana dan tidur di sofa, tetapi ia tidak mendapati siapapun.
Ia melihat semangkuk bubur dan segelas air putih di meja ruang tamu. Anna meraba mangkuk bubur itu dan ia merasakan kalau bubur itu masih panas.
Jam di ponsel Anna sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Ia akan terlambat, tetapi ia tidak terlalu peduli. Ia segera memberitahu Rian lewat chat bahwa ia akan terlambat ke kantor karena harus mengambil mobil di bengkel.
Namun ia tidak melihat satupun balasan dari Rian, meski pesan itu sudah dibaca olehnya. Lalu matanya tertuju pada pesan dari Jonas.
Ku harap kau sudah membaik hari ini. Aku tidak menemukan bahan makanan, jadi aku membelikanmu bubur. Ku harap kau bisa memakannya. Aku harus pulang. Kabari aku jika kau sudah bangun.
Sebenarnya, Anna tidak tahu bagaimana akan bereaksi terhadap semua perhatian yang diberikan Jonas. Hatinya masih terasa masih sakit. Jika ia mengingat orang tuanya, ia akan mengingat Jonas, begitu pula sebaliknya. Tetapi kemarin, ia menunjukkan perhatian sebagaimana mestinya dulu ia selalu berikan pada Anna.
Dari SMP, dia selalu menunjukkan kalau dia adalah seorang pria, sikapnya itu membuatnya lebih dewasa sebelum umurnya. Dan Anna menyukai itu, sampai sekarang, ia sangat menyukai hal itu.
Ia lalu memutuskan untuk menelepon Jonas.
“Anna,” ucap Jonas. Ia mengangkat telepon Anna cepat sekali.
“Kenapa kau langsung pulang?”
“Aku ada sedikit urusan. Apakah kau sudah lebih baik?”
“Aku sudah lebih baik.”
“Apa perutmu masih sakit?”
“Masih, tapi sudah tidak seperti kemarin. Aku akan berangkat bekerja sekarang.”
“Aku bisa mengantarmu.”
“Tidak, aku bisa pergi sendiri.”
“Baiklah. Kabari aku jika kau perlu sesuatu.” Anna lalu menutup teleponnya dan segera bersiap-siap pergi.
-----------
Setelah urusan di bengkel sudah beres, tepat pukul 9 pagi, Anna sampai di kantornya dengan tubuh yang lebih segar. Meski sakit karena haid yang ada masih sedikit menusuk, kini hal itu tidak terlalu mengganggu. Anna masih kuat, dan ia masih bisa menjalani hari ini. Dalam hati, ia bersyukur karena ia bertemu dengan Jonas kemarin malam.
Selesai jam makan siang, tiba-tiba, seluruh karyawan di kantor dipanggil ke ruang pertemuan oleh Rian. Pria itu duduk di depan, dan wajahnya terlihat tegang dan serius.
“Saya sudah memeriksa daftar kehadiran seluruh karyawan di sini. Jam masuk kantor kita efektif mulai jam 8.30 pagi. Tetapi kali ini saya akan merubah itu semua.”
Seorang karyawan lain, teman akrab Anna yang bernama Rona berbisik padanya. “Ada apa ini?” Anna menggelengkan kepalanya sambil mengangkat bahunya.
“Saat ini tingkat ketepatan waktu karyawan di sini kurang baik. Maka dari itu, saya akan mengadakan sedikit perubahan... Kami sudah mengadakan perundingan dengan manajemen hari ini, dan inilah hasilnya. Bahwa, yang pertama, jam masuk kantor akan dimajukan jam 8 pagi. Yang kedua, jika kalian terlambat, maka gaji kalian akan dipotong 50 ribu rupiah per jam. Yang ketiga, kalian tidak diperkenankan keluar kantor, kecuali dengan surat izin yang ditandatangani oleh saya atau ketua yayasan.”
Rian memberikan kertas yang ia baca itu pada Kinan, sekretarisnya, “cetak surat ini dan tempel di papan pengumuman.” Katanya pada Kinan. Ia lalu menatap semua orang. “Saya tidak akan menoleransi apapun pada kalian semua yang tidak disiplin dan tidak menurut pada aturan kantor. Aturan ini berlaku untuk seluruh karyawan. Mulai dari satpam, staff, sektretaris, dan lain-lain, termasuk bendahara.” Sambungnya dengan sorot mata tajam pada Anna, lalu ia keluar dari ruangan itu diikuti oleh seluruh karyawan.
Perubahan itu tidak mempengaruhi Anna. Ia tetap menjalani hari ini dengan baik, dan ia yakin bahwa hari ini ia akan pulang cepat.
Sayangnya, hal itu tidak berjalan sesuai harapan Anna ketika Pak Hendri meminta revisi laporan keuangan di menit-menit terakhir sebelum jam 5 sore. Mengingat revisi itu tidaklah banyak, Anna kembali bersemangat untuk menyelesaikannya dengan cepat. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul setengah 7 malam.
“Anna,” panggil seseorang dari seberang ruangan. Anna mengangkat wajahnya dari berkas yang sedang ia susun ke arah suara itu. Ia melihat Rian sedang berjalan dari ruangannya menuju ruangan Anna.
“Ada yang bisa saya bantu, pak?” Kata Anna dengan sopan.
“Sudah ku bilang, kau tidak perlu formal padaku. Tidak ada orang disini,” kata Rian sambil bersandari di pintu. “Apa kau sibuk malam ini?”
“Kenapa memangnya?”
“Aku ingin mengajakmu makan malam lagi.”
Anna menutup map yang akan diberikannya pada Pak Hendri dan menaruhnya di depan dadanya. “Maaf Rian. Hari ini aku akan di rumah saja.”
“Ayolah, Anna. Aku hanya ingin makan malam denganmu, dan itu tidak akan memakan waktu yang lama,” kata Rian sedikit memaksa.
“Bisakah kita lakukan lain waktu?”
Tanpa menjawab, Rian lalu berjalan mundur saat Anna berjalan maju mendekat untuk keluar dari ruangannya.
Setelah Anna meletakkan laporan itu di ruang Pak Hendri, Anna kembali ke ruangannya dan bersiap untuk pulang. Ia sangat bersemangat untuk pulang saat melihat sesuatu yang ganjil pada mobilnya. Ban depan kanan milik Anna sudah kempis.
“Kenapa lagi ini?” Katanya sambil menendang ban mobil yang kempis itu. Ia meletakkan seluruh barang-barangnya di dalam mobil, mengganti sepatunya dengan sendal jepit dan membuka bagasi belakang untuk mengeluarkan ban serep beserta kunci roda.
Saat ia menurunkan semuanya saat ia melihat sosok yang sudah berdiri di depannya. Rian menggulung lengan kemejanya dan mengambil kunci roda itu.
“Biarkan aku yang mengerjakannya.” Katanya.
Anna menggeleng, “tidak perlu. Aku bisa sendiri. Kemejamu akan kotor.”
“Bagaimana bisa aku membiarkan wanita yang melakukan pekerjaan kasar seperti ini? Mundurlah.”
Anna pun akhirnya mundur dan membiarkan Rian mengganti ban itu untuknya. Anna memperhatikan wajah Rian dan tubuhnya yang sangat proporsional itu. Untuk ukuran pria, secara fisik dia adalah pria yang banyak diidam-idamkan wanita di luar sana. Tetapi Anna belum tertarik dengan cara seperti itu.
Pengalaman mengerikan tentang keluarganya membuat ia menjadi ragu untuk memulai sebuah hubungan, apalagi dengan orang - yang di mana ia tidak begitu merasa nyaman. Ada ketakutan tersendiri baginya yang tak ingin dijelaskan pada siapapun.
“Selesai,” ucap Rian. Ia lalu memandang dengan senang hasil karyanya pada mobil Anna sambil bertolak pinggang.
Anna melihat ban mobilnya telah terpasang dengan sempurna. “Terima kasih Rian.”
Rian lalu memasukkan ban kempis itu dan kunci rodanya ke dalam bagasi mobil Anna dan menutupnya. “Sudah beres. Kau bisa pulang sekarang.”
----------------
Rian telah menjadi seseorang yang sangat peka beberapa hari ini. Anna merasa sedikit tergerak atas seluruh perhatian yang Rian berikan, meskipun aturan baru yang ia buat terkadang sedikit membuat Anna kesal.
Sebelum pulang ke rumah, Anna pergi ke toilet untuk mencuci wajahnya. Ia mengambil air dan menyeka wajahnya sebelum akhirnya mengeringkannya dengan tissue. Anna memandang dirinya di cermin.
Ia bukan wanita cantik, tetapi dia juga tidak begitu buruk. Ia bertanya dalam hati, apa yang membuat Rian tetap mengejarnya? Apakah selama ini ia terlalu kasar pada Rian? Apakah ia terlalu tertutup padanya? Dan apakah ia harus mencoba membuka diri padanya? Ia tidak akan tahu jika tidak mencoba.
Saat Anna mencoba mengenakan make up kembali di lehernya, ia menyadari kalau kalung peninggalan ibunya itu tidak ada. Ia mencari keseleuruh toilet tetapi ia tidak menemukannya. Ia bergegas ke kantornya dan mencari ke seluruh sudut, tetapi benda itu tidak ada. Lalu ia membuka pintu mobilnya dan tak melihat apapun.
Anna kembali ke ruangannya mengambil tas dan kunci mobilnya untuk bergegas pulang. Tetapi di apartemen itu, ia juga tidak menemukan apapun. Ia terduduk di sofa dan mulai bertanya-tanya kemanakah kalung itu sekarang?
Setelah mencari ke berbagai tempat, Anna mulai kelelahan. Ia masuk ke kamarnya untuk mencoba tidur, namun ia tidak bisa. Benda yang amat berarti baginya itu belum juga di temukan. Besok, ia berencana akan bertanya pada teman-temannya dan juga pada office boy.
Ia melewati malam itu dengan kegelisahan karena kalung itu masih hilang darinya.
Keesokan hari itu berlangsung seperti biasa. Seluruh karyawan dianggap lembur bersama hingga jam tujuh malam karena ada acara sekolah yang berlangsung hingga saat itu. Pukul setengah 8, acara tersebut selesai.
Saat sebagian besar karyawan sudah pulang, Anna masih ada di sana bertanya pada orang-orang mengenai keberadaan kalung miliknya. Ia belum ingin menyerah.
Ia lalu meregangkan kakinya sebentar dan memijat kepala belakangnya saat menyadari kalau tubuhnya sudah lelah. Anna meletakkan kedua tangannya di atas meja, menjadikan kedua tangannya itu alas bagi kepalanya dan tertidur di sana sebentar. Entah sampai berapa lama, ia tidak mengingatnya.
Saat ia terbangun, waktu telah menunjukkan tepat pukul 8 malam. Ia merapikan rambut dan pakaian kerjanya, menyusun semua kertas yang ada di meja kerjanya, kemudian melangkah keluar dari ruangannya. Tetapi belum sempat kakinya sampai pada koridor, Anna melihat pintu ruangan wakil kepala yayasan yang berada tepat di seberang ruangannya itu terbuka lebar dan mendapati Rian sedang berdiri didekat pintu sambil melipat tangannya di depan dadanya. Pandangannya sedari tadi tertuju pada Anna. Anna tidak habis pikir kenapa Rian suka sekali memandangnya dengan cara seperti itu, dengan cara yang sedikit creepy.
Seketika ia mulai cemas. “Rian, sedang apa kau disana?”
“Kau cukup lama tertidur,” katanya pelan sambil berjalan ke arah Anna.
Saat Rian berjalan semakin dekat, Anna berjalan mundur hingga tubuhnya menempel pada dinding yang ada di belakangnya. Rian terus maju hingga wajahnya hanya beberapa inchi jaraknya dari wajah Anna.
“Apa kira-kira yang pantas ku lakukan padamu, Anna?” Jawabnya sambil mendekatkan wajahnya ke leher Anna.
Keringat dingin mulai keluar dari kulit Anna. “Apa maumu?”
Rian lalu mundur selangkah, mengangkat tangannya untuk berbuat sesuatu pada Anna. Saking takutnya, Anna menutup matanya.
Beberapa detik kemudian, Anna membuka matanya dan memperhatikan benda yang kini bertengger di lehernya. “Kalungku,” katanya dengan mata berbinar. “Di mana kau menemukannya?”
“Di depan ruanganku. Kau berjalan dengan cepat sampai tidak menyadari kalung ini terjatuh dari lehermu. Aku belum ada kesempatan mengembalikannya karena hari ini aku harus menemani pamanku ke sebuah tempat.”
Anna mengelus liontin kalung itu dengan hati yang akhirnya lega. “Terimakasih Rian,” ucapnya.
“Tapi aku menginginkan balasan,” kata Rian masih tetap dalam posisinya. Rian mundur lagi selangkah lebih jauh dari Anna. “Ayo makan malam denganku.”
Anna terdiam, dengan masih memegangi kalungnya menimbang-nimbang untuk menerima atau menolak ajakan Rian. Ia mempertimbangkan semua keuntungan dan kerugian baginya jika ia menerima ajakkan itu. Tetapi ia tidak menemkan alasan untuk menolak lagi.
Setelah beberapa saat, Anna lalu mengangguk.
---------------
Satu tahun kemudian… Matahari pagi membangunkan Anna dan Jonas yang tertidur lelap di atas kasur di sebuah ruangan yang bukan milik mereka. “Selamat pagi sayang,” kata Jonas pada Anna sambil menggosok matanya. “Selamat pagi,” jawab Anna dengan mengusap wajahnya. Keduanya terlihat kusut setelah melalui malam yang panjang. Bagaimana tidak? Mereka pulang ke rumah Paman Rudy bersama juga dengan Gina dan mereka mengobrol hingga pukul 2 dini hari. Anna menoleh pada jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. Ketika Anna hendak turun untuk membuat kopi untuk Jonas, Jonas tiba-tiba menghentikannya. “Aku ingin menyapa Joanna dulu,” kata Jonas. Anna tersenyum lalu kembali duduk di samping Jonas yang segera duduk dan mengarahkan wajahnya pada perut Anna yang kini terlihat membuncit karena telah ada sosok manusia kecil yang bermukim dalam perutnya selama 5 bulan ini. “Hai Joanna, ini Papamu. Selamat pa
Tiga bulan kemudian… Jreng… suara gitar yang tak beraturan terdengar dari sebuah ruangan yang ada di tengah rumah tersebut diikuti oleh suara anak-anak kecil tertawa cekikikan, menandakan kalau para pelaku keributan itu lebih dari satu orang. Jonas mencari anak yang bernama Dina itu ke ruangan yang dipenuhi dengan instrumen gitar dan menemukan Dina, saudara kembar Dina yang bernama Doni, dan Vika sedang memainkan gitar dengan sembarangan. “Hayo, kalian sedang apa?” tanya Jonas sambil bersedekap. Dina dan Vika terkejut dan mereka berdiri dengan tegang, sementara Doni langsung buru-buru meletakkan gitar itu pada stand yang ada di dekat mereka. Wajah mereka terlihat cemas dan takut dan sambil melirik satu sama lain. Jonas melepas tangannya dan berjongkok, “Doni, Dina, kalian sudah dijemput oleh mama kalian.” Doni dan Dina langsung sumringah dan menghampiri Jonas, menyalaminya dan pamit padanya secara bersamaan, “bye
Satu minggu setelah pernikahan Anna dan Jonas, semua orang akhirnya kembali ke Balikpapan. Jonas dan Darryl sempat cemas pada keadaan ayahnya karena beliau sempat berkata sakit pinggang dan hampir tidak bisa berjalan, sehingga harus menggunakan kursi roda untuk bisa turun dari pesawat. Tanpa menunda, Jonas dan Anna langsung membawa Paman Jonathan ke rumah sakit terdekat. Paman Jonathan menerima perawatan di sana kurang lebih selama satu minggu untuk memulihkan kondisinya yang kelelahan akibat acara. Anna sempat kuatir pada Paman Rudy juga, tetapi lelaki tangguh itu jelas tidak apa-apa dan menuruhnya fokus pada Paman Jonathan yang terlihat lebih lemah dari biasanya. Di rumah sakit, Darryl, Jonathan dan Michelle akan menjaga ayahnya secara bergantian tanpa kenal lelah. Sedangkan Anna akan membawakan makanan dan pakaian ganti untuk mereka setiap harinya. Ketika Paman Jonathan diizinkan pulang, Jonas menyuruh Michelle untuk menyiapkan kamar untuk
“Kenapa wanita itu bisa ada di sini?” tanya Anna saat melihat nyonya Vina duduk di sana seraya menampilkan wajah angkuhnya dan dengan gaun pendek yang tidak cocok dengan usianya. Seketika, perasaan bahagianya langsung sirna, digantikan dengan perasaan takut yang sama sekali tidak menyenangkan. Dengan pakaian minim itu, wanita ini lebih mirip seorang PSK dari pada orang kaya. Nyonya Vina menoleh pada mereka. Jelas, ada yang salah pada wanita ini. Anna dan Jonas sedikit tercengang dengan penampilan Nyonya Vina yang terkesan kusut dan berantakan. Rambutnya terlihat memutih, kerutan di wajahnya terlihat tambah banyak dan beliau terlihat lebih kurus. Nyonya Vina berjalan ke arah Anna dan Jonas. “Halo…” “Halo,” jawab Anna. “Jangan kuatir, oke?” kata Jonas mencoba menenangkan Anna, lalu memalingkan pandangannya pada Nyonya Vina. “Selamat malam, Nyonya. Ada yang bisa kami bantu?” Nyonya Vina menunduk untuk menelan salivanya, la
10 hari kemudian Akhirnya pernikahan itu terjadi juga. Konsep yang mereka pilih adalah konsep pernikahan di taman berumput hijau yang menghadap laut, di mana taman itu masih ada dalam area hotel yang sekelilingnya dipenuhi pepohonan rindang dan lampu-lampu temaram yang bergelantungan. Awalnya Anna ingin menikah di pantai, tetapi urung karena ada potensi gelombang tinggi. Jonas melihat kalau taman itu bukanlah tempat yang buruk, dan memutuskan memilih menikah di sana. Venue utama tersebut terbagi dua. Sebelah kanan digunakan untuk resepsi, sebelah kiri digunakan untuk acara pernikahan. Di area acara pernikahan sendiri telah tersusun kursi-kursi yang terletak di sisi kiri dan sisi kanan, dan menyisakan satu jalan di tengah yang akan dilalui oleh pengantin Acara berlangsung tepat pukul 5 sore menjelang senja yang akan dilanjutkan dengan makan malam di area resepsi yang terdapat gazebo yang digunakan sebagai panggung untuk para perf
Tiga Bulan Kemudian Singkat cerita, Anna shock mendengar berita kepergian Rian. Namun, saat itu, dia sudah jauh lebih tegar. Anna begitu menyesal karena ia tidak bisa menemui Rian untuk terakhir kalinya dan berkata kalau ia telah benar-benar memaafkan Rian. Pak Hendri dan juga Silvanna tidak bersedia memberitahu di mana Rian dimakamkan. Bahkan setelah Anna memaksa, mereka tetap bungkam. “Ini adalah amanat Rian pada kami,” kata Silvanna saat menjelaskan kenapa mereka tidak memberitahunya. “Rian tidak ingin kau temui lagi. Kau harus melanjutkan hidupmu.” Hal itu membuat hati Anna jadi penuh sesak karena rasa bersalah. Namun Silvanna benar, Anna harus melanjutkan hidupnya dengan mengingat seluruh kebaikan Rian. Kejadian ini membuka mata hati Anna, bahwa tidak ada orang yang terlahir dengan hati yang jahat. Tanpa sadar, Rian telah mengajarkan Anna banyak hal. Bahwa kata “jahat” hanyalah sebuah kata yang digunakan orang-orang