[...
"Apa kau menyukainya?"
Aku berpaling melihatnya. Dia bertanya dengan senyum simpul terukir di bibirnya. Saat itu, aku tahu aku telah jatuh cinta pada orang yang duduk di sampingku. Dia terlalu indah untuk tak dirindukan. Saat di hadapan orang lain, caranya berdiri, berjalan, dan menatap orang lain, tak ubah seperti berandalan. Ia acuh dan dingin. Namun, saat bersamaku, entah kenapa yang kulihat hanya kebijaksanaan. Sikapnya saat bersamaku, seakan hanya untuk melindungiku, bukan waspada terhadapku. Aku suka caranya menyandarkan punggungnya, juga caranya menyilangkan kaki saat duduk, semua terlihat anggun. Tapi, caranya memandangku, aku tak tahu. Dia buru-buru mengalihkan matanya saat tak sengaja kami bertemu pandang. Selalu seperti itu, seperti takut untuk melihatku.
"Kakak!" sebutku dalam hati hampir menangis. Ada saat di mana aku ingin dia memandangku, bukan sebagai seorang adik. Tapi, sebagai perempuan seutuhnya, yang diam-diam mencintainya.
Sayangnya, aku berharap bukan pada sebenar-benarnya berandalan jahat, Julian terlalu baik sepanjang yang kutahu. Dia terlalu menjaga perasaanku untuk tetap membuatku merasa memiliki seseorang, juga menjaga pandangannya terhadapku. Julian adalah anjing, yang terlalu setia pada majikannya. Memenuhi janji yang dibuatnya dengan ayahku adalah hidup dan matinya. Membiarkanku terluka, merasa terlecehkan, sama saja melukai kesetiannya sendiri. Dan Julian, tak akan membiarkan itu terjadi.
"Ayahmu... sungguh sangat menyayangimu," katanya dengan senyum yang lebih lebar.
Kisah itu, hanya sekali pernah kudengar terucap dari Julian. Janjinya pada ayah, pada satu-satunya permintaan ayah, agar Julian menjagaku saat ayah tak ada lagi, setidaknya sampai aku memiliki seseorang yang bisa kujadikan sandaran hidup.
"Kepercayaan sebesar itu, dia letakkan pada seorang anak yang bukan apa-apa," katanya lagi.
Saat itu, umurku 21 tahun. Itu artinya sudah lima tahun kuhabiskan waktu bersama Julian setelah ayah meninggal. Aku tahu betapa beratnya dia hidup untuk menghidupiku. Tak lebih dari dua jam tidur setiap malam, lupa kata sakit untuk terus bekerja. Seakan hak hidup individunya terenggut, kecuali untuk kesetiannya terhadap ayah untuk menjagaku. Lalu, sampai kapan aku mau merepotkannya seperti itu? Sampai kapan ia harus hidup untuk melayaniku?
"Ya!" kataku.
Kubilang aku menyukai Nara dan bersedia menikah dengannya.
Pernikahan itu, mungkin membebaskannya dari tanggung jawab yang membebaninya. Namun, aku tak pernah menyangka, aku tak lagi melihat Julian setelah hari pernikahanku.
...]
Sebuah buku terlepas dari genggamannya dan terhempas ke lantai. Ana tersentak.
Masih dengan pakaian yang sama yang ia kenakan kemarin di rumah sakit. Terlalu lelah bermain kucing-kucingan dengan Dokter Ruin, melarikan diri dari rumah sakit. Dan entah sejak kapan ketiduran di ranjangnya sendiri, di kamar seluas 6x6 meter, di mana tempat tidur, meja makan, dan televisi berada di ruang yang sama tanpa sekat.
Ana mengusap rambutnya yang panjang, meresapi sejenak rasa sakit yang menghinggapi kepalanya. Tentang apa yang akan dilakukan hari itu, Ana masih dihinggapi pikiran tentang penyakitnya. Seakan tak berhak dirinya untuk membuat rencana. Kecuali Vanessa...
"Sejam lagi," Ana melihat ke benda bulat dengan jarumnya yang tak henti berputar. Ia berniat menemui anak itu.
...
Hari yang cukup cerah, tidak terlalu teduh, tapi juga tak membakar kulitnya. Aroma Red Rose menyatu lembut dengan sapuan angin. Ana hanya perlu berjalan kaki sekitar dua ratus meter ke sebarang jalan untuk sampai ke sekolah puterinya. Ia sengaja memilih tempat tinggal tak terlalu jauh dari tempat biasa mereka bertemu, taman kota di depan sekolah anaknya.
"Hai, manis!" suara yang diabaikan begitu saja oleh Ana.
Perempuan itu memang cantik dengan rok hitam yang sedikit berada di atas lutut, sementara sifon putih menutup dari leher hingga pinggangnya. Kemeja dengan dua kancing teratasnya sengaja dibuka. Gambaran perempuan liar yang bebas, tapi tetap kelihatan manis.
Jika sudah begitu, siapa yang mengira Ana sudah pernah menikah dan telah jadi ibu.
"Pergi kalian!" Nara memperlihatkan taringnya.
Ana berpaling kebelakang, ia heran sendiri, kenapa bisa menjadi sangat tidak peduli, sampai-sampai tak sadar orang-orang yang coba menggodanya tadi ternyata nekat mengikutinya.
"Mama!" Vanessa berlari ke dekapan Ana.
"Kau ini!" Nara berdecak.
Ana, dalam benak semua orang yang mengenalnya, adalah sosok yang tak mengerti bagaimana bahaya bisa setiap saat menghampirinya.
"Kalian mau pergi sekarang?" Ana dengan wajah yang agak kecewa.
Nara diam sejenak. "Kau tidak apa-apa?" katanya balik bertanya.
"Aku...," justru terpikir tentang kejadian kemarin, "aku baik-baik saja!" katanya.
Sekali lagi Nara berdecak. Dia mengambil langkah ke bangku taman dan duduk di sana. Membiarkan Ana dan Vanessa bersama lebih lama.
Jarang sekali bisa menghabiskan waktu seperti itu, menemani dua perempuan yang menjadi bagian penting hidupnya, peduli dulu Ana masih menjadi istrinya, terlebih ketika Ana memilih bebas darinya. Nara, kadang-kadang tersenyum melihat polah tingkah Ana dan Vanessa ketika bersama. Ana yang ia kenal dulu, begitu lincah, cantik, selalu mengangkat dagunya saat berjalan, dan jarang peduli dengan orang lain. Namun, saat bersama Vanessa, Ana seperti gadis kecil biasa yang dalam di otaknya tak ada hal selain bermain. Ada sisa-sisa kemarahan mengingat Ana yang bersikeras bercerai darinya, dengan alasan yang tak ia mengerti hingga sekarang. "Apakah itu karena sakitnya?" Sudah berpuluh-puluh kali Nara memohon pada perempuan itu agar tetap bersamanya, menghabiskan waktu dengannya meskipun harus menghadapi penyakit yang semua bilang tak ada obatnya. Nara ingin menjadi teman dalam susah senang Ana, namun Ana tak juga mengizinkan.
"Apa salahku?" tanya Nara suatu waktu.
"Tidak ada," jawab Ana seadanya.
"Apa kau tidak mencintaiku lagi?" senyum Nara menghilang saat membayangkan itu. Ada sisi yang sebenarnya tak ia mengerti dari Ana, meski hampir lima tahun bersama. Dalam diamnya perempuan itu saat Nara mengajukan pertanyaan itu. Cinta, mungkin memang tak pernah ada untuk Nara. Selama ini, ia terlalu terbuai terhadap perasaan cintanya sendiri terhadap perempuan itu. Tanpa tahu bahwa Ana hanya melanjutkan hidupnya saja.
"De, aku mau bicara?" pelan Nara.
"Ya."
"Bulan depan aku mau nikah."
Ana tertegun, sejenak memperhatikan laki-laki di sampingnya, yang selalu berpakaian rapi dengan setelan jasnya. Perempuan itu kemudian tersenyum, "Selamat, ya!" katanya.
Nara membalas senyum itu. "Kamu nggak tanya calonku gimana? Nanti dia bakalan jadi ibu Vanessa juga, 'kan?"
"Aku percaya sama, Mas!"
"Lalu...," kata-kata Nara tertahan.
"Emmm..."
"Soal Julian?" sambung Nara.
Ana diam. Senyumnya menghilang. "Kenapa soal dia?"
"Kamu nggak niat nyari Kakak?"
Ana menggelengkan kepalanya. "Semoga dia baik-baik aja."
"Tapi, dia harus tahu...,"
"Dia nggak harus tahu apa-apa," potong Ana segera.
Nara mengangguk dua kali. Bisa mengerti pembicaraan mereka soal Julian tak pernah berlangsung panjang. "Baiklah," katanya. "Aku harus kembali ke kantor," Nara berdiri, kemudian beranjak pergi membawa Vanessa.
Namaku Juliana Segovia. Ayahku seorang desainer terkenal dunia, namanya Julian Andreas Segovia. Ibuku, maksudku... ibu tiriku adalah model terkenal bernama Isabel Clara Denova. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah meninggalkan Paris kecuali untuk berlibur. Itu pun terbatas hanya negara-negara di Eropa saja. Tahun ini usiaku 18 tahun, akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengan ayah karena urusan laki-laki. Aku dan ayah, kami bertengkar seperti sepasang kekasih. Dia bilang dia cemburu melihatku dengan laki-laki lain yang tak jelas kepribadiannya. Kutanyakan padanya tentang alasannya yang tak masuk akal itu. Tentang untuk apa ia cemburu? Dan dia diam saja. Namun, sehebat-hebatnya pertengkaran kami, aku tidak pernah memenangkan orang lain karena aku tahu ayahku adalah orang yang paling meyayangiku. Dulu, sebenarnya aku tidak berpikir seperti itu. Sampai usia sembilan tahun, ayah jarang b
"Aku takut," ucap Julian sambil memegang tangan Ana. Julian menciumi tangan itu berkali-kali. Ana, dia tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Perempuan itu masih terbaring di tempat tidur di ruang perawatan. Ia sedang menunggu giliran untuk operasi Caesar. "Anak kita akan baik-baik saja," ujarnya. "Tapi, bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Julian dalam hati. "Aku hanya menginginkanmu," tegas Julian seolah-olah tidak peduli pada bayi dalam kandungan Ana. Sampai hari itu ia masih tak ikhlas menerima ada bayi di rahim Ana yang membuat perempuan itu harus menghentikan pengobatan kankernya selama hampir sepuluh bulan. "Julian, sayang! Dengarkan aku," Ana meminta Julian fokus kepadanya. "Berjanjilah padaku kau akan me
"Sampai kapan kau akan merahasiakan ini dari Julian? Apa kau sadar, mempertahankan janin dalam kandunganmu bisa berarti membunuh dirimu sendiri, atau justru membunuh kalian berdua." "Ya. Aku dan bayiku, kami mungkin akan mati bersama, itulah kemungkinan terburuknya," Ana tersenyum. "Tapi, jika aku mati dan dia hidup, maka Julian akan hidup. Dan jika aku membunuhnya sekarang, maka aku, Julian dan bayiku, kami semua akan mati." Akhirnya Ruin mengatakan ia gila berkali-kali. Ana mengakui itu, ia menjadi tidak waras karena cintanya pada Julian. Tempat mereka tinggal sekarang, seperti vila yang berada di tepi danau yang indah. Tempat di mana mereka memupuk mimpi dan berusaha mewujudkannya berdua saja. Namun, saat ini tempat itu tertutup kabut. Gelap dan dingin. Julian bilang tidak apa-apa jika ia harus berada di sana, asalkan bersama Ana.
Julian naik ke atas tempat tidur."Dari mana saja?" lirih Ana. Dia pura-pura tidak tahu apa yang Julian lakukan di bawah. Kata-kata Julian pada ayah yang tidak sengaja di dengarnya, membuat Ana merasa ngeri sendiri. Sesuatu yang membuat Ana yakin Julian tidak akan baik-baik saja jika suatu saat dirinya pergi. Dan Ana tak tahu harus berbuat apa agar orang itu berubah pikiran.Ruin memang berbohong, tapi Ana jauh lebih tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Sakit dan perasaan lelah yang sangat, yang lebih banyak ia pendam. Julian tidak menyadari itu. Ana memeluk Julian dan Julian balas memeluknya lebih erat. Sekali lagi Ana berpura-pura tidak tahu, bahwa Julian gelisah dan mencoba meredam isakan tangisnya di bahu Ana. Ana berpura-pura tidak tahu betapa ketakutan akan kehilangan menyergap laki-lakinya sekarang. Ana terpikir satu kali
"Kamu kelihatannya senang banget?" Julian menarik botol air mineral dari dalam kulkas. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil memutar tutup botol."Hari ini pulang cepat, nggak?" tanya Ana.Julian berpikir ada baiknya Ana langsung meminta padanya kalau memang menginginkan dirinya pulang cepat hari itu. Bahkan jika Ana memintanya tetap di rumah, Julian tidak akan menolak. Lagi pula, bukankah jam pulangnya jauh lebih cepat dari yang pernah perempuan itu ingat tentang siapa Julian. Seseorang yang pergi ke kantor di jam Ana remaja masih belum bangun dan pulang ketika Ana sudah terlelap. Sekarang, jadwal pulang terlambat bagi Julian adalah pukul enam sore lewat satu menit dan selebihnya."Memang kenapa?""Orang tua Dokter Ruin mau
"Ada apa denganmu?" Ana menyentuh sudut mulut Julian. Perlahan jemarinya juga mengusap kening laki-laki itu dan menyingkap rambutnya. "Bagaimana mungkin kau tidur seperti ini?" pikirnya lagi sambil memperhatikan Julian yang terpejam dengan kening berkerut.Julian kelelahan. Tentu saja, ia seperti prajurit yang usai berjuang di medan pertempuran. Kemudian datang pada Ana untuk meluapkan stress dan rasa putus asanya. Ana masih ingat jelas bagaimana ia terengah-engah dan hampir menangis ketika mereka seharusnya berada di puncak kenikmatan."Apa aku terlihat hebat?" tanya Julian sesaat setelah ia bisa mengontrol napasnya lebih baik.Ana tersenyum. Ia kira Julian mencoba bercanda dengannya. Tapi, Julian tidak pintar berakting samasekali. Ana sadar ada yang membebani Julian saat itu. Sesuatu