Share

3 - Guilty Feeling

Jika boleh, akan kupersempit semesta hanya untuk kita berdua. Hingga suatu hari kau menghilang, kutakkan kesusahan mencari di mana kau berada. Atau setidaknya tak perlu menahan lebih lama rindu yang tak kunjung mereda nan menyesakkan dada.

***

Asrama Putri, No. 11.

Universitas Galang Udayana, Semarang.

Awal Oktober, 2021.

Langit hampir merona, memberikan gurat oranye kemerahan dengan sentuhan mega yang tersusun tak teratur. Fira masih setia duduk di kursi depan meja belajar. Menatap nanar pada sebuah benda yang membubuhkan kerinduan tak terhingga. Ia ingin menggenggam tangan itu lagi. Tangan yang selalu menariknya tanpa sebuah aba. Membawanya pada sebuah kebahagiaan kecil lalu sekejap pergi meninggalkan rindu yang terus terpupuk subur.

Tirai putih bergambar bunga Lily di kamar itu mengayun lembut. Berombak beberapa kali seolah hendak menyapa satu-satunya penghuni di ruangan dengan lantai yang masih belum juga dibersihkan. Hingga beberapa saat berlalu, pintu kamarnya diketuk lembut beberapa kali.

Fira menghela napas. Siapa yang datang pada waktu senja hampir habis? Teman sekamarnya mungkin akan langsung menerobos masuk saja.

Dengan sedikit malas dan dengkusan kecil, kaki berbalut celana hitam longgar selutut itu melangkah mendekati pintu. Begitu melihat siapa sosok di balik pintu, Fira mematung sebentar—menatap dengan raut tak percaya.

"Kenapa terkejut gitu?" tanyanya dengan nada jenaka, tak lupa dengan senyum jahil yang mencetak gurat-gurat lelah di wajahnya.

"Bundaa!" Gadis itu menghambur dengan cepat ke pelukan wanita paruh baya itu. Matanya hampir memanas. Semoga aja tidak ada linangan air mata yang akan membasahi wajahnya. Sejujurnya, Fira malu.

Tawa lembut berderai dari bibir wanita itu. Saking rindunya, Fira bahkan lupa jika harus membawa ibunya masuk lebih dulu. Hampir sebulan mereka tak bertemu. Disebabkan tugas kuliah Fira yang tiada habis, pun Fira masih takut jika sewaktu-waktu menangis sebab merindukan orang itu.

Fira membawa sang ibu masuk. Namun, baru selangkah, wanita itu membelalak menatap kekacauan di ubin yang terbuat dari kayu itu.

"Astaga, Ra! Kamu abis ngapain?" pekiknya lantas menggeleng tak habis pikir. "Anak cewek kok jorok gini?"

Fira tersenyum kikuk menanggapinya. Lalu tak lama, ia mengutip setiap gumpalan kertas sisa kerjanya yang salah. Ia selalu punya kebiasaan gitu. Mengumpulkan sampah-sampah lalu membuangnya nanti ketika punya mood baik. Kadang ia berpikir, apakah ada orang sepertinya di dunia ini?

— Kamu beda, makanya aku suka. —

Suara itu terputar kembali di kepalanya. Fira berusaha mengeyahkan dengan mengerjab beberapa saat. Kala semua sampahnya sudah terkumpul, ia membuangkan di tong sampah depan pintu kamar. Lantas kembali lagi ke dalam—duduk di sisi sang ibu di atas ranjang.

"Kamu itu udah besar, Ra. Bisa nggak ubah kebiasaannya?" protes wanita paruh baya itu. Rautnya tampak tak main-main.

Jika di rumah sendiri, mungkin Fira akan habis kena omel jika mendapati seupil saja sobekan kertas berserakan. Namun, saat ini Fira tak tinggal di rumah. Tidak ada yang akan mengomelinya. Paling-paling April—teman sekamarnya—yang kadang suka mengomel kalau tidak dibangunkan saat ada kelas pagi. Padahal, Fira sudah lelah membangunkan. Pun begitu, Fira merasa ada yang tak lengkap.

"Iya, Bun. Maaf." Fira menyengir.

Terdengar helaan napas pelan dari ibunya. Wanita itu tersenyum lembut pada gadis yang duduk di sampingnya. Lalu, tangan yang kulitnya hampir mengeriput itu mengusap sayang kepala Fira. Melepaskan ikatan rambut yang seperti janggal di kepalanya. Menyisir lembut surai hitam sepanjang pinggang itu.

Fira melengkungkan bibirnya ke bawah. Membawa kaki menekuk di ranjang, lalu bersandar di bahu ibunya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali. Fira ingin waktu berhenti sebentar supaya biasa terus bermanja pada sang ibu.

"Fira mau pulang, Bun," ujarnya pelan.

Ibu Fira menoleh sedikit. "Hmm?"

"Fira capek belajar."

Gadis itu mendapat hadiah geplakan di pelipisnya. Sembari mengaduh, gadis berkulit kuning langsat itu menarik kepalanya dari bahu sang ibu. Mengusap-usap dahinya yang sedikit perih. Mungkin juga memerah akibat pukulan itu tak cukup dibilang pelan.

"Pikirkan kenapa kamu bisa sampai di posisi ini. Mundur sekarang sama aja dengan kamu merusak apa yang sudah tertata rapi." Ibunya memberi petuah dengan mata menyorot tajam pada sang putri yang menatap ubin kayu di bawah kaki.

Seperti anak pada umumnya, Fira diam mendengarkan. Tak dapat menampik jika yang dikatakan sang ibu benar adanya. Fira tak dapat menghitung seberapa lama dan seberapa lama ia berusaha mendapatkan nilai agar bisa masuk jalur SNMPTN. Kerja kerasnya juga berbuah hasil lain. Ia mendapat beasiswa penuh hingga lulus nanti.

— Kita bisa sama-sama terus, kan? Sekarang, besok, lusa, sepuluh ribu jam atau seratus ribu jam. Cause we'd great together. ...[1]—

Fira ingin meraung, menangis sejadi-jadinya. Entah pantas atau tidak, rasanya gadis itu merasakan sebuah rasa bersalah yang amat mendalam. Ibunya berharap ia bisa menggapai mimpi, punya hidup atau setidaknya ekonomi yang lebih baik dari apa yang mereka punya sekarang. Namun, apa yang seorang Zhafira Freya lakukan? Hanya menghitung jam, menunggu seperti orang bodoh, tersihir rasa rindu, menatap potret seseorang yang mungkin tak merindukannya balik, lalu menangis tanpa suara hingga tertidur.

Gadis itu kembali merengkuh wanita paruh baya di depannya. Ibunya tak perlu tahu soalnya orang itu. Ia tak ingin sang ibu kecewa. Akan tetapi, seharusnya ia memang sudah mengecewakan, bukan? Merenungi rindu yang tak berkesudahan lantas melupakan janji tak terucap untuk menggapai sesuatu, padahal tahu sesuatu itu akan berakhir mengecewakan.

"Maafin Fira, Bun." Ia sesegukan di dada ibunya. "Fira mungkin bakal ngecewain Bunda."

Wanita paruh baya itu mengusap kepala putrinya. Sedikit risau sebab anak satu-satunya itu tiba-tiba menangis. "Ssstt ... kamu belajar aja yang rajin. Bunda bakal selalu dukung kamu kalau memang itu yang terbaik. Hmm?" Ia sedikit melirik pada sosok di dadanya, lalu berakhir memberikan kecupan kecil di puncak kepala gadis itu.

Rasa sesak kian menyeruak dalam dadanya. Fira semakin merasa bersalah. Gadis itu terlalu banyak menyembunyikan berbagai hal dari sang ibu. Ia yakin, wanita paruh baya itu tahu semuanya. Namun memilih bungkam. Sesuatu yang membuat Fira kian merasa sakit. Akan tetapi, ia bersyukur diberi seorang ibu yang seperti bidadari tanpa sayap. Menyayanginya tanpa henti yang berperan tak hanya sebagai seorang ibu, tetapi juga seorang ayah.

Fira sayang Bunda. Maaf, ya .... ucapnya dalam hati. Mengeratkan pelukan pada sang ibu lalu kembali menangis sesegukan. Meluapkan semua rasa bersalahnya yang mungkin takkan pernah tersebutkan.

***

Derit pintu yang tertutup terdengar lembut. Kaki tanpa alas itu kembali berjalan ke arah ranjang, duduk sana dengan helaan napas panjang. Setelah puas meluapkan tangisnya, sang ibu pulang tak seberapa lama. Fira lebih tenang sekarang. Walaupun sebenarnya rasa itu sedikit-sedikit masih mencoba menelusup masuk ke relung hatinya.

Siulan angin menyentuh gendang telinganya. Fira tertarik menoleh ke kiri. Tirai putih bergambar bunga Lily beterbangan hebat, bergelombang sana-sini. Ia kembali bangkit, hendak menatap apa yang sebenarnya ada di balik tirai itu.

Nabastala biru gelap berhias jutaan gemerlap bintang menyambutnya ketika tirai putih itu tersingkap. Ada bulan sabit yang menggantung di sana, seolah memimpin untuk menerangi langit malam itu. Bersinar terang meskipun hanya memantulkan sinar tiga puluh persen saja.

Kadang sempat terbesit di kepalanya, apakah bulan dan bintang bisa menyampaikan pesan kerinduan? Bukan hanya untuk isyarat pengembalian, setidaknya membuat semuanya punya kejelasan.

Ah, gadis itu sampai lupa. Tadi siang April pamit pergi. Katanya akan membeli peralatan kuliah. Sekarang sudah hampir pukul delapan malam, tetapi batang hidung gadis itu tak juga terlihat. Kira-kira ke mana tersangkutnya dia?

Ketukan di pintu terdengar lagi. Lebih lembut dari yang ibunya berikan. Fira menoleh ke belakang. Itu bukan April. Jika iya, gadis itu akan langsung menyerobot masuk dan melempar barangnya asal, lalu tidur tanpa bebersih atau ganti baju. Fira sudah hapal kebiasaan sahabatnya itu.

Sebelum melangkah menuju pintu, Fira menyempatkan diri untuk menutup jendela lebih dulu. Kala pintunya sudah terbuka setengah, ia tak menemukan siapa pun. Hanya lorong panjang yang kosong dengan pintu-pintu yang tertutup rapat.

Fira mengernyit heran. Orang iseng? Ia melangkah keluar, melirik kanan-kiri kalau-kalau si pelaku ternyata masih ada di sana. Namun, hanya angin yang menyentuh kulitnya. Juga suara jangkring yang membuat konser malam hari.

Untungnya, manik kecoklatan itu melirik ke bawah sebelum masuk kembali ke kamarnya. Secarik kertas putih tergolek tak berdaya. Hampir terbang sebab angin yang seolah hendak mengamuk. Fira membawanya masuk, tak lupa menutup pintu.

...-------...

Hai!

Kamu baik-baik aja, kan?

Jangan hilangkan senyum itu di sana ya.

...-------...

Memo yang singkat, padat, dan tak jelas. Tak ada nama pengirim atau alamatnya. Terkesan seperti yang dibuat dalam waktu tergesa-gesa. Gurat bingung di dahi Fira semakin dalam. Bertanya dalam diam siapa yang kira-kira iseng memberinya hal begini.

***

[1] Penggalan lirik milik Ariana Grande — goodnight n go.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status