Share

4 - Pieces of Memory

Semakin tinggi harap, akan semakin sakit ketika dijatuhkan. Itu sebabnya orang melarang untuk berasa pada yang tak pasti. Terutama pada cinta yang akan selalu berujung perih.

***

Asrama Putri, No. 11

Universitas Galang Udayana, Semarang 

Awal Oktober, 2021

Angin membuat pepohonan saling menggesek dedaunan. Terdengar merdu ketika memasuki sebuah ruangan senyap ketika penghuninya sibuk menatap lembaran memo singkat di ujung jari. Aksaranya tak hanya membawa bermacam pertanyaan, tetapi juga ... sebuah harapan.

Apa ini dari Arya?

Jantungnya berdegup kencang, darah berdesir hebat. Fira merasa sesak, seperti kehabisan oksigen. Matanya hampir memanas. Hendak melesakkan air mata yang siap kembali turun.

Namun, ia lekas tersadarkan. Harapnya hanyalah sekedar asa. Semesta akan terlalu baik untuk mengabulkan semuanya.

Manik kecoklatannya mengerjab sebentar. Mencoba menahan dinding yang hendak roboh lagi itu. Tidak, jangan lagi. Jika begini, Fira akan kembali ditekan rasa bersalah terhadap ibunya.

Akan tetapi, sisi lain dari kepalanya mencoba untuk memberontak. Fira mendongak, menatap pintu bercat putih di depannya. Dia hanya memastikan. Berharap dalam diam jika mungkin seseorang itu berdiri di balik pintu ini dengan senyum yang menampakkan lengkungan dalam di pipi, gigi-gigi berjejer rapi, juga rentangan tangan untuk mendekap erat. Menumpahkan segala rindu yang tak pernah terucap atau terlukis secara jelas.

Tangannya sudah berada di handle pintu, detak jantung kian berdentum hebat. Gadis itu menghela napas panjang sebelum akhirnya menarik daun pintu untuk terbuka.

Harapnya runtuh. Sayang sekali menaruh harap pada angin, ia bahkan tak mau tahu jika kau beringin. Anganmu sekedar terbang, mengambang sebentar, lalu hilang.

Sebenarnya sakit yang dirasakan Fira tidak begitu menusuk. Ia sudah terbiasa dengan harap tinggi yang tiba-tiba dilesakkan ke dalam tanah agar tak kembali naik. Pun, di depan pintu itu, telah berdiri seorang gadis dengan tangan yang seperti hendak menggapai handle pintu. Dengan berbagai bungkusan memenuhi kedua tangan, ia memberikan cengiran lebar pada Fira.

"Woahh, Fira! Kamu kayak cenayang, deh, bisa tau kapan aku pulang!" seru gadis itu heboh, lalu menerobos masuk dengan sepatu hak setinggi tiga sentimeter.

April tidak tahu, padahal Fira bukan berniat membukakan pintu untuknya.

Fira melotot. "Heh, sepatu!" Entah apa saja yang alas kaki itu injak di luaran sana. Mengapa April dengan seenaknya menjejakkan sepatu itu di lantai yang biasanya tempat mereka makan bersama?

Gadis berbaju putih dan bercelana denim biru tua itu meletakkan kantong-kantong plastik putih di kaki ranjang dekat dengan meja belajar. Fira tidak tahu berapa banyak dan apa saja yang April beli. Akan tetapi, itu benar-benar mengganggu mata.

"Eh—" April melirik ke bawah, pada kaki sendiri, lalu tertawa cengengesan. Melepaskan dengan tergesa sepatu berhak setinggi tiga sentimeter berwarna kebiruan itu. Matanya tak lekas lepas dari Fira yang bersandar di daun pintu dengan raut mengintimidasi.

Sementara Fira menggeleng pelan lalu berjalan santai ke ranjang tingkat dua, April sendiri melesat masuk ke dalam kamar mandi dengan baju ganti dalam pelukannya. Fira sendiri menjatuhkan diri di ranjang bagian bawah, bersusah payah menggapai benda persegi yang tergeletak tanpa daya di atas meja belajar.

Ia akan mengisikan daya untuk ponselnya. Seharusnya, hal tersebut tak lagi penting. Mengingat, tangannya akan jahil mencoba menghubungi yang tak semestinya dan membuka memori lama yang menyayat raga. Hanya karena Fira masih membutuhkan informasi dari kampusnya. Tugas mendadak atau mungkin jadwal mata kuliah yang tiba-tiba saja dibatalkan.

"Ra," panggil April begitu ia keluar dari kamar mandi. Fira menoleh. "Tadi aku teleponin nggak aktif. Padahal mau nanya minta dibeliin apa."

Fira menghela napas panjang. "Habis baterai."

Langkah gadis berwajah oriental dan berkulit lebih putih dari Fira itu menuju bungkusan-bungkusan di dekat meja belajar. "Oohhh ...." Nadanya terdengar sedikit abai. "Nggak heran, sih." Lantas menyambung seakan sudah terbiasa dengan hal tersebut.

"Perginya siang, pulang malem. Kamu kayak kerja keras bagai kuda. Padahal ternyata ngabisin duit." Fira berdecak keras, mencibir teman sekamarnya yang mengeluarkan berbagai benda yang ia beli. Ternyata isinya lebih banyak makanan ringan dibanding alat-alat perkuliahan yang April bilang sebelum pergi siang tadi.

Gadis yang duduk di ranjang itu mengubah posisinya menjadi telungkup, menghadap pada April yang masih sok sibuk. "Kayaknya kamu ngeborong isi supermaket."

"Ya, iya," sahutnya semangat, tetapi seolah menyadari sesuatu lalu menoleh pada Fira. "Eh, enggak. Aku kan belinya satu-satu, jadi nggak bisa dibilang ngeborong."

Bentuk pembelaan yang baik sekaligus bodoh. Fira hanya menghela napas panjang lalu membalikkan tubuhnya. Menatap ranjang di atasnya yang beralaskan besi berwarna biru keabu-abuan. "Jadi kamu nggak beliin aku something karena telepon aku mati?"

"Beliin, kok!" Suara April terdengar bersemangat. "Kalau mau, kamu bisa makan jajanan ini. Aku letakinnya di sini aja." Terdengar lagi suara kasak-kusuk plastik yang bergesekan. "Tapi aku beliin juga kamu mie aceh. Kamu suka, kan?"

Fira mengulum bibirnya. Ia lumayan suka jenis makanan dari daerah Sabang itu. Hanya saja, sekarang sudah cukup larut untuk makan makanan berat. "Kamu beli di mana?" Anehnya, malah kalimat itu yang terlontar dari bibirnya.

"Itu ... di dekat SMA ..., aduh, apa ya, namanya?" Tanpa melihat pun, Fira tahu jika April pasti tengah menggaruk kepala di bagian dekat ikatan rambutnya. "Eh, bodoh! Itu, loh, SMA kita dulu. Pikun aku." Suaranya lantas terdengar merengek.

Ah, baiklah. Fira kehilangan selera untuk makan sekarang. Kedai mie itu terletak di depan sekolahnya dan April dulu. Tepat di depan halte. Baru buka saat mereka baru pertama kali bersekolah di sana.

"Nih, ambil. Mumpung masih anget mie-nya."

"Nggak usah. Aku nggak laper," sahutnya sembari berpaling. Memilih memutar diri untuk menyamankan bantal putih dan selimutnya—hendak beristirahat sebentar dari semesta yang kerap kali mempermainkan.

Padahal sebetulnya, ia yang terlalu berekspektasi tinggi.

"Loh?" April menyipitkan mata. Gadis dengan wajah oriental itu melongok ke ranjang. Di sana, Fira sudah terbaring dengan selimut berwarna putih yang sudah menutupi sekujur tubuh termasuk kepala. "Padahal biasanya suka mie aceh," gumamnya kemudian.

Gadis dengan piyama biru muda itu menatap lagi bungkusan mie di depannya. "Terus, yang mau makan siapa?" April mengernyit sebentar lalu bergidik acuh. "Ya, udah. Aku aja kalau gitu."

Di dalam selimut, Fira termenung. Berusaha mencegah kembali kepingan memori yang mencoba melesak masuk dalam ingatannya. Bersusah payah membuka pintu yang Fira tutup rapat-rapat. Namun sayangnya, pintu itu tak terkunci. Membuat kepingan itu dengan mudah masuk. Meluluhlantakkan pertahanan tak seberapa yang Fira miliki.

Ternyata gini, sakitnya rindu tak terobati. Tangis tanpa isak, juga memori yang tak ingin diingat malah masuk melesak.

***

SMA 1 Perwira

Semarang 

Pertengahan September, 2019

Tiupan angin yang membekukan kulit lantas menggelitik begitu kakinya menapak di beton dalam naungan halte. Bibir tipis gadis itu meniup pelan saat matanya menangkap jarum-jarum halus turun menghantam bumi. Kian deras. Pun nabastala berisyarat jika beban yang turun akan bertahan lama. Membuat Fira berpikir sejenak, mungkin ia akan terjebak di sana dalam beberapa jam ke depan.

Sangat aneh. Padahal saat pagi hingga menjelang siang tadi, langit tampak sangat terang. Saking bersihnya, bahkan mega seolah tak mau mengotori birunya nabastala. Pun, seharusnya di bulan ini kemarau yang merajalela.

Gadis berseragam putih abu-abu juga tas sandang berwarna peach itu menghela napas panjang-panjang. Sembari menatap angin yang mengarak gumpalan-gumpalan mega berwarna keabu-abuan, kedua tangannya saling menggosok—hendak memberikan hangat kala angin kencang tiba-tiba menerpanya membawa serta tempias rinai.

Keadaan halte di depan sekolah yang tadinya ramai kian berganti dengan sepi. Beberapa siswa telah dijemput, baik dengan sepeda motor maupun mobil. Sedangkan bus yang biasanya sudah melimpir di depan situ, tak juga kunjung kelihatan. Semakin lama, hanya tinggal dirinya yang berdiri di sana. Memeluk diri sendiri berharap angin yang mengembus tubuhnya terhenti, pun dengan hujan yang tampaknya tak reda dalam waktu dekat.

"Haaahhhh ...."

Lenguhan panjang dari seseorang bersuara sedikit berat memenuhi pendengaran gadis itu. Kepalanya tertarik menoleh dengan cepat pada kiri halte. Seorang lelaki dengan celana training hitam bergaris putih, sepatu olahraga berwarna putih, serta jaket hitam parasut, juga topi hitam tiba-tiba menjejakkan kaki di bawah naungan halte. Napasnya agak tersenggal, seperti baru saja berlari dari sekolah melewati hujan lalu memilih bernaung di halte.

Aneh sekali, padahal jika di sekolah, lelaki itu bisa masuk dalam kelas. Tidak terkena hujan dan lebih hangat. Berbeda dengan Fira yang memang sudah di sini sejak titik air pertama dari langit turun membasahi bumi.

Tampaknya lelaki itu belum menyadari keberadaan Fira di sana. Terlihat dari ia yang sibuk menepuki jaket parasutnya yang mungkin hampir basah. Barulah beberapa saat, ia melempar tatap pada Fira.

Gadis itu mengernyit heran. Pasalnya, topi yang digunakan lelaki itu hampir menutupi separuh wajah, jadi ia tak dapat mengenali dengan pasti.

"Eh, kamu!" panggilnya seolah sedikit terkejut, lalu berakhir pada derai tawa ringan.

Fira masih bertahan dengan kernyit bingung. Berkedip beberapa kali.

"Oohh ...." Ia tertawa lagi. Tawa yang sepertinya Fira kenal, tetapi tak yakin. Takut-takut jika salah. Seolah mengetahui raut wajah Fira, lelaki itu melepas topinya, lalu tersenyum hingga hampir menampakkan deretan giginya. "Masih inget, kan?"

Gadis yang masih memeluk diri sendiri itu tersenyum canggung lantas mengangguk singkat. Kepalanya kembali menghadap depan, pada tetesan hujan yang turun malah kian menderas jatuh berdebam di aspal hitam. Ya ... bagaimana Fira tak ingat. Tentu saja. Lelaki yang sama dengan yang memberinya buku mengenai Virus, juga lelaki yang sama dengan yang ia beri sebotol air minum beberapa hari lalu. Fira ingat. Mana mungkin lupa.

"Belum dijemput, ya?" Arya bersuara lagi. Fira merasa jika lelaki itu memangkas jarak di antara mereka. Ia merasakan jika bahunya sedikit tersenggol.

Gadis itu menurunkan tangannya. Melirik singkat pada insan di sebelah. "Enggak juga. Lebih tepatnya nunggu jemputan."

"Hmm?"

Fira yakin lelaki itu pasti sangat bingung dengan ucapannya. Gumam tanya dan mungkin alis lelaki itu juga saling bertautan. Akan tetapi, Fira tak perlu memastikan. Cukup membayangkan.

"Maksudnya nunggu bus."

"Oohhh ...." Arya menderaikan tawanya lagi. Namun, berakhir terdengar seperti canggung di telinga Fira.

Sepertinya, bukan hanya dirinya yang ikut canggung jika saling dipertemukan lagi seperti ini. Masalahnya, Fira tak lagi bisa berlari seperti kemarin. Paling-paling hanya menyembunyikan wajah akibat mengatakan hal yang sangat bodoh.

Baru sebentar, Fira merasakan tubuhnya dituntun untuk mundur. Arya menyentuh kedua pundaknya lalu membuat gadis itu bergerak beberapa langkah ke belakang.

Melihat Fira yang beraut penuh tanya, Arya menjawab dengan senyum tipis. "Itu. Kalau terlalu ke depan, bakal kena tempias hujan. Terus, anginnya juga lebih kencang." Lalu, kalimat itu berakhir dengan ia yang menyentuh tengkuk sendiri. Lantas, hening kembali.

Lelaki itu bahkan tak butuh memberikan jaketnya untuk menjadi seorang gentleman. Cara lain untuk membuat seseorang tetap hangat adalah dengan bersikap hangat.

Awalnya, gadis itu tak mau memecah hening di antara mereka. Tak mau mengganggu suara butiran hujan yang turun merajalela menapaki bumi. Namun, ada satu pertanyaan mengganjal di kepalanya yang membuat Fira mau tak mau harus bertanya.

Fira menoleh ke kanan—pada Arya yang tampak menengadah menatap hujan dari loteng halte. "Dari mana kamu tau kalau kita itu sama-sama kelas sepuluh?"

"Hmm?" Arya menoleh, tampak berpikir sejenak. Lantas tak lama, ulasan senyum hangat muncul di bibirnya. Seolah bisa menghangatkan naungan halte yang dingin beberapa waktu terakhir. "Mudah aja. Aku pernah liat kamu pas MPLS." ...[1]

Fira mengernyit lalu mengangguk paham. Itu artinya mereka pernah berada di satu tempat yang sama. Lelaki itu melihat—atau mungkin juga memerhatikan—sayangnya Fira bahkan baru mengetahui Arya dua bulan sejak masa itu.

"Oh!" Fira hampir terperanjat akibat seruan lelaki di sampingnya. "Maaf, maaf," ucapnya lalu berakhir tawa. "Kamu belum ngasih tau nama kamu."

Sama seperti terakhir kali, Fira hanya memberikan senyum tipis lalu beralih menatap ke depan. Hujan tak kunjung reda, masih betah turun. Pun, bus kota juga tak kunjung kelihatan. Ada apa dengan semesta? Mengapa seolah berencana untuk menjebak dua insan itu di sana?

"Ey!" Arya menepuk bahu Fira. Membuat gadis yang sekarang kembali memeluk tubuhnya itu menoleh lagi. Berkedip beberapa kali. "Kalau ada orang yang nanya itu, dijawab atuh, Neng. Ibu saya bilang, tak sopan."

Tiba-tiba aksen bicara Arya berubah. Fira ingin tertawa, tapi ia menahannya sekuat tenaga. Pada akhirnya, ia hanya tersenyum sembari menghela napas.

"Bunda bilang, jangan kasih tau nama sama orang asing." Fira memberi jeda. "Terutama sama cowok." Ia menyentuh bahu Arya dengan telunjuknya sejenak. Lantas, gadis itu kembali menatap ke depan dengan senyum yang dikulum.

Jeda sebentar. Tidak. Ini terlalu lama. Akan tetapi, Fira tak berani menoleh. Takut jika nanti matanya bertubrukan dengan manik semisterius danau itu.

"Hoo ... baiklah." Arya menghela napas panjang. "Kalau aku panggil cewek senyum aja gimana? Soalnya kamu suka senyum-senyum kayak sekarang gini."

Senyum di bibir Fira berganti lekuk bingung. Alisnya bertaut sebentar lalu berkedip beberapa kali. Tak lama, ia menghela napas panjang lalu tersenyum tipis lagi. Cowok yang aneh.

"Atau ... mau dipanggil cewek kedip-kedip? Kamu kalau lagi bingung suka kedip-kedip soalnya." Tawa Arya berderai lagi.

Fira menoleh dengan cepat, bingung harus berekspresi bagaimana. Lelaki di sampingnya itu tertawa hingga matanya hilang. Sedikit lucu. Sudut bibir gadis itu naik lagi. Bentuk sebuah rasa kagum.

...

Why'd you have to be so cute?

It's impossible to ignore you.

...[2]

...

Apakah terlalu cepat untuk jatuh sekarang? Seluruh dunia seolah mengabur. Dentuman hujan yang jatuh di atap halte dan menabrak aspal tak lagi didengarnya. Hanya tawa renyah milik lelaki di depan ini. Juga, tak ada bangku, tiang penyangga halte, atau tanaman menjulang hijau di belakang mereka. Semuanya mengabur. Berada pada satu titik fokus. Arya.

Suara klakson lantas menyadarkan Fira dengan cepat. Ia menoleh ke depan, sebuah bus berwarna putih berhenti. Gadis itu melirik lelaki di sampingnya. Dia tak lagi tertawa. Hanya memberikan senyum hingga membuat pipi kirinya berlubang.

"Aku pulang duluan, ya," pamit Fira kemudian beranjak menuju pintu bus. Sebelum itu, tak lupa ia memberikan sebuah senyum tipis.

"Daahh ... cewek senyum!" pekiknya begitu Fira baru saja menutup pintu bus.

Dari balik kaca, gadis bisa melihat jika tangan kanan Arya melambai padanya. Lagi-lagi, Fira hanya tersenyum menanggapi. Sepertinya, panggilan itu memang cocok untuknya. Fira selalu tersenyum kalau  dekat dengan Arya.

Bus bergerak, dimulai dengan berjalan lambat lalu melaju. Dari tempat duduknya, dari balik kaca bening yang terlihat kehijauan, Fira masih bisa melihat Arya ikut menatapnya. Menampilkan senyum yang tak lantas memutar.

Bukan, bukan Fira yang memang suka tersenyum. Lelaki itu yang membuatnya melakukan itu.

***

[1] Untuk yang belum tau, MPLS itu punya kepanjangan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah. Sekarang lebih dikenal dengan MOS (Masa Orientasi Siswa).

[2] Penggalan lirik milik Ariana Grande - goodnight n go.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status