Share

7 - Looking for Answer in A Place Unknown

Orang bilang, lebih baik mencari yang baru daripada menunggu. Namun, apakah orang baru menjamin akan lebih baik dari yang ditunggu?

***

Awal Oktober, 2021.

"Iya, Bunda." Bibirnya melengkung tipis, lalu menguarkan tawa lirih.

Kaki berbalut celana capri panjang kecoklatan itu melangkah pelan di atas bahu jalan dengan tangan sibuk menahan benda persegi ke telinganya. Trotoar itu memanjang, sedikit berkelok berwarna keabu-abuan. Setiap sepuluh langkah sekali, ada pohon mahoni berdaun lebat yang menaungi setiap langkahnya. Membuat siang yang agak terik itu berubah sedikit sejuk.

Sesekali, dedaunan coklat keemasan menghambur jatuh ke arahnya. Menghias senyum tulus Fira yang mendengar seseorang di seberang sana berceloteh ria. "Fira juga rindu, Bunda. Apalagi rendang. Uhh! Pengen pulang jadinya."

Lucunya. Gadis itu masih merindukan bundanya padahal kemarin baru saja berpeluk sayang.

Tetap saja. Untuk orangtua sendiri tak ada yang melarang ingin merindu berapa lama. Apalagi Fira adalah anak satu-satunya. Rumah bundanya pasti akan sangat sepi. Apalagi lokasi rumah yang tak bisa dibilang dekat, membuat Fira kesusahan kalau-kalau nanti rindu mendekapnya. Untung saja sang bunda peka—beberapa waktu sekali datang ke asramanya—meskipun sebulan terakhir mereka sempat tak bertemu. Entah apa yang terjadi, Fira tak tahu. Mereka hanya berhubungan lewat panggilan saja waktu itu.

"Oke, Bunda. Jaga kesehatan, ya." Lagi ia tersenyum bahagia. Seolah kebahagian hanya berpusat pada suara yang hampir menua itu.

Tak lama setelahnya, gadis itu tertawa kecil lagi mendengar ucapan di seberang sana. Sebelum akhirnya memutus panggilan dengan wajah yang masih mematri senyum lembut menatap ponsel di genggaman.

Manik kecoklatan itu berbinar menatap ponsel dengan layar gelap itu. Fira hendak menempatkannya di antara tumpukan buku yang ia peluk di tangan kanan. Akan tetapi, dering nyaring membuatnya urung. Ia menatap layarnya sebentar, menekan icon hijau, lantas mendekatkan kembali ke telinga.

"Astaga, Fira!" pekik suara di ujung sana. Gadis itu sampai harus menjauhkan ponselnya sebentar-merasa pengang. "Aku daritadi nelponin kamu terus, loh. Sibuukkk ajaaa. Kamu nelpon siapa, sih?" April terdengar gemas dan kesal dalam satu waktu. Fira tahu siapa yang ada di kepala sahabatnya itu.

Fira menghela napas pelan, lanjut menambah langkah. "Tadi telponan sama Bunda."

"Oohhhh ...." Fira bisa mendengar lenguhan panjang dari seberang sana. April sepertinya lega. "Tadi jadi, kan?"

Fira menurunkan laju langkahnya begitu melihat jembatan putih terpatri sederhana melintasi sebuah aliran air dangkal. Kemudian, ia disambut dengan pohon Bintaro dengan daun yang sebagiannya berwarna kemerahan—hendak berguguran. Juga ada buah yang hijaunya benar-benar memanjakan mata. "Jadi, kok. Aku udah di sini."

"Bener kamu udah di sana? Haaaahh ...." April melenguh lagi, terdengar frustrasi. "Tungguin aku, ya, Ra. Ini katanya si dosen bakal balik, tapi enggak balik juga. Huweee ...."

Fira tersenyum tipis, walau tahu tak dapat dilihat. Beberapa langkah, bangunan full terbuat dari kayu berwarna putih susu dan kaca yang langsung menembus suasana di dalam membuat matanya berbinar sejenak. Ia memaku diri tak seberapa jauh dari pintu masuk yang sepenuhnya kaca tembus pandang itu. "Iya. Aku-aw!"

"Raa ...."

Suara di seberang sana terdengar khawatir, tetapi Fira tak mengacuhkan. Seseorang menabrak bahunya. Entah sengaja atau tidak, ia tak mengerti. Yang paling mengerikan, orang itu seperti seorang pria yang tentu saja membuat nyeri di bahu kanan Fira. Apalagi dengan beban buku di pelukannya. Lengkap sudah.

"Raa! Kamu kenapa?"

Fira berbalik, hendak mencari tahu siapa yang baru saja menabrakkan diri padanya. Sayang, tubuh berbalut jaket merah itu sudah menjauh—melewati jembatan putih yang tadi Fira lalui. "Uhh, enggak pa-pa, kok. Tadi ada yang kurang kerjaan nabrak orang."

"Kamu ditabrak? Ditabrak motor? Atau mobil? Pendarahannya parah, nggak?" Fira hanya merotasikan matanya.

"Enggak—"

"Eh, Ra. Dosennya dateng. Entar, ya. Bentar lagi aku nyampe. Kita cerita."

Baru saja selesai bergumam, nada khas panggilan terputus mendengung di telinganya. Fira hanya geleng-geleng kepala.

Kakinya hendak mematri langkah menuju pintu masuk, tetapi kepala lebih dulu tertunduk—entah untuk apa. Sayangnya, sepucuk kertas yang tampak tak asing tergeletak di atas rerumputan-memunculkan keinginantahuannya. Fira mengutip kertas itu dengan tangan bebas.

...-------...

Maaf untuk tabrakan itu.

Aku benar-benar enggak tahu bagaimana memberikan memo tak jelas ini padamu.

Kali ini akan kupastikan ini jatuh di tanganmu, gadis yang memakai kemeja mocca. Juga senyum yang mematri indah sepanjang siang.

Ngomong-ngomong, aku suka ketika wajahmu memakukan senyum cukup lama.

Lakukan itu selalu.

Terima kasih.

...-------...

Semilir angin tetiba mengamuk, menerbangkan rambutnya yang terikat rapi. Gemerisik dedaunan yang seharusnya menenangkan malah membuat gadis itu agak terganggu. Tanpa sadar, kepalanya kembali menoleh ke belakang. Menatap pada jembatan putih dengan ukiran sederhana memanjang di atas aliran air dangkal di depan kafe yang hendak ia masuki.

Diam-diam, Fira berbisik pada angin, gemerisik angin, dan juga rumput sedikit panjang yang ikut bergoyang. Kalau perlu, tambahkan juga mega berarak mengotori langit biru muda. Menyisipkan harap jika ia adalah lelaki yang sama. Yang ia tunggu kehadirannya beberapa waktu terakhir. Yang Fira pinta agar rindunya cepat-cepat memudar.

...

You're looking for answers in a place unknown

Painting stars up on your ceiling

'cause you wish that you could find some feeling.

... [1]

...

Kepalanya tertunduk, menatap rumput yang lebih hijau di bawahnya akibat tertimpa bayang. Kenyataan menyakitkan menghantam dada. Berharap pada angin, gemerisik dedaunan, rumput yang bergoyang, atau mega yang berarak hanya perumpamaan. Fira hanya terlalu banyak berasa, hingga lupa ia menggantungnya pada sesuatu yang bahkan tak dapat memastikan.

***

Akhir September, 2018.

Kegaduhan menyeruak, menggedor gendang telinganya dengan paksa. Fira pening, tetapi malas juga menanggapi teman-teman sekelasnya yang saling berbicara keras. Ada yang bersemangat tentang event mendadak pajangan di majalah dinding beberapa hari lalu.

Ada yang protes mengapa tugas hari ini begitu banyak. Ada yang meminta sontekan tugas dari ujung ke ujung. Bahkan ada pula yang acuh tak acuh bernyanyi sekuat tenaga hingga urat-urat lehernya kelihatan.

Telinga gadis itu pengang. Namun, hanya bisa menghela napas panjang dengan tangan memangku wajah di atas meja—menatap lelah pada mereka-mereka yang sibuk dengan ukuran suara sendiri.

Fira sendiri sampai bingung, di luar langit cerah, mentari bersinar terang. Saking terangnya hampir membakar lapangan. Semakin terik, seharusnya kondisi tubuh sudah lemas, tetapi delapan puluh persen penghuni kelas malah lebih bersemangat daripada pagi tadi. Gadis itu sendiri sampai heran, diberi makan apa mereka oleh ibunya?

"Psstt! Pssstt!"

Fira memiringkan kepalanya sedikit ke arah kiri. Tempat duduknya berada di barisan kedua, tepat paling tengah. Seseorang memanggilnya dengan bisikan. Lucu sekali mengingat sekeliling mereka berlomba volume suara siapa yang lebih besar. Untungnya telinga Fira cukup peka.

"Kamu udah siap belum tugas Sejarah?" bisiknya dengan manik berbinar. Melempar tatap dengan bibir mematri senyum.

Kepala yang tadinya terpangku di tangan, mulai menegak. Dahinya berkerut sebentar. "Udah. Kenapa?"

April, gadis berambut bergaya bob itu menggeleng cepat dengan senyum yang masih bersitahan di wajahnya. "Enggak pa-pa, nanya aja." Lantas tawa kecil bersuar dari bibirnya.

Ia lanjut berfokus pada buku terbuka dengan beberapa tulisan mengotori setiap kolom. Menuliskan lagi untaian kalimat untuk menjawab pertanyaan yang tadi disiapkan guru yang mengajar, sebelum akhirnya wanita berambut sebahu itu keluar kelas.

April adalah teman pertamanya di sekolah ini. Mereka bertemu pertama kali saat masa MPLS, lebih tepatnya saat waktu istirahat para peserta tahun ajaran baru. Fira waktu itu duduk sendirian di taman, di bawah pohon cemara laut beralaskan batu besar kehitaman, memakan makan siangnya dalam keheningan.

Lantas, April yang waktu itu juga sendirian, menghampirinya. Ia punya sekotak bekal makanan juga, tetapi tak bawa air minum. Awalnya perbincangan mereka hanya sekadar boleh tidak saling duduk berdampingan dan meminta air. Namun, lama- kelamaan mereka semakin dekat. Apalagi sejak pengumuman bahwa mereka juga sekelas.

Fira itu seperti danau yang tenang, sedangkan April seperti riaknya. Mereka cocok. Keduanya bersyukur untuk itu, meskipun beberapa kali tak bersepakat.

Kerutan di dahi Fira semakin dalam. Itu saja? Biasanya orang yang bertanya seperti itu adalah tipe-tipe yang ingin meminta jawaban. Namun, mengapa April ...? Ah, apa jangan-jangan gadis itu memilih berkode agar Fira memberikannya secara suka rela?

Pintu menjeblak terbuka, padahal Fira baru saja hendak memanggil April—memastikan pemikirannya. Gadis itu mau tak mau kembali mengatupkan bibir dan memilih memandang ke pintu kelas. Tak hanya dirinya, semua penghuni kelas juga memaku tatap di sana. Di depan pintu, berdiri sesosok wanita paruh baya dengan seragam dinasnya yang berwarna kuning keemasan dengan tatapan menyorot tajam dari balik kacamata kotaknya.

Seisi kelas seketika hening, seolah sosok itu baru saja menyihir setiap orang yang ada di sana untuk menjadi bisu dan mematung memandanginya. Namun, hal itu berjalan hanya sepuluh detik saja. Sepuluh detik yang kemudian membawa kegaduhan lagi. Para siswa yang tadinya ada yang duduk di atas meja dan entah di mana saja, lantas grasak-grusuk menemukan tempat duduk sendiri. Sesudahnya sebagian besar murid-yang merupakan paham dengan kesalahan-menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Kalian ini, ya ...." Wanita paruh baya itu menghela napas lelah. Memperbaiki letak kacamatanya yang agak turun. "Bersikaplah jadi seseorang yang terpelajar. Kalian bukan lagi anak SD, hura-hura tidak jelas. Berisik sepanjang koridor ini. Apalagi kalian itu kelas IPA-2. Begini tabiat anak eksak?"

Dan masih panjang lagi ceramah yang dilontarkannya.

Sejujurnya, Fira tak mendengarkan semua celotehan dari guru yang entah mengajar di kelas mana itu. Sepertinya untuk kelas tingkat akhir. Gadis itu hanya berharap kelas segera berakhir, bel itu berbunyi nyaring, dan ia bisa pulang ke rumah, mengeluarkan semua letih yang bersitahan di bahunya sejak guru yang terakhir melewati pintu itu.

Sepertinya belum selesai wanita itu memberi wejangan, bel berbunyi nyaring dan panjang. Namun, kelas masih bersitahan hening. Kemungkinan karena sosok yang juga ikut mematung hingga bel pulang sepenuhnya tak lagi terdengar gemanya. Wanita berkaca mata itu mengibaskan tangannya lalu memilih melangkah keluar dari sana. Seolah tak pernah berkata apa pun.

Kelas kembali riuh. Sebagian besar bersorak bahagia karena waktu yang ditunggu akhirnya datang. Sebagian lagi malah senang sebab tak harus mendengar celotehan dari wanita paruh baya tadi.

Masing-masing dari mereka membereskan meja. Bangku yang memang didesain untuk seorang saja membuat para siswa mau tak mau mandiri. Setidaknya mengangkat kursi ke atas meja dan membiarkan petugas piket yang membersihkan sampah-sampah atau debu.

"Ra, ayo ke mading." April sudah siap dengan gendongan tas hitam di punggungnya. Menatap Fira yang baru saja menaikkan bangkunya dengan mata berbinar juga seulas senyum.

Fira mengernyit heran. "Ngapain?"

"Ya, liat project event kemaren, lah. Siapa tau punya kita kepajang," ucap April bersemangat.

Belum sempat berucap, lengan gadis itu sudah ditarik lebih dulu. Fira sampai terseok-seok saat berusaha menandingi langkah April yang terlalu bersemangat.

Ngomong-ngomong soal event itu—event yang sangat-sangat mendadak sebab hanya menyediakan waktu tiga hari saja untuk memberi karya untuk di pajang di majalah dinding utama, dekat kantor dewan guru—Fira sebenarnya tak punya ide untuk mengikuti. Akan tetapi, April terus memaksanya untuk melakukan bersama. Apa saja, yang penting bersama.

Kata April, "Coba dulu aja. Kalau nggak kepajang di sana, ya udah, pajang di kamar aja. Selesai. Yang penting itu, tuh, nyoba dulu." Gadis itu tak dapat menampik, paksaan dari April malah membuatnya bersemangat. Fira akhirnya menyerahkan sebuah lukisan.

Sebenarnya event itu tidaklah mengharuskan semua murid untuk mengikuti. Akan tetapi, hadiah yang ditawarkan kepala sekolah cukup menggiurkan. Sepuluh karya, hanya sepuluh saja, dan karyanya yang berhasil dipajang akan mendapatkan uang Rp500.000,00 dan juga sertifikat penghargaan. Siapa yang tidak mau? Fira pikir hanya orang bodoh yang melewatkan kesempatan emas itu.

Baiklah, Fira mengaku menjadi salah satu orang bodoh itu. Awalnya berpikir pesimis bahwa mungkin karyanya tidak akan dipertontonkan khalayak ramai. Namun, dia, kan sudah berubah pikiran?

Dan di sinilah Fira berdiri. Setelah berjalan agak terseok akibat berusaha menandingi langkah April, menghalau terik mentari, serta menerobos kerumunan yang hampir membubarkan diri sambil mendesah kecewa, ia akhirnya bisa berbangga diri. Menatap salah satu miliknya terpajang di sana.

"Aaa, Firaaa!" pekik sebuah suara, lantas sosok itu mendekapnya erat sembari melompat kecil. "Punya kita ada! Tuh, kan, aku bilang juga apa." April menunjuk-nunjuk lukisan karyanya juga sebuah puisi yang tergantung di atas miliknya.

Fira menanggapi dengan anggukan kecil saat pelukan mereka terlepas. Senyumnya berulas cukup lebar. Seolah tak ingin luntur begitu saja. Gadis itu benar-benar tak sabar mengatakan pada sang bunda kalau sudah sampai di rumah nanti. Ia pasti akan sangat-sangat bangga.

"Tunggu di sini. Tunggu, ya." April berucap seperti seorang ibu pada anaknya. "Aku mau ke kantin. Beli sesuatu buat kamu karena udah mau diajakin ikut ini." Setelahnya, gadisdengan rambut bergaya bob itu melangkah menjauhi kerumunan sembari terus bersorak bahagia.

Fira menggeleng, masih betah memakukan senyum di sana. Bukankah seharusnya Fira yang berterimakasih karena April sudah memaksanya hingga karya itu akhirnya terpajang?

Seperti yang sudah diumumkan sebelumnya, hanya ada sepuluh karya yang dipajang di mading berlatar merah itu. Tiga cerpen, tiga puisi, dan empat lukisan yang salah satunya adalah milik Fira. Lukisan dengan bunga kamboja merah muda besar hampir mengisi seluruh kertas—tepat berada di tengah, bagian kirinya bermandikan cahaya senja-kuning oranye, sedangkan bagian kanannya tertutup gelapnya malam, tetapi sedikit bercahaya berkat bulan dan pasukannya-bintang. Di sudut kiri bawah, tertulis nama dan kelasnya, Zhafira Freya — X IPA-2.

Fira pikir, lukisannya sama sekali tidak spesial. Tak lebih baik dari lukisan sebuah desa dengan dua bukit menjulang di sebelah kanan miliknya, atau pantai yang disiram cahaya senja di bawahnya, atau mungkin ... tunggu! Lukisan gadis yang menampung segenggam bunga kamboja berdiri di bawah naungan pohon cemara terlihat tak asing. Matanya bergulir menatap siapa pemilik dari lukisan yang tepat berada di sebelah kiri miliknya. Arya Alvaro —X IPS-1

Baiklah, terlihat tak asing sebab, Fira sendiri yang mengalaminya. Diam-diam, di koridor yang hampir sepi, Fira mengulum senyumnya. Merasakan jika pipinya terasa agak panas meskipun ia berdiri di tempat yang sangat teduh.

"Kambojanya cantik," celetuk seseorang lelaki yang baru saja berdiri di sisi kirinya. Fira menoleh cepat, lalu pura-pura kembali menatap karya milik orang lain saat menyadari siapa yang berada di sana. Sialan! Jantungnya malah berdentum tak karuan.

Dari sudut matanya, dia dapat melihat Arya yang tersenyum dengan manik yang mengitari seluruh sudut mading. Lantas, mematrikan senyum menghadap Fira. "Zhafira Freya dari kelas sepuluh IPA-2."

Fira menolehkan kembali kepalanya. Menatap Arya yang masih bersitahan mematri senyum di wajah. Dalam lemparan pandangan itu, tersirat sebuah tanya. Darimana lelaki itu tahu nama panjangnya? "Hmm?"

Seolah tahu maksud tatapan Fira, lelaki yang lebih tinggi sejengkal darinya itu mematri senyum lebih lebar. Lantas, jemarinya menunjuk lukisan bunga kamboja raksasa yang memisahkan malam dan senja dari balik kaca mading. "Ini, di sini dia. Orang-orang mungkin enggak tau kalau itu kamu, tapi aku tau."

Fira menoleh ke arah lain, membuang muka agar Arya tak melihat semburat merah yang mungkin saja sudah memenuhi wajahnya saat ini. Ia benar-benar malu, tetapi juga senang dalam waktu bersamaan. Benar-benar complicated.

"Hei, jangan liat arah lain. Aku, kan, di sini." Arya menderaikan tawanya, seperti kemarin-kemarin. "Percuma menyembunyikan wajah. Aku tau, kok, kalau kamu lagi nyembunyikan muka kepiting itu." Ia melanjutkan tawanya lagi.

Sialan! Fira semakin malu. Entah macam apa kondisi wajahnya saat ini. Tanpa sadar, ia menutup wajahnya dengan sebelah tangan masih menghadap berlawanan dengan posisi Arya.

"Sejujurnya juga, kamu berdiri tepat di depan lukisan ini. Itu jelasin segalanya juga," lanjut lelaki itu. Keduanya tangannya masuk ke kantong celana abu-abunya. "Dan pada akhirnya, orang asing ini nggak lagi asing karena udah tau nama kamu."

Berapa saat berselang, Fira berani kembali ke menatap lurus ke depan. Hanya ke depan. Pada mading. "Kayaknya, kamu memang ngincer banget namaku, ya."

"Woya, jelass. Biar aku enggak jadi orang asing bagi kamu lagi," sahutnya bersemangat sembari menepuk-nepuk dadanya dengan bangga.

Gadis itu berani menoleh sedikit. Juga melempar senyum yang sama sedikitnya. "Oh, gitu aja?"

"Iya. Ada yang salah?"

Fira merotasikan matanya tak habis pikir. Arya masih seseorang yang misterius hingga saat ini mereka berbincang. Bahkan detik itu pula. Apa yang lelaki itu pikirkan, Fira tak punya kesimpulan. Arya seperti danau, sama seperti matanya. Ia tampak tenang kemarin-kemarin. Namun hari ini, riaknya satu-persatu muncul.

"Kenapa pilih itu untuk jadi tema lukisannya?" Jangan tanya seberapa penasaran Fira, sangat. Tidak ada salahnya juga bertanya, kan?

Arya melirik sekilas pada lukisannya, lantas beralih pada Fira. "Alasan yang sama dengan kamu yang memilih kamboja sebagai objek utama."

Fira sedikit bingung. Sejujurnya, ia tak punya alasan mengapa memilih kamboja yang memisahkan senja dan malam sebagai tema lukisannya. Kamboja tiba-tiba saja memenuhi pikirannya sejak terakhir kali mereka bertemu. Arya sendiri yang mematrikan di sana. Bagaimana Fira bisa lupa. Lagipula, kamboja tidak terlalu buruk untuk dijadikan objek lukisan.

"Sejujurnya, aku nggak punya alasan untuk kamboja itu. Kebetulan terlintas aja, jadinya langsung dilukis," ungkap gadis itu, setengah jujur, setengah lagi bohong. Tidak mungkin mengatakan seluruh kebenarannya. Fira tidak punya keberanian sebesar itu.

Lelaki di sebelahnya tampak mengangguk beberapa kali. "Hmm ... apa yang harus aku bilang. Aku akan melukiskan sesuatu yang aku suka. Memang gitu, kan, perspektif semua orang. Mereka bakal melukis sesuatu yang mereka suka."

Ada kehangatan saat derai tawa itu menyaru dengan udara di sekitar mereka. Fira tidak dapat menghitung berapa kali lelaki itu sudah tertawa sejak pertama kali mereka beradu pandang. Jika itu benar, tentang perasaannya, dua lukisan yang saling berdampingan, juga dua insan yang berdiri di depannya, biarlah jadi saksi. Semesta yang memutuskan ke mana arah yang akan dilalui.

Hingga hari itu, sebuah tanya merasuk ke dalam benaknya. Mengapa lelaki itu tampak selalu berada di dekatnya jikalau Fira berada di luar kelas? Disengaja atau memang semesta telah menyiapkan segalanya? Atau apakah semesta hanya menyiapkan sebuah permainan hati berakhir luka?

"Ngomong-ngomong, kamu mau hadiah, nggak?" Arya menoleh lagi pada Fira. Tak bosan terus mematri senyum di sana.

Fira mengerutkan dahi. "Untuk?"

Lelaki itu tertawa sebentar. "Ya untuk ini." Tangannya kembali menunjuk lukisan milik Fira. "Kamu mau, nggak, aku ajak ke suatu tempat?" Melihat Fira yang seolah merasa ragu, Arya menunjukkan kedua telapak tangannya. "Aku enggak macam-macam, kok. Ini beneran hadiah karena memang kamu berhak dapat. Untuk lukisannya, juga kamu sendiri."

Melihat Fira seolah urung berkata, Arya kembali berucap. "Kalau aku macam-macam, kamu bisa langsung bunuh aku. Nanti aku langsung siapin pisau buat kamu jaga-jaga."

Pernyataannya berhadiah derai tawa kecil. Fira menghela napas pelan setelahnya. "Kalau aku pikir-pikir dulu, boleh?"

"Boleh." Arya mengangguk beberapa kali. "Tapi jangan lama-lama, ya. Nunggu itu nggak enak."

Fira hampir tertawa lagi, tetapi gadis itu dapat mengendalikannya. Ia berakhir dengan senyum lebar yang membuat matanya tenggelam sebentar. Kedua insan itu saling melempar tatap sebelum akhirnya kembali melihat-lihat panjangan di majalah dinding.

***

[ to be continue ]

[1] Penggalan lirik milik Justin Bieber — Hold On.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status