Share

8 - Days, All One Kind, Go Chasing Each Others

Sama sekali tak berharap ada yang mengantikan tempatmu.

Sebanyak apa pun yang singgah;

sebanyak apa pun yang menyatakan cinta,

aku bisa apa?

Yang kulakukan hanya menunggu kapalmu;

kembali ke pelabuhanku.

***

Awal Oktober, 2021.

Angin berembus lembut—menggoyang dedaunan hingga menimbulkan bunyi gemerisik menenangkan. Membuat siang yang semakin menua itu tak lagi begitu gerah. Selang beberapa lama, dedaunan berbentuk tak simetris berwarna coklat kemerahan jatuh dari rantingnya, menemui rerumputan. Seolah memberi pesan, bahwa sejauh apa pun jarak, jika memang tempatnya, sesuatu itu akan kembali. Cepat atau lambat, akan terjadi.

Di balik kaca yang menyajikan secara langsung peristiwa itu, duduk seorang gadis di sebuah kursi kayu berwarna putih. Sembari menyesap Vanilla Latte hangat bergelas putih mini di tangan, manik kecoklatannya tak henti menatap ke luar jendela. Malah seolah mengabaikan seseorang di seberang meja yang sedari tadi mengoceh tentang urusan perkuliahannya.

Zhafira Freya, mahasiswa semester pertama di Universitas Galang Udayana jurusan Tata Busana. Gadis yang selama beberapa bulan terakhir menghabiskan waktu dengan melamun, hanya suka menatap kejadian alam seperti angin yang bertiup, daun yang berjatuhan, malam yang dingin, dan bulan menggantung ditemani ribuan bintang bertabur. Itu kalau langit malam cerah. Jika tidak, maka menatap gulungan awan keabu-abuan yang menjanjikan gerimis atau badai mengamuk pun juga tak apa.

Asalkan bisik kerinduannya dapat digantungkan. Meskipun tahu jika itu takkan pernah tersampaikan.

Sayang sekali, hal tersebut membuat tugas-tugasnya hanya bertumpuk di sudut meja. Kalau-kalau kepala tersadar, tangannya akan sibuk membuat desain dengan pikiran menerawang. Jika tak sesuai dengan suasana hatinya, maka desainnya akan berakhir menjadi remasan dan menghuni ubin. Seperti kemarin.

"Ra, kamu dengerin aku cerita, kan?" Seseorang di depan Fira mengibaskan tangan ke arahnya. Memastikan jika Fira mendengarkan.

"Denger, kok," sahutnya yang malah seperti acuh tak acuh.

Fira menyesap pelan lagi Vanilla Latte hangatnya. Orang-orang pikir, itu agak sedikit aneh. Bahkan sang barista lelaki di depan sana juga tampak bingung. Di siang hari, biasanya para pelanggannya biasa memesan sesuatu yang dingin. Namun, lelaki yang sepertinya juga terlihat seperti mahasiswa itu urung mengeluarkan tanya. Hanya sebuah senyum canggung yang malah lebih terlihat bingung.

Jika ada yang menanyakan mengapa, sudah jelas Fira akan menjawab, "Aku nggak bisa minum yang ada esnya banyak-banyak. Kalau udah flu, entar susah." Sungguh disayangkan, gadis itu bahkan sering menggerutu sebab tak punya kondisi tubuh seperti orang lain. Fira bahkan terlalu mudah sakit untuk hal-hal yang sepele.

"Tapi kamu nggak ngeliat aku. Itu artinya kamu nggak dengerin, Ra." April mendengkus kesal, nada bicaranya tak kalah sebal. Gadis dengan rambut bergaya bob itu bersandar di kursinya sembari bersedekap.

Fira meletakkan cangkirnya di atas meja bundar yang juga terbuat dari kayu. Kemungkinan terbuat dari rotan seluruhnya. Akan tetapi, warnanya tetap mempertahankan warna asli, cokelat muda. Gadis dengan kemeja mocca itu menatap ke seberang mejanya. "Yang denger itu telinga, bukan mata. Kamu pasti nggak lupa pelajaran SD, kan?"

April melempar tatapan tajam, mendengkus kesal lagi. Namun, begitu benaknya mengingatkan pada sesuatu, tubuh gadis berkaos biru muda lengan panjang dengan garis-garis merah muda di sekitar perut lantas menyondongkan tubuhnya ke depan lagi.

"Tadi kamu bilang ada yang nabrak. Siapa?" April mengambil se-cup Coffee Frappe dinginnya meja yang sedari tadi menganggur karena sibuk bercerita, tetapi sama sekali tak didengar. Setidaknya minuman di tangannya gadis itu takkan berakhir seperti ceritanya. Miris. Mereka saling mengerti. Coffee Frappe-nya ingin diminum dan April ingin minum.

Di seberang sana, Fira menghela napas. Bahunya naik sebentar. "Nggak tau." Kemudian tangannya hendak mengambil sesuatu dari sela-sela tumpukan buku dekat dengan Vanilla Latte-nya. Gadis itu mengangsurkan sebuah memo yang ia terima sesaat sebelum memasuki kafe ini. "Aku juga dapet memo di depan pintu tepat sebelum kamu pulang kemarin. Aku pikir, itu bukan untukku. Tapi kalau liat memo kedua ...."

April masih memandang sembari membaca kata-perkata yang terpatri di sepucuk memo. Ia berusaha memahami apa maksud dari perkataan Fira bersamaan dengan sesuatu yang saat ini menghuni genggaman tangannya. Masih sedikit bingung. Seolah, sesuatu itu seperti menjejalkan sebuah fakta ke kepalanya. April bersikeras menghempas, tetapi pemikiran itu tak lantas pergi.

"Kamu nggak berpikiran sama kayak yang aku pikir, kan?" April melirik pada Fira yang tak lelah menatap ke seberang jendela. Menyandarkan punggungnya di kursi.

"Kamu tau aku, April," desah Fira. "Bahkan lebih baik dari aku sendiri."

Gadis berkaus biru-merah muda itu mengangkat bahu sebentar, lalu mengangsurkan memo yang tadi ia genggam ke atas meja. Ada seulah senyum di wajah hingga mencapai matanya. "Waah ... bagus, dong! Kamu nggak bakal melamun nggak jelas terus."

Fira bergerak menoleh, menegakkan tubuh dengan cepat. Dahinya berkerut. "Kenapa? Bukannya tadi pagi kamu baru aja bilang seolah nggak ngerestuin aku sama Arya?" Ia membuat tanda kutip imajinatif dengan jemarinya. "Sekarang kenapa malah kamu keliatan lebih semangat dari aku?"

"Loh, emangnya kamu nggak seneng kalau Arya balik?" Gantian April yang mengerutkan dahi. "Kamu tau sendiri siapa yang dulu waktu SMA ngedukung kalian banget." Gadis itu mendorong dahi Fira dengan telunjuknya. Fira mengaduh sembari mengusap-usap keningnya. "Kalau tadi pagi itu bukan aku nggak ngerestuin, tapi biar kamu nggak terlalu mikirin hal begituan."

Fira terdiam sebentar, lalu menghela napas lelah. "Tau ah. Pusing." Lagi, ia menyandarkan punggungnya di kursi putih yang terbuat dari kayu itu. Tangan kanannya mengurut pelan pangkal hidungnya. Fira memejam.

Sembari mengangkat bahu acuh, April memilih kembali menyesap Coffee Frappe-nya yang kembali menganggur.

"Inilah aku yang mencintaimu ...." [1]

Kedua gadis yang tadinya sibuk masing-masing menoleh dengan cepat pada sisi meja yang kosong. Melempar tatap penuh kebingungan pada sosok jangkung dengan rambut sedikit panjang yang membelah dahinya.

Bibirnya yang agak tebal, betah mematri senyum yang kian berganti detik, kian merekah pula. "Pada pinus hitam, angin mengurai kekusutan .... Bulan berpendar seperti fosfor di air tak berhulu muara." [1]

Fira dan April saling melempar tatap, seolah sama-sama bertanya apa maksud dari lelaki berkaus putih berpadukan denim hitam itu. Akan tetapi, keduanya sama-sama pula tak punya jawaban. Bertanya pun, bibir mereka seperti terkunci. Fira dan April lantas berakhir bertahan membisu sembari terus melihat pertunjukan puisi di depan mereka.

"Hari demi hari, sama saja, saling memburu ... mengejar." Lelaki asing itu memaku tatap pada Fira sebentar. Kemudian beralih pada April, tersenyum. "O, ada silang hitam sebuah kapal. Bersendiri ...." [1]

Helaan napas menguar, ia menghela terlalu keras, hingga terdengar seperti kelelahan. Senyumnya memudar. "Sesekali ... aku terbangun dini hari dan ... jiwaku basah." [1]

"Di kejauhan, gemuruh laut disambut gemuruh laut ...." Ia menengadah, memejam sesaat. "Inilah pelabuhan itu." [1]

Kala membuka mata, ia dipandangi tatapan bingung yang betah bersitahan di wajah kedua gadis itu. Bibirnya kembali mematri senyum yang tadi sempat memudar. Balas menatap dua gadis di depannya yang bahkan Fira dan April tak tahu apa maksudnya. "Inilah aku ... yang mencintaimu." [1]

***

Angin di luar jendela seolah tampak mengamuk. Siulannya terdengar sampai ke dalam sebuah kafe. Dari dalam, terlihat jika pepohohan membungkuk-bungkuk menahan bobot tubuh agar angin tak segera menumbangkan. Beberapa orang yang berlalu-lalang, bergerak terburu-buru-mengeratkan jaket yang melekat di tubuh. Siang tadi sepertinya alam masih baik-baik saja. Di sore hari, malah seolah memberi isyarat gulungan mega yang diarak angin akan menurunkan bebannya.

Derai tawa bernada sedang membubung di sebuah meja berkursi tiga dekat jendela kaca besar. Seorang lelaki berkaus putih duduk di sisi yang tadinya kosong di meja Fira dan April. Kedua gadis itu hanya mengulas senyum ringan dengan pandangan yang masih terpaku pada lelaki yang baru saja membacakan puisi untuk mereka.

Lelaki itu berdeham, menetralkan suaranya sehabis tertawa. "Maaf, ya. Aku tau, aku konyol malah ngelakuin itu tadi." Ia tampak meringis, tetapi tak urung juga mengulas senyum walaupun terkesan agak canggung. "Habisnya aku tadi kena dare sama temen. Disuruh godain cewek."

Fira dan April saling melempar tatapan geli. Detik berikutnya kedua gadis itu serempak tertawa bersama. Tak habis pikir.

"Enggak pa-pa, kok. Santai aja," sahut Fira dengan senyum tipis. "Cuma ... kami tadi awalnya emang agak bingung, sih."

"Jadi, itu tadi puisi kamu yang buat? Anak sastra, ya?" April meneliti, berucap setelah habis tawanya.

Lelaki itu tampak tersentak sedikit, lalu dengan cepat mengibaskan kedua tangannya. "Enggak, kok. Sebenarnya aku anak Arsitektur. Puisi itu punya Pablo Neruda, kebetulan aja hapal." Ia mengakhiri dengan tawa canggung.

Kedua gadis di depannya sama-sama mengangguk. Sebentar saja, atmosfer di sekitar mereka terasa agak sepi. Hanya deru angin kencang yang terdengar. Padahal, kafe itu terlihat semakin ramai aja mengingat hari yang semakin sore dan letaknya yang dekat dengan kampus. Pengunjungnya juga rata-rata adalah mahasiswa di sana.

"Oh, iya. Kita dari tadi ngobrol-ngobrol, tapi enggak tau nama satu sama lain." Fira memerhatikan kebiasaan itu, si lelaki suka sekali memberikan cengiran lebar. Lantas mengusap tengkuknya. "Namaku Randi Gunadhya." Cengiran di wajahnya berubah senyum dengan binar mata penasaran, beralih menatap bergantian dua gadis di

depannya. "Kalian?"

April yang baru saja meletakkan se-cup minumannya lebih dulu bersuara. "Aprilia Faranisa." Mengakhiri kalimatnya dengan senyum.

Lelaki yang tadi mengaku bernama Randi tadi mengangguk paham. Dia lantas beralih pada Fira yang menyesap minuman dari cangkir putih—memilih menatap pemandangan di luar jendela. Langit semakin gelap. Meskipun sore belum begitu menua, sepertinya awan membawa endapan air dan hendak menurunkannya segera.

"Kalau kamu?"

Fira menoleh. Manik kecoklatannya sebentar bertabrakan dengan manik hitam berkilat milik Randi. Gadis itu tak berkata, hanya menaikkan sudut bibir sebentar lalu menoleh ke arah lain. Seolah memang tak ingin memberitahukan namanya.

April yang melihat kejadian itu sedikit gelagapan, tetapi kemudian menyahut cepat. "Namanya Fira." Bertepatan dengan hal itu, Randi menoleh padanya. "Dia emang agak

gimana gitu kalau ngasih tau nama sama orang yang baru dikenal." Gadis itu tertawa kecil dengan canggung.

Lagi, Randi mengangguk. "It's okay." Ia tersenyum bergantian pada kedua gadis itu. "Jadi ini April ... dan ini Fira."

Gadis dengan rambut berkucir tinggi itu tampak berbenah, menyusun buku-bukunya yang agak berserakan, juga menyandang kembali tas berwarna coklatnya. Ia tersenyum pada Randi. Lelaki itu sedikit bingung, pun raut yang sama juga ditunjukkan oleh April. Namun, gadis itu juga tak urung ikut berbenah.

"Maaf sebelumnya, kayaknya kami harus pulang."

Randi ikut berdiri saat Fira dan April beranjak dari duduknya. Binar di matanya hampir hilang karena kecewa kedua gadis itu akan pergi. "Kalian enggak bisa lebih lama lagi? Nanti semua minuman sama makanannya gratis." Ia berusaha memberi senyum, tetapi gurat kekecewaannya masih tetap tampak.

April memicing. "Kamu pemilik kafe ini?"

Lelaki itu membuka dan mengatupkan bibirnya sebentar. "Eng-nggak." Randi tertawa canggung. "Aku cuma pelayan di sini, tapi nanti aku yang bayarin."

Fira mendesah lelah, memilih memberikan senyum yang lebih menenangkan. "Makasih buat tawarannya, tapi langit udah gelap. Kalau hujan udah turun, kita nggak tau kapan redanya."

Dengan cepat kepala Randi menoleh. Maniknya menampilkan kilatan kekecewaan saat angin berembus lebih kencang dari tadi siang. Menggiring awan-awan keabu-abuan untuk mendekat. Hanya tinggal menunggu aba-aba untuk menurunkan bebannya. Ia menghela napas panjang. "Oke. Lain kali jangan lupa mampir lagi, ya. Atau mungkin kita bisa ketemu di kampus?" Randi menatap kedua gadis di depannya bergantian. Sinar di matanya sedikit demi sedikit muncul. "Kalian dari Galang Udayana, kan?"

April mengangguk mantap. "Iya, kami dari sana."

Randi menjentikkan jarinya hingga meninggalkan suara. "Good. Entar kita bisa ketemu lagi."

Sejujurnya, Fira bahkan tidak tahu mengapa lelaki ini begitu antusias mendengar jawabannya April. Memberi isyarat seolah, puisi yang ia bacakan sebelumnya bukanlah sebuah dare, melainkan dia sendiri yang ingin melakukannya dengan tujuan terselubung entah apa itu. Gadis itu hanya berharap, jika nanti bertemu kembali, ia tak lagi dihadapkan dengan seseorang yang dulunya mengejar, kini hilang seperti aroma petrichor.

"Kita pamit, ya, Ran." Fira melangkah keluar dari mejanya. "Mungkin kapan-kapan bisa ketemu lagi."

Lelaki itu mengangguk, agak ragu. Matanya berkedip beberapa kali sebelum akhirnya kembali melontarkan kalimat yang menghentikan kedua gadis itu sebelum menjauh. "Tunggu!"

Randi berjalan mendekat begitu Fira dan April memutar tumit menghadapnya. Ia menghela napas pelan, seolah berupaya memberanikan diri untuk berkata. "Seminggu lagi ada pameran di kelas arsitektur. Aku harap, kalian bisa datang."

Fira dan April kembali beradu pandang, seolah bertanya melalui kontak mata-bagaimana cara menanggapi. Akan tetapi, Fira lebih dulu memutar kepala kembali menatap Randi. "Kami enggak janji, ya. Tapi kami bakal berusaha."

Randi mengulum senyumnya. Kebahagiaannya seperti memercik dalam dadanya. Lelaki itu bahkan sulit menyembunyikan rona yang sama yang menghias wajahnya. "Makasih."

Setelahnya, kedua gadis itu tenggelam tertelan pintu kaca. Lonceng di atas sana berdenting. Dari balik kaca di depan lelaki itu, tampak bahwa April berusaha merangkul Fira. Mereka berjalan pelan dengan pakaian yang seolah hendak dibawa pergi oleh angin. Sebelum akhirnya kedua insan itu menghilang di balik tembok putih tinggi.

"Mantap! Disuruh godain satu, malah dapet dua." Seseorang menepuk bahu Randi beberapa kali.

Randi tak menghindar, malah mengulas senyum sembari terus menatap angin yang terus berusaha mengguncang pohon tepat di depan sana.

Lelaki bercelemek hitam dengan logo kafe tempat ia bekerja itu seketika mengubah raut menjadi terkejut. "Oho! Jangan bilang kalau kamu suka salah satu dari mereka. Atau

dua-duanya?" Ia membulatkan mata, lalu menggeleng tak habis pikir.

Senyum itu masih betah bersitahan di wajah berahang tegas itu, malah kian lebar. Randi tak menjawab, membiarkan rekan kerja sekaligus teman sekampusnya itu bertanya-tanya.

Kalau hujan udah turun, kita nggak tau kapan redanya, Randi mengulang kembali ucapan Fira dalam benaknya. Kalau udah kenal, kita nggak tau kapan cinta menghampiri. Secepat Neptunus berevolusi, secepat komet Halley datang kembali, atau secepat hujan membasahi bumi.

***

Akhir September, 2019.

"Bundaaa!"

Pekikan melengking menggema di seluruh penjuru ruangan yang dipenuhi kardus-kardus di sisi-sisi dinding. Seorang wanita dengan setelah celana longgar dan kemeja putih yang tadinya sibuk mencatat data-data dari tumpukan kardus itu menoleh ke arah asal suara. Kemudian menemukan dirinya dipeluk erat secepat kilat. Ia tertawa kecil lantas menjatuhkan usapan sayang puncak kepala gadis dengan seragam sekolah itu.

"Kamu kenapa? Keliatan seneng banget." Nita memiringkan wajahnya, menatap pada yang putri yang betah bersitahan memeluk dirinya erat-erat erat; mematri senyum yang seolah enggan luntur dari wajahnya.

Gadis berkucir itu melepas pelukannya, senyum di bibirnya kian merekah; mengalahkan mentari di siang yang hampir menua. "Bunda tau, lukisan Fira dipajang di mading. Terus Fira bakal dapet hadiah!"

Nita membulatkan matanya, ada sinar yang muncul dari maniknya yang berwarna seperti lelehan madu. Sudut bibirnya sedikit demi sedikit naik, membentuk ulasan haru. "Bunda ikut seneng buat kamu, Sayang. Makasih udah nyenengin Bunda. Hadiahnya disimpen yang bagus, ya." Ia kembali mengusap kepala putrinya.

Senyum di wajah wanita itu kian meluntur. Ulasan senyum di wajah Fira mau tak mau juga ikut luntur; seolah turut merasakan risau yang didera sang Bunda. Wanita itu menoleh ke arah lain-tampak tak ingin putrinya melihat. "Maafin Bunda nggak bisa kasih hadiah buat keberhasilan kamu."

Fira menghela napas pelan; seiring dengan kedipan sayunya, ia kembali mematri senyum tulus. Gadis itu tak perlu hadiah. Seharusnya ia yang berterimakasih pada Tuhan karena telah dihadiahi bidadari dari surga. Bundanya. Sosok ibu sekaligus ayah baginya. Lihatlah sekarang, wanita itu rela bekerja dari pagi hingga petang untuk memenuhi biaya mereka berdua. Pulangnya, Nita juga masih sempat memasak makanan yang kata Fira adalah makanan terenak di seluruh dunia dan sepanjang masa.

"Fira enggak minta hadiah dari Bunda, kok." Tiba-tiba saja gadis itu menabrakkan tubuhnya pada sang Bunda. Memeluk lagi dengan erat; mencampurkan rasa haru dan menyalurkan semangatnya pada Nita. "Fira cuma pengen Bunda terus ada buat Fira. Liat sukses-sukses Fira yang selanjutnya, Bunda bisa senyum bangga. Kalau bisa nangis. Nangis bahagia maksudnya."

Wanita empatpuluh tahunan itu menderaikan tawa ringan. Sepertinya ia merasa sedikit lega. "Nanti, Bunda masakin kamu ayam semur yang banyak."

Fira mengangguk dengan semangat; menampilkan deretan gigi-gigi rapi di balik bibir tipis merah mudanya. "Pake kentang, ya, Bun."

"Iya. Udah sana, pulang. Bunda mau lanjut, nih. Entar yang punya marah. Apalagi kamu tadi pake teriak-teriak."

Nita kembali berfokus pada tumpukan kardus-kardus yang sudah dibalut lakban kuning itu. Kertas yang tadi ia gunakan untuk menulis data, diletakkan tak jauh dari sebuah meja bundar dari kayu dengan kaki pendek.

"Tapi Fira mau bantuin Bunda." Nada bicaranya terdengar sedikit merengek.

"Ganti baju kamu dulu. Besok masih dipake, kan?" Bundanya menyahut tanpa menoleh; memilih menggeser-geser kardus untuk melihat identitasnya.

Gadis itu hanya berdehem sebentar. Kemudian, sesuatu tiba-tiba merasuk dalam kepalanya. Fira menghela napas pendek sebelum memberanikan diri untuk mengeluarkan suara.

"Bun ...."

"Hmm?"

"Temen Fira ngajakin buat jalan-jalan. Fira boleh ikut?"

"Temen yang mana?" Wanita empatpuluh tahunan itu masih sibuk memeriksa paket-paket yang mengendap di sana. Memeriksa dengan telaten tulisan di selembar kertas kecil yang tertempel di sana. "Kalau mau pergi, nanti temuin Bunda dulu. Biar Bunda bisa memutuskan buat bolehin kamu atau enggak."

Entah mengapa, sulit rasanya untuk menelan saliva sendiri. Bagaimana cara mengatakan pada bundanya kalau ia baru saja diajak pergi oleh seorang lelaki yang baru beberapa waktu dikenal? Apalagi harus mempertemukan mereka. Apakah ia harus terima tawaran dari seseorang yang sudah boleh dianggap teman itu?

Fira menghela napas dalam-dalam, mengigit bibir bawahnya gusar. Ia memaku tatap pada bundanya yang masih menyibukkan diri, lalu sejenak mengalihkan pandangan pada jendela yang terbuka sedikit tak jauh dari sana.

Masalah sesungguhnya ada pada Arya. Jika lelaki itu tak bisa menangani bundanya, riwayat Arya yang tamat, bukan Fira.

Benar. Begitu.

Tetapi, apa bisa?

Huh! Semakin runyam saja.

***

[ to be continue ]

[1] Terjemahan bebas untuk nukilan puisi karya Pablo Neruda - Here I Love You.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status