Tak ingin membuang waktu, segera kuhubungi Mona. Memastikan sekali lagi kalau hari ini Mas Ibram hanya di kantor tidak ada kunjungan ke semua mini market kami. Setelah mendapat kepastian, segera kuhubungi Indra, kepala HRD.
Aku meminta Indra untuk mengumpulkan semua karyawan di mini market tempatku berada secepatnya. Aku ingin mencocokkan jumlah real karyawan dengan data yang semalam Alvin kirim."Beri saya waktu satu jam, Bu!" pinta Indra.Aku menyetujuinya. Kutunggu kehadiran mereka di ruangan Riski. Pemuda itu mempersilahkan aku duduk di kursinya. Karena memang tidak ada kursi lain di ruangan ini.Setelahnya, Riski keluar untuk mempersiapkan ruangan, agar nanti bisa dipakai untuk mengumpulkan semua karyawanku kecuali yang berada di kantor Mas Ibram.Minimarket kami tutup sampai semua yang ingin kuketahui beres. Aku meminta Indra, agar Mas Ibram jangan sampai tahu soal ini.Sekitar satu jam kemudian, semua karyawan mini market seluruh cabang berkumpul. Aku lihat, rata-rata jumlah karyawan di satu cabang mini market hanyalah lima orang. Dua kasir, dua pramuniaga, dan satu supervisor. Namun, data yang Alvin kirim berbeda.Pada empat mini market, karyawan dilebihkan satu. Dan ada satu mini market yang dilebihkan dua. Karena di sana kasirnya tinggal satu orang. Namun, datanya tetap dimasukkan dua.Aku sekarang mengerti. Jadi begini cara Mas Ibram mengambil uang dari mini market. Dia mengeluarkan gaji untuk karyawan fiktif. Besar kemungkinan, uang itu untuk Rena.Mungkinkah Rena Indira itu Rena si ondel-ondel? Kalau benar apa sebenarnya hubungan mereka?Jika uang gaji fiktif ini Mas Ibram berikan ke dia, bukankah itu jumlah yang cukup besar? Sekitar lima belas juta satu bulan, bayangkan! Masuk akal kalau Rena sampai bisa membeli rumah di komplek Tania.Namun, apa hubungan mereka yang sebenarnya? Apakah Rena simpanan Mas Ibram?Bodoh sekali Mas Ibram kalau itu benar. Apa yang dia lihat dari wanita seperti Rena? Anaknya dua, fisiknya juga biasa. Apa karena Rena murah? Namun, tidak juga. Bukankah lima belas juta tiap bulan mengalir ke rekeningnya?Aku harus segera mengungkap ini. Aku tak mau ditipu terlalu lama lagi!"Oke, terima kasih atas loyalitas dan kerja keras kalian. Tanpa kalian Cahaya Market ini bukan apa-apa." Kututup pertemuan ini.Setelah karyawan kembali ke mini market masing-masing. Aku putuskan untuk menemui Tania. Aku butuh patner bicara. Kepalaku terlalu penuh untuk memikirkan ini seorang diri."Ke sini aja, Vi! Aku di butik pusat," pinta Tania saat aku menghubunginya."Oke, aku ke situ sekarang."Dari mini market cabang ke lima, aku memacu mobil ke butik pusat Tania. Sekitar setengah jam perjalanan, mobilku berhenti di pelataran parkir butik mewah tersebut. Segera saja aku turun kemudian menemui Tania di lantai dua."Kopi?" tawar Tania sesaat setelah aku menghempaskan tubuh di sofa."Boleh," sahutku.Wanita dengan dress lengan terbuka itu keluar ruang kerjanya. Sementara aku menghempaskan kepala di sandaran sofa. Kutatap langit-langit ruangan sembari berkali-kali menarik dan menghembuskan napas panjang."Ada apa lagi?" tanya Tania ketika kembali sembari kedua tangannya memegangi cup kopi."Aku ditipu mentah-mentah," ucapku."Maksud kamu?" tanya Tania sembari mengulurkan cup kopi kepadaku."Tahu enggak, ternyata Ibram selama ini tiap bulan ambil lima belas juta dari mini market," ujarku sembari memijit pelipis."Gimana bisa? Bukannya keuangan kamu ikut kontrol?" Tania mencondongkan badannya ke arahku. "Terus uang itu buat apa? Jangan bilang buat si ... Rena!""Aku belum bisa buktiin uang itu larinya kemana. Tapi, ada nama Rena Andini tertera di sana," jelasku."Siapa Rena Andini? Apa wanita yang Ibram bilang sepupunya?"Aku hanya mengedikkan bahu. Rasanya badanku lelah sekali. Jujur aku sangat shock mengetahui ini. Bagaimana bisa selama delapan tahun aku percaya dan bahkan hidup bersama seorang pembohong, atau lebih parah lagi ... pencuri? Bagaiman bisa aku tak menyadari hal ini?Tuhan!Bahkan selama ini sikap Mas Ibram begitu baik. Sosok suami dan laki-laki yang tak pernah aneh-aneh. Pekerja keras yang ulet luar biasa. Sehingga delapan tahun ini selalu menjadi kebanggaan Papa."Kamu ada kenalan orang yang bisa bantu aku cari informasi mengenai Rena?" tanyaku setelah beberapa saat terdiam. Kusesap kembali kopi pemberian Tania yang tinggal setengah."Enggak, sih. Coba nanti aku tanya-tanya temanku. Kalau dapat aku kabari."Kami berdua kembali sama-sama terdiam. Kepalaku rasanya sangat penuh sampai-sampai seperti tidak bisa berpikir.Di sisi lain, aku juga sangat kecewa. Kurang apa aku selama ini pada Mas Ibram? Bahkan semua aku percayakan kepadanya. Aku benar-benar tak menyangka dia sejahat ini kepadaku."Kamu nemuin sesuatu yang ganjil enggak di ruang pribadinya?" tanya Tania memecah keheningan. "Di ruang kerjanya, mungkin?""Foto. Foto yang kemarin itu aku dapat di ruang kerjanya. Selain itu aku tak menemukan apa-apa.""Kenapa dia masih menyimpan foto mantan istrinya, ya?" selidik Tania."Entah. Masih cinta mungkin." Tiba-tiba dadaku terasa teremas saat mengatakan itu. Benarkah Mas Ibram masih mencintai almarhum istrinya? Lalu bagaimana dengan perasaannya kepadaku? Palsukah cintanya selama ini?"Hei!" Tania mengibaskan tangannya di depan wajahku. "Enggak usah sedih! Ayo, bangkit! Enggak guna kamu menangisi orang yang sudah jahat sama kamu!""Sekarang menurutmu aku harus bagaimana lagi?" Aku menatap wajah Tania."Geledah ruang kerjanya di kantor!" usul Tania.Ah, kenapa aku tak kepikiran tentang itu?"Ide bagus. Oke, nanti begitu dia pulang, aku akan langsung ke kantornya.""Nah, gitu, dong! Semangat!!"Aku makan siang bersama Tania. Setelah makan siang, aku minta izin Tania untuk ke rumahnya. Aku ingin mengamati gerak gerik Rena.Tania dengan senang hati mengizinkan. Diberikannya kunci rumahnya kepadaku. Segera saja aku memacu mobil Tania ke rumahnya. Sengaja aku tukaran mobil dengan Tania.Tiba di rumah Tania, seperti biasa rumah Rena tampak sepi. Hanya sesekali terlihat dari jendela kaca ia atau anaknya berjalan. Tak ada tanda-tanda Mas Ibram di sana. Tentu saja, lelaki itu sedang di kantornya.Aku duduk di balkon kamar Tania, menatap langit yang mulai berwarna jingga. Melihat itu membuatku teringat pada nasib pernikahanku.Apakah angan-angan untuk terus bersama Mas Ibram sampai kelak kami menua akhirnya harus sirna? Apakah harapanku untuk menikah sekali seumur hidup juga harus pupus? Kenapa takdir kadang sepelik ini?Aku hanya ingin kehidupanku, anakku, suamiku, serta pernikahanku baik-baik saja. Namun, kenapa kenyataan seperti tak memihak? Aku mencintai Mas Ibram dengan segenap jiwa. Tak pernah aku berpikir untuk bersama lelaki lain selain dia. Namun, kenapa Mas Ibram seperti tak sebaliknya?Tuhan, kuatkan aku untuk menjalani semua takdir yang telah Kau gariskan!Getaran ponsel di meja membuatku tersentak. Mas Ibram mengirim pesan.[Ma, aku pulang telat. Kamu makan malam duluan aja, enggak apa-apa. Aku makan di kantor aja.]Oh, ya. Ini akhir bulan. Mana mungkin Mas Ibram pulang cepat. Kecuali kemarin tentunya. Rencanaku untuk menggeledah ruang kerja di kantornya gagal malam ini.Tiba-tiba perhatianku teralihkan saat ada mobil menepi di pintu pagar rumah Rena. Itu bukan mobil Ibram. Namun, tak berselang lama tampak Rena keluar bersama kedua anaknya."Mau kemana mereka menjelang maghrib begini?" Aku berkata sendiri.Segera saja aku turun dan keluar dari rumah Tania. Aku penasaran mereka mau kemana. Sehingga kuputuskan untuk mengikuti mereka.Sepanjang jalan kujaga jarak dengan mobil yang ditumpangi Rena. Aku tak ingin ia curiga ada yang mengikuti.Mobil itu berhenti di sebuah pusat perbelanjaan cukup besar. Tampak Rena dan kedua anaknya keluar dari mobil. Mereka tampak antusias sekali memasuki mall tersebut.Kampungan!Segera saja kuparkir mobil Tania. Kemudian bergegas mencari mereka di dalam mall. Anak-anak Tania tampak meminta beberapa makanan. Mereka duduk di kursi sebuah gerai ternama.Aku memilih duduk di situ juga. Tentunya tetap berusaha menjaga jarak agar tak ketahuan.Mereka terlihat sangat bahagia menikmati minuman dan makanan yang dipesan. Seperti orang yang sudah berhari-hari tidak makan. Apalagi Fabian anak laki-laki Rena. Anak itu menghabiskan banyak sekali makanan.Sementara Rena asyik makan sembari menyuapi anak bungsunya. Mulutnya sampai penuh saat mengunyah makanan.Apa tidak ada yang mengajari mereka tata krama? Kenapa bar-bar sekali?Aku hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala. Melihat pemandangan seperti itu menjadi sedikit hiburan di tengah pikiranku yang sedang seperti benang kusut.Kusesap kopi yang sejak tadi belum kusentuh. Seketika kopi di tangan hampir tumpah saat terdengar suara Fabian berteriak."Ayah!" serunya sembari mengangkat tangan.Pandanganku mengikuti pandangan anak itu. Tampak Mas Ibram berjalan sembari tersenyum lebar menatap mereka.Seketika aku berdiri melihat kedatangan Mas Ibram. Darahku serasa mendidih. Wajahku memanas. Kedua tanganku mengepal kuat. Dengan hati membara, aku melangkah hendak menghampiri mereka.Namun, seketika langkahku terhenti. Aku tak boleh gegabah. Yang ada nanti mereka akan kembali mengelak. Mencari seribu alasan untuk menutupi kebusukannya.Aku kembali mundur dan duduk di kursi semula. Aku akan mengamati mereka dan mengabadikan momen langka ini. Segera kuambil ponsel, kunyalakan perekam video kemudian mengarahkan ke posisi mereka. Kujaga agar ponselku cukup di meja. Terlalu kentara apabila aku memegangi dengan mengarah ke mereka."Sudah dari tadi?" Aku bisa mendengar suara Mas Ibram dari sini. Kebetulan di depan tempat dudukku berdiri tiang cukup besar, sehingga keberadaanku tak terlihat oleh mereka."Lumayan," jawab Rena.Fabian tampak mencium tangan Mas Ibram. Kemudian Mas Ibram mencium kepala anak itu. Setelahnya Rena juga mencium tangan Mas Ibram dan Mas Ibram mencium kening Rena. Se
Kubanting sekuat tenaga pintu mobil Tania. Dadaku rasanya mau meledak. Hatiku sakit, sangat sakit. Meskipun di depan mereka aku bisa terlihat kuat, tetapi sungguh, sebenarnya aku hatiku hancur. Aku benar-benar remuk. Tak berbentuk."Aaagrh!"Aku berteriak, menangis meluapkan semua rasa yang sejak tadi begitu sesak menghimpit dada. Saat ini aku tak lagi bisa menahannya. Ternyata seperti ini rasanya, ketika orang yang aku cinta, ternyata tidak menjadikan aku satu-satunya. Sakit. Sangat sakit. Seperti beribu-ribu anak panah menancap di dadaku secara bersamaan. Kemudian satu persatu dicabut dengan brutal."Ya Allah!" ratapku. "Ini sakit sekali ...."Bagaimana batinku tidak terkoyak, saat binar bahagia tergambar jelas di wajah Mas Ibram justru saat ia bersama Rena? Belum pernah aku melihat Mas Ibram sebahagia itu saat menghabiskan waktu bersamaku.Harga diriku hancur. Hatiku perih. Sangat perih. Apa yang bisa mengobati rasa ini, Tuhan?Aku tergugu dengan membenamkan wajah pada setir. Berb
Tania benar. Mas Ibram tak lebih dari seonggok sampah. Maka, memang sudah sepantasnya harus aku buang."Iya, Tan. Aku harus membuangnya. Sebelum dia mencemari yang lainnya," ucapku dengan yakin. Meski hatiku remuk, tetapi pikiranku harus tetap waras. Aku tidak mau dipermainkan seperti ini."Bagus!" ucap Tania sembari mengacungkan jempolnya. "Sekarang kamu harus kumpulkan bukti untuk gugat dia, Vi!" ucap Tania dengan berapi-api.Aku menghela napas. Rasanya ini seperti mimpi saja. Aku benar-benar tak menyangka kalau pernikahanku akan seperti ini akhirnya. Namun, apa hendak dikata, saat suratan Tuhan telah digariskan dan hanya bisa dihadapi semampuku."Bukan hanya untuk menggugat, Tan," ucapku dengan lemah karena rasanya saat ini aku benar-benar berada di titik terendah. "Tapi untuk Papa juga. Enggak mungkin Papa akan percaya sama aku begitu aja. Kamu tahu, kan, kayak gimana Mas Ibram di mata Papa?" ucapku tanpa semangat sama sekali. Kontras sekali dengan Tania yang begitu berapi-api."B
Aku dan Tania saling bertatapan. Beberapa saat kemudian aku mengangguk mantap."Panggil tukang kunci atau kalau perlu rusak sekalian pintu ini, Pak!" titahku tegas. Sekarang aku tak perlu sembunyi-sembunyi lagi menyelidiki Mas Ibram. Toh, dia sudah tahu kalau aku akan melakukan ini.Pak Hasim tampak ragu. Dia masih menatapku tanpa bicara."Cepat, Pak!" titahku."Ba-baik, Bu."Pak Hasim menyalakan lampu koridor tempat kami berdiri, kemudian beranjak pergi."Benar-benar niat Ibram, ya!" geram Tania."Aku sebenarnya masih bingung, Tan. Enggak ngerti sama apa yang sebenarnya terjadi. Ini kayak .... Rasanya kayak tiba-tiba semua berubah. Dan aku enggak tahu alasan Ibram apa?" Tania mengusap punggungku. "Kamu harus kuat! Apapun kenyataan yang terjadi nanti, kamu harus yakin itu yang terbaik.""Iya, Tan. Cuma rasanya ini kayak tiba-tiba banget. Awalnya cuma kemarin Ibram ketahuan bantu Rena pindahan, setelah itu satu persatu kebohongan dia terungkap. Dan ini terjadi cuma dalam hitungan hari
Aku dan Tania melangkah mendekati brankas tersebut dengan hati-hati. Aku melihat banyak tumpukan uang, emas, dan berkas-berkas lainnya."Ambil semua aja, Tan!" pintaku pada Tania. Wanita berjemari lentik itu berhati-hati memindahkan barang-barang dari brankas tersebut ke meja kerja Mas Ibram.Setelah brankas kosong, aku mengecek apa saja isi yang tadi telah kami pindahkan. Kuambil amplop cokelat besar untuk menyimpan uang tunai dan emas batangan. Tak lupa kuambil setumpuk uang bertulis nominal sepuluh juta untuk Pak Hasim. Sepertinya cukup untuk upahnya malam ini."Wah, terima kasih sekali, Bu!" ucap Pak Hasim dengan mata berbinar. Dipeluknya uang bonus tersebut.Selanjutnya aku dan Tania mengecek satu persatu berkas yang masih berserak di meja. Isinya berkas-berkas kantor dan mini market. Tak ada berkas yang berkaitan dengan kecurangan Mas Ibram. Namun, aku menemukan ada lima buah buku tabungan deposito atas nama Mas Ibram yang disimpan
"Vi, ada apa?" tanya Tania dengan suara terdengar panik.Sementara aku masih mematung dengan jemari gemetaran. Mataku menatap kosong ke depan dengan bibir setengah terbuka.Tania berusaha mengambil ponsel Mas Ibram yang kujatuhkan. Dari sudut mata aku bisa melihat mata lebar Tania bergantian memandangku dan juga ponsel Mas Ibram yang kini di tangannya.Kemudian Tania membuka ponsel Mas Ibram. Kedua mata lebarnya fokus di sana."Tan, tolong antar aku pulang sekarang juga!" pintaku pada Tania.Gemuruh di dadaku sudah seperti gulungan ombak yang siap menerjang karang. Aku akan tendang penipu itu sekarang juga. Tak ada ampun untuk manusia hina sepertinya.Tania buru-buru menaruh ponsel Mas Ibram di pangkuannya. Kemudian dengan lincah, memacu mobil ke arah rumahku."Sampai rumah kamu mau gimana?" tanya Tania sembari menyetir."Aku akan usir dia langsung, Tan. Dia bukan manusia. Aku akan kembalikan dia ke tempat asalnya!" tekadku. Aku tak menangis, bersedih atau perasaan galau lainnya. Yan
Langkahku tak selebar tadi. Kuseret kakiku mendekati sofa dengan nyali tinggal separuh. Sejak dulu aku memang takut dengan Papa. Aku tak pernah berani melawan laki-laki itu. Papa terlalu keras untuk dijadikan lawan. Ucapannya tak terbantahkan."Viona bisa jelasin, Pa!" ucapku masih berusaha tenang."Duduk!" titah Papa.Sembari duduk, aku bertanya-tanya. Ada apa? Kenapa Papa terlihat begitu marah? Tak mungkin hanya karena aku pulang malam Papa semarah itu."Pa, Viona habis ....""Diam!" bentak Papa sembari kedua bola matanya melotot. "Dengar baik-baik! Sampai kapanpun, Papa enggak akan setuju kamu cerai dengan Ibram!"Mataku melebar mendengar itu. Aku menatap tak percaya pada wajah lelaki yang masih berdiri di depanku. Apa maksud Papa berkata begitu? Aku bahkan belum mengatakan apa-apa. Apalagi tentang perceraian."Maksud Papa?" Aku menuntut penjelasan kepada lelaki berkac
Aku terperangah menatap Ibram tak percaya. Aku benar-benar tidak menyangka, selama delapan tahun ternyata aku hidup dengan penipu licik seperti Ibram. Ya, dia lebih pantas langsung dipanggil nama saja. Tak pantas ia dipanggil dengan sebutan Mas. Terlalu sopan untuk seorang penipu. Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan. Dia pikir, aku akan menyerah karena tak berhasil mengusirnya? Aku punya banyak cara, Ibram! Sampai mati aku tak ikhlas manusia rubah sepertimu menjadi parasit di rumah ini."Oke, kalau itu mau kamu, aku akan tempuh jalur hukum," ucapku dengan berusaha tenang pada lelaki tak tahu diri itu.Sebenarnya, aku tak ingin melakukan ini. Mengingat, bagaimanapun dia papa Cahaya. Namun, tak ada pilihan lain. Aku tak akan membiarkan lelaki sepertinya mendapatkan apa yang diinginkan."Silahkan, kalau kamu pikir bisa memperkarakan ini," sahut Mas Ibram sembari tersenyum meremehkanku."Kita lihat saja." Pak Sarno tergopoh memasuki ruang tamu. Lelaki paruh baya berbadan kekar itu ta