Share

Duri

Seketika aku berdiri melihat kedatangan Mas Ibram. Darahku serasa mendidih. Wajahku memanas. Kedua tanganku mengepal kuat. Dengan hati membara, aku melangkah hendak menghampiri mereka.

Namun, seketika langkahku terhenti. Aku tak boleh gegabah. Yang ada nanti mereka akan kembali mengelak. Mencari seribu alasan untuk menutupi kebusukannya.

Aku kembali mundur dan duduk di kursi semula. Aku akan mengamati mereka dan mengabadikan momen langka ini. Segera kuambil ponsel, kunyalakan perekam video kemudian mengarahkan ke posisi mereka. Kujaga agar ponselku cukup di meja. Terlalu kentara apabila aku memegangi dengan mengarah ke mereka.

"Sudah dari tadi?" Aku bisa mendengar suara Mas Ibram dari sini. Kebetulan di depan tempat dudukku berdiri tiang cukup besar, sehingga keberadaanku tak terlihat oleh mereka.

"Lumayan," jawab Rena.

Fabian tampak mencium tangan Mas Ibram. Kemudian Mas Ibram mencium kepala anak itu. Setelahnya Rena juga mencium tangan Mas Ibram dan Mas Ibram mencium kening Rena. Sepupu macam apa yang melakukan hal seperti itu?

Darahku semakin mendidih. Kalau tak memikirkan proses yang harus kutempuh ke depan, pasti sudah kulabrak mereka. Ruangan ini bjsa hancur oleh amukanku. Namun, sebisa mungkin aku tahan.

"Tunggu, Vi! Kamu hanya perlu bersabar sebentar lagi!" pintaku pada diriku sendiri.

Mas Ibram tampak menggendong anak yang dipangku Rena. Membiarkan Rena menikmati makanannya kemudian dia melambaikan tangan memanggil pramusaji.

Setelah terlihat memesan makanan, sesekali Rena menyuapkan makanan yang berada di depannya ke mulut Mas Ibram. Lelaki itu tampak begitu semringah. Mereka makan sembari bercanda dengan santainya persis sebuah keluarga bahagia.

"Ini enak sekali, Yah!" seru Fabian dengan antusias. Tanpa ragu Mas Ibram menyomot makanan yang ditunjukkan anak laki-laki itu.

Dia mengunyah sembari mengangguk-anggukan kepala. Setelah menelan makanannya ia tampak tersenyum lebar sembari mengacungkan jempolnya.

"Iya, enak sekali. Kamu habiskan, ya!" pintanya pada Fabia.

Lalu bergantian Rena yang seperti itu. Wanita itu kembali menyuap makanannya ke mulut Mas Ibram. Tanpa sendok! Langsung dengan tangannya.

Hal-hal seperti itu bisa dibilang tak pernah kami lakukan. Meskipun hubunganku dengan Mas Ibram sangat baik sebelumnya, tetapi aku merasa tidak sedekat mereka. Tak pernah kami saling mencomot makanan saat di meja makan ataupun ketika makan di luar.

Mungkin sebenarnya hubungan kami bisa dibilang kaku. Meski hal itu menurutku biasa saja, karena yang aku lihat, kedua orang tuaku pun sama.

Apa ini yang membuat Mas Ibram berselingkuh dengan Rena? Karena lelaki itu merasa lebih nyaman saat bersamanya? Benarkah begitu?

Tak bisa kupungkiri, dadaku sangat nyeri melihat pemandangan ini. Orang yang begitu aku cintai terlihat lebih bahagia bersama wanita lain. Bahkan dengan anak-anak wanita itu juga.

Kutarik tarik napas panjang untuk mengusir rasa sakit yang menguasai dada. Aku tak boleh lemah. Aku harus ungkap hubungan mereka yang sebenarnya. Akan kutunjukkan pada Mas Ibram, dimana tempatnya yang sebenarnya.

Makanan yang dipesan Mas Ibram datang. Rena mencuci tangannya kemudian mengambil kembali anaknya yang dipangku Mas Ibram. Sementara lelaki itu mulai menyantap makanannya. Sesekali Mas Ibram juga menyuapkan makanannya ke mulut Rena dan Fabian. Mereka tampak sangat bahagia.

Oke, cukup! Aku tak bisa lagi mendiamkan kelakuan mereka. Apalagi ini di tempat umum. Bagaimana kalau kenalanku atau Papa melihatnya? Bisa hancur relutasiku.

Dengan mantap aku berdiri kemudian melangkah ke meja mereka. Awalnya mereka tak menyadari kedatanganku. Sampai aku berhenti dan berdiri persis di belakang kursi Mas Ibram.

Rena dan Fabian yang pertama kali melihatku langsung terperangah. Mulut mereka terbuka dengan mata melebar selama beberapa saat. Tanpa suara.

"Ada apa?" tanya Mas Ibram kepada Rena dan Fabian. Menyadari pandangan Rena dan Fabian yang terpaku kepadaku, Mas Ibram pun menoleh. Wajah lelaki itu langsung pucat pasi.

"Vi-Vi-Viona?" serunya tergagap.

Aku tersenyum menatapnya. "Wah, dari tadi seru sekali, ya, makan malamnya?"

"A-aku ... a-aku tadi ... kebetulan lewat sini, Ma," jelas Mas Ibram tak masuk akal.

"Iya, enggak apa-apa. Sengaja makan bersama juga enggak apa-apa. Bukahkah dia sepupumu?" Kutahan sekuat tenaga bara emosi yang sudah mendidih sampai ubun-ubun.

"E-iya, a-yo Mbak Viona ikut makan juga!" ajak Rena salah tingkah.

"Melihat kalian dari tadi makan suap-suapan sudah membuatku kenyang," sahutku.

Mendengar itu Rena langsung mematung. Mulutnya terbuka, tetapi tak mengeluarkan suara.

"Ma, itu ... itu enggak seperti yang kamu kira!" ucap Mas Ibram.

"Ya, sudah, silahkan dilanjut!" titahku tanpa mempedulikan ucapan Mas Ibram.

Kemudian dengan sengaja kusenggol jus naga yang berada di dekatku sehingga tumpah ke baju dan celana Mas Ibram.

"Oh, maaf. Aku sengaja!"

Tanpa melihat reaksi mereka, aku langsung melangkah pergi.

Sungguh sebenarnya hatiku sakit sekali. Entah apa kata yang bisa mengungkapkan kesakitan yang saat ini aku rasakan. Mas Ibram lelaki yang begitu aku percaya. Bahkan seolah hidupku telah kupercayakan padanya, ternyata begitu busuk di belakangku.

"Ma! Tunggu!"

Kudengar Mas Ibram berseru memanggilku. Namun, aku terus melangkah mengabaikan panggilannya.

"Ma!"

Kudengar derap sepatu mendekatiku. Sejurus kemudian Mas Ibram mencekal lenganku.

"Ma, kamu salah paham!" ucapnya dengan wajah memelas.

"Lepas! Aku enggak mau jadi tontonan!" desisku dengan mata mendelik.

Mas Ibram langsung melemahkan cekalannya dan melepas lenganku.

"Aku terlalu berharga untuk berada di lingkaran sampah seperti kalian!" desisku.

"Ma!" panggil Mas Ibram lemah.

Tanpa mempedulikannya lagi, aku meneruskan langkah menuju area parkir.

Jika harus melepas, aku ikhlas. Karena, ketika yang aku genggam adalah duri, hanya dengan melepasnya aku tak lagi tersakiti.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Juliyanti
betul.. mnding di lepaskan kn drpd hati tersakiti..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status