Share

Data Fiktif

Dadaku serasa terbakar memikirkan Mas Ibram ada main di belakangku. Entah Rena itu Maharani, atau Rena sebenarnya adalah selingkuhan Mas Ibram. Walaupun penampilan Rena seperti ondel-ondel begitu, tak menutup kemungkinan mereka berselingkuh. 

Bukankah syarat menjadi selingkuhan itu tak harus cantik? Cukup menjadi murah saja. Itu sudah cukup.

Besok pagi aku akan menemui ondel-ondel itu di minimarket. Akan kubongkar topeng yang ia pasang kemarin di hadapanku. 

Dia bilang pindah dari Kalimantan? Lalu pindah ke sini karena mau kerja atau buka usaha? Pintar sekali ia mengarang cerita. Tak tahunya selama ini ia bekerja di mini marketku. Benar-benar pembohong besar mereka berdua.

"Ma!" 

Aku tersentak saat terdengar Mas Ibram memanggilku. Lelaki itu mengakat kepalanya sembari masih berbaring.

"Lagi ngapain? Kok, belum tidur?" tanyanya.

"Ini lagi balas pesan," dustaku.

"Udah malam ini, lanjut besok aja!" titahnya.

Aku beranjak dari sofa, kemudian mengganti handuk kimono dengan baju tidur. Setelahnya kurebahkan badan di samping Mas Ibram.

Lelaki yang baru saja terbangun itu menunjukkan gelagatnya ingin menyentuhku. Namun, karena sekarang aku tahu ada yang tak beres dengannya, terpaksa aku berdusta. Aku bilang sedang berhalangan.  Aku tak mau disentuhnya dulu, sebelum Mas Ibram terbukti setia dan Rena benar-benar bukan siapa-siapa.

Mas Ibram menghela napas berat. Tampak ia kecewa, malam ini hasratnya tak bisa tersalurkan. Sementara aku langsung memejamkan mata, pura-pura langsung tertidur.

Pagi hari berjalan seperti biasa. Tak ada yang istimewa. Cahaya berpamitan untuk ke sekolah bersama pengasuhnya, Mbak Susi. Mereka berdua diantar oleh Pak Udin, supir keluarga kami. 

Beberapa saat setelah Cayaha berangkat, Mas Ibram belum juga keluar dari ruang kerjanya. Penasaran, aku naik ke lantai dua untuk menyusulnya. Aku tak langsung masuk. Kuamati dulu lelaki itu dari kaca lebar yang membentang sebagai dinding ruang kerjanya.

Terlihat lelaki itu sedang sibuk mencari-cari sesuatu. Mengangkat-angkat tumpukan berkas. Bolak-balik membuka laci. Menghentak-hentakkan buku agenda yang kemarin dia pakai menutup foto yang telah kuamankan. Bahkan ia sampai menunduk mencari-cari di kolong meja.

"Sedang cari apa, Pa?" tanyaku begitu membuka pintu ruang kerjanya.

Mas Ibram tampak terkejut melihat kedatanganku. "Ehm, ini, Ma. Ehm, ada berkas laporan yang terselip," jawabnya sembari merapikan berkas dan buku-buku yang berserak di mejanya.

Benarkah berkas laporan yang kamu cari, Pa? Atau selembar foto yang kini ada padaku? Baru tahu aku. Ternyata selama ini kamu pandai sekali berdusta!

"Laporan apa?" tanyaku pura-pura percaya. Padahal aku yakin, lelaki itu sedang mencari fotonya bersama Rani. "Aku bantu cari, ya?"

"Enggak usah!" serunya seketika. Wajah itu tampak terperangah.

Aku sampai terkejut dengan reaksinya. Dalam hati aku tersenyum jahat. Pasti Mas Ibram takut sekali kalau aku yang menemukan apa yang sedang dicarinya.

"Loh, kenapa?" tanyaku pura-pura bingung. 

Kita lihat, Pa! Siapa yang akan menjadi juara dalam sandiwara ini? Kamu pikir aku tak bisa?

"Ehm, itu, Ma. Nanti biar aku cari di kantor aja. Kayaknya kemarin tertinggal di sana," kilahnya.

"Ya, sudah. Kamu cari di kantor, aku cari di sini. Siapa tahu terselip di sini," ucapku sok peduli.

"Enggak, Ma! Enggak usah! Aku sudah ingat. Kemarin sudah kukasihkan ke Mona buat direvisi," ucapnya.

"Oh." Bibirku membulat cukup lama.

"Ya, sudah. Yuk, Ma! Aku mau berangkat!" ajak Mas Ibram sembari merangkulku berjalan keluar dari ruangan ini. Setelah sampai di depan pintu, lelaki itu menutup dan mengunci pintu ruang kerjanya.

"Kenapa dikunci, Pa?" protesku. Karena selama ini tak pernah Mas Ibram mengunci ruangan ini.

"Takut Mbok Sar atau Mbok Inul masuk, Ma. Nanti malah ada yang hilang," ujarnya.

"Biasanya juga mereka bersih-bersih, semuanya aman, Pa!" Sengaja aku tak setuju dengan perkataannya.

"Udah, aku mau berangkat dulu, ya!" pamitnya tampa peduli argumenku. Diciumnya keningku dengan terburu-buru kemudian tanpa kata ia berjalan cepat menuruni anak tangga. 

Aku sampai melongo melihatnya. Padahal biasanya aku mengantarnya sampai teras. Baru ia mencium keningku. Kemudian aku mencium tangannya dan ia berangkat.

Meskipun Mas Ibram meninggalkanku, aku menyusulnya sampai teras. Aku ingin memastikan lelaki itu sudah pergi dari rumah. Karena hari ini aku akan mengunjungi mini market tempat Rena bekerja.

Setelah melihat pintu gerbang ditutup Pak Sarno, aku kembali ke kamar untuk bersiap-siap. Kupandangi pantulan diri di cermin. Aku mengenakan tunik polos warna navy dipadukan celana kulot berbahan jeans. Hari ini aku juga mengenakan pasmina warna hitam.

Terlihat di cermin, kulitku yang putih begitu kontras dengan pakaian yang kukenakan. Meskipun usiaku sudah tak muda, namun tubuh dan wajahku tak ikut tua. Mataku masih sebening dulu, tanpa kerutan di sekitarnya. Hidungku juga runcing berpadu dengan bibir tipis warisan Mama. Dulu waktu gadis Mama selalu bilang aku mirip artis Fairus A. Rafiq.

Benar-benar bodoh dan buta kalau sampai Mas Ibram berselingkuh dengan Rena. Kami seperti langit dengan bumi. Bukannya aku sombong, tetapi itu memang fakta setelah pertemuan kami kemarin.

Setelah merasa puas cukup melihat penampilanku, segera aku mengambil kontak mobil dan keluar menuju garasi. Sebelumnya juga sudah kupastikan bahwa Mas Ibram hari ini tak ada jadwal berkunjung ke mini market tempat Rena bekerja.

Kupacu mobil dengan bersemangat. Ingin kupermalukan ondel-ondel itu di depan umum. Berani sekali dia menipuku. Sedang ia ternyata bekerja di mini marketku. Dia pikir bisa bersembunyi di ketiak Mas Ibram.

Oh, ya. Rumah itu. Darimana dia punya uang sebanyak itu untuk membeli rumah di perumahan yang cukup elit? Meskipun cuma satu lantai, tak seperti rumah Tania, tetapi harga tanah dan rumah di perumahan itu cukup tinggi. Tania saja sampai menjual dua kapling tanahnya untuk menambah kekurangan uang tabungannya.

Lalu Rena? Dia cuma supervisor di mini marketku. Aku tahu gajinya berapa. Butuh waktu puluhan tahun untuk bisa mengumpulkan uang sebanyak harga rumah itu.

Jangan-jangan ...?

Awas saja Mas Ibram kalau sampai dia ketahuan membelikan Rena rumah itu. Akan kutendang mereka ke asalnya.

Tak sampai satu jam perjalanan, mobilku sudah terparkir di area parkir mini Market. Begitu turun dari mobil, salah seorang pramuniaga yang sedang mengecek barang dari mobil box mengangguk hormat kepadaku. Persis seperti Mas Ibram dulu.

Aku melangkah menuju pintu masuk setelah tersenyum simpul pada pramuniaga tersebut. Kudorong pintu kaca. Sambutan serupa kuterima dari dua kasir dan dua orang pramuniaga lainnya.

Setelah tersenyum simpul pada mereka, kulanjutkan langkah menuju pintu yang ada di pojok. Ruangan itu tempat supervisor mengolah laporan harian toko.

Setelah mengetuk pintu, aku menekan handelnya. Seketika pintu terbuka. Ada seorang supervisor laki-laki duduk di depan komputer. Melihat kedatanganku, laki-laki itu berdiri.

"Selamat pagi, Bu!" sapanya sembari mengangguk hormat.

"Selamat pagi," jawabku. "Dimana temanmu?" tanyaku langsung pada intinya.

"Teman ...?" Supervisor itu tampak bingung.

"Iya, bukannya bukan cuma kamu supervisor di sini?" tegasku.

"Maksud Ibu?"

"Aku mau ketemu sama supervisor yang bernama Rena Andini!" jelasku tegas. Aku tak suka bertele-tele seperti itu.

"Supervisor Rena Andini?" Dia balik bertanya.

"Ya, dimana dia?" tanyaku tegas.

"Di sini supervisornya cuma saya, Bu. Riski Hermawan."

Apa? 

Jadi supervisor bernama Rena Andini itu hanya fiktif? Itukah cara yang dilakukan Mas Ibram untuk mengambil uang dari usaha mini marketku?

Tidak bisa dibiarkan! Aku harus secepatnya bertindak!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status