"Bibi tahu siapa wanita dan anak di foto ini?"
Kuangsurkan foto yang kemarin ditunjukkan Cahaya. Bi Lasmi menerima foto itu. Kedua alisnya bertaut memandangi foto tersebut. Cukup lama. Karena memang gambar di kertas foto tersebut sudah cukup pudar. Tinggal menyisakan warna hitam keabuan dan putih kekuningan."Ini Ibrahim," ucapnya sembari menunjuk gambar Mas Ibram. "Yang ini Rani kayanya. Dulu anak itu rambutnya ikal dan ngembang begini," jelasnya saat menunjuk gambar wanita yang berdiri di samping Mas Ibram. "Tapi anak ini, Bibi belum pernah lihat.""Oke, Bi. Makasih, ya." Kuambil kembali foto tersebut. Akan kutunjukkan ini pada Mas Ibram nanti ketika bukti yang kukumpulkan sudah cukup. Berbicara tanpa bukti akan sangat mudah membuat Mas Ibram mengelak. Tak mungkin maling akan mudah mengaku ketika masih ada celah untuk berbohong.Kutanyakan juga perihal rumah orang tua Mas Ibram. Ternyata memang benar. Rumah dan sawah peninggalan orang tuanya telah habis terjual sesaat setelah orang tua Mas Ibram meninggal. Kata Bi Lasmi, ibu Mas Ibram meninggal tak lama setelah Mas Ibram kawin lari dengan Rani. Setelahnya, ayahnya sakit-sakitan. Bi Lasmi yang mengurus sampai lelaki malang itu akhirnya menyusul sang istri.Mengetahui orang tuanya meninggal, Mas Ibram pulang sendiri tanpa Rani. Kemudian rumah dan sawah peninggalan orang tuanya dia jual. Karena Mas Ibram anak tunggal, maka hasil penjualan itu semua diambilnya. Bahkan Bi Lasmi yang merawat ayahnya saja tak diberi sedikit uang itu. Padahal hubungan ayah Mas Ibram dengan Bi Lasmi itu ipar. Setelah menjual semua tanahnya di kampung ini Mas Ibram kembali ke Kalimantan. Baru pulang lagi ketika mengabari akan menikah denganku. Lima tahun setelah kawin larinya itu.Aku tak menyangka Mas Ibram sepelit itu pada saudaranya. Delapan tahun berumah tangga, ternyata masih ada sisi lain yang belum aku mengerti sepenuhnya.Setelah banyak berbincang-bincang, aku dan Tania pamit untuk pulang. Bi Lasmi hendak membawakan oleh-oleh, tetapi aku tak mau. Nanti Mas Ibram bisa tahu kalau aku habis dari sini."Coba kamu lihat foto itu, Tan! Mirip enggak sama Rena?" Aku mengangsurkan foto itu pada Tania saat masuk ke mobil.Tania tampak mengamati foto itu. Sementara aku mulai melajukan mobil. "Udah enggak jelas gini, sih, ya, fotonya. Jadi susah ngenalinnya. Tapi kayaknya enggak mirip, sih. Rena kemarin rambutnya lurus gitu. Badannya juga berisi beda dengan wanita di foto ini," ucap Tania."Jadi Rani dan Rena bukan orang yang sama, ya, Tan?" tanyaku sembari fokus ke jalanan."Menurutku kalau dilihat dari foto ini, sih, gitu. Tapi bisa jadi mereka satu orang. Kan, foto ini udah lama juga. Penampilan, kan, mudah diubah.""Masuk akal."Lima jam perjalanan kami habiskan dengan mengobrol tentang Rani, Rena, dan Mas Ibram. Sampai akhirnya kami sampai di rumah Tania.Aku kembali mengamati rumah baru Rena. Sama seperti tadi pagi. Petang ini, rumah itu cukup sepi. Tak terlihat aktifitas di dalam rumah dari luar. Karena semua kaca tertutup."Tenang! Kalau nanti aku lihat Ibram ke sini, aku laporin ke kamu," ucap Tania seolah mengerti kegundahanku."Makasih, ya!" ucapku sembari tersenyum pada Tania. "Aku langsung pulang aja, ya! Bentar lagi Ibram pulang.""Iya, hati-hati, ya! Kamu harus main cantik. Jangan gegabah dari pada Ibram lebih rapat menyembunyikan kebusukannya itu!" pesan Tania."Sip!" Kuacungkan jempol kananku.Tania turun dari mobil dan melambaikan tangannya padaku. Segera kupacu kembali mobil menuju rumah. Badanku sangat lelah. Aku ingin segera bertemu ranjang dan beristirahat.Saat mobilku memasuki halaman rumah, tampak mobil Mas Ibram sudah terparkir di garasi. Rupanya dia pulang lebih cepat dari biasanya.Saat aku memasuki rumah, Mas Ibram terlihat sedang bermain dengan Cahaya. Mereka asyik bercanda di ruang keluarga.Semanis itu hubungan kami. Aku sama sekali tak menyangka kalau Mas Ibram bisa membohongiku. Kupikir dia lelaki yang terbaik untukku dan Cahaya. Namun, kenyataannya dia sudah berbohong kepadaku."Mama!" seru Cahaya saat menyadari kehadiranku. Anak itu langsung berlari menghambur dalam pelukanku."Udah makan?" tanyaku."Udah, tadi disuapin Papa," jawab Cahaya.Mas Ibram memang sangat memanjakan putrinya. Ah, bagaimana nanti kalau lelaki itu terbukti melakukan kesalahan besar kepadaku? Tegakah aku memisahkan Cahaya dari cinta pertamanya?"Ya, udah. Mama mandi dulu, ya? Lengket banget badan Mama," pamitku pada Cahaya. Kemudian beranjak ke kamar.Tiba di kamar, aku menghubungi Alvin, manager keuangan di kantor Mas Ibram. Aku ingin tahu dengan detail keuangan di minimarket yang dikelola oleh Mas Ibram.Dulu awal menikah denganku, Papa mempercayakan dua minimarketnya pada Mas Ibram. Dan sekarang Mas Ibram sudah bisa mengembangkannya menjadi delapan. Itu sebabnya Papa sangat bangga pada menantu pilihannya itu.[Vin, aku mau data real! Awas kalau kamu sampai ketahuan memanipulasi! Meskipun Pak Ibram yang mengelola, usaha ini milikku. Aku yang punya wewenang bukan Pak Ibram!] Kukirim pesan itu pada Alvin. Sengaja aku berkata begitu, karena aku yakin di antara Mas Ibram dengan Alvin, pasti ada hal-hal yang tidak kuketahui. Sekali Mas Ibram ketahuan berbohong, sangat sulit untuk aku bisa percaya kepadanya lagi. Bahkan sepertinya tak bisa.Tak berselang lama balasan dari Alvin kudapat. [Baik, Bu. Tunggu sebentar!]Tak sampai lima menit kemudian, Alvin mengirimkan dokumen melalui emailku. Segera saja kubuka dokumen tersebut. Kucari posisi nyaman dengan duduk di sofa kamar. Butuh konsentrasi penuh untuk melihat hal yang janggal pada data seperti ini."Ma, kok, belum mandi?" Bariton yang begitu kukenal membuatku terkejut."Oh, iya. Sebentar lagi," jawabku setelah menoleh sekilas pada Mas Ibram."Habis darimana sampai jam segini?" tanyanya sembari berjalan mendekatiku. Segera saja kututup email dari Alvin. Aku tak mau Mas Ibram mengetahui kalau aku sedang menyelidikinya."Jalan sama Tania," jawabku sembari mematikan layar ponselku."Oh, ya, sudah, sana mandi dulu!" pintanya."Hm." Aku segera beranjak. Memasukkan kembali ponselku ke tas. Aku juga sudah mengubah sandi ponselku. Karena sebelumnya antara aku dan Mas Ibram saling terbuka masalah ponsel.Aku mandi cukup lama. Sengaja. Karena aku ingin Mas Ibram sudah tertidur saat aku keluar dari kamar mandi. Aku ingin fokus melihat data yang Alvin kirim.Perkiraanku tepat. Mas Ibram sudah tertidur saat aku keluar dari kamar mandi. Melihat itu, aku melangkah dengan berhati-hati. Karena aku tak ingin Mas Ibram sampai terbangun.Segera saja aku mengambil ponsel dan kembali ke sofa. Tak peduli aku masih mengenakan handuk kimono ini. Aku ingin segera mengecek data keuangan kantor.Kuamati tiap kolomnya. Taka ada pengeluaran yang tak wajar. Semua tampak normal. Sampai gaji karyawan. Iseng kubaca satu persatu nama karyawan di delapan minimarket kami. Mulai dari pramuniaga, kasir, sampai supervisor.Dahiku mengernyit saat melihat ada yang beda dengan minimarket cabang ke lima. Ada dua orang supervisor. Padahal semua minimarket hanya ada satu supervisor.Kenapa ini ada dua?Segera saja kucari daftar nama supervisor. Ketemu. Kuurut satu persatu. Dan, ya, aku menemukan sebuah nama.Rena Andini.Supervisor bermana Rena Andini itu tak punya biodata dan kelengkapan lainnya. Hanya sebuah nama.Mungkinkah dia Rena yang Mas Ibram akui sebagai sepupunya? Kalau benar, apa sebenarnya hubungan mereka? Apakah Maharani dan Rena Andini adalah orang yang sama?Dadaku serasa terbakar memikirkan Mas Ibram ada main di belakangku. Entah Rena itu Maharani, atau Rena sebenarnya adalah selingkuhan Mas Ibram. Walaupun penampilan Rena seperti ondel-ondel begitu, tak menutup kemungkinan mereka berselingkuh. Bukankah syarat menjadi selingkuhan itu tak harus cantik? Cukup menjadi murah saja. Itu sudah cukup.Besok pagi aku akan menemui ondel-ondel itu di minimarket. Akan kubongkar topeng yang ia pasang kemarin di hadapanku. Dia bilang pindah dari Kalimantan? Lalu pindah ke sini karena mau kerja atau buka usaha? Pintar sekali ia mengarang cerita. Tak tahunya selama ini ia bekerja di mini marketku. Benar-benar pembohong besar mereka berdua."Ma!" Aku tersentak saat terdengar Mas Ibram memanggilku. Lelaki itu mengakat kepalanya sembari masih berbaring."Lagi ngapain? Kok, belum tidur?" tanyanya."Ini lagi balas pesan," dustaku."Udah malam ini, lanjut besok aja!" titahnya.Aku beranjak dari sofa, kemudian mengganti handuk kimono dengan baju tidur. Sete
Tak ingin membuang waktu, segera kuhubungi Mona. Memastikan sekali lagi kalau hari ini Mas Ibram hanya di kantor tidak ada kunjungan ke semua mini market kami. Setelah mendapat kepastian, segera kuhubungi Indra, kepala HRD.Aku meminta Indra untuk mengumpulkan semua karyawan di mini market tempatku berada secepatnya. Aku ingin mencocokkan jumlah real karyawan dengan data yang semalam Alvin kirim."Beri saya waktu satu jam, Bu!" pinta Indra.Aku menyetujuinya. Kutunggu kehadiran mereka di ruangan Riski. Pemuda itu mempersilahkan aku duduk di kursinya. Karena memang tidak ada kursi lain di ruangan ini.Setelahnya, Riski keluar untuk mempersiapkan ruangan, agar nanti bisa dipakai untuk mengumpulkan semua karyawanku kecuali yang berada di kantor Mas Ibram.Minimarket kami tutup sampai semua yang ingin kuketahui beres. Aku meminta Indra, agar Mas Ibram jangan sampai tahu soal ini.Sekitar satu jam kemudian, semua karyawan mini market seluruh cabang berkumpul. Aku lihat, rata-rata jumlah ka
Seketika aku berdiri melihat kedatangan Mas Ibram. Darahku serasa mendidih. Wajahku memanas. Kedua tanganku mengepal kuat. Dengan hati membara, aku melangkah hendak menghampiri mereka.Namun, seketika langkahku terhenti. Aku tak boleh gegabah. Yang ada nanti mereka akan kembali mengelak. Mencari seribu alasan untuk menutupi kebusukannya.Aku kembali mundur dan duduk di kursi semula. Aku akan mengamati mereka dan mengabadikan momen langka ini. Segera kuambil ponsel, kunyalakan perekam video kemudian mengarahkan ke posisi mereka. Kujaga agar ponselku cukup di meja. Terlalu kentara apabila aku memegangi dengan mengarah ke mereka."Sudah dari tadi?" Aku bisa mendengar suara Mas Ibram dari sini. Kebetulan di depan tempat dudukku berdiri tiang cukup besar, sehingga keberadaanku tak terlihat oleh mereka."Lumayan," jawab Rena.Fabian tampak mencium tangan Mas Ibram. Kemudian Mas Ibram mencium kepala anak itu. Setelahnya Rena juga mencium tangan Mas Ibram dan Mas Ibram mencium kening Rena. Se
Kubanting sekuat tenaga pintu mobil Tania. Dadaku rasanya mau meledak. Hatiku sakit, sangat sakit. Meskipun di depan mereka aku bisa terlihat kuat, tetapi sungguh, sebenarnya aku hatiku hancur. Aku benar-benar remuk. Tak berbentuk."Aaagrh!"Aku berteriak, menangis meluapkan semua rasa yang sejak tadi begitu sesak menghimpit dada. Saat ini aku tak lagi bisa menahannya. Ternyata seperti ini rasanya, ketika orang yang aku cinta, ternyata tidak menjadikan aku satu-satunya. Sakit. Sangat sakit. Seperti beribu-ribu anak panah menancap di dadaku secara bersamaan. Kemudian satu persatu dicabut dengan brutal."Ya Allah!" ratapku. "Ini sakit sekali ...."Bagaimana batinku tidak terkoyak, saat binar bahagia tergambar jelas di wajah Mas Ibram justru saat ia bersama Rena? Belum pernah aku melihat Mas Ibram sebahagia itu saat menghabiskan waktu bersamaku.Harga diriku hancur. Hatiku perih. Sangat perih. Apa yang bisa mengobati rasa ini, Tuhan?Aku tergugu dengan membenamkan wajah pada setir. Berb
Tania benar. Mas Ibram tak lebih dari seonggok sampah. Maka, memang sudah sepantasnya harus aku buang."Iya, Tan. Aku harus membuangnya. Sebelum dia mencemari yang lainnya," ucapku dengan yakin. Meski hatiku remuk, tetapi pikiranku harus tetap waras. Aku tidak mau dipermainkan seperti ini."Bagus!" ucap Tania sembari mengacungkan jempolnya. "Sekarang kamu harus kumpulkan bukti untuk gugat dia, Vi!" ucap Tania dengan berapi-api.Aku menghela napas. Rasanya ini seperti mimpi saja. Aku benar-benar tak menyangka kalau pernikahanku akan seperti ini akhirnya. Namun, apa hendak dikata, saat suratan Tuhan telah digariskan dan hanya bisa dihadapi semampuku."Bukan hanya untuk menggugat, Tan," ucapku dengan lemah karena rasanya saat ini aku benar-benar berada di titik terendah. "Tapi untuk Papa juga. Enggak mungkin Papa akan percaya sama aku begitu aja. Kamu tahu, kan, kayak gimana Mas Ibram di mata Papa?" ucapku tanpa semangat sama sekali. Kontras sekali dengan Tania yang begitu berapi-api."B
Aku dan Tania saling bertatapan. Beberapa saat kemudian aku mengangguk mantap."Panggil tukang kunci atau kalau perlu rusak sekalian pintu ini, Pak!" titahku tegas. Sekarang aku tak perlu sembunyi-sembunyi lagi menyelidiki Mas Ibram. Toh, dia sudah tahu kalau aku akan melakukan ini.Pak Hasim tampak ragu. Dia masih menatapku tanpa bicara."Cepat, Pak!" titahku."Ba-baik, Bu."Pak Hasim menyalakan lampu koridor tempat kami berdiri, kemudian beranjak pergi."Benar-benar niat Ibram, ya!" geram Tania."Aku sebenarnya masih bingung, Tan. Enggak ngerti sama apa yang sebenarnya terjadi. Ini kayak .... Rasanya kayak tiba-tiba semua berubah. Dan aku enggak tahu alasan Ibram apa?" Tania mengusap punggungku. "Kamu harus kuat! Apapun kenyataan yang terjadi nanti, kamu harus yakin itu yang terbaik.""Iya, Tan. Cuma rasanya ini kayak tiba-tiba banget. Awalnya cuma kemarin Ibram ketahuan bantu Rena pindahan, setelah itu satu persatu kebohongan dia terungkap. Dan ini terjadi cuma dalam hitungan hari
Aku dan Tania melangkah mendekati brankas tersebut dengan hati-hati. Aku melihat banyak tumpukan uang, emas, dan berkas-berkas lainnya."Ambil semua aja, Tan!" pintaku pada Tania. Wanita berjemari lentik itu berhati-hati memindahkan barang-barang dari brankas tersebut ke meja kerja Mas Ibram.Setelah brankas kosong, aku mengecek apa saja isi yang tadi telah kami pindahkan. Kuambil amplop cokelat besar untuk menyimpan uang tunai dan emas batangan. Tak lupa kuambil setumpuk uang bertulis nominal sepuluh juta untuk Pak Hasim. Sepertinya cukup untuk upahnya malam ini."Wah, terima kasih sekali, Bu!" ucap Pak Hasim dengan mata berbinar. Dipeluknya uang bonus tersebut.Selanjutnya aku dan Tania mengecek satu persatu berkas yang masih berserak di meja. Isinya berkas-berkas kantor dan mini market. Tak ada berkas yang berkaitan dengan kecurangan Mas Ibram. Namun, aku menemukan ada lima buah buku tabungan deposito atas nama Mas Ibram yang disimpan
"Vi, ada apa?" tanya Tania dengan suara terdengar panik.Sementara aku masih mematung dengan jemari gemetaran. Mataku menatap kosong ke depan dengan bibir setengah terbuka.Tania berusaha mengambil ponsel Mas Ibram yang kujatuhkan. Dari sudut mata aku bisa melihat mata lebar Tania bergantian memandangku dan juga ponsel Mas Ibram yang kini di tangannya.Kemudian Tania membuka ponsel Mas Ibram. Kedua mata lebarnya fokus di sana."Tan, tolong antar aku pulang sekarang juga!" pintaku pada Tania.Gemuruh di dadaku sudah seperti gulungan ombak yang siap menerjang karang. Aku akan tendang penipu itu sekarang juga. Tak ada ampun untuk manusia hina sepertinya.Tania buru-buru menaruh ponsel Mas Ibram di pangkuannya. Kemudian dengan lincah, memacu mobil ke arah rumahku."Sampai rumah kamu mau gimana?" tanya Tania sembari menyetir."Aku akan usir dia langsung, Tan. Dia bukan manusia. Aku akan kembalikan dia ke tempat asalnya!" tekadku. Aku tak menangis, bersedih atau perasaan galau lainnya. Yan