Share

Nama Tanpa Biodata

Author: Srirama Adafi
last update Last Updated: 2022-09-23 13:36:39

"Bibi tahu siapa wanita dan anak di foto ini?"

Kuangsurkan foto yang kemarin ditunjukkan Cahaya. Bi Lasmi menerima foto itu. Kedua alisnya bertaut memandangi foto tersebut. Cukup lama. Karena memang gambar di kertas foto tersebut sudah cukup pudar. Tinggal menyisakan warna hitam keabuan dan putih kekuningan.

"Ini Ibrahim," ucapnya sembari menunjuk gambar Mas Ibram. "Yang ini Rani kayanya. Dulu anak itu rambutnya ikal dan ngembang begini," jelasnya saat menunjuk gambar wanita yang berdiri di samping Mas Ibram. "Tapi anak ini, Bibi belum pernah lihat."

"Oke, Bi. Makasih, ya." 

Kuambil kembali foto tersebut. Akan kutunjukkan ini pada Mas Ibram nanti ketika bukti yang kukumpulkan sudah cukup. Berbicara tanpa bukti akan sangat mudah membuat Mas Ibram mengelak. Tak mungkin maling akan mudah mengaku ketika masih ada celah untuk berbohong.

Kutanyakan juga perihal rumah orang tua Mas Ibram. Ternyata memang benar. Rumah dan sawah peninggalan orang tuanya telah habis terjual sesaat setelah orang tua Mas Ibram meninggal. 

Kata Bi Lasmi, ibu Mas Ibram meninggal tak lama setelah Mas Ibram kawin lari dengan Rani. Setelahnya, ayahnya sakit-sakitan. Bi Lasmi yang mengurus sampai lelaki malang itu akhirnya menyusul sang istri.

Mengetahui orang tuanya meninggal, Mas Ibram pulang sendiri tanpa Rani. Kemudian rumah dan sawah peninggalan orang tuanya dia jual. Karena Mas Ibram anak tunggal, maka hasil penjualan itu semua diambilnya. 

Bahkan Bi Lasmi yang merawat ayahnya saja tak diberi sedikit uang itu. Padahal hubungan ayah Mas Ibram dengan Bi Lasmi itu ipar. 

Setelah menjual semua tanahnya di kampung ini Mas Ibram kembali ke Kalimantan. Baru pulang lagi ketika mengabari akan menikah denganku. Lima tahun setelah kawin larinya itu.

Aku tak menyangka Mas Ibram sepelit itu pada saudaranya. Delapan tahun berumah tangga, ternyata masih ada sisi lain yang belum aku mengerti sepenuhnya.

Setelah banyak berbincang-bincang, aku dan Tania pamit untuk pulang. Bi Lasmi hendak membawakan oleh-oleh, tetapi aku tak mau. Nanti Mas Ibram bisa tahu kalau aku habis dari sini.

"Coba kamu lihat foto itu, Tan! Mirip enggak sama Rena?" Aku mengangsurkan foto itu pada Tania saat masuk ke mobil.

Tania tampak mengamati foto itu. Sementara aku mulai melajukan mobil. 

"Udah enggak jelas gini, sih, ya, fotonya. Jadi susah ngenalinnya. Tapi kayaknya enggak mirip, sih. Rena kemarin rambutnya lurus gitu. Badannya juga berisi beda dengan wanita di foto ini," ucap Tania.

"Jadi Rani dan Rena bukan orang yang sama, ya, Tan?" tanyaku sembari fokus ke jalanan.

"Menurutku kalau dilihat dari foto ini, sih, gitu. Tapi bisa jadi mereka satu orang. Kan, foto ini udah lama juga. Penampilan, kan, mudah diubah."

"Masuk akal."

Lima jam perjalanan kami habiskan dengan mengobrol tentang Rani, Rena, dan Mas Ibram. Sampai akhirnya kami sampai di rumah Tania.

Aku kembali mengamati rumah baru Rena. Sama seperti tadi pagi. Petang ini, rumah itu cukup sepi. Tak terlihat aktifitas di dalam rumah dari luar. Karena semua kaca tertutup.

"Tenang! Kalau nanti aku lihat Ibram ke sini, aku laporin ke kamu," ucap Tania seolah mengerti kegundahanku.

"Makasih, ya!" ucapku sembari tersenyum pada Tania. "Aku langsung pulang aja, ya! Bentar lagi Ibram pulang."

"Iya, hati-hati, ya! Kamu harus main cantik. Jangan gegabah dari pada Ibram lebih rapat menyembunyikan kebusukannya itu!" pesan Tania.

"Sip!" Kuacungkan jempol kananku.

Tania turun dari mobil dan melambaikan tangannya padaku. Segera kupacu kembali mobil menuju rumah. Badanku sangat lelah. Aku ingin segera bertemu ranjang dan beristirahat.

Saat mobilku memasuki halaman rumah, tampak mobil Mas Ibram sudah terparkir di garasi. Rupanya dia pulang lebih cepat dari biasanya.

Saat aku memasuki rumah, Mas Ibram terlihat sedang bermain dengan Cahaya. Mereka asyik bercanda di ruang keluarga.

Semanis itu hubungan kami. Aku sama sekali tak menyangka kalau Mas Ibram bisa membohongiku. Kupikir dia lelaki yang terbaik untukku dan Cahaya. Namun, kenyataannya dia sudah berbohong kepadaku.

"Mama!" seru Cahaya saat menyadari kehadiranku. Anak itu langsung berlari menghambur dalam pelukanku.

"Udah makan?" tanyaku.

"Udah, tadi disuapin Papa," jawab Cahaya.

Mas Ibram memang sangat memanjakan putrinya. Ah, bagaimana nanti kalau lelaki itu terbukti melakukan kesalahan besar kepadaku? Tegakah aku memisahkan Cahaya dari cinta pertamanya?

"Ya, udah. Mama mandi dulu, ya? Lengket banget badan Mama," pamitku pada Cahaya. Kemudian beranjak ke kamar.

Tiba di kamar, aku menghubungi Alvin, manager keuangan di kantor Mas Ibram. Aku ingin tahu dengan detail keuangan di minimarket yang dikelola oleh Mas Ibram.

Dulu awal menikah denganku, Papa mempercayakan dua minimarketnya pada Mas Ibram. Dan sekarang Mas Ibram sudah bisa mengembangkannya menjadi delapan. Itu sebabnya Papa sangat bangga pada menantu pilihannya itu.

[Vin, aku mau data real! Awas kalau kamu sampai ketahuan memanipulasi! Meskipun Pak Ibram yang mengelola, usaha ini milikku. Aku yang punya wewenang bukan Pak Ibram!] Kukirim pesan itu pada Alvin. 

Sengaja aku berkata begitu, karena aku yakin di antara Mas Ibram dengan Alvin, pasti ada hal-hal yang tidak kuketahui. Sekali Mas Ibram ketahuan berbohong, sangat sulit untuk aku bisa percaya kepadanya lagi. Bahkan sepertinya tak bisa.

Tak berselang lama balasan dari Alvin kudapat. 

[Baik, Bu. Tunggu sebentar!]

Tak sampai lima menit kemudian, Alvin mengirimkan dokumen melalui emailku. Segera saja kubuka dokumen tersebut. Kucari posisi nyaman dengan duduk di sofa kamar. Butuh konsentrasi penuh untuk melihat hal yang janggal pada data seperti ini.

"Ma, kok, belum mandi?" Bariton yang begitu kukenal membuatku terkejut.

"Oh, iya. Sebentar lagi," jawabku setelah menoleh sekilas pada Mas Ibram.

"Habis darimana sampai jam segini?" tanyanya sembari berjalan mendekatiku. 

Segera saja kututup email dari Alvin. Aku tak mau Mas Ibram mengetahui kalau aku sedang menyelidikinya.

"Jalan sama Tania," jawabku sembari mematikan layar ponselku.

"Oh, ya, sudah, sana mandi dulu!" pintanya.

"Hm." Aku segera beranjak. Memasukkan kembali ponselku ke tas. Aku juga sudah mengubah sandi ponselku. Karena sebelumnya antara aku dan Mas Ibram saling terbuka masalah ponsel.

Aku mandi cukup lama. Sengaja. Karena aku ingin Mas Ibram sudah tertidur saat aku keluar dari kamar mandi. Aku ingin fokus melihat data yang Alvin kirim.

Perkiraanku tepat. Mas Ibram sudah tertidur saat aku keluar dari kamar mandi. Melihat itu, aku melangkah dengan berhati-hati. Karena aku tak ingin Mas Ibram sampai terbangun.

Segera saja aku mengambil ponsel dan kembali ke sofa. Tak peduli aku masih mengenakan handuk kimono ini. Aku ingin segera mengecek data keuangan kantor.

Kuamati tiap kolomnya. Taka ada pengeluaran yang tak wajar. Semua tampak normal. Sampai gaji karyawan. Iseng kubaca satu persatu nama karyawan di delapan minimarket kami. Mulai dari pramuniaga, kasir, sampai supervisor.

Dahiku mengernyit saat melihat ada yang beda dengan minimarket cabang ke lima. Ada dua orang supervisor. Padahal semua minimarket hanya ada satu supervisor.

Kenapa ini ada dua?

Segera saja kucari daftar nama supervisor. Ketemu. Kuurut satu persatu. Dan, ya, aku menemukan sebuah nama.

Rena Andini.

Supervisor bermana Rena Andini itu tak punya biodata dan kelengkapan lainnya. Hanya sebuah nama.

Mungkinkah dia Rena yang Mas Ibram akui sebagai sepupunya? Kalau benar, apa sebenarnya hubungan mereka? Apakah Maharani dan Rena Andini adalah orang yang sama?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Andri Ana
gereget bacanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Ending

    Lututku seketika melemas mendengar apa yang Fabian katakan. "Jambret itu Ibram?" gumamku.Suara teriakan, makian, hujatan, bahkan umpatan kotor seperti dengungan yang membuat pikiranku melayang-layang. Aku benar-benar tak menyangka, lelaki yang menjadi ayah dari ketiga anak yang kini berdiri di sisiku adalah jambret yang sedang dihajar massa.Apa Ibram tak berusaha memperbaiki hidupnya? Setidaknya berusaha untuk menjadi sosok Ayah yang bisa dibanggakan oleh anak-anaknya.Setelah keluar dari penjara, setidaknya bertaubat dan memperbaiki hidupnya. Bukan malah menjadi penjahat seperti ini.Kini satu per satu warga mulai mundur dari kerumunan. Entah siapa yang melerai mereka. Sosok tubuh Ibram yang sudah babak belur tampak dari kejauhan.Wajahnya sudah tak seperti wajah Ibram. Darah segar menghiasi wajahnya. Kaki dan tangannya tampak gemetar. Dadanya kembang kempis tak beraturan. Terdengar racauan tak jelas dari mulutnya.Beberapa pe

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Jambret

    Cahaya tumbuh menjadi gadis yang ceria. Apalagi sejak masalah itu, aku memang memutuskan untuk kembali tinggal di rumah Papa. Jadi Cahaya tidak merasa kesepian karena sehari-hari ada nenek dan kakeknya.Rumahku dengan Ibram dulu, telah aku jual dan hasilnya aku sumbangkan ke panti asuhan tempat Fabian dan Sabrina dititipkan. Tiap bulan aku masih memberi mereka uang jajan. Bagaimanapun mereka hanyalah korban. Dan aku tidak tega jika anak-anak tak berdosa itu harus ikut menanggung dosa orang tuanya yang tidak mereka ketahui.Aku menikmati hari-hariku dengan menjalankan usaha yang Ibram tinggalkan. Kini mini marketku telah menjamur di berbagai daerah. Papa, orang yang dulu seperti tak percaya kepadaku, kini menjadi orang yang paling bangga atas pencapaianku. Aku bersyukur untuk itu. Kini aku bisa mengangkat dagu dengan percaya diri di depan Papa.Dua tahun setelah Rena ditahan, aku mendapat kabar kalau wanita itu mengalami gangguan mental. Aku

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Hasil Persidangan

    "Bagi seorang wanita, melihat orang yang dicintai mencintai wanita lain, sama saja membangunkan serigala dalam dirinya," ucap Tania dengan wajah datar. Sorot matanya tajam dan terlihat tidak ada keraguan sama sekali dalam ucapannya.Aku menggeleng tak percaya mendengar itu. Tania benar-benar tidak seperti Tania yang aku kenal selama ini.Aku memang menangkap sinyal-sinyal cinta dari Wildan, tetapi sampai saat ini aku masih berpikir untuk menjodohkan pengacara itu dengan Tania. Karena aku memang belum tertarik untuk memulai hubungan baru. Perceraianku dengan Ibram saja masih belum beres, bagaimana mungkin aku bisa memulai hubungan baru."Kamu bisa bayangin gimana rasanya jadi aku, Vi?" tanya Tania sembari tersenyum miris. "Bertahun-tahun aku memendam rasa ini. Lalu kamu pura-pura buta, dan di depan mataku seolah kamu ingin menunjukkan bahwa kamulah pemenangnya. Kamulah yang bisa mencairkan hati bekunya!" Terlihat ada luka dari kilat mata Tania. Ha

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Tania

    "Kita tunggu saja penyidikan polisi," ujar Wildan."Benar," sahut Papa. "Kita fokus ke sidang saja."Setelah sarapan dan membicarakan teknik-teknik untuk menghadapi persidangan nanti, pukul sembilan kami berangkat ke pengadilan negeri bersama. Wildan juga sudah mengonfirmasi orang KUA dan juga Rian. Mereka sudah bersiap juga.Pukul sepuluh, persidangan dimulai. Hakim memulai dengan membacakan agenda sidang hari ini dan menanyakan kehadiran pihak-pihak terkait. Ibram hadir dengan pengacaranya. Lelaki itu tampak mengibarkan bendera perang kepadaku.Kesaksian Papa, bisa dibantah oleh pihak Ibram, karena tidak didukung bukti. Namun, kesaksian orang KUA dan Rian, ditambah percakapan Ibram dengan Rena di ponsel Ibram, menjadi bukti tak terbantahkan. Sehingga pihak Ibram tidak bisa mengelak lagi. Sidang dilanjutkan dua minggu yang akan datang.Saat kami berjalan menuju tempat

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Perkiraan Pelaku

    "Ada apa, Vi?" tanya Papa.Sementara Wildan tak jadi memasuki mobilnya. Lelaki itu kembali ke teras rumah, kemudian memungut ponselku yang jatuh di lantai."Ada apa?" tanya Wildan sembari menyerahkan ponsel itu padaku.Aku masih mematung dengan tatapan kosong. Aku benar-benar shock. Di saat besok persidangan dengan agenda penting, hal besar terjadi kepada kami. Seolah, ini dirancang untuk membuyarkan konsentrasi kami ke persidangan."Ada apa?" tanya Papa lagi. Kali ini lelaki itu mengguncang sebelah bahuku.Aku pun menoleh padanya. "Mini market kita kebakaran, Pa.""Apa?" Mendengar itu, kedua bola mata Papa seperti hendak keluar dari kelopaknya.Mama pun tak kalah shock. Wajah wanita berusia senja itu terlihat sangat tegang."Gimana ini, Pa?" tanya Mama."Tenang, Tante!" Kali ini Wildan yang bicara. "Aku akan pastikan pelakunya tertangkap. Aku akan segera ke

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Kebakaran

    "Aya di depan sama Nyonya, Bu," ucap Mbak Susi yang sedang membereskan kamar Cahaya. Padahal aku belum sempat bertanya kepadanya. Aku terlalu takut melihat Cahaya tidak ada di tempat yang seharusnya.Segera aku ke depan. Ternyata mereka masih bercengkrama dengan Rian. Lelaki itu bahkan melawak di depan Cahaya. Hal yang dulu sangat aku suka dari Rian. Dia lelaki yang pintar sekali mencairkan suasana. Dulu, aku tak bisa berlama-lama marah dengannya."Tuh, Vionanya datang," ucap Mama.Rian menatapku lekat. Kemudian berkata, "Maaf, ya, aku telat."Aku tersenyum simpul sembari duduk di sofa dekat Mama. Kemudian menjawab, "Enggak apa-apa. Aya sama papanya, kok.""Ya, udah. Silahkan kalian ngobrol dulu!" ucap Mama sembari beranjak dari duduknya. Kemudian wanita berdaster kelelawar itu masuk ke dalam bersama Cahaya."Tadi kamu sama pengacara itu?" tanya Rian."Ya," jawa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status