Share

Rena atau Rani

Aku menyetir ugal-ugalan saat pulang dari rumah baru Tania. Aku yakin ada yang tidak beres pada Mas Ibram. Aku tak bisa percaya begitu saja kalau mereka itu sepupunya.

"Aku harus mencari tahu!" tekadku.

Tiba di halaman rumah, tampak mobil Mas Ibram terparkir asal. Sehingga mobilku tak bisa masuk ke garasi. 

Apakah dia ingin menunjukkan padaku kalau dia sedang marah?Siapa yang harusnya lebih marah di sini? 

Aku tentunya. Ayah dari anakku dipanggil Ayah oleh anak wanita lain. Benar-benar tak bisa dipercaya.

Kuparkir asal juga mobilku di belakang Mas Ibram. Biar nanti Pak Tejo yang memasukkan ke garasi. Ubun-ubunku seperti mendidih. Aku harus melampiaskan pada Mas Ibram. 

Lampu-lampu taman menerangi halaman menyamarkan pekatnya malam. Lampu mobilku terpantul pada body mobil samping Mas Ibram. Kubanting pintu mobil dengan keras. Kemudian melangkah dengan menghentakkan kaki ke dalam rumah.

Tiba di kamar, tampak Mas Ibram sudah berbaring dengan memejamkan mata. Lengan kirinya berada di keningnya. Aku yakin laki-laki ini pasti belum tidur. Dia hanya ingin menghindariku.

"Aku masih menunggu penjelasanmu!" ucapku sembari berdiri di sisi ranjang menatapnya marah.

"Penjelasan apalagi, Ma?" Lelaki itu menurunkan tangannya yang tadi di kening kemudian beringsut duduk.

"Aku enggak percaya kalau Rena sepupumu."

"Terus aku harus gimana?" tanya Mas Ibram sembari menatapku malas. "Aku harus bilang Rena itu siapa? Heh?"

Aku tak bisa menjawab. Karena aku pun ragu kalau Mas Ibram berselingkuh dengan Rena. Lihat saja penampilannya. Ia persis ondel-ondel yang diarak keliling kampung. Berbeda 180 derajat denganku. 

Apa mungkin Mas Ibram yang sudah punya segalanya dengan menikahiku dengan bodoh berselingkuh dengan wanita seperti itu?

Secara fisik, bukannya sombong, tapi aku memang perfect. Aku rajin perawatan, diet ketat untuk menjaga penampilan. 

Secara pendidikan, aku di atas Mas Ibram. Dia lulus sarjana saja setelah menikah denganku. Sebelumnya dia lulusan SMA yang bekerja jadi pramuniaga di salah satu cabang mini market papaku. 

Lelaki itu jadi karyawan kesayangan Papa. Karena ia rajin bekerja, rajin ibadah, jujur, dan patuh sekali dengan semua titah Papa. Sehingga dengan mantap Papa mengenalkannya padaku. 

"Papa merasa menemukan penerus Papa dijiwa Ibram," ucap Papa saat itu.

Aku yang sejak kecil terbiasa apapun dipilihkan oleh Papa, menurut saja saat Papa mengenalkan pada Mas Ibram. Kebetulan saat itu aku sudah putus dengan Rian. Dia bekerja di perusahaan asing di Singapore, dan hubungan LDR kami tak berjalan mulus. 

Sehingga aku dengan mudah membuka hati saat dikenalkan dengan Mas Ibram. Meskipun dia duda, secara fisik dia masuk kriteria. Dia lelaki rapi, bertingkah laku baik, dan ... penurut. Itu poin paling penting. Usia kami juga tak terpaut jauh. Mas Ibram saat itu 33 tahun, aku 28 tahun.

"Ma!" 

Aku tersentak ketika Mas Ibram memanggil dan menyentuh jemariku. Aku menatap lelaki yang kini menatapku.

"Udah, kamu enggak usah mikir yang aneh-aneh!" pintanya. "Kalau kamu enggak setuju anak-anak Rena panggil aku ayah, besok aku bilang ke mereka," ucapnya lagi sembari menarikku ke tempat tidur.

"Kalau memang dia sepupumu, kenapa kamu enggak pernah cerita ke aku?" Kutatap matanya dengan tajam. Lelaki yang kini duduk di hadapanku mengalihkan pandangannya.

"Aku pikir ... itu enggak penting buat kamu. Mereka hanya saudaraku dari kampung. Bukankah selama ini kamu tak terlalu peduli dengan saudara-saudaraku?"

Mas Ibram benar. Aku jarang sekali mau diajaknya saat pulang ke kampung. Selain karena orang tuanya sudah meninggal, dia pulangnya ke rumah adik dari ibunya. Jadi aku merasa tak nyaman di sana.

Rumah orang tuanya, dia bilang sudah dijual. Jadi bisa dibilang Mas Ibram sudah tidak punya tempat pulang lagi.

"Apa aku tak sepeduli itu?" Aku masih tak mau kalah.

"Ya!" tegas Mas Ibram.

"Tapi tetap saja, harusnya kamu bilang!"

"Kalau aku bilang, apa kamu bakal peduli? Apa kamu bakal datang ke rumah Rena dan bantu-bantu dia? Tangan kamu terlalu halus untuk melakukan hal seperti itu." 

Entah Mas Ibram menyindirku atau bagaimana. Yang jelas, semua yang dia katakan memang benar. Aku tak mungkin mau bantu-bantu di rumah baru Rena, sedang di rumah saja aku selalu dilayani.

"Tapi seenggaknya kamu harus bilang sama aku kalau hari ini kamu enggak kerja tapi bantuin dia!" Aku masih berusaha mencari kesalahannya.

"Iya, aku salah. Aku minta maaf. Besok-besok aku bakal bilang sama kamu. Ya, sudah. Ayo, kita tidur!" ajaknya. Kemudian lelaki itu menarik selimut untuk menutupi tubuhku.

Aku mengerjapkan mata yang masih berat saat merasakan pipiku dicium dan dibelai dengan lembut. Cara Mas Ibram membangunkanku sejak kami awal menikah.

"Selamat pagi, Sayang. Assalamualaikum," ucapnya saat mataku akhirnya terbuka.

"Jam berapa ini?" tanyaku malas.

"Jam lima bentar lagi. Ayo, buruan bangun terus solat subuh!" titahnya.

Meski berat, aku menurut saja. Aku mulai melaksanakan solat sejak menikah dengan Mas Ibram. Meski awalnya itu berat sekali untuk kulakukan, tetapi lama-lama aku terbiasa. Meskipun aku masih buka tutup jilbab. Karena lingkunganku memang kurang mendukung.

Aktivitas pagi, kami lakukan seperti biasa. Setelah Mas Ibram berangkat ke kantornya dan Cahaya berangkat ke sekolah, aku segera menghubungi Tania untuk menemaniku ke kampung Mas Ibram.

Setelah Tania siap, aku langsung memacu mobil ke rumahnya. 30 menit kemudian, aku sampai di rumah Tania. Kuparkir mobil di depan pagar rumahnya.

Aku tak langsung turun. Sengaja aku ingin mengamati rumah Rena. Siapa tahu Mas Ibram mampir ke sana tanpa izin kepadaku. Cukup lama aku mengamatinya, tetapi tak ada tanda-tanda apa-apa. Rumah itu tampak sepi-sepi saja.

"Vi!" Aku terkejut saat tiba-tiba Tania mengetuk kaca pintu mobilku. "Ngapain kamu? Kok enggak langsung masuk?"

Kulepas sabuk pengaman, kemudian turun dari mobil. "Lagi liatin rumah tetangga baru kamu," jelasku setelah berdiri di depan pemilik beberapa butik ini.

"Ngapain?" ucapnya sembari tersenyum lebar. "Tenang aja, aku siap jadi CCTV kamu."

"Oke, deh! Aku percaya sama kamu."

"Ya, udah, yuk langsung berangkat aja!" ajak Tania sembari memutari kap mobilku menuju pintu sebelah.

Segera saja aku masuk kembali ke mobil. Memasang sabuk pengaman dan menyalakan mesin.

"Gimana Ibram?" tanya wanita yang mengenakan dress selutut berbahan jeans yang kini duduk di sampingku.

Aku menoleh sekilas, kemudian kembali fokus ke jalanan. "Sama. Dia tetap bilang kalau Rena sepupunya."

Dari sudut mata tampak Tania mendecih tak percaya. Aku hanya tersenyum getir mengingatnya.

Perjalanan yang kami tempuh memakan waktu cukup lama. Hampir lima jam. Kampung Mas Ibram berada di pelosok. Untung sekarang jalannya sudah bagus. Dulu pertama kali aku datang, jalannya rusak parah. Itu salah satu sebab aku malas saat diajaknya ke kampung ini.

Suasana asri cukup memanjakan mata. Kanan kiri jalan penuh dengan rumpun bambu. Kemudian kebun dan sawah. Saat tiba di kampung, mataku di suguhi pemandangan beberapa rumah yang terbuat dari papan. Meskipun ada juga rumah gedong berlantai dua. 

"Yang mana rumah bibinya Mas Ibram, ya?" 

Aku bingung dengan suasana kampung yang sudah banyak berubah. Meskipun masih banyak unggas-unggas berkeliaran. Suara kambing dan sapi pun tak ketinggalan.

Namun, kampung ini sudah banyak berubah. Jalan ini menjadi lebar dan muat dilalui mobil, padahal dulu saat aku terakhir ke sini masih jalan setapak yang berbatu.

"Tanya aja, Vi!" usul Tania.

"Oke."

Kutepikan mobil kemudian berjalan ke arah segerombolan wanita yang sedang duduk di teras.

"Maaf, Bu, numpang tanya. Rumahnya Bu Lasmi sebelah mana, ya?"

"Lasmi istri Pak Samin?" tanya salah seorang dari mereka.

"Saudaranya Mas Ibram," jelasku. Karena aku lupa nama suami bibi Mas Ibram.

"Owh, Mas Ibram yang sukses itu?" sahut beberapa wanita itu. "Itu, lurus aja terus sampai mentok baru belok kiri. Rumahnya tembok warna kuning."

"Makasih, Bu."

Segera aku kembali ke mobil dan mengikuti petunjuk ibu-ibu tadi. Mobil terparkir di pinggir jalan. Karena rumah bibi Mas Ibram halamannya sempit.

"Ini rumahnya?" tanya Tania.

"Iya, yuk!"

Saat kami turun dari mobil, aku sangat terkejut. Tiba-tiba Tania menjerit ketakutan.

"Auw! Viona! Tolong!"

Bergegas aku berlari ke arah Tania. "Ada apa?"

Tania yang berlari tak langsung menjawab. Setelah sampai di teras rumah bibi Mas Ibram, dia mengusap-usap kakinya.

"Aku dipatok ayam!" teriaknya manja.

Mataku langsung melebar dan mencari keberadaan ayam yang dimaksud Tania. Ternyata ada induk ayam beserta anak-anaknya. Tampak salah satu anak ayam itu berjalan pincang.

"Kamu injak anaknya, ya?" tebakku.

"Iya, aku enggak tahu. Aduh!" Tania masih mengusap-usap kakinya.

Tak berselang lama pintu rumah bibi Mas Ibram terbuka. Muncul wanita yang wajahnya masih kukenali. Dia menatap bingung pada Tania. Kemudian dahinya mengernyit saat menatapaku.

"Bi Lasmi!" seruku. Mas Ibram yang mengajariku memanggilnya Bibi.

Wanita itu menautkan kedua alisnya sembari masih menatapku. Mungkin dia tak mengenaliku.

"Aku Viona, Bi!" Aku mendekat, menjabat tangannya dan memeluk wanita yang masih mematung itu.

"Viona istri Ibram?" Ia tampak masih berpikir. Kedua tangannya memegang bahuku dan memandang wajahku lekat. "Ya Allah!" serunya. "Istri Ibrahim?"

Aku mengangguk sembari tersenyum lebar. Nama Mas Ibram memang Ibrahim, Ibrahim Husein lengkapnya. Namun, ia biasa dipanggil Ibram. Lebih simpel juga.

"Ya Allah, mimpi apa aku semalam?" ucap Bibi Lasti. "Ayo, ayo, masuk!"

Aku dan Tania memasuki rumah Bibi Lasmi. Rumah ini juga sudah banyak berubah. Lantainya sekarang keramik. Dulu terakhir aku ke sini masih lantai berwarna hitam. Isi rumahnya juga lebih lengkap. Ada televisi tabung, kipas angin dan barang-barang lainnya. Ternyata aku sudah cukup lama tidak ke sini.

"Gimana kabar Ibrahim dan Cahaya?" tanya Bi Lasmi tanpa melepaskan tangannya dari lenganku. "Kenapa enggak ikut?"

"Mas Ibram dan Aya baik, Bi. Mas Ibram kerja, Aya sekolah," jelasku.

Kami berbasa basi cukup lama. Bi Lasmi membuatkan kami teh panas. Kalau di sini tehnya tidak pakai gula. Mereka membuat teh ini dari tanaman teh langsung. Jadi aromanya lebih wangi. Bi Lasmi sudah menyediakan gula di meja. Untuk tamu yang sukanya teh manis sepertiku dan Tania.

"Ada apa, Mbak Viona, kok, kayanya ada sesuatu ini? Enggak biasanya Mbak Viona ke sini. Enggak sama Ibrahim lagi," tanya Bi Lasmi setelah saudara-saudara lain yang menemuiku pergi. Bi Lasmi penasaran dengan maksud kedatanganku jauh-jauh ke sini.

"Aku ingin tahu, Bi. Apa ada Bibi lain yang belum aku kenal?" tanyaku. "Maksudku adiknya ibu Mas Ibram."

"Loh, ya enggak ada, to, Mbak. Kami cuma tiga bersaudara. Almarhum Mbak Sumi, aku, sama Lik Parjan," jelasnya.

Waow! Mas Ibram sudah bohong. Lalu siapa Rena?

"Apa ada saudara yang bernama Rena?" tanyaku lagi.

"Rena ... Rena ... Rena ...," lirih Bi Lasmi sembari mengingat-ingat. "Enggak ada, Mbak."

Awas Mas Ibram!

"Lalu gimana dengan almarhum istri Mas Ibram? Dimana makamnya?" tanyaku.

Bi Lasmi kemudian bercerita tentang Mas Ibram dan almarhum istrinya, Maharani. Kata Bi Lasmi, dulu Mas Ibram kawin lari karena orang tua Mas Ibram tak setuju dia menikah dengan Maharani.

Maharani terkenal sebagai gadis badung. Ia sering menjual barang-barang milik orang tuanya. Entah uangnya untuk apa. Namun, Mas Ibram sepertinya cinta mati sama Maharani. Sampai mereka nekat kawin lari.

Lima tahun tahun kemudian Mas Ibram pulang. Dia bilang Maharani yang biasa dipanggil Rani meninggal saat melahirkan. Dan dia minta restu untuk menikah denganku.

"Jadi, almarhum enggak dimakamkan di sini?" tanyaku.

"Enggak. Ibrahim bilang di Kalimantan. Tapi, Kalimantan mana Bibi enggak tahu."

"Kalimantan?" lirihku. 

Kenapa aku jadi teringat dengan Rena? Mungkinkah sebenarnya Rani belum meninggal dan dia itu Rena?

Jantungku seperti mau meloncat memikirkan itu. Segera kuambil foto yang kemarin ditunjukkan Cahaya. Kemudian menanyakannya pada Bi Lasmi.

"Bibi tahu siapa wanita dan anak di foto ini?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status