Aku muak mendengar Syakila bicara, jadi lebih baik aku matikan saja sambungan teleponnya. Daripada kesehatanku yang jadi imbasnya. Ya, aku harus mengingat kembali kesehatan yang sudah hampir pulih ini.Kuletakkan ponsel milik papaku kembali, lalu berbaring ke arah kanan. Kemudian, Papa datang bersama Haris."Papa," sapaku setelah melihat papa melangkah."Laki-laki itu masih beruntung diberikan kesempatan untuk bicara. Seharusnya Tuhan azab saja dia!" Papa nampak kesal saat baru saja datang."Mungkin kasihan Pah, Syakila pun berniat meninggalkannya," jawabku."Biar tahu rasa Danu itu. Biar melek mata, salah sendiri menipu wanita demi perempuan brengsek kayak Syakila. Coba setelah ini dia sadar nggak!" Papa semakin emosi ketika membicarakan Syakila dan Mas Danu."Pak, sabar. Jangan emosi ya," pesan Haris menasehati. Papa terlihat menghela napas kasar, ia berdecak kesal juga sambil mengambil kursi dan mendudukinya."Kata Rasul memang gitu, Pah. Jika kita marah, maka duduklah untuk mered
"Gimana kondisimu?" Aku bertanya hanya sekadar basa-basi."Ya begini, tenggorokan masih ada rasa serat-serat gitu." Ada saja kelakuannya, menenggak alkohol untuk membersihkan luka. Mas Danu aneh."Bagus masih bisa bicara, Mas. Kalau tiba-tiba kami bisu seperti aku dulu, bagaimana? Apa Syakila akan menemani kamu?" Pertanyaan yang aku lontarkan sedikit mengejutkannya. Itu terlihat dari caranya menelan ludahnya."Iya, maafkan aku ya, Dek." Dia menggunakan nama panggilan saat masih bersama dulu. Mungkin berusaha mengingatkan masa lalu."Rasanya sudah tidak pantas, kamu memanggilku seperti itu. Mas, aku harap kamu segera urus perceraian, dan jangan memelas lagi!" ancamku ketus."Iya Dek, padahal Mas sudah memiliki keputusan sebelumnya, untuk lebih memilihmu dibandingkan Syakila," timpalnya membuatku terkekeh. Rupanya urat malunya sudah putus, sampai berani bicara seperti itu."Aku bukan pilihan, Mas. Laki-laki memang berhak memilih, tapi tidak untuk laki-laki yang mau dijadikan robot oleh
"Iya, apa Siska ada hubungannya dengan Danu dan Syakila?" Papa malah bertanya balik. "Alah, sudah mendingan kita pulang, daripada urusin yang nggak penting," tambah papa sambil mengibaskan tangannya dan mengajakku untuk naik ke mobil.Akhirnya kami telah sampai di rumah, rasanya rindu sekali dengan suasana rumah ini. Si Mbok yang tidak mengetahui bahwa aku telah bisa bicara, pun menghampiri dengan mengajakku bicara memakai bahasa isyarat."Non, alhamdulilah Non sehat ya sekarang? Mbok kaget, dengar Non Fika kecelakaan! Cuma bisa nangis di sini," ungkap Mbok memakai bahasa isyarat. Papa yang melihatnya hanya bisa tersenyum. Aku apalagi, rindu dengan Mbok. Akhirnya aku peluk tubuh wanita setengah tua itu. Lalu mengatakan sesuatu di telinganya."Terima kasih, Mbok. Ini berkat do'a Mbok juga," bisikku membuat Mbok melepaskan pelukannya. Ia tampak terkejut dan bahagia."Non, alhamdulilah ya Allah. Non Fika sudah bisa bicara!" Mbok bicara dengan setengah berteriak, raut wajahnya tampak baha
Tok ... tok ... tok .... Aku buru-buru keluar dari aplikasi berwarna hijau. Sebab, ada suara ketukan pintu dari arah luar kamar. Pasti itu papa, sebaiknya aku buka pintu dulu. Papa harus kembali ke kantor, mengurus semuanya yang pernah terbengkalai. Lalu aku buka pintu lebar-lebar."Fika, papa berangkat ke kantor ya. Terus, papa pulang ke rumah papa! Gak mampir lagi. Kamu di sini sama Mbok, gak apa-apa kan?" tanyanya sambil menyodorkan tangan.Aku pun mengecup punggung tangan papa. Kemudian menyodorkan kening seperti biasanya.Papaku sudah lama meninggalkan kantor dan rumahnya, pasti sudah rindu dengan rumah peninggalan mama. "Pah, hati-hati ya! Aku dan Mbok pindah ke sana ya, besok?" tanyaku sambil merangkul lengannya. Lengan yang selalu sigap dalam menghadapi semua yang menyakiti anaknya."Iya, itu ide bagus. Papa jalan dulu ya, jangan pernah terima tamu dari orang yang tak dikenal, sampai kamu resmi bercerai dari Danu, ingat pesan Papa!" Itu pesan papa saat ini, ia khawatir Syaki
"Jangan, Tante, aku rasa tidak perlu. Nanti kalau sudah saatnya kenalan, pasti ketemu kok," sahutku melarangnya."Untung Tante izin dulu. Ya udah next time semoga kita ketemu ya, Fika." Aku menutup sambungan telepon saat kami sudah memutuskan mengakhiri pembicaraan.Kemudian, rencana untuk mengantarkan barang papa yang tertinggal pun aku urungkan. Sebab, tiba-tiba teringat ingin pindah ke rumah papa."Daripada buang waktu ke kantor cuma mau cerita doang, mendingan aku kemas-kemas," ucapku bicara sendirian.Akhirnya aku putuskan untuk meminta tolong taksi online mengantarkan barangnya saja. Ia aku berikan uang lebih supaya amanah dan barang yang papa butuhkan cepat sampai di tangannya.Tak lupa aku mengirimkan pesan untuk papa bahwa aku tidak jadi mengantarkan ke kantor. Ia pun setuju dengan keputusanku yang lebih baik berkemas-kemas.***[Pah, aku sama Mbok mau jalan ke rumah Papa ya. Sudah siap-siap nih!]Terbiasa dengan chat sewaktu bisu, beliau pun tak keberatan. [Iya Fika, keuan
"Mbok, ada Syakila dengan Mas Danu. Ayo buruan masuk mobil, aku malas bertemu dengannya!" Aku menarik tangan Mbok Asih secepat kilat. Lalu masuk ke dalam mobil. Melihat mereka berdua bergandengan tangan rasanya muak. "Ayo Non, kita ke tempat Bapak. Mbok juga malas bertemu dengan mereka. Kenapa gak lapor polisi si, Non? Itu kan sudah menipu namanya," timpal Mbok ikut kesal. "Biarin Mbok, itu urusan Papa. Aku tidak ingin turut campur urusan seperti ini. Yang terpenting, aku ingin menata hati saja untuk melupakan mereka dengan hidup yang baru," sahutku sembari membelokkan setir lalu keluar dari parkiran. Mata ini melihat mereka dari kaca mobil, rasanya ingin menabraknya saja. Namun, aku tahan emosi dengan membuang muka."Mereka gak lihat kita, Non. Itu lewat begitu saja," ucap Mbok menoleh ke arah mereka."Tampang mereka seperti orang tak berdosa ya, Mbok. Biarlah nanti pasti ada balasannya." Aku tetap menggerutu, padahal sudah ikhlas suamiku dimiliki Syakila seutuhnya.Sekitar setenga
"Ada yang bisa Fika bantu, Pah?" tanyaku dengan senang hati. Tiba-tiba telepon terputus. Sepertinya signal di sana kurang bagus. Kemudian, aku mencoba menghubunginya kembali, agar tidak ada lagi gundah di hati ini. Saat ini hatiku antara gelisah dan senang melebur jadi satu. Tak lama kemudian, Haris mengirim pesan untukku. Seketika wajah wanita yang tadi bersama Haris pun muncul kembali saat melihat pesan dari Haris.[Fika, malam ini bisa ketemu di Mall Buaran Plaza?]Aku abaikan sajalah, masalah papa lebih penting dari pertemuanku dengan Haris.Aku mencoba menghubungi papa kembali, akhirnya tersambung juga. Namun, masalah masih sama, yaitu signal masih putus-putus."Pah, ada yang bisa Fika lakukan?""Iya Nak, kamu tahu tempat tinggal mereka yang baru tidak?" Sontak yang ada dipikiran ini adalah Tante Siska. Ya, ia yang tahu rumah mereka. Aku pun berinisiatif untuk menghubungi Tante Siska."Sepertinya aku tahu. Papa tunggu ya, nanti aku hubungi beberapa saat lagi. Sekitar 10 menit,"
"Halo, Pah." Aku menyapa lebih dulu tapi dari ujung sana tidak ada jawaban.Hingga akhirnya sambungan telepon pun terputus. Aku menghela napas kasar sampai membuang ponsel ke sofa, rasanya sangat khawatir padanya jika seperti ini. Namun, Mbok yang menenangkanku.Akhirnya aku coba menunggu di rumah satu kali dua puluh empat jam, sesuai dengan nasihat Mbok.***Haris yang akan datang ke rumah papa, sudah dalam perjalanan. Nanti saat ia ke sini, akan aku tanyakan padanya siapa dokter yang menggandengnya tadi. Karena seingat aku, ia kan dijodohkan oleh papa denganku. Harusnya ia tidak boleh sembarangan dekat dengan wanita lain.Mbok Asih masih tengah masak. Untuk hidangan Haris yang akan berkunjung ke sini. Juga papa yang barangkali lelah karena harus ikut dengan polisi untuk menahan Syakila dan Mas Danu. Rasanya sudah tidak sabar lagi mendengar kabar dari papa tentang mereka.Makanan sudah tersaji di meja makan. Dan aku juga sudah mandi, saatnya menunggu Haris datang di ruang televisi.