Mereka semua berhamburan keluar. Hanya aku yang tersisa di dalam. Papa pun ikut karena aku yang menyuruhnya.Aku merebahkan tubuh sambil menunggu kedatangan mereka. Dalam hati kecil ini berharap ada kabar baik yang dokter katakan pada mereka semua.Kecemasan yang aku alami memang terbilang berlebihan, Syakila bukan siapa-siapa, hanya seorang sahabat yang pernah menghancurkan hidupku. Namun, justru saat ini aku menginginkan dia bisa bertahan hidup.Selang beberapa menit kemudian, papa datang bersama dengan Haris dan Ari. Namun, tidak dengan Tante Siska juga Mas Danu, ia masih menemani Syakila. Setidaknya bukan kabar buruk yang aku terima, sebab tidak ada yang papa ucapkan saat mereka masuk ke dalam ruangan."Kok cepat? Nggak ada sepuluh menit," tanyaku seakan menyecar."Iya, Syakila tadi sadar, dan dokter ingin bicara dengan Danu dan Siska," kata papa sambil menarik kursi lalu duduk di dekatku."Syukurlah, ternyata Syakila masih berjuang untuk hidup," timpalku dengan disertai helaan na
Kemudian Tante Siska membicarakan perihal dokter yang memanggil Mas Danu dan dirinya. Ia bilang bahwa Syakila menitip pesan pada dokter, bahwa akan mendonorkan matanya untukku.Lagi-lagi ini hal yang tidak masuk akal, Syakila tengah memperjuangkan hidupnya tapi ia malah ingin menyerahkan matanya untukku.Aku terharu mendengarnya, sekaligus ingin menolak apa yang menjadi niat baik Syakila."Maaf Tante aku tolak mentah-mentah, ini tidak adil jika aku menyetujuinya," ucapku dengan tegas.Aku pun meminta apa-apa untuk melarang Tante Siska membujukku. Ini semua demi kebaikan bersama, seharusnya Syakila juga sembuh, bukan malah ingin mendonorkan matanya untukku."Tante paham betul, tapi ini keinginan Syakila," jawab Tante Siska lagi."Aku tolak, Tante," ucapku lagi."Kenapa tolak?" tanya Tante Siska.Aku hanya menggelengkan kepala dan tidak berkomentar apa-apa lagi."Baiklah, tapi Syakila sudah meninggal dunia, Fika," ucap Tante Siska membuatku spontan melotot. Mata ini benar-benar membuka l
Seorang pria berhasil membawa maling tersebut bersama dengan Ari dan Haris. Mereka berdua diseret ke mobil dan diperintahkan masuk olehnya."Udah jebloskan aja ke penjara, kalau sudah berani kabur sih artinya sangat berani," ucap Haris.Kemudian, kami memutuskan untuk membuat laporan ke kantor polisi atas penjambretan tadi. Namun, sebelumnya, aku menghubungi papa melalui pesan singkat untuk sekadar memberikan informasi padanya.[Pah, aku ke kantor polisi ya. Ada jambret tadi.]Setelah mengirimkan pesan, aku duduk kembali ke mobil dan menuju kantor polisi.***Setibanya di kantor polisi dan selesai membuat laporan, pihak kepolisian pun sangat berterima kasih terhadap kami, sebab ternyata orang yang menjambret adalah buronan. Jadi ini justru sangat memudahkan kami juga dalam membuat laporan."Ayo, Fik, pulang!" ajak Haris. "Ri, kami pamit, terima kasih bantuannya, sudah membantu menangkap maling tadi.""Iya, sama-sama. Kalian hati-hati," ucap Ari sembari meninggalkan kami yang masih mem
[Dek, tolong cek berkas-berkas, Mas yang ada di laci. Tolong antarkan melalui ojek online ya! Itu mau dibawa saat meeting nanti siang.]Barusan adalah isi chat yang Mas Danu Raditya kirim. Aku segera ke ruangan kerjanya mencari berkas yang Mas Danu butuhkan. Dengan semangat, aku langkahkan kaki ini ke arah ruangan kerja Mas Danu. Hati ini rasa senang, tiap kali Mas Danu membutuhkan tenagaku. Ya, ia adalah laki-laki yang paling aku sayang selain papa. Sayangnya, aku sudah 2 tahun menikah, namun belum juga dikaruniai keturunan. Mas Danu adalah pria yang satu-satunya berani melamarku. Bagaimana tidak, aku ini anak semata wayang, tapi mempunyai kekurangan. Kekurangan itu, sangat memalukan untuk sebagian wanita. Yaitu, tidak dapat bicara atau disebut juga tunawicara. Bukan bisu bawaan atau dari lahir, tapi karena kecelakaan.Sepanjang pernikahan, Mas Danu sangat mencintaiku sepenuh hati. Oleh karena itu, ia mendapatkan hak perusahaan oleh Papa. Aku pun sangat percaya padanya.Segera mung
Dengan penuh keberanian, aku segera bergegas ke kantor papa. Ya, di sana tidak hanya ada suamiku, Papa Wijaya berada di kantor juga, orang tua tunggal yang masih menjabat sebagai pemilik perusahaan. Mas Danu memiliki hak atas keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan. Akan tetapi, aku yakin setelah papa mendengar ini semua, ia akan berusaha mengambil kembali hak-hak yang tidak pantas diberikan pada Mas Danu.Sepanjang perjalanan, aku berharap papa tidak sedang meeting di kantor. Lebih baik sebelum menemuinya, aku kirim pesan terlebih dulu. Tangan ini dengan cepat mengusap layar ponsel yang kupegang.[Pah, ada sesuatu hal yang ingin aku bicarakan pada, Papa.] Pesan itu aku kirim sesegera mungkin. Papa pun dengan cepat membalasnya. Itu artinya, beliau tidak dalam kondisi meeting.[Iya, Nak. Papa saat ini berada di Cafe samping kantor. Kamu bisa susul Papa ke sini.] Aku tersenyum membaca respon orang tua tunggalku yang cepat.[Ada Mas Danu, nggak, Pah?] tanyaku singkat.[Tidak, Nak!
'Jika memang pernikahan yang kita jalani hanyalah sebuah skenario dari istrimu. Sungguh bodohnya kamu, Mas, dijadikan robot olehnya. Syakila yang mencoba mengendalikan kamu,' batinku masih mengeluh di hadapan Mas Danu yang mencekal pergelangan tangan ini.Seandainya boleh memilih saat itu, aku lebih memilih menjadi perawan tua daripada harus berujung seperti ini. Kenyataan pahit harus ditelan disaat cinta yang sudah tumbuh menggunung.Kemudian, aku melepaskan genggaman tangannya dan dengan bahasa isyarat aku pun berpamitan dengannya."Mas, aku mau pulang. Belum masak," ujarku sembari menggerakkan tangan ini. Rasanya air mataku yang sudah ditahan sejak menginjakkan kaki ke kantor, ingin tumpah ketika melihat wajahnya. Sebab terbayang-bayang foto prewedding yang telah aku temui di laci itu."Ya sudah, kamu hati-hati. Langsung pulang ke rumah ya!" pesan Mas Danu masih sama sikapnya seperti biasa. Tidak ada yang berbeda padanya. Itu yang membuatku muak. Kenapa ada laki-laki munafik seper
Syakila masih tercengang, mendengar pertanyaan yang aku lontarkan tadi. Mungkin ia masih mencari alasan yang tepat kenapa belum mengenalkan calon suaminya. Sudah beberapa detik aku hitung, ia belum menjawab pertanyaan itu.Aku memandang matanya dengan tatapan penuh, wanita itu sudah menikah sejak tahun 2018 silam. Seandainya ada bukti satu lagi yang akurat, ini lebih bagus untuk memperkuat tuduhan kepada mereka.Hitungan detik sudah berubah ke menit, namun ia belum juga bersuara. Aku pun mengerutkan alis melihat Syakila diam membisu. 'Ayolah jawab Syakila, bukankah kamu tidak bisu? Bukankah kamu bisa mengeluarkan madu dari mulutmu yang sebenarnya pahit seperti empedu? Syakila, aku tidak akan pernah memaafkan kamu dan Mas Danu, kalau terbukti telah mempermainkan pernikahanku hanya untuk harta semata,' batinku kesal menunggu lama ia berbicara."Aku akan membawa calon suamiku kehadapanmu, Fika. Tapi, nanti setelah calon suamiku lulus dari kuliahnya di Jerman!" Akhirnya ku dengar sahuta
Seandainya aku memberikan jawaban iya pada papa. Apa aku harus bilang juga pada Mas Danu, bahwa aku hendak terapi ke luar negeri? Aku ingin Mas Danu dan Syakila terkejut saat mendengar suara indahku nanti. Sebaiknya dirahasiakan saja dulu.Dadaku masih terasa sesak menjadi wanita kedua, apalagi hanya menjadi batu loncatan. Harta lah yang menjadi incaran mereka, itu yang sebenarnya sangat menyakitkan. Ketulusan hati tidak ada secuil pun dalam diri mereka. [Aku mau, Pah. Tapi, aku ingin pastikan kedua insan tersebut juga tidak akan berduaan selama aku pergi. Papa bisa memberikan tugas pada Mas Danu keluar negeri juga, dengan negara yang berbeda.] Balasan pesan yang aku ketik tanpa sepengetahuan Syakila. Ia sedang ke toilet saat ini. Ternyata ponsel Syakila pun ia tinggal. Aku melirik ke layar ponsel yang menyala, tidak sengaja melihat pesan dari Mas Danu dari layar jendela.[Sayang, nanti malam pulang dari kantor aku ke rumah. Jangan lupa pakai lingerie yang aku belikan kemarin.]De