Share

#6 Liburan yang Tak Diinginkan

“Bagaimana kalau kita liburan ke puncak sama-sama?” usul bu Aliyah pada saat pertemuan kelas selanjutnya yang telah dihadiri bu Niken dan bu Sinta juga, jadi formasi 4 sekawan dalam Sanggar Seni Kenangan sudah lengkap.

“Kita berempat, Bu?” Bu Tia balik bertanya ke bu Aliyah sang pemberi usul.

“Kalau saya sih sarannya mending sama keluarga masing-masing, ajak suami dan anak masing-masing, biar nanti suasana jadi lebih rame, anak-anak kita juga jadi bisa berteman.” Bu Aliyah terdengar sangat antusias.

Mendengar ucapan bu Aliyah barusan, membuat bu Sinta dan bu Niken menjadi gelisah. Memang mereka berdua bisa saja menolak ajakan tersebut dengan sopan, tapi ucapan bu Aliyah selanjutnya membuat bu Sinta dan bu Niken tidak sanggup menolak.

“Kita bertiga dari dulu nggak pernah liburan bareng kan, padahal udah kenal selama 1 tahun lebih, jadi ini kesempatannya buat kita lebih kenal satu sama lain. Apalagi sekarang juga sudah ada bu Sinta,” ujar bu Aliyah dengan masih menggebu-gebu.

Keheningan sempat terjadi selama beberapa saat, dan keheningan itu kembali dihilangkan dengan ucapan bu Aliyah.

“Nanti aku ajak bu Larni juga, kalian lebih akrab sama dia kan, jadi pasti liburannya lebih nyaman,” ucap bu Aliyah.

Akhirnya bu Tia membuka suara. “Kalau saya sih boleh-boleh saja Bu, apalagi saya sama keluarga saya juga sudah butuh liburan, jadi kebetulan banget.” Meskipun tidak se-excited bu Aliyah, tapi apa yang diucapkan bu Tia terdengar tulus dan apa adanya.

Menerima respon yang baik dari bu Tia membuat bu Aliyah semakin berharap lebih terhadap respon dari bu Sinta dan bu Niken.

“Boleh, Bu.” Akhirnya bu Sinta mengiyakan ajakan bu Aliyah, meskipun beliau masih belum terlalu yakin apakah suaminya mau diajak atau tidak.

Sekarang kedua mata penuh harapan milik bu Aliyah tertuju ke arah bu Niken. Tatapan mata beliau seperti menyiratkan harapan besar untuk bu Niken juga menerima ajakannya.

“Nanti saya tanya suami saya dulu ya Bu, soalnya kemarin suami saja baru saja opname, jadi saya masih belum tahu kepastiannya,” ujar bu Niken dengan penuh kesopanan. Lalu beliau melanjutkan, “Kalau suami saya tidak bisa ikut liburan, mungkin saya bisa ikut sendiri.” Saking tidak mau menolak ajakan bu Aliyah, bu Niken sampai memberikan solusi darurat.

Setelah mendengar jawaban dari bu Niken, tatapan mata dan gestur bu Aliyah yang awalnya menggebu-gebu sedikit menciut, dan perubahan tersebut cukup terlihat dengan jelas.

“Maaf ya Bu,” kata bu Niken setelah menyadari atmosfer telah berubah karena jawabannya.

“Oh tidak apa apa Bu Niken, kalau memang tidak bisa ikut tidak masalah, kalau mau ikut tanpa keluarga juga boleh, yang penting kalau kita jadi liburan, Ibu jangan merasa ditinggalkan ya,” bu Aliyah mengakhiri ucapannya dengan candaan khasnya.

Bu Niken hanya bisa tertawa ringan ketika mendengar ucapan bu Aliyah. “Tentu saja saya tidak akan merasa begitu, Bu.” Ucap bu Niken. “Ibu-ibu berlibur saja senyaman dan sebahagia mungkin, jangan terlalu memikirkan saya yang tidak bisa ikut.” Bu Niken balik melontarkan candaan yang untungnya diterima baik oleh ibu-ibu lainnya.

“Oke, nanti tinggal saya koordinasikan sama bu Larni, baru nanti kita bahas lagi di pertemuan berikutnya.” Antusiasme bu Aliyah kembali timbul setelah membayangkan hari liburan itu segera tiba.

***

Hari ini bu Aliyah berniat untuk berkunjung ke rumah bu Larni, sekaligus menjenguk bu Larni yang sudah seminggu hanya bisa istirahat di rumah karena sakit yang dideritanya.

Bu Aliyah dengan sengaja mengajak kedua anaknya yang masih kecil -Tio dan Dania yang masih berusia 3 dan 5 tahun-.

“Nanti nggak boleh rewel ya, kalo rewel mending pulang aja.” Nada suara bu Aliyah terdengar sangat tegas dan berwibawa. Ya, nasihat ini memang sudah menjadi nasihat turun-temurun yang sudah dikenal oleh ketiga anak bu Aliyah.

Mendengar nasihat itu kembali, anak-anak bu Aliyah, baik Tio maupun Dania, sama-sama sudah mengerti dan menuruti nasihat tersebut, bahkan mereka sama sekali tidak menunjukkan sikap rewel sedikit pun sejak awal berangkat.

Sementara itu, meskipun hari ini bu Aliyah pergi berkunjung ke rumah bu Larni dengan kedua anaknya, tapi suaminya tidak ikut bersamanya. Pak Rio tidak ikut berkunjung dengan alasan ada kesibukan lainnya bersama teman-teman kantornya. Karena bu Aliyah tidak mau memaksa suaminya untuk ikut bersamanya, jadi beliau membiarkan suaminya bersenang-senang dengan temannya, yang penting hari liburan suaminya itu mau diajak, begitu batin bu Aliyah.

Mobil yang dikendarai oleh sopir bu Aliyah telah memasuki gang rumah bu Larni. Karena gang rumah bu Larni sempit dan ada banyak mobil yang diparkir di jalanan, jadi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa sampai di rumah bu Larni.

“Ini bisa kan, Pak?” tanya bu Aliyah ketika merasa jalan yang tersisa hanya tinggal sedikit, karena di bagian kanan dan kiri jalan sama-sama dipenuhi dengan mobil. “Kalau tidak bisa, saya turun disini aja Pak sama anak-anak, Bapak nanti lewat gang belakang aja, biar lebih lega jalannya.” Bu Aliyah menawarkan diri untuk turun tidak di depan rumah bu Larni.

Karena memang tidak ada jalan keluar lain, akhirnya bu Larni bersama Tio dan Dania turun dan berjalan hingga rumah bu Larni.

Sesampai di depan rumah bu Larni, bu Aliyah menekan bel rumah tersebut. Tidak butuh waktu lama untuk bu Aliyah menunggu, pintu pagar sudah dibukakan oleh suami bu Larni.

“Oh bu Aliyah, masuk masuk Bu,” suami bu Larni menyambut baik kehadiran bu Aliyah. “Ibu jalan?” Lanjut suami bu Larni ketika melihat tidak ada mobil yang terparkir di depan rumahnya.

“Nggak, Pak. Tadi kebetulan susah lewatnya, jadi mobil tidak bisa masuk, Pak.” Jawab bu Aliyah sembari masuk ke rumah bu Larni.

“Bentar Bu, saya panggil bu Larninya dulu, bu Larni udah agak baikan kok.” Kata suami bu Larni yang bernama pak Bambang.

Sepeninggal pak Bambang memanggil bu Larni, bu Aliyah duduk di sofa ruang tamu dengan anak-anaknya. Tio dan Dania benar-benar anteng seolah-olah tahu betul kalau mereka tidak boleh rewel sedikit pun.

“Ngapain repot-repot ke sini?” Terdengar suara bu Larni yang masih seperti serak. Bu Larni muncul dari kamarnya yang terlihat dari ruang tamu dengan mengenakan daster bermotif bunga-bunga.

“Justru aku nggak enak kalau nggak jenguk,” bu Aliyah bangkit dari sofa dan membantu bu Larni untuk berjalan, karena memang tadi bu Larni terlihat seperti masih lemas.

Setelah bu Larni sudah duduk di sofa ruang tamu, pak Bambang mengajak Tio dan Dania bermain di taman belakang, supaya bu Aliyah bisa berbicara dengan bu Larni seleluasa mungkin.

Bu Aliyah tidak langsung masuk ke pembicaraan utama terkait liburan yang memang hendak dibahasnya itu. Bu Aliyah memulai pembicaraan dengan basa-basi yang cukup panjang, sampai akhirnya proses basa-basi itu diketahui oleh bu Larni.

“Kamu nggak ke sini hanya buat membicarakan itu, kan?” Seperti biasa, bu Larni selalu memahami arti dari perilaku seseorang. Mungkin beliau bisa melihatnya dari gestur lawan bicaranya.

“Ketahuan nih,” ucap bu Aliyah. “Aku sama ibu-ibu kelas merajut lain berencana liburan bareng, sama keluarga masing-masing.” Bu Aliyah dengan sengaja memulainya dengan kalimat sederhana itu saja dulu, supaya beliau tidak terlihat terlalu antusias dengan rencana ini.

Mendengar ucapan bu Larni, seketika raut wajah bu Larni berubah sedikit terkejut, seolah-olah itu adalah rencana yang sangat tidak mungkin terjadi. “Semua setuju dengan rencana itu?” Akhirnya hanya pertanyaan itu yang bisa keluar dari mulut bu Larni.

Bu Aliyah menyadari perubahan sikap bu Larni tersebut. “Bu Niken masih belum bisa mastiin ikut atau nggaknya, bu Tia antusias dengan rencana ini, dan bu Sinta awalnya terlihat ragu, tapi setelah itu dia setuju dengan rencana liburan ini.” Bu Aliyah menjawabnya dengan jujur.

“Kalau ada yang tidak setuju, jangan dipaksa.” Bu Larni mengambil minum yang tersedia di meja ruang tamu, lalu beliau memberikannya ke bu Aliyah.

“Tentu saja tidak, aku juga sudah bilang ke bu Niken, kalau bu Niken tidak bisa ikut nggak usah dipaksain.” Bu Aliyah terdengar sedikit tersinggung, karena memang perasaannya sedikit sensitif.

“Oh kalau begitu bukan masalah, asal kamu jangan maksa-maksa orang lain.” Bu Larni merasa masih belum percaya dengan bu Aliyah.

“Iya iya, aku juga tahu,” ucap bu Aliyah, kali ini beliau terdengar tidak tersinggung dengan ucapan bu Larni. “Jadi gimana, kamu mau ikut juga nggak?” Lanjut bu Aliyah.

Bu Larni meletakkan minumannya ke meja di depannya. “Aku sih kemungkinan besar ikut, nanti aku bahas sama suami aku dulu juga, tapi kayaknyaa ikut, jadi tak perlu khawatir.” Bu Larni mengakhiri ucapannya dengan candaan ringannya.

Mendengar jawaban temannya itu, raut wajah bu Aliyah langsung terlihat sangat puas dan bahagia. Setelah pembahasan tentang liburan itu, mereka berdua sama-sama bercerita tentang kehidupannya masing-masing selama beberapa hari belakangan ini. Bu Larni menceritakan tentang rasa sakit yang dirasakannya selama beberapa hari belakangan ini, namun meskipun rasa sakit yang dirasakan sangatlah luar biasa, pada saat bu Larni ke dokter, dokter mengatakan tidak ada penyakit tertentu yang sedang dideritanya, jadi kemungkinan besar rasa sakit itu berasal dari pikiran.

“Kamu lagi ada masalah?” Mendengar cerita dari bu Larni, bu Aliyah otomatis menanyakan hal itu.

Seperti sudah menyangka akan ditodong pertanyaan seperti itu oleh bu Aliyah, bu Larni menjawabnya hanya dengan senyuman penuh arti. Memang sejak dulu bu Larni tidak pernah bercerita sepenuhnya kepada siapa pun, karena beliau bukan tipe seseorang yang bisa terbuka ke sembarang orang.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status