Share

#5

Di pertemuan atau kelas selanjutnya, bu Niken izin dengan alasan urusan keluarga. Bu Larni pun mengizinkan bu Niken tanpa menanyakan lebih lanjut mengenai alasannya.

“Tadi bu Niken ngomong apa ke kamu?” Bu Aliyah yang sedang beristirahat di ruangan bu Larni mencoba mencari tahu mengenai alasan bu Niken tidak masuk kelas hari ini.

Bu Larni yang sedang membereskan rak bukunya hanya bisa menjawabnya dengan singkat. “Katanya ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan, jadi terpaksa beliau tidak bisa masuk hari ini.”

Rasa ingin tahu bu Aliyah tidak berhenti sampai disitu, meskipun bu Larni sudah menjawabnya dengan cukup jelas, bu Aliyah tetap bersikeras untuk mengorek lebih dalam mengenai kehidupan bu Niken.

“Menurutmu urusan keluarga seperti apa yang sampai tidak bisa ditinggalkan? Bukannya bu Niken tidak punya anak, jadi apa yang sampai mendesaknya seperti itu.” Bu Aliyah tidak sedikit pun merasa bahwa ucapannya tersebut sangatlah menyakitkan bagi orang lain. Ya, meskipun pada situasi saat ini tokoh utama yang sedang dibicarakan tidak ada di sekitarnya, akan tetapi tetap saja ucapan itu merupakan ucapan terlarang.

Mendengar ucapan bu Aliyah barusan, membuat amarah bu Larni timbul. “Aku udah sering bilang kan, kamu tuh terlalu ikut campur urusan orang lain. Meskipun mungkin kamu merasa sudah mengenal bu Niken cukup lama, tetap saja ada batasan-batasan khusus yang tidak boleh kamu lewati.” Suara bu Larni terdengar sangat tegas. Meskipun bu Aliyah adalah temannya sendiri yang sudah menjalin pertemanan dalam waktu yang cukup panjang, bu Larni tetap tidak pernah suka dengan sikap dan prilaku bu Aliyah yang seperti itu.

Melihat raut wajah bu Larni yang mengeras dan dilengkapi dengan nada suara yang sangat tegas namun tidak mengurangi sifat wibawanya, bu Aliyah langsung menciut. Beliau tidak berhenti meminta maaf, meski permintaan maaf tersebut seharusnya tidak ditujukan ke bu Larni.

“Bu Niken memang belum mempunyai anak, tapi beliau juga pasti memiliki kepentingan sendiri yang tentunya kita sebagai orang luar tidak perlu tahu.” Bu Larni dengan sengaja menekankan suaranya di kata ‘belum’.

“Iya, maaf, aku cuma ingin tahu saja, soalnya dari luar bu Niken terlihat seperti orang yang santai, jadi aku kira orang seperti dia tidak pernah memiliki masalah besar dalam hidupnya.” Kali ini, di balik permintaan maaf bu Aliyah terdapat pembelaan diri yang diselipkannya dengan baik.

“Entah itu masalah besar maupun kecil, jika bu Niken sendiri tidak menceritakan masalah tersebut ke kita, kita tidak berhak mencari tahunya sendiri, toh dengan mengetahui permasalahan tersebut kita tidak ada untungnya,” ucap bu Larni dengan bijak. Lalu beliau melanjutkan ucapannya dengan berkata, “Lagian kalau memang beliau membutuhkan bantuan dari kita, pasti beliau cerita kok, paling tidak beliau bisa cerita ke aku,” lanjutnya.

Bu Aliyah yang merasa sedikit tersinggung, hanya bisa diam tak berkutik mendengar nasihat baik dari bu Larni tersebut.

Melihat temannya itu hanya bisa termenung mendengarkan nasihatnya, bu Larni kembali berkata, “Aku mengajakmu ikut kelas ini supaya kamu bisa mengisi waktu luangmu dengan kegiatan yang positif, jadi kalau kamu masih punya kebiasaan seperti ini, berarti misi yang kita kejar masih gagal.” Bu Larni mengucapkan perkataan tersebut dengan cara sehalus mungkin.

Kali ini bu Aliyah menyetujui ucapan temannya itu, karena memang sejak beliau memutuskan untuk mengikuti kelas ini, bu Aliyah dan bu Larni sama-sama menyadari apa yang menjadi tujuan mereka, jadi ketika hal ini kembali terjadi, bu Aliyah merasa wajar jika bu Larni merasa kecewa.

“Ya udah sana kembali lagi, jangan istirahat lama-lama disini, nanti dikira yang lainnya aku menganak emaskan dirimu,” canda bu Larni dengan tertawa ringan.

Mendengar candaan yang dilontarkan bu Larni, bu Aliyah ikut tertawa lembut. “Bukankah aku memang anak emasmu?” Bu Aliyah balik melontarkan candaan ke teman baiknya.

Tanpa menunggu jawaban dari bu Larni, bu Aliyah beranjak dari tempatnya dan kembali ke kelas merajutnya.

***

Keesokan harinya -karena di pertemuan berikutnya bu Niken kembali tidak bisa masuk, jadi beliau berniat mengikuti kelas yang hari ini- bu Niken mengikuti kelas tanpa kehadiran teman-teman yang lain. Bu Niken berangkat ke sanggar sendiri, tanpa diantar oleh siapa pun.

Sesampai di sanggar, bu Niken dengan sengaja langsung menuju ke ruangan bu Larni, tapi tanpa diduga sang pemilik ruangan tersebut tidak ada di ruangannya. Melihat bu Larni tidak ada di ruangannya, bu Niken sempat ragu, apakah harus menunggu di dalam atau di luar, karena beliau merasa jika dirinya menunggu di dalam namun pemilik ruangan belum mengizinkannya untuk masuk, bu Niken merasa itu tindakan yang kurang sopan.

Pada saat pikirannya sedang berdebat mengenai hal itu, tiba-tiba terdengar suara yang cukup familiar di telinganya. “Bu Niken?” Suara tersebut memanggil bu Niken dengan nada bertanya-tanya.

Bu Niken yang mendengar namanya dipanggil pun menoleh, dan beliau segera dipertemukan dengan sosok bu Sinta yang juga sepertinya sedang menunggu kehadiran bu Larni.

“Oh, bu Sinta,” panggil bu Niken. Meskipun mungkin terdengarnya bu Niken sangat menyambut kehadiran bu Sinta, akan tetapi kenyataannya di dalam lubuk hatinya ada perasaan gelisah yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata.

“Bu Niken juga ikut kelas hari ini?” Bu Sinta semakin mendekat ke arah bu Niken.

“Iya Bu, saya hari Jum’at tidak bisa ikut kelas lagi, jadi saya memilih ikut kelas hari ini, toh saya hari ini juga lagi nganggur.” Dengan sengaja bu Niken menyelipkan candaan ringannya.

“Oh, sama kalau begitu Bu, saya juga hari Jum’at tidak bisa ikut kelas, jadi saya pikir ikut kelas hari ini saja,” ujar bu Sinta tanpa menghilangkan senyuman ramah dari wajahnya.

Belum sempat bu Niken hendak melanjutkan basa-basinya dengan bu Sinta, terdengar suara seorang lelaki di belakang mereka. “Maaf, apa Ibu sedang menunggu atau mencari bu Larni?” pertanyaan tersebut yang terdengar oleh bu Sinta dan bu Niken.

Secara serentak bu Sinta dan bu Niken menengok ke arah asal suara tersebut. Dan ternyata, suara tersebut milik suami bu Larni. Bu Sinta memang tidak mengenali lelaki tersebut awalnya, tapi setelah mendengar alur pembicaraan antara lelaki itu dengan bu Niken, bu Sinta mulai menyadari bahwa beliau suami dari bu Larni.

“Oh iya Pak, apa bu Larni sedang sibuk?” tanya bu Niken.

“Hari ini beliau sedang tidak enak badan, jadi bu Larni menyuruh saya yang menjaga kelas-kelas hari ini,” jawab suami bu Larni. Lalu beliau kembali melontarkan pertanyaan kepada bu Sinta dan bu Niken. “Ada yang bisa saya bantu? Nanti akan saya sampaikan ke bu Larni.”

“Tidak usah Pak, bukan masalah besar, saya cuma mau minta maaf karena kemarin tidak bisa masuk kelas.” Ya, memang kalimat yang diucapkan bu Niken ini tidak sepenuhnya salah, karena memang salah satu rencana bu Niken ke ruangan bu Larni adalah untuk meminta maaf.

Mendengar jawaban dari bu Niken, suami bu Larni mengangguk-anggukan kepalanya sembari tersenyum ramah. Lalu beliau menoleh ke arah bu Sinta tanpa menanyakan pertanyaan yang sama seperti tadi.

“Tidak, Pak, saya juga tidak ada urusan penting dengan bu Larni, saya hanya ingin menyapa beliau.” Bu Sinta menjawabnya dengan sesopan mungkin.

“Kalau begitu kami pamit dulu ya Pak,” kata bu Niken sembari menggandeng lengan bu Sinta.

Suami bu Larni kembali menggangguk-anggukan kepalanya dengan ramah.

Sesampai di kursi kelas merajut, bu Niken berkata, “Ibu ada perlu apa ke ruangan bu Larni?” Bu Niken menanyakan hal ini lagi, karena beliau merasa bu Sinta juga seperti dirinya yang tidak mengatakan sejujurnya kepada suami bu Larni tadi.

Bu Sinta tersenyum malu, karena beliau merasa seperti sedang tertangkap basah telah berbohong.

“Saya mendengar rumor yang mengatakan bahwa bu Larni siap mendengarkan keluh kesan kita dengan sabar. Selain itu juga menurut bu Tia, saran dan kritik yang diberikan oleh bu Larni selalu tepat, jadi saya ingin mencobanya.” Meskipun sebagian besar nada suara bu Sinta terdengar seperti candaan, tapi ada nada keseriusan yang tersirat di dalamnya.

“Oh, bu Sinta sudah mendengar kabar itu?” kali ini nada suara bu Niken terdengar excited.

“Iya Bu, kebetulan saya lagi ada masalah yang membuat saya membutuhkan sosok pendengar yang baik, jadi mumpung hari ini yang awalnya saya kira hanya saya yang masuk kelas hari ini, saya mau cerita ke bu Larni.” Suara bu Sinta menyiratkan rasa malu sedikit.

Mendengar jawaban bu Sinta, bu Niken hanya bisa tersenyum penuh arti.

“Ibu sudah pernah mengalaminya sendiri?” Bu Sinta menanyakan hal itu dengan penuh hati-hati, karena beliau tidak mau membuat bu Niken merasa tersinggung atau berpikir kalau bu Sinta suka ikut campur urusan orang lain.

Tanpa disangka-sangka, bu Niken justru tertawa saat mendengar ucapan bu Sinta tersebut. “Sering Bu, setiap saya ada masalah saya pasti lari ke bu Larni, makanya hari ini pun saya berniat untuk sharing dengan bu Larni.” Bu Niken mengucapkan kalimat tersebut tanpa merasa malu sedikit pun, seolah-olah hal seperti ini merupakan hal yang wajar di Sanggar Seni Kenangan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status