Akhirnya, setelah sekian lama merencanakan liburan yang dinanti-nanti itu, keempat keluarga bisa berangkat liburan juga. Mereka memutuskan untuk menyewa bus kecil untuk berangkat ke puncak.
Malam sebelum hari keberangkatan, bu Aliyah tidak bisa tidur, karena beliau terlalu excited menunggu hari liburan. Bahkan, tingkah laku bu Aliyah yang tidak biasa itu sempat ditegur oleh suaminya, pak Rio.
“Bunda kenapa sih, kok nggak tidur-tidur dari tadi?” Nada suara pak Rio bercampur antara kesal dengan penasaran.
Bu Aliyah yang awalnya mengira suaminya sudah tidur, langsung meletakkan ponselnya dan menoleh ke arah suaminya. “Aku tidak pernah merasa seantusias ini sebelumnya, tapi entah kenapa kali ini aku merasa sangat antusias sampai tidak bisa tidur,” ucap bu Aliyah. Lalu beliau melanjutkan, “Apalagi Ayah sama anak-anak mau ikut, aku jadi makin bahagia.” Nada suara bu Aliyah terdengar sangat m
Bus terus melaju dengan keceriaan yang terdapat di dalamnya. Anak-anak tidak pernah berhenti tertawa dan bermain bersama. Bahkan, Zahra yang biasanya menjadi anak yang pendiam, kali ini terlihat sangat aktif dan tawanya pun terus terlihat.“Zahra umur berapa, Bu?” Tanya bu Aliyah kepada bu Sinta yang sedang duduk bersama suaminya.Karena bu Sinta sedang berbicara dengan pak Helmi, sehingga beliau tidak sedang melihat ke arah bu Aliyah, jadi bu Sinta sedikit kikuk ketika mendapat pertanyaan dadakan itu.“4 tahun Bu, Desember ini nanti dia ulang tahun yang ke-5.” Jawab bu Sinta setelah membalikkan badannya untuk melihat ke arah bu Aliyah yang duduk di sampingnya.Setelah itu, perbincangan terus berlanjut. Dari mulai perbincangan tentang kehidupan rumah tangga, hingga kehidupan pekerjaan kembali mereka perbincangkan. Namun, yang menjadi perbedaan adalah, sekarang ada sosok Hani d
Hari telah berganti, dan matahari telah menyapa semua orang kembali. Satu per satu para penikmat liburan telah terbangun dari tidurnya dan mulai mencari kesibukannya masing-masing. “Gimana Bu, apakah nyenyak tidurnya?” Tanya bu Tia kepada bu Sinta dengan memegang cangkir yang berisikan latte. Bu Tia memang terkadang harus meminum kopi di pagi hari, supaya kondisinya tetap merasa semangat sampai akhir hari. “Syukurlah Bu, anak sama suami nyaman tidur disini, saya pun jadi tidak perlu kepikiran.” Bu Sinta menjawab pertanyaan bu Tia tanpa memberikan jawaban utamanya. “Bu Aliyah bisa dibilang sangat cermat mencari vila yang pas,” kali ini bu Tia mengucapkan kalimat tersebut tanpa ditujukan untuk siapa pun, karena memang sebenarnya itu adalah hanya gumamannya saja yang secara tidak sengaja dikeluarkan dengan suara yang agak kencang. “Makasih Bu pujiannya,” tidak ada yang melihat kehadiran bu Aliya
Keesokan harinya, suasana di antara mereka masih terasa canggung, bahkan tidak ada yang berani keluar terlebih dahulu dari kamarnya masing-masing. Untungnya, hari ini adalah hari terakhir liburan, jadi nanti siang mereka akan kembali pulang dan kembali ke kehidupannya masing-masing. “Cklek…” terdengar suara pintu terbuka, dan semua orang yang masih terjaga di kamarnya langsung mencuri dengar siapakah yang akhirnya memutuskan untuk keluar kamar itu. “Menurut kamu, siapa kira-kira yang keluar?” Tanya bu Tia dengan masih tertidur di kasurnya dan berbantalkan lengan pak Andrian. Tak ketinggalan, bu Tia juga memeluk anaknya yang masih tertidur. Pak Andrian tersenyum tipis, lalu beliau mencolek ujung hidung istrinya dengan gemas. “Kamu tuh pengen tahu aja,” ucap pak Andrian kemudian. “Iya dong, kemarin kamu tahu sendiri bagaimana situasinya,” bu Tia masih mencoba mencuri dengar, bahkan kali ini bel
Hari demi hari telah berlalu sejak liburan petaka terjadi, dan sejak hari itu bu Niken tidak bisa melupakan kejadian yang tanpa sengaja beliau lihat. Bu Niken bahkan berusaha mengingat-ingat warna sepatu para suami yang dikenakan pada hari itu. Dan untungnya, ketika bu Niken mengingat-ingat akan hal itu, bu Niken ingat bahwa suaminya pada hari itu memakai sepatu berwarna hitam kecokelatan. Jadi, bu Niken mengeliminasi suaminya dari daftar lelaki yang dilihatnya para hari itu. “Mikirin apa Bu?” Tiba-tiba terdengar suara bu Tia yang sedang memandanginya dengan penuh curiga. “Eh?” Bu Niken yang tidak menyangka akan ditanyai seperti itu, hanya bisa kebingungan. “Tidak jadi Bu, saya juga tidak berhak mengetahui apa yang sedang bu Niken pikirkan saat ini.” Bu Tia menyelingi ucapannya dengan tawa ringannya yang sangat khas. “Tadi Ibu ngomong apa? Maaf tadi saya lagi ada sesuatu yang harus dipikirkan,” ucap bu Niken dengan menunjukkan perasaan
Sepulang dari sanggar, bu Niken mengendarai mobilnya dengan pikiran yang masih terpaku ke arah sepasang lelaki dan perempuan yang beliau lihat sepulang liburan. Sejujurnya, meskipun bu Niken sempat yakin bahwa lelaki tersebut bukan suaminya, akan tetapi di lain sisi bu Niken juga takut bahwa suaminya pernah mengalami kejadian seperti itu, alias bertemu dengan perempuan lain dalam keadaan yang intens tanpa sepengetahuan beliau.“Tiinnn…” suara klakson mobil yang berkepanjangan terdengar dari belakang mobil bu Niken. Ternyata karena bu Niken sedang melamun dengan santainya, beliau tidak menyadari akan pergantian warna lampu lalu lintas. Menyadari hal itu, bu Niken langsung menancap gas mobilnya.Beberapa menit kemudian, mobil bu Niken telah memasuki area garasi rumahnya. Setelah mematikan mesin mobilnya, bu Niken mengambil tas jinjingnya yang beliau letakkan di bangku penumpang, lalu beliau keluar dari mobilnya. 
Bu Aliyah keluar dari kamarnya dengan langkah yang sempoyongan. Sudah selama beberapa hari ini, beliau merasa tidak enak badan, hingga tidak bisa kemana-mana, bahkan hanya untuk ke minimarket dekat rumahnya saja pun cukup melelahkan.Bu Aliyah berjalan menuju dapur untuk makan siang, karena memang beliau baru saja terbangun dari tidurnya yang baru saja dimulai jam 4 pagi tadi. Dari pagi tadi, bu Aliyah sudah ditinggal sendiri, karena anak-anaknya sekolah dan suaminya pun kerja. Bahkan, tadi pagi pak Rio juga tidak berusaha membangunkan bu Aliyah untuk meminta tolong membuatkan sarapan.Setelah berhasil menggoreng telur dan mengambil nasi yang sepertinya sudah dimaksakkan oleh pak Rio tadi pagi, bu Aliyah langsung memakannya dengan malas-malasan. Sebenarnya, beliau tidak berselera untuk makan, akan tetapi bu Aliyah berpikir, jika beliau tidak makan secara terus-menerus, bagaimana bisa beliau sembuh.“Ting..Tong&hell
Bu Aliyah menunggu kedatangan suaminya dengan perasaan yang gelisah, sehingga bu Aliyah sempat melupakan fakta bahwa beliau sedang tidak enak badan dan butuh waktu istirahat. Bu Aliyah tidak berhenti memandangi jam dinding di kamarnya, beliau menghitungi waktu sampai suaminya tiba di rumah.Bahkan, pada saat anak-anak bu Aliyah sudah pulang dari sekolahnya masing-masing, bu Aliyah hanya menyambutnya dengan setengah hati. Hal ini tentu pemandangan yang sangat asing di keluarga bu Aliyah. Biasanya, bu Aliyah akan menciumi anak-anaknya satu per satu, sampai anak-anaknya sendiri yang risih menerima perlakuan manis dari bundanya yang menurut mereka cukup berlebihan seperti itu.Setelah menyiapkan makan untuk ketiga anaknya, bu Aliyah kembali ke kamarnya sambil mencuri-curi dengar, apakah pintu rumah telah terbuka. Sampai akhirnya, terdengar suara pintu yang terbuka. Mendengar suara tersebut, tentu saja langsung memberikan efek yang luar bjasa kep
Semenjak hari petaka itu terjadi, bu Aliyah tidak pernah menyapa pak Rio, bahkan pada saat pak Rio hendak meminta maaf kepada istrinya itu, bu Aliyah tidak pernah menggubrisnya. Bu Aliyah masih belum bisa melupakan betapa pahitnya hari itu, mengingat beliau sedang sakit dan menerima perlakuan seperti itu dari suaminya. “Bunda ada kelas hari ini?” Pak Rio tidak pernah berhenti berusaha untuk berbaikan dengan istrinya. Bu Aliyah yang sedang mengambilkan makanan untuk anak-anaknya, hanya menggelengkan kepalanya secara singkat. “Terus Bunda ada janji sama siapa?” Pak Rio masih berusaha mencari jawaban dari istrinya, karena beliau melihat bu Aliyah sedang memakai baju yang rapi dan dandanan yang cantik. “Bunda ada janji sama teman,” jawab bu Aliyah kemudian. Lalu beliau menghampiri pak Rio dan berkata, “Lagipula, entah itu Bunda ada janji atau tidak, itu sudah bukan urusan Ayah lagi, bukankah Bund