Share

BAB 2

Beberapa wanita dengan dandanan yang elegan, Bukan, lebih tepatnya apa ya? Intinya dandanan khas seorang sosialita ibu kota. Baju, tas dan berlian yang berharga jutaan, terpasang sempurna pada tubuh para nyonya keluarga berpengaruh.

“Hari ini saya sangat senang sekali,” seorang wanita menaruh cangkir teh yang baru diseruput. Wajah setengah bule itu memancarkan senyum sempurna.

“Ada apa memangnya, Teh Sandra?” tanya seorang wanita dengan aksen sundanya. 

“Designer yang sudah saya incar sejak beberapa tahun ini akan kembali ke Indonesia,” jawabnya penuh kegembiraan. “Ah, iya. Silahkan jika ada yang ingin dipesan, pesan saja. Hari ini saya yang traktir.”

“Wah, yang beneran, Bu?” tanya seseorang yang lain.

“Tentu saja.”

“Saya tidak akan sungkan kalau begitu.”

Dan dimulailah acara memesan makanan dan camilan dengan harga yang cukup fantastis. Tempat berbincang yang dipilih nyonya-nyonya itu memang terkenal akan kelezatan dan harga di atas rata-rata. Lebih tepatnya, tempat pergaulan kalangan ibu-ibu sosialita.

“Tapi ngomong-ngomong, Mbak. Designer yang Mbak Sandra maksud itu … apa sama dengan orang yang terus-menerus disebut oleh ibu Irina untuk membuat baju pernikahan putrinya nanti?” 

Sandra mengangguk yakin, “benar. Saya dan ibu Irina sempat berdebat untuk siapa dulu yang akan dibuatkan, Tapi mengingat pernikahan putrinya yang sudah cukup dekat, saya mengalah.”

“Wah, kalau boleh saya tahu, siapa nama designer itu, Bun?”

“Frada. Frada Adelia. Dia keturunan orang Indonesia. Tapi kini tinggal di Prancis. Ini lho fotonya. Cantikkan orangnya?”

Sandra menunjukkan sebuah gambar di majalah yang kebetulan ada di atas meja. Di sana terpasang foto Frada sebagai designer yang telah membuatkan baju beberapa aktris dan aktor papan atas hollywod.

“Iya. Cantik sekali. Wajahnya agak keindonesiaan juga. Tapi, entah mengapa saya kok malah ingat sama Pak Hardiyantara, ya? Agak mirip nggak sih? Bener kan, Bu Laras?”

Pertanyaan itu dilemparkan pada seorang wanita yang sedari tadi hanya diam dan mengamati. Dari pancaran wajahnya, jelas dia tak begitu menikmati pembahasan itu.

Tangan Larasati mengepal. Dipakasakan senyumnya yang sedari tadi coba dia bangkitkan. Mendengarkan orang-orang membicarakan gadis itu dengan penuh kebanggaan, membuat darahnya mendidih. Dia tidak suka pembunuh itu dipuji. Dia tak rela apabila wanita itu tersenyum congkak dengan kesombongan padanya.

“Nggak kok, Bu. Wanita ini sama sekali tak mirip dengan suami saya.”

“Tapi menurut saya kok mirip banget, ya?”

“Ya jelas nggak dong. Kalau mirip, bisa jadi ini anak keluarga Hardiyantara, kan?” serobot Sandra tak terima. “Gadis dengan level seperti ini, mana mungkin cocok dengan suami Nyonya Larasati,” ujarnya tak setuju. Bagi Sandra, gadis yang sangat dikaguminya itu tidak akan sebanding jika disandingkan dengan keluarga Hardiyantara apalagi dibilang putri dari keluarga itu.

Jangan sampai.

Jika keluarga kandung gadis itu mendengar, pasti akan menuntut!

“Maaf, Bu Sandra. Apa maksudnya itu?”

“Saya tidak bermaksud apapun kok, Mbak.”

“Terus kenapa bilang kalau suami saya seakan-akan tidak sebanding dengan Designer itu?”

“Karena memang tidak sebanding. Di usianya yang segini dia sudah bisa mendirikan belasan butik ditiap penjuru Negara yang berbeda. Sementara suami Anda? Mungkin jika bukan karena Anda yang berasal dari keluarga Jayatri, pasti Pak Hardiyantara sudah menjadi gembel—"

Plak!

“Jaga ucapan Anda!”

Larasati menampar pipi itu. Hening. Semua orang terdiam di tempat masing-masing. Terlalu syock dengan kejadian yang baru saja terjadi. Kekerasan sama sekali tidak diperbolehkan di perkumpulan mereka. Terlebih yang ditampar adalah Sandra Valentine Alexander. Perempuan berdarah Jerman – Indonesia sekaligus istri dari orang paling berpengaruh di dunia bisnis. 

“Anda sama sekali tak berhak untuk mengomentari—“

“Tak berhak? Saya berbicara fakta. Anda menikahi suami Anda dengan imbalan perusahaan itu diselamatkan. Dan itu sama sekali tidak etis apalagi dengan keadaan suami Anda telah memiliki kekasih dan siap menikah.”

“Anda—“

“Apa saya salah?”

Larasati membisu. Tak bisa menampik apa perkataan Sandra. Ingin sekali dia membantah. Namun kenyataannya, begitulah faktanya. Memilih mengambil tas, dia berjalan keluar. Menyelamatkan harga dirinya—yang mungkin sudah nyaris hancur. Meninggalkan ruangan tanpa kata. Serta berjanji pada dirinya untuk tidak ikut dalam perkumpulan itu lagi. Ck, Larasati bersumpah!

***

Pyar!

Buk!

Semua orang hanya berusaha menulikan dan membutakan mata dari kejadian itu. larasati tengah mengamuk. Dan benda-benda isi rumahlah yang menjadi pelampiasannya. Amarah yang meletup-letup jelas menguar dari wajah wanita paruh baya yang masih nampak cantik itu. Wajahnya merah padam. Menandakan betapa kerasnya ia mencoba menahan kekesalan sampai di rumah.

Penghinaan dari Sandra jelas masih membekas. Namun yang lebih membuatnya jengkel, ia tak bisa membantah. Gah! jika bukan karena suami perempuan itu yang berpengaruh besar, sudah jelas Larasati akan membalasnya lebih dari sekadar tamparan.

“Hei, sini kamu!”

Larasati memanggil seorang pelayan yang kebetulan sedang lewat. Pelayan muda itu membawa kemonceng di tangan dan itu seperti mainan untuk Larasati. Dengan langkag takut, pelayan itu mendekat. Tubuhnya bergetar.

Ketika jarak mereka hanya tinggal beberapa jangkah, larasati mengambil alat kebersihan itu dan mengalih fungsikan sebagai media penyiksaan. Seketika, pelayan itu hanya bisa berlutut dan menerima pukulan demi pukulan yang nyonya rumah itu berikan padanya. Sungguh, sudah tak terhitung jumlahnya orang-orang yang terkena imbas apabila Larasati sedang dalam mode amarahnya.

Jika dulu yang menjadi boneka kekerasan adalah nona kecil yang bisa dibungkam, maka sekarang adalah para pelayan yang akan dibayar untuk tutup mulut, juga dengan sedikit gertakan.

“Sialan! Berani-beraninya kamu muncul dengan sombong! Akan kuhancurkan kamu. Aku bersumpah!”

Dalam bayangan Larasati perempuan yang tengah disakitinya adalah Frada. Gadis yang menjadi penyebab mengapa Larasati bisa dihina dan keluar dari pergaulan kelas atas yang berpengaruh itu.

Klak!

Gagang kemonceng itu patah. Dan pelayan itu sudah yaris pingsan karena kesakitan. Larasati membuang benda itu jijik lalu menyeringai kejam. 

"Tunggu saja, aku akan menghancurkanmu! Kembalilah ke sini dan ambillah kemarahanku!"

Larasati tertawa terbahak kemudian meninggalkan tempat itu menuju kamarnya. Tak memperdulikan pelayan yang sudah disiksanya lemas tak berdaya. Sungguh, jika ada iblis kekejaman di dunia ini, maka Larasatilah iblis itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status