Beberapa wanita dengan dandanan yang elegan, Bukan, lebih tepatnya apa ya? Intinya dandanan khas seorang sosialita ibu kota. Baju, tas dan berlian yang berharga jutaan, terpasang sempurna pada tubuh para nyonya keluarga berpengaruh.
“Hari ini saya sangat senang sekali,” seorang wanita menaruh cangkir teh yang baru diseruput. Wajah setengah bule itu memancarkan senyum sempurna.“Ada apa memangnya, Teh Sandra?” tanya seorang wanita dengan aksen sundanya. “Designer yang sudah saya incar sejak beberapa tahun ini akan kembali ke Indonesia,” jawabnya penuh kegembiraan. “Ah, iya. Silahkan jika ada yang ingin dipesan, pesan saja. Hari ini saya yang traktir.”“Wah, yang beneran, Bu?” tanya seseorang yang lain.“Tentu saja.”“Saya tidak akan sungkan kalau begitu.”Dan dimulailah acara memesan makanan dan camilan dengan harga yang cukup fantastis. Tempat berbincang yang dipilih nyonya-nyonya itu memang terkenal akan kelezatan dan harga di atas rata-rata. Lebih tepatnya, tempat pergaulan kalangan ibu-ibu sosialita.“Tapi ngomong-ngomong, Mbak. Designer yang Mbak Sandra maksud itu … apa sama dengan orang yang terus-menerus disebut oleh ibu Irina untuk membuat baju pernikahan putrinya nanti?” Sandra mengangguk yakin, “benar. Saya dan ibu Irina sempat berdebat untuk siapa dulu yang akan dibuatkan, Tapi mengingat pernikahan putrinya yang sudah cukup dekat, saya mengalah.”“Wah, kalau boleh saya tahu, siapa nama designer itu, Bun?”“Frada. Frada Adelia. Dia keturunan orang Indonesia. Tapi kini tinggal di Prancis. Ini lho fotonya. Cantikkan orangnya?”Sandra menunjukkan sebuah gambar di majalah yang kebetulan ada di atas meja. Di sana terpasang foto Frada sebagai designer yang telah membuatkan baju beberapa aktris dan aktor papan atas hollywod.“Iya. Cantik sekali. Wajahnya agak keindonesiaan juga. Tapi, entah mengapa saya kok malah ingat sama Pak Hardiyantara, ya? Agak mirip nggak sih? Bener kan, Bu Laras?”Pertanyaan itu dilemparkan pada seorang wanita yang sedari tadi hanya diam dan mengamati. Dari pancaran wajahnya, jelas dia tak begitu menikmati pembahasan itu.Tangan Larasati mengepal. Dipakasakan senyumnya yang sedari tadi coba dia bangkitkan. Mendengarkan orang-orang membicarakan gadis itu dengan penuh kebanggaan, membuat darahnya mendidih. Dia tidak suka pembunuh itu dipuji. Dia tak rela apabila wanita itu tersenyum congkak dengan kesombongan padanya.“Nggak kok, Bu. Wanita ini sama sekali tak mirip dengan suami saya.”“Tapi menurut saya kok mirip banget, ya?”“Ya jelas nggak dong. Kalau mirip, bisa jadi ini anak keluarga Hardiyantara, kan?” serobot Sandra tak terima. “Gadis dengan level seperti ini, mana mungkin cocok dengan suami Nyonya Larasati,” ujarnya tak setuju. Bagi Sandra, gadis yang sangat dikaguminya itu tidak akan sebanding jika disandingkan dengan keluarga Hardiyantara apalagi dibilang putri dari keluarga itu.Jangan sampai.Jika keluarga kandung gadis itu mendengar, pasti akan menuntut!“Maaf, Bu Sandra. Apa maksudnya itu?”“Saya tidak bermaksud apapun kok, Mbak.”“Terus kenapa bilang kalau suami saya seakan-akan tidak sebanding dengan Designer itu?”“Karena memang tidak sebanding. Di usianya yang segini dia sudah bisa mendirikan belasan butik ditiap penjuru Negara yang berbeda. Sementara suami Anda? Mungkin jika bukan karena Anda yang berasal dari keluarga Jayatri, pasti Pak Hardiyantara sudah menjadi gembel—"Plak!“Jaga ucapan Anda!”Larasati menampar pipi itu. Hening. Semua orang terdiam di tempat masing-masing. Terlalu syock dengan kejadian yang baru saja terjadi. Kekerasan sama sekali tidak diperbolehkan di perkumpulan mereka. Terlebih yang ditampar adalah Sandra Valentine Alexander. Perempuan berdarah Jerman – Indonesia sekaligus istri dari orang paling berpengaruh di dunia bisnis. “Anda sama sekali tak berhak untuk mengomentari—““Tak berhak? Saya berbicara fakta. Anda menikahi suami Anda dengan imbalan perusahaan itu diselamatkan. Dan itu sama sekali tidak etis apalagi dengan keadaan suami Anda telah memiliki kekasih dan siap menikah.”“Anda—““Apa saya salah?”Larasati membisu. Tak bisa menampik apa perkataan Sandra. Ingin sekali dia membantah. Namun kenyataannya, begitulah faktanya. Memilih mengambil tas, dia berjalan keluar. Menyelamatkan harga dirinya—yang mungkin sudah nyaris hancur. Meninggalkan ruangan tanpa kata. Serta berjanji pada dirinya untuk tidak ikut dalam perkumpulan itu lagi. Ck, Larasati bersumpah!***Pyar!Buk!Semua orang hanya berusaha menulikan dan membutakan mata dari kejadian itu. larasati tengah mengamuk. Dan benda-benda isi rumahlah yang menjadi pelampiasannya. Amarah yang meletup-letup jelas menguar dari wajah wanita paruh baya yang masih nampak cantik itu. Wajahnya merah padam. Menandakan betapa kerasnya ia mencoba menahan kekesalan sampai di rumah.Penghinaan dari Sandra jelas masih membekas. Namun yang lebih membuatnya jengkel, ia tak bisa membantah. Gah! jika bukan karena suami perempuan itu yang berpengaruh besar, sudah jelas Larasati akan membalasnya lebih dari sekadar tamparan.“Hei, sini kamu!”Larasati memanggil seorang pelayan yang kebetulan sedang lewat. Pelayan muda itu membawa kemonceng di tangan dan itu seperti mainan untuk Larasati. Dengan langkag takut, pelayan itu mendekat. Tubuhnya bergetar.Ketika jarak mereka hanya tinggal beberapa jangkah, larasati mengambil alat kebersihan itu dan mengalih fungsikan sebagai media penyiksaan. Seketika, pelayan itu hanya bisa berlutut dan menerima pukulan demi pukulan yang nyonya rumah itu berikan padanya. Sungguh, sudah tak terhitung jumlahnya orang-orang yang terkena imbas apabila Larasati sedang dalam mode amarahnya.Jika dulu yang menjadi boneka kekerasan adalah nona kecil yang bisa dibungkam, maka sekarang adalah para pelayan yang akan dibayar untuk tutup mulut, juga dengan sedikit gertakan.
“Sialan! Berani-beraninya kamu muncul dengan sombong! Akan kuhancurkan kamu. Aku bersumpah!”Dalam bayangan Larasati perempuan yang tengah disakitinya adalah Frada. Gadis yang menjadi penyebab mengapa Larasati bisa dihina dan keluar dari pergaulan kelas atas yang berpengaruh itu.Klak!Gagang kemonceng itu patah. Dan pelayan itu sudah yaris pingsan karena kesakitan. Larasati membuang benda itu jijik lalu menyeringai kejam. "Tunggu saja, aku akan menghancurkanmu! Kembalilah ke sini dan ambillah kemarahanku!"Larasati tertawa terbahak kemudian meninggalkan tempat itu menuju kamarnya. Tak memperdulikan pelayan yang sudah disiksanya lemas tak berdaya. Sungguh, jika ada iblis kekejaman di dunia ini, maka Larasatilah iblis itu.Frada turun dari taksi yang ia tumpangi. Ada seorang pria yang mengikutinya dan mengambilkan koper dari bagasi mobil. Frada menggumamkan terima kasih kala lelaki itu membantunya untuk memasukkan koper itu ke dalam sana. “Selamat datang, Mbak Frada,” sapa para karyawan dan designer butiknya. Frada mengangguk dan tersenyum membalas sapaan ramah itu. “Iya. Terima kasih dengan sambutannya.” Frada melangkah lebih dalam. Lelaki tadi yang membawakan koper Frada menggiringnya menuju lantai dua. Tempat yang akan menjadi kamar Frada selama di sini. “Apakah tamuku sudah datang?” Frada meneliti riasan di wajahnya. Memastikan jika make up yang dipakai masih bagus dan tidak luntur atau pudar. “Belum, Mbak. Mungkin sekitar lima menit lagi.” “Apakah orang yang datang ini adalah pihak itu langsung? Bukan perwakilan?” “Kabar yang saya dengar adalah orang itu langsung, Mbak.” “Baiklah.”
“Dia ada di dalam.” Frada memandang ruang yang berisi banyak anak-anak. Itu mengingatkannya atas hal-hal yang dulu selalu ia lakukan bersama sahabatnya. Frada meremas tangannya. Ada kerinduan juga rasa sesak yang entah timbul dari mana. Frada tahu dirinya tak berhak merasa begini. Ia yang meninggalkan semuanya. Ia yang tak tahu malu mengnginkan itu kembali. “Apakah Yumna sekarang resmi menjadi guru?” Lisa mengangguk. “Benar. Yumna mengambil jurusan keguruan. Satu-satunya hal yang ia ingat dengan jelas dan yang ia lakukan selama ini adalah mengajari anak-anak. Makanya ia memutuskan untuk menjadi guru. Tepatnya, guru untuk anak-anak.” Hati Frada berdenyut ngilu mendengar penjelasan dari Lisa. Sungguh, ia tak pernah memperkirakan menjadi seperti ini. padahal Yumna bercita-cita ingin menjadi salah satu pegawai di BMKG. Sayangnya, rencana itu harus sirna begitu saja. Yumna pasti melupakan cita-citanya. “A
“Jadi kamu sudah kembali?” Noval menyapa. Semuanya seketika hening. Bagi mereka, Noval adalah salah satu orang yang sangat jarang mengeluarkan kalimat sapaan.Frada segera mengangguk. dia mendengar helaan napas dari lelaki itu. lalu matanya menelisik Noval dengan seksama. Apakah lelaki tidak suka melihatnya? Mungkinkah lelaki itu marah padanya? “Mari kita bicara sebentar. Hanya kamu dan saya.” Noval melirik Yumna. adiknya jelas mengajukan sirat mata yang tak setuju. Namun Noval mengabaikannya. Sepertinya ada hal penting yang harus ia bicarakan dengan perempuan itu. “Kakak mau ngajak Rada kemana?” “Apa kamu mengenalnya, Yumna?” Noval membalikkan pertanyaan yang diajukan oleh adiknya. Yumna jelas jengkel setengah mati. Kalimat itu malah seperti mengejeknya. Tentang ingatannya yang sudah tak normal selama beberapa tahun ini. “Nggak. Tapi kata Kak Lisa dan suaminya, dia adalah teman dekatku. Dul
Frada meremas ponselnya. Bibirnya menciptakan seringai. Nampak buas sekaligus menawan. Kemarahan Frada tiba-tiba hadir. Nyonya keluarga Hardiyantara. Wanita dulu yang pernah Frada sebut sebagai mama. Namun sama sekali tak mempunyai sifat dan sikap yang mencermikan seorang ibu. “Apa ada masalah?” tanya Noval setelah ia puas mempethatikan saja. Respon Frada yang seperti itu telihat mengerikan dan membuatnya penasaran. Frada mengalihkan perhatiannya pada Noval. Ia baru saja tersadar jika masih di ruangan yang sama dengan lelaki itu. Frada mengganti seringainya menjadi senyuman sungkan. Ia telah bertingkah kurang sopan.“Tidak. Hanya sebuah masalah kecil.” “Jika saya bisa membantu masalah itu, saya akan dengan senang hati membantunya.” Frada tercenung sejenak. Noval tiba-tiba menawarkan bantuan. Keningnya sedikit berlipat. Curiga. “Apakah Anda mengetahui masalah apa itu sehingga mau untuk membantu?” Noval m
“Aku sudah melihat beritanya,” ujar Yumna. menyesap Americano dingin miliknya. Matanya menelisik Frada dalam. Gadis yang baru saja datang kembali ke Indonesia itu memasang wajah datar dan cenderung tak peduli. “Apakah kamu memang memiliki hubungan yang buruk dengan keluargamu?” Frada menghela napas dalam. Dia meletakkan Moccacino miliknya ke atas meja. Menyandarkan punggung pada dahan kursi, matanya mengedar sekitar di café ini. café terakhir di mana Frada berkunjung dengan Yumna. Tepatnya dua hari yang lalu. “Rada?” tanya Yumna kembali. seperti sudah tak sabar mendengar jawabn orang yang katanya sahabatnya ini. “Seperti itulah.” Frada memasang wajah datar. Apalagi ketika mendapati beberapa tatapan yang mengarah aneh padanya. Tentu saja, wajahnya sudah menjadi trending selama beberapa hari negeri ini. Sudah tak terhitung banyaknya berita yang bermunculan selama dua hari ini. bahkan infotaimen di televise pun juga turut memberitak
“Ma, kamu sadar apa yang kamu lakuin?!”Yudhistira Hardiyantara berteriak keras pada istrinya. Wajahnya merah padam dengan mata yang memicing tajam. Menatap Larasati dengan sorot penuh amarah.Larasati hanya bergeming. Dia sama sekali tidak merespon suaminya. Telinganya seketika menjadi tuli dan matanya hanya fokus pada layar televise di depannya.Yudhistira mengembuskan napas dengan kasar. Terdengar keras seolah memberitahukan pada dunia jika dirinya kini tengah tengah tidak bercanda.“Ma, kamu tahu apa yang kamu lakukan itu bisa merusak bisnis yang sudah kubangun dari nol. Kenapa kamu tidak bisa duduk diam dengan manis dan beremu dengan perempuan-perempuan sosialita itu?!”Larasati berdecak. Sungguh, Yudhistira saat ini benar-benar menyebalkan. “Aku sudah tidak mau berkumpul dengan orang-orang rendahan itu.”“Orang rendahan katamu?”Mata Yudhisti
“Amazing. Wow. Kamu memanfaatkan media dengan baik. bahkan, hei, lihat komentar-komentar di setiap video maupun artikel yang mengaitkan tentang dirimu. Isinya nyaris semuanya bagus semua. Kamu … benar-benar luar biasa, Fafa.”Frada bisa mendengar suara Ghina yang berdecak puas. Ia sudah memperkirakannya jika gadis itu pasti akan meresponnya demikian.Hal yang paling Ghina sukai ketika Frada melakukan pembalasan adalah, berbalik menyerang dengan menggunakan media sama yang telah digunakan musuh.“Tapi, Fa. Kamu mendapatkan dari mana orang-orang itu? Apakah kamu menyuap mereka?”Menyuap?Ayolah, Frada tak sepicik itu. meskipun ia bisa melakukannya namun jika bukan keadaan yang begitu mendesak, Frada tak akan menggunakan cara kotor hanya untuk menjalankan rencananya.“Tidak. Temanku meminjamkan mereka.”“Teman? Kamu masih mempunyai teman di sana?”G
Frada menoleh kea rah Yumna sekejap sebelum berjalan menuju balkon. Dia menghindari telinga sahabatnya itu. mengingat katanya Yumna tak ingin mendengar apapun tentang kakaknya. Dan Yumna tengah menerima telepon dari orang itu.“Iya, Kak. Yumna berada di sini,” jawan Frada setelah jantungnya tenang.“Syukurlah. Apakah kamu bisa membujuknya ntuk keluar dan pulang? Saya akan segera ke sana.”Frada malah gelagapan sendiri. Noval mau kemari? Tapi penampilan Frada saat ini sangat berantakan. Make up-nya sudah tidak terpasang di wajah dan dia juga telah mengenakan piyama.Namun ….Hei! Sadarlah Frada Adelia!Noval mau ke sini untuk menjemput adiknya! Untuk apa kamu ribut mengurusi penampilanmu yang tak akan digubris olehnya?!“Halo, Rada. Apakah kamu masih di sana?” tanya Noval setela lama tak mendengar jawaban darinya.“Ah … oh itu