Share

BAB 3

Frada turun dari taksi yang ia tumpangi. Ada seorang pria yang mengikutinya dan mengambilkan koper dari bagasi mobil. Frada menggumamkan terima kasih kala lelaki itu membantunya untuk memasukkan koper itu ke dalam sana.

“Selamat datang, Mbak Frada,” sapa para karyawan dan designer butiknya. 

Frada mengangguk dan tersenyum membalas sapaan ramah itu. “Iya. Terima kasih dengan sambutannya.”

Frada melangkah lebih dalam. Lelaki tadi yang membawakan koper Frada menggiringnya menuju lantai dua. Tempat yang akan menjadi kamar Frada selama di sini.

“Apakah tamuku sudah datang?”

Frada meneliti riasan di wajahnya. Memastikan jika make up yang dipakai masih bagus dan tidak luntur atau pudar.

“Belum, Mbak. Mungkin sekitar lima menit lagi.”

“Apakah orang yang datang ini adalah pihak itu langsung? Bukan perwakilan?”

“Kabar yang saya dengar adalah orang itu langsung, Mbak.”

“Baiklah.”

Frada menuju tempat duduk yang tersedia dalam ruangan itu. Ia mengistirahatkan diri terlebih dahulu setelah penerbangan yang memakan waktu berjam-jam lamanya. Belum lagi dengan transit di sana sini yang menghabiskan waktu. Frada jadi kesal sendiri. 

Melirik lelaki yang masih setia menemaninya, “Andi, terima kasih karena mau mengantarkan saya dan koper saya sampai ke sini.”

Andi menggeleng sungkan. Dia bahkan tersenyum malu-malu. “Itu memang tugas saya, Mbak. Mbak nggak perlu sungkan.”

Ramah dan lucu. Yeah, karater seperti inilah yang dulu sering Frada temui di antara teman-teman sekolahnya. Bahkan dirinya sendiripun dulu memang seramah dan selucu Andi. Sayangnya, waktu sudah mengubah segala hal tentang dirinya.

Drrt!

Ponsel Andi bergetar. Cepat-cepat, ia mengangkatnya. Tak berapa lama, Andi menutup panggilan itu. ia menoleh pada Frada yang sedari tadi hanya mengamati.

“Mbak, orangnya sudah datang. Di arahkan sama Kenya untuk datang ke ruang kerja kepala designer.”

Frada mengangguk mengerti. Lalu berdiri menuju tempat yang dimaksud oleh lelaki itu.

Ketika diambang pintu ruangan, Frada bisa melihat seorang wanita yang duduk membelakanginya. Frada mendekat dan memberikan salam ketika mereka sudah saling berhadapan.

“Halo, selamat siang. Maaf karena membuat Anda kurang nyaman. Saya harap, kita bisa membahas mengenai plagiarisme design itu dengan baik ….”

Suara Frada melemah diakhir kala matanya yang awalnya menunduk kini bersibobrok dengan bola mata itu. Frada mengenalinya. teramat sangat. Orang itu ….

“Lama tidak bertemu, Rada,” sapanya santai.

“Kak Lisa?” sementara Frada sudah mematung kaku.

***

Frada sudah menduga jika ketika di Indonesia, Frada akan bertemu dengan teman-temannya atau orang-orang yang dikenalnya dulu. Entah itu disengaja atau tidak. Namun Frada tak menyangka akan secepat itu.

Tepat ketika Frada sampai di sini, tamu yang selama ini menjadi gangguan di kepalanya rupanya adalah salah satu orang yang ia kenal dengan baik. Dulu.

Lisa Naura Adriyani. 

Kakak kedua dari sahabatnya. Orang yang dulu juga suka menguslilinya dengan wajah garang. Frada tak menyangka jika ternyata orang yang menguhubunginya atas kasus plagiarism design adalah orang itu.

Frada tahu dan ingat, jika sahabatnya pernah bilang kalau cita-cita kakaknya adalah menjadi seorang designer. Hanya saja Frada tak menyangka, jika Lisa-lah orangnya.

“Saya benar-benar meminta maaf atas kesalahan fatal itu, Kak. Saya akan mengganti kompensasi sebesar yang Kakak inginkan. Bahkan jika Anda mau menempuh jalur hukum, saya bersedia menyerahkan pelakunya.”

“Aku sudah bilang jika ingin menyelesaikan ini dengan jalur kekeluargaan. Maka dari itu, kamu sampai repot-repot untuk datang kembali ke sini, kan?”

Lisa mengulas senyum. Frada tahu dan mengerti, maksud gadis itu bukan untuk menyinggungnya. Hanya saja Frada merasa janggal. Mengapa Lisa mengatakan kalimat yang menyiratkan jika Frada tidak ingin kembali ke Negara ini? seakan … orang itu sudah tahu semuanya.

“Tapi tetap saja. Saya akan tetap membayar kompensasi.”

Lisa tak lantas menjawab. Membuat Frada menjadi heran dan bingung.

“Rada,” panggil Lisa setelah cukup lama terdiam ragu. Seperti menimang-nimang apa yang hendak disampaikan.

Pendaran mata serius itu membuat Frada menegakkan punggung tanpa sadar. “Iya, Kak?”

Lisa meremas gelas mug berisi cokelat panas yang sedang dipegang. Dia mengatur napasnya sekali lagi. “Aku ingin meminta kompensasinya bukan dengan uang.”

Frada terhenyak sesaat. Jika bukan uang, lalu apa? Apakah langganan ekslusif selama satu tahun di butik ini? Rasanya tidak mungkin. Lisa sendiri adalah seorang designer. Untuk apa membeli?

“Apa itu, Kak?”

“Tolong bantu penyembuhan Yumna.”

Yumna. Nama adik sekaligus sahabat yang sengaja Frada tak sebut karena rasa bersalahnya, akhirnya terdengar. Lisa nampak putus asa. Terlihat sekali dari gurat wajahnya.

Frada mengernyit. Membantu penyembuhan Yumna?

“Yumna sakit, Kak?”

Lisa mengangguk pelan. Dia menghela napas panjang. “Satu tahun setelah kepergianmu dan Rai, Yumna menderita penyakit langka. Mungkin di Negara ini, hanya dia yang mengidapnya.”

Frada sedikit menengklengkan kepalanya. Bingung. “Penyakit langka?”

“Iya. Yumna akan melupakan seseorang yang dalam kurun waktu satu tahun tidak pernah bertemu dan menghubunginya sama sekali. Yumna akan melupakan segalanya dan otaknya seakan mereset dari nol.”

Jantung Frada rasanya berhenti selama beberapa detik. Hawa disekitarnya mendadak menjadi dingin. Bahkan suhunya serasa lebih rendah dari musim dingin di Paris. Sungguh, Frada tak menyangka akan mendapatkan kabar seperti ini. Sahabat yang dulu paling akrab, rupanya tengah sakit. Dan penyakitnya itu langka.

“Dokter tidak tahu persis apa penyebabnya. Tapi mungkin itu dilatar belakangi dengan kondisi psikologisnya. Rasa kehilangan dan trauma ditinggalkan oleh orang yang dicintai, membuat diri Yumna membangun tembok itu demi mengokohkan mentalnya dari keterpurukan dan kehilangan.”

Rasa sedih itu menguar. Jelas. Lisa nampak putus asa. Jika penyakit itu didalangi oleh trauma, maka penyembuhannya pasti akan sangat sulit. Karena luka yang tidak terlihat akan lebih susah disebuhkan dengan goresan yang terlihat jelas.

Frada termangu. Untuk sesaat, ia hanya bisa meresapi apa yang disampaikan oleh kakak sahabatnya. Kenyataan bahwa dirinya mungkin menjadi salah satu dalang munculnya penyakit itu, benar-benar membuat hati Frada tak karuan. Rasa bersalah, menyesal dan nyeri. Semuanya menyatu hingga Frada tak bisa membedakan.

“Lalu, berarti Yumna sudah melupakanku?”

Lisa mengangguk lirih. “Iya. Dia sudah melupakanmu.”

Ada sesak yang mencoba merayap. Tenaga Frada serasa amblas begitu saja. informasi ini, benar-benar membuatnya terkejut.

“Tapi, jika Yumna sudah melupakanku, kenapa Kakak ingin meminta bantuan dariku? Bukankah itu tidak ada pengaruhnya?”

Lisa menggeleng. Tatapan matanya kini seakan kembali hidup. “Tidak. Beberapa bulan lalu ketika berita kamu hendak membuka butik di Indonesia, Yumna melihat fotomu. Katanya dia merasa kenal. Namun entah di mana. Saat itu, aku menyadari, mungkin ingatan Yumna memang menghapus tentangmu. Tapi tidak dengan hatinya. Kalian dulu sangat dekat dan bersahabat. Tentunya pengaruhmu sangat besar di hidupnya.”

Lisa menciba meyakinkan. Senyumnya mengembang penuh. Memperlihatkan jika ada harapan. Adiknya bisa sembuh. Dan tak perlu tersiksa dengan ingatan yang akan terus tereset setiap harinya. 

“Kamu mau kan bantu Yumna, Da. Maaf jika aku membebanimu seperti ini. Sungguh. Aku dan Kak Noval sudah kehabisan cara untuk mengatasi ini.”

“Aku akan memikirkannya kembali, Kak. Tapi kalau boleh, izinkan aku buat ketemu sama Yumna.”

Lisa mengangguk. “Aku akan mempertemukanmu dengan Yumna. Tapi setelahnya, aku mohon, tolong pertimbangkan ini. semua demi Yumna. aku hanya berharap dia bisa beraktifitas seperti biasa.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status