Share

Frada : Gadis Terbuang
Frada : Gadis Terbuang
Penulis: Zafa Diah

BAB 1

“Dasar pembunuh! Kau membunuh anakku! Sialan! Akan kubunuh kau!” teriakan beserta lemparan benda-benda kearah remaja itu tak juga surut. Perempuan bengis itu sama sekali tak memperlihatkan tanda-tanda kewarasan hingga masuk akal apabila anak yang sedari tadi diamuknya akan meregang nyawa di tangannya.

“Ma … aku nggak. Maaf, Ma. sakit!” mohon seorang gadis remaja. Ia menangis. Sesenggukan. Dari tadi terus mengemis meminta sang mama untuk berhenti. “Pa, Rada nggak salah … Rada minta maaf.” Mencoba meminta pertolongan pada sang ayah, lelaki yang disebutkan hanya melengos acuh.

Begitupun dengan orang-orang yang berdiri di sana. mereka hanya diam. Mengamati dan mungkin … menikmati.

Air mata Farada kian keluar banyak kala kini ibunya tengah mengayunkan cambuk kepadanya.

Buk!

Terjingkat. Frada bangun dari tidurnya. Mimpi buruk itu lagi. Tanpa sadar tangannya menggerayangi betis. Sudah tak ada luka namun tetap saja sakitnya masih membekas.

Diraihnya segelas air putih di samping tempat tidur, tangan Frada mengulur menggapai lampu kamar. Cahaya temaram melingkupi. Frada mengambil ponselnya yang tergeletak. Mengotak-atiknya sebentar sebelum sebuah suara terdengar dari sana.

“Halo, Mbak? Mbak Frada mimpi buruk lagi, ya? Mau simbok nyanyikan lagu nina bobo? Tapi sebelum itu, Mbak Frada harus berdo’a dulu, supaya setannya nggak kembali.”

Frada meringis. Rasanya ia sungguh merindukan si pemilki suara ini. Sayangnya, ia sudah tak mungkin akan bertemu di dunia ini lagi. Karena si empu yang tengah menyanyikan lagu tidur itu, telah bersemayam pada sisi tuhan.

Suara itu hanyalah rekaman yang Frada ambil sejak tujuh tahun lalu. Saat ia masih di Indonesia. Ketika ia tengah terpuruk di keluarga bengis itu.

Indonesia.

Frada berjanji untuk tidak akan kembali ke Negara itu. Tempat di mana ia dilahirkan dan menghabiskan masa kecil dengan penuh kemalangan. Bahkan mungkin nyaris seperti kematian. Namun kini, Frada harus melanggar janji itu. Karena pembukaan butiknya tengah menghadapi masalah, hingga ialah yang harus turun tangan. Tidak, sebenarnya bisa diwakilkan oleh seseorang yang dipercayainya. Hanya saja, orang itu mendadak ada urusan dan terpaksa ia yang harus pergi ke sana. Seorang diri. Kembali menghadapi traumanya.

Shit!

Frada meremas ponsel. Fakta bahwa ia akan segera terbang ke Indonesia esok hari, membuat mimpi-mimpi buruk itu terus bergentayangan pada malam-malamnya.

“Mbak, Frada? Mbak Frada sudah tidur? Kalau begitu simbok pamit mau tidur juga, ya, Mbak. Semoga Mbak Frada mimpi indah. Dan hari esok Mbak Frada juga semakin indah.”

Itu adalah suara terakhir dari voice recorder ponselnya. Entah sudah berapa kali Frada mengganti handphone namun tetap menyimpan memori yang sama. Suara itu adalah satu-satunya kenangan tentang orang yang disayanginya yang ia bawa hingga kini. Dan menjadi penenang ketika mimpi buruk menghantui. Sementara yang lain, Frada sudah tak memilki.

Segala masalalunya sudah ia buang. Mengganti identitas dan berjuang bertahan di Negara orang seorang diri tanpa keluarga yang mencampakkannya. Frada senang? Tentu. Di sini ia mendapat kehidupan baru. Tanpa harus ada penyiksaan dari orang yang berkedok ibunya. Ia telah memiliki harta dan status. Jaringan perteman kelas atas juga keluarga lain yang mau menganggapnya anak.

Frada menyukai itu. Sungguh. Meski kenangan tentang simbok dan teman-teman baiknya harus ikut ia korbankan. Namun tak masalah. Di sini, di Paris ini, Frada mendapatkan gantinya.

***

“Fafa, I’m really sorry.” Seorang gadis berambut cokelat terang memeluk Frada erat. Seperti enggan membiarkan teman baiknya untuk kembali ke Negara yang membuat kenangan buruk itu.

“Sudah kukatakan berkali-kali, ini bukan salahmu, Ghina. Memang siapa yang akan memperkirakan bila Steve menikah semendadak ini. Dan juga pergi berbulan madu selama itu.”

“Ck, si pemalas itu! Seharusnya aku melarangnya tidur dengan pacarnya. Sekarang, malah kamu harus pergi sendiri,” dengkusnya jengkel. 

Apabila mengingat kejadian itu, Ghina merasa dipermainkan. Kakaknya yang katanya akan menikah tahun depan tiba-tiba meminta keluarganya untuk menyipakan acara pernikahan dalam waktu dua minggu. Katanya, Kate—pacarnya—tengah hamil satu bulan. Dan itu membuatnya harus bekerja di kantor keluarganya untuk menggantikan Steve yang absen karena bulan madu dan sekalian babymoon. Sialan memang!

Frada menggeleng saja. Melihat tingkah Ghina yang seperti menahan amukan itu membuatnya geli. Well, perempuan itu memiliki wajah yang manis. Jadi seperti tak begitu cocok ketika sok-sok akan mengamuk.

Frada berdiri. Membereskan barang-barang yang telah ia persiapkan ke dalam koper. 

“Fafa, are you really okay? Jika tidak, kita bisa menunda waktunya sampai Steve dan Kate kembali dan aku bisa mewakilimu ke Indonesia.”

Ghina tak begitu fasih mengucapkan huruf R. Jadinya dia memanggil Frada dengan sebutan Fafa. Itu lebih nyaman bagi lidahnya.

Frada menggeleng. Menolak gagasan Ghina yang satu itu. “Tidak bisa, Ghina. Beberapa artikel sudah menulis tentang kembalinya aku ke Indonesia. Dan itu menyebabkan peningkatan pemesanan di sana. Aku tidak mungkin mengabaikan itu, orang-orang yang ingin memakai jasaku itu orang yang cukup berpengaruh.”

“Apa anak presiden?”

“Ya, salah satunya.”

Ghina berdecak. Makanya sahabatnya itu tak bisa menolak. Anak presiden itu tentunya sponsor besar bagi usaha Frada. Terlepas dari masalah serius yang harus di tangani Frada di sana, tapi dengan pemesanan yang spektakuler, gadis itu haruslah pulang.

“Tapi, bagaimana jika kamu tak sengaja bertemu dengan keluargamu?”

Frada menghentikan pergerakannya mendengar pertanyaan yang dilempar Ghina. Melebarkan senyum iblis, “aku sudah tidak memiliki keluarga di sana. Namun jika aku bertemu dengan orang-orang yang mengaku sebagai keluargaku, tentunya aku harus menyambutnya, bukan?”

Ghina mengangguk-angguk semangat. benar. Itulah sahabatnya. Sejak pertama kali bertemu sampai sekarang, Frada sudah mengalami banyak perubahan. Salah satunya wanita itu kini berubah bengis. Dia adalah perempuan yang sudah tidak mengenal penindasan. Jika ada orang lain yang berusaha menindasnya, maka Ghina akan menyiapkan popcorn karena sahabatnya pasti akan membuatkan panggung pertunjukkan untuk orang itu.

“Aku akan menunggu teaternya,” katanya senang.

Mendengkus, “aku tak ingin membuat panggung di negaraku sendiri. Kalau bisa.” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status