Share

BAB 4

“Dia ada di dalam.”

Frada memandang ruang yang berisi banyak anak-anak. Itu mengingatkannya atas hal-hal yang dulu selalu ia lakukan bersama sahabatnya. Frada meremas tangannya. Ada kerinduan juga rasa sesak yang entah timbul dari mana. 

Frada tahu dirinya tak berhak merasa begini. Ia yang meninggalkan semuanya. Ia yang tak tahu malu mengnginkan itu kembali.

“Apakah Yumna sekarang resmi menjadi guru?”

Lisa mengangguk. “Benar. Yumna mengambil jurusan keguruan. Satu-satunya hal yang ia ingat dengan jelas dan yang ia lakukan selama ini adalah mengajari anak-anak. Makanya ia memutuskan untuk menjadi guru. Tepatnya, guru untuk anak-anak.”

Hati Frada berdenyut ngilu mendengar penjelasan dari Lisa. Sungguh, ia tak pernah memperkirakan menjadi seperti ini. padahal Yumna bercita-cita ingin menjadi salah satu pegawai di BMKG. Sayangnya, rencana itu harus sirna begitu saja.  Yumna pasti melupakan cita-citanya.

“Anak-anak, ini sudah waktunya untuk pulang. Jika ada yang belum dijemput orang tua atau orang yang sudah dipercaya orang tua kalian, jangan pulang dulu ya. di sini sama Mis Yumna. Mis Yumna akan menemani kalian sampai dijemput. Okay?”

“Okay, Mis.”

Itu suara Yumna yang disahuti oleh murid-muridnya. Frada melirik sepintas. Wajah Yumna tak kelihatan karena perempuan itu membelakanginya.

“Kita duduk saja. sebentar lagi Yumna akan membubarkan anak-anak.”

Lisa menuntun Frada menuju bangku tunggu yang sudah disediakan oleh sekolah. Gedung sekolah ini cukup besar dan memiliki banyak fasilitas. Meskipun hanya lantai satu, namun Frada bisa memastikan kalau semua yang dibutuhkan sudah lengkap.

“Kami pulang, Mis.”

Seorang anak perempuan yang rambutnya dikuncir dua melambaikan tangan pada gurunya. Tangannya memegang erat pada waniat dewasa yang memakai pakaian pengasuh. Mungkin itu babysitter-nya.

Yumna tersenyum membalas lambaian tangan itu. Frada dan Lisa mengamati dari belakang.

Sepertinya Yumna belum menyadari keberadaan mereka. Ketika gadis itu berbalik, matanya membelalak melihat kakaknya yang tengah duduk bersama seorang wanita lain.

“Kak Lisa? Kakak ke sini?”

Lisa dan Frada berdiri. Yumna mengahampiri mereka. “Iya. Kakak ke sini. kakak kangen sama kamu.”

“Apaan, sih? Baru seminggu lalu aku habis dari rumah kamu.”

“Udah seminggu itu, Yumna.”

Yumna hanya mendengkus. lalu matanya beralih menuju seseorang yang lain yang balik melihatnya. Yumna tak mengenali orang itu. jelas, dalam ingatannya, ia tak pernah bertemu. Namun air matanya jatuh begitu saja kala melihat Frada yang tersenyum ke arahnya.

“Yumna, kamu kenapa nangis?”

Lisa bertanya panik. Sementara Frada hanya terdiam mematung.  Yumna menggelengkan kepala. dia tidak tahu. Sama sekali tidak mengerti.

“Aku … hanya ingin menangis.” Dan air mata masih saja beranak sungai.

“Yumna, ini aku. Rada.”  

Frada mencoba mengingatkan. Namun Yumna malah semakin terisak. Mungkin ingatan Yumna sudah tak menyimpan apapun tentang dirinya. Hanya saja, jalinan pertemanan yang mereka bangun memang sudah sangat kokoh.

Perasaannya tak akan semudah itu digoyangkan. Hati Yumna masih mengenalinya. dan mungkin, gadis itu juga tengah merindukannya. Sayangnya, otaknya sudah memblokir segala tentangnya.

“Aku … tak mengenalmu. Tapi mengapa rasanya begitu menyesakkan?”

Dengan kalimat itu, rasa bersalah Frada membludak dengan penuh.

“Maaf.”

***

“Jadi kamu adalah teman SMA-ku yang tiba-tiba pindah waktu akhir semester dua di kelas sebelas?”

Yumna sudah tenang. Kini mereka tengah makan siang di salah satu café dekat dengan sekolah Yumna. Yeah, meskipun ini sudah lewat waktu makan siang, sih. Tapi tak apalah. Toh juga mereka belum sempat memakan sesuap nasi.

Frada mengangguk. “Iya. Kita dulu teman dekat.”

“Jika kita teman dekat, mengapa aku tidak punya satupun fotomu?”

Frada melirik Lisa yang sedari tadi hanya terdiam. Frada sudah menjelaskan apa saja yang harus diketahui. Namun untuk masalah yang satu itu, Frada tentu tak mengerti. 

Dulu mereka memiliki banyak foto. Hanya saja, milik Frada ditinggalkan di rumah keluarga—ah, bukan. Mantan keluarga, lebih tepatnya. Sedangkan punya Yumna, Frada jelas tak tahu keberadaannya.

“Kamu sudah membakar semuanya, Na,” jawab Lisa.

“Aku membakarnya?” Yumna tak mengerti, mengapa ia harus membakar jika itu foto masalalu. Apalagi dengan orang terdekat. Seingatnya, Yumna selalu menyimpan dan mengabadikan momen apapun hingga ia tak akan pernah lupa. 

Tapi tunggu, iya. Ingatannya kan hal yang bahkan tidak bisa Yumna percayai seutuhnya. Mungkin kebiasannya untuk menyimpan segala barang bermemori, itu baru terbentuk ketika otaknya memiliki masalah. 

“Karena kepergian Frada yang sangat mendadak bahkan tidak sempat berpamitan padamu, kamu jadi sangat marah padanya. Dan karena emosimu, kamu jadi membakar foto dan segala kenangan tentang kalian berdua.”

Frada dan Yumna saling bungkam. Dengan pikiran masing-masing, mereka memiliki perasaannya sendiri. jelas raut penyelasan ada dalam diri Yumna, sedangkan pancaran kesedihan menyelimuti ekspersi Frada.

Lisa hanya bisa menghela napas. ia juga menyayangkan apa yang terjadi. Mungkin jika dulu ia bisa mencegah adiknya untuk menghapus satu saja foto Frada, mungkin Yumna masih ingat jika ia pernah memiliki teman yang selalu ada untuknya.

“Maaf, aku tidak tahu,” ucap Yumna.

Frada menerbitkan senyum. “Tak masalah. Mungkin jika dulu aku berpamitan dengamu, semuanya tak akan terjadi serunyam ini. Maaf jika karena aku kamu bisa menderita penyakit langka itu, Na.”

Dulu Frada tak sempat. Bukan, bukannya tak sempat, kenyataannya dulu ia tak memiliki kesempatan. Semuanya kala itu direnggut paksa begitu saja.

“Kenapa kamu meminta maaf? Ini bukan salahmu, Rada. Sungguh.”

“Sayang, kamu di sini?” 

Seorang lelaki memeluk leher Lisa dari belakang. Frada dan Yumna menoleh. Tatapan malas langsung saja terpasang di wajah Yumna.

“Oh, Halo adik ipar,” sapa lelaki itu semangat. Lantas matanya bergulir menuju mata lain yang juga memberikan atensinya. Bola matanya membesar. “Kamu … Frada?”

“Hai, Kak Alka. Lama tidak bertemu.”

“Kalian saling kenal?” Yumna bertanya. Memecah keterkejutan di antara keduanya. Merasa heran namun sekejap kemudian mengerti dengan sendirinya. Jika Frada memang datang dari masalalunya, jelas, Frada bisa mengenal Alka yang notabene juga alumni dari sekolah yang sama.

“Tentu saja. Gue kan terkenal. Terus dia kan temen lo dulu. Jadi, gue kenal juga.”

Alka membanggakan diri. Sementara Lisa berusaha melepaskan lehernya dari belitan tangan lelaki itu.

“Alka, sudah. Lama-lama aku bisa sesak napas.”

Alka melepaskan kaitan tangannya. Lalu pandangannya menuju sang istri. Menunjuklan kecemasan yang terkesan berlebihan.

“Sayang, maaf. Aku menyakitimu, ya? aduh, terus bagaimana kondisi baby? Nggak sakit, kan? baik-baik saja, kan?”

Tangan Alka berpindah menuju perut Lisa dengan heboh. Orang-orang bahkan menoleh kea rah mereka dengan penasaran.

Yumna dan Frada kompak memalingkan muka. Mungkin melihat tingkah yang berlebihan seperti itu membuat mereka risih sekaligus geli.

Lisa segera monoyor kepala suaminya. Dan tangan lain juga menyingkirkan Alka dari jangkauan perempuan itu.

“Jika kamu masih bertingkah kekanakan seperti itu, saya bisa memisahkanmu dengan adik saya untuk selamanya.”

Suara itu?

Frada menoleh. Lalu jantungnya bertalu dengan ngilu. Lelaki yang nampak dewasa itu … masih tetap saja sama. Hati Frada berdesir tak karuan. Melihat rupa yang sudah lama tak ia temui, mengapa membuatnya tak karuan begini?

Cinta pertamanya.  Noval Eka Adriansyah. Kakak sulung dari sahabatnya. Orang yang selalu memadnganya sebagai sahabat adiknya tidak lebih. 

Kini tengah memandangnya dengan sorot yang tak terbaca.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status