LOGINBaginya,Aluna hanya alat. Bagi Aluna, Leonard adalah kutukan. Tapi siapa sangka, tanda tangan yang dipaksakan justru membuka pintu menuju cinta tak terduga. Saat hidup Aluna yang sederhana berubah drastis karena harus menikah dengan Leonard Alvaro — seorang CEO muda yang dingin, arogan, dan menyimpan luka masa lalu — ia tak pernah menyangka akan terseret ke dunia penuh intrik, penghinaan, dan rahasia keluarga yang gelap. Leonard tidak menginginkannya. Bagi Leonard, Aluna hanyalah gadis miskin yang terpaksa ia nikahi demi menyelamatkan warisan dan reputasi keluarga. Ia memperlakukannya tanpa hati, tanpa simpati. Tapi, di balik sikap dinginnya, tersembunyi luka lama yang belum sembuh. Aluna mencoba bertahan. Ia tak meminta cinta, hanya sedikit penghargaan. Namun, semakin ia mencoba menjauh, semakin kuat ikatan yang tanpa sadar tumbuh di antara mereka. Ketika kebencian perlahan berubah menjadi perhatian... Ketika pernikahan palsu mulai terasa nyata... Dan ketika kebenaran masa lalu terbongkar, apakah cinta bisa menjadi penyelamat... atau justru penghancur?
View More“Aku tidak mencintaimu. Dan pernikahan ini... tak lebih dari transaksi.”
Kalimat itu menampar Aluna lebih keras daripada tamparan nyata. Ia hanya bisa memandangi pria yang berdiri di hadapannya, tinggi menjulang dengan setelan jas mahal dan ekspresi datar tak berperasaan. Leonard Alvaro Dirgantara. CEO muda, tajir melintir, sekaligus lelaki dengan hati sedingin es. Di hadapannya, tergeletak sebuah dokumen dengan sampul tebal: Kontrak Pernikahan. Tidak ada kata cinta di sana. Hanya angka, durasi, dan aturan yang terdengar lebih mirip penjara daripada pernikahan. “tiga bulan. Setelah itu, kita kembali ke kehidupan masing-masing,” ucap Leonard, membalik halaman pertama. “Kamu akan mendapatkan lima ratus juta rupiah. Dibayar lunas setelah pernikahan berlangsung dan kontrak ditandatangani.” Aluna menggenggam tangannya di atas pangkuan. Jantungnya berdetak tidak karuan. Tidak pernah dalam hidupnya ia membayangkan akan duduk di ruang kantor mewah seperti ini, ditawari pernikahan palsu oleh pria yang bahkan belum dikenalnya sehari penuh. Namun pilihan hidupnya kini sangat terbatas. adiknya sedang dirawat di ruang ICU. Biaya rumah sakit terus membengkak. Utangnya sudah di mana-mana. Dan tidak ada satu pun orang yang bisa ia andalkan selain dirinya sendiri. “Kenapa aku?” tanyanya akhirnya, dengan suara nyaris tak terdengar. Leonard menatapnya dengan tajam. “Karena kamu sangat putus asa untuk mengatakan ‘iya". Aluna terdiam. Kata-kata itu memang menyakitkan, tapi benar. Ia memang sangat putus asa. “Aku tidak mengerti,” ucapnya, berusaha menahan air mata. “Kenapa kamu butuh istri kontrak? Kamu bisa punya siapa saja.Banyak wanita yang pasti rela menikah denganmu." Leonard menghela napas panjang, lalu berjalan ke jendela besar di belakang mejanya. Kota Jakarta terlihat dari sana, ramai dan tak pernah tidur. Tapi pria itu terlihat seperti hidup di dunia yang berbeda sunyi dan beku. “Ibuku sekarat. Dia ingin melihatku menikah sebelum dia pergi,” katanya dingin. “Aku tidak ingin cinta. Aku tidak butuh drama. Aku hanya ingin menyenangkan ibuku untuk terakhir kalinya. Setelah itu, kamu bebas.” Aluna memejamkan mata. Hatinya terasa berat. Pernikahan tanpa cinta?apa dia sanggup? Membiarkan dirinya menjadi ‘istri palsu’ dari pria yang bahkan tidak peduli padanya? Tapi di sisi lain... ada nyawa adiknya yang dipertaruhkan. Ia tidak bisa duduk diam dan melihat adiknya mati hanya karena ia terlalu takut untuk membuat keputusan besar. “Apakah... selama tiga bulan, aku akan tinggal bersamamu?” tanyanya pelan. Leonard mengangguk. “Kita akan tinggal di Mansionku Hanya agar ibuku percaya. Di depan umum, kita akan berpura-pura menjadi pasangan sempurna. Tapi di balik pintu? Aku tidak akan menyentuhmu. Kamu bebas selama tidak membuat masalah,dan kamu bisa melakukan apapun selagi itu tidak merugikanku." Aluna menggigit bibir bawahnya. Rasanya seperti menjual harga dirinya. Tapi saat ia teringat wajah adiknya yang lemah dengan alat bantu pernapasan di sekeliling tempat tidur, ia tahu… ia tidak punya pilihan. Dengan tangan gemetar, ia meraih pulpen di meja. “Kalau aku menandatangani ini... apa kamu benar-benar akan menanggung seluruh biaya pengobatan adikku?" tanyanya lagi, nyaris seperti bisikan. Leonard menoleh. Tatapannya tajam, dingin, tapi jelas. “Ya. Selama kamu mematuhi kontrak ini.” Tanpa berkata-kata lagi, Aluna menandatangani. Tinta hitam mengalir di atas kertas putih, menyegel nasibnya dalam sebuah perjanjian yang akan mengubah seluruh hidupnya. Saat ia mengangkat wajah, Leonard sudah memalingkan wajahnya seolah semua ini hanyalah urusan bisnis biasa. Tidak ada senyuman. Tidak ada ucapan terima kasih. Hanya ketegangan yang menggantung di udara. “Kita menikah hari minggu ini. Siapkan dirimu." Kalimat itu membuat lutut Aluna lemas. Hari minggu? Itu hanya empat hari lagi. Ia bahkan belum tahu harus memberi tahu siapa. Ia tidak punya banyak teman. Keluarganya pun hanya adiknya seorang. Dan sekarang, ia harus menjadi istri dari pria yang hatinya tak bisa disentuh siapa pun. Saat ia berdiri dan hendak keluar dari ruangan, Leonard kembali berbicara. “Oh, satu hal lagi. Jangan pernah jatuh cinta padaku. Itu akan membuat segalanya menjadi rumit.” Aluna berhenti di ambang pintu. Ia tersenyum pahit tanpa menoleh. “Aku tidak cukup bodoh untuk mencintai pria seperti kamu.” Tapi siapa yang bisa memprediksi hati manusia?Pagi itu mansion terasa lebih sunyi daripada biasanya.Bukan karena tidak ada orang, tapi karena hati dua kepala di rumah itu sedang sama-sama sibuk menghadapi sesuatu yang tidak mau mereka akui: rindu.Rindu yang… bahkan tidak masuk akal.Rindu yang muncul justru setelah pertengkaran.Aluna bangun lebih pagi dari biasanya. Ia duduk di meja rias, memainkan ujung rambutnya sambil memandangi pantulan wajahnya di cermin.Ia tidak tampak sedih. Tidak juga marah.Hanya… kosong.Seperti ada ruang dalam dadanya yang tidak bisa terisi meski ia sudah mencoba menepisnya.Kenapa aku kepikiran dia terus?Kenapa aku kangen, padahal kemarin kita habis debat panjang?Ia mengembuskan napas, lalu berdiri dan turun ke dapur.Dan di saat yang sama, di ruang kerjanya, Leonard juga melakukan hal yang hampir sama memandangi meja, menggenggam cangkir kopi yang isinya sudah dingin, sambil bergumam dalam hati:Kenapa aku merindukan dia?Padahal dia cuma ada satu lantai di bawah.Saat akhirnya mereka bertemu d
Sudah seminggu berlalu sejak percakapan di taman itu.Mereka berdua tidak lagi diam seperti sebelumnya, tapi suasana di antara Aluna dan Leonard masih rapuh seperti kaca yang retak, siap pecah kapan saja jika disentuh terlalu keras.Leonard berusaha memperbaiki keadaan dengan caranya. Ia mulai makan bersama Aluna lagi, menjemputnya setiap pagi ke kantor meski jarak hanya beberapa menit, dan sesekali menanyakan kabar kecil seperti,“Kamu udah makan?”“Masih suka mimpi buruk?”Bagi orang lain, itu mungkin hal kecil.Tapi bagi Aluna, setiap perhatian sederhana itu terasa seperti permintaan maaf tanpa kata.Namun di balik semua itu, masih ada satu hal yang belum mereka lewati kepercayaan.Dan hari itu, ujian itu datang tanpa peringatan.---Leonard baru saja tiba di rumah ketika Andrew mendekatinya dengan wajah serius.“Tuan,” katanya pelan, “saya baru dapat kabar… orang dari masa lalu Anda datang lagi.”
Sudah tiga hari sejak malam itu.Mansion terasa berbeda sepi, dingin, seperti kehilangan jiwanya.Langkah kaki Aluna dan Leonard jarang bersinggungan; mereka hidup di rumah yang sama, tapi seolah berada di dua dunia yang terpisah.Andrew bisa merasakan ketegangan itu setiap kali ia melintas di antara keduanya.Leonard lebih banyak mengurung diri di ruang kerja, sementara Aluna lebih sering duduk di taman belakang, menatap kolam tanpa benar-benar melihat apa pun.---Pagi itu Aluna duduk di bangku taman dengan selimut di pangkuannya, memegang secangkir teh yang sudah mulai dingin.Ia tahu Leonard memperhatikannya dari jendela lantai dua ia bisa merasakannya. Tapi tidak ada yang mencoba bicara.Hingga akhirnya, langkah berat terdengar mendekat.Suara yang selama ini ia hindari.“Boleh aku duduk?” tanya Leonard pelan.Suara itu terdengar hati-hati, seolah ia takut mengusik.Aluna tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, tapi tidak menolak.Leonard duduk di sampingnya, menyisakan
Hujan turun sejak subuh, menutupi seluruh halaman Mansion dengan kabut tipis.Di balik kaca besar ruang kerja, Leonard berdiri diam, memandangi tetesan air yang berlarian di permukaan jendela.Sementara pikirannya berlari ke masa lalu ke satu luka yang selama ini ia simpan rapat, bahkan dari dirinya sendiri.Pintu ruang kerja terbuka pelan.Andrew masuk dengan langkah ragu, membawa beberapa dokumen di tangannya, Tapi ekspresinya menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan pekerjaan.“Tuan, saya… menemukan sesuatu.”Leonard menoleh, wajahnya datar. “Tentang apa?”Andrew menatap Leonard sejenak sebelum meletakkan amplop kecil di meja. “Tentang keluarga Nona Aluna.”Wajah Leonard berubah.“Apa maksudmu?”“Rumah sakit yang merawat adik Nona Aluna beberapa waktu lalu tempat itu…” Andrew berhenti, seolah takut melanjutkan. “Tempat itu dulu pernah menerima donasi besar dari perusahaan anda. Donasi yang… anda tanda tangani sendiri, lima tahun lalu.”Ruangan mendadak hening.Leonard men
Sudah tiga hari sejak malam itu malam di mana batas antara kewajiban dan perasaan akhirnya lenyap. Tapi yang tersisa justru keheningan.Bukan keheningan canggung, tapi keheningan yang menggantung di antara dua hati yang sama-sama takut.Leonard kembali bersikap seperti semula dingin, teratur, seolah tak ada yang pernah terjadi di antara mereka.Setiap pagi, ia berangkat lebih awal, pulang lebih malam, dan menghabiskan waktu di ruang kerja tanpa banyak bicara.Sementara Aluna… hanya bisa pura-pura tidak peduli.Ia tertawa di depan Andrew, menghabiskan waktu di taman, bahkan mencoba membuat sarapan untuk semua orang di mansion sesuatu yang jarang ia lakukan. Tapi di balik semua itu, ada rasa hampa yang tak bisa ia sembunyikan.Tawa yang dulu muncul tanpa sadar saat melihat Leonard tersenyum kecil… kini hilang entah ke mana.---Pagi itu, Andrew memperhatikan Aluna dari jauh.Ia melihat gadis itu duduk di teras belakang, menatap kolam kecil sambil memegang cangkir teh yang sudah dingin.
Dari balik jendela besar ruang kerjanya Leonard menatap derasnya air hujan yang jatuh. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang sulit ia kendalikan perasaan yang kini tumbuh semakin dalam pada Aluna.Perasaan yang seharusnya tidak ada sejak awal.Ia menegakkan tubuhnya, menarik napasnya panjang, dan mencoba kembali fokus pada dokumen di meja. Tapi setiap kali menatap tinta hitam di atas kertas, pikirannya justru kembali pada wajah Aluna senyum hangatnya pagi tadi, tawa kecilnya saat menggoda Andrew, bahkan cara ia memandang dunia dengan berani meski hidupnya penuh luka.Sial, pikirnya.Ia sudah terlalu jauh."Apa yang harus aku lakukan?sulit untuk menahan perasaan ini terlalu lama."gumam Leonard sembari terus menghela nafasnya.---Sementara itu, di kamar, Aluna duduk di tepi ranjang sambil menatap ke arah pintu yang tertutup rapat. Hujan di luar seperti menggambarkan isi hatinya yang kacau.Sejak beberapa hari terakhir, perhatian Leonard terasa berbeda lebih lembut, lebih
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments