Malam itu, Jasmine tidak bisa tidur. Dia berguling di atas ranjangnya untuk mencari posisi yang nyaman, berharap kantuk akan segera menjemputnya, tapi tidak juga bisa. Dia tidak bisa berhenti memikirkan Xavier.
Pria itu seolah menghantui benaknya dengan cara yang paling mengganggu. Padahal besok, dia harus berangkat pagi sekali untuk sebuah rapat penting di perusahaannya. Dia tidak ingin datang dengan keadaan yang buruk.
Tidur biasanya selalu bisa menjadi obat bagi Jasmine, namun kali ini rasanya begitu sulit. Kalau dia memberikan Xavier kesempatan untuk berbicara, akankah pria itu mau meninggalkannya sendiri?
Empat tahun lalu, Xavier pergi tanpa penjelasan apa pun dan Jasmine lelah untuk memikirkan jawabannya. Namun kali ini, Xavier telah kembali dengan cara yang sangat buruk dan kembali menimbulkan pertanyaan serta badai perasaan baru dalam diri Jasmine.
Jasmine bangkit dari posisi berbaringnya seraya menghela napas panjang. Dia memegangi kepalanya yang terasa berat dan kembali berpikir. Sementara sinar bulan di luar masuk melalui celah gordennya yang terbuka dan membasuh tubuh mungil Jasmine di ranjang besarnya.
Mungkin Xavier berniat untuk menjelaskan apa yang terjadi empat tahun lalu? Mungkin pria itu ingin menyelesaikan apa yang belum terselesaikan di antara mereka? Itu kenapa, dia sangat ingin bicara. Apalagi sebentar lagi dia dan Jelena akan bertunangan. Tentu saja orang tidak ada yang mau masa lalu masih menghantui masa depannya.
Haruskah Jasmine setuju untuk berbicara dengan pria itu?
Setelah beberapa saat berpikir, lagi-lagi Jasmine menghela napas yang lebih panjang dan berat. Jauh di dalam hatinya yang terdalam, alasan kenapa dia menghindari Xavier dan menolak berbicara dengannya adalah karena Jasmine takut.
Ya, dia takut pada kenyataan. Dia takut hatinya yang sudah pecah dan rapuh ini akan semakin berantakan setelah kebenarannya terungkap. Jadi lebih baik menganggap semuanya tidak pernah terjadi. Lebih baik dia dan Xavier tidak pernah berinteraksi lagi. Lebih baik menganggap bahwa, apa yang terjadi empat tahun lalu adalah kesalahan Jasmine sendiri.
Dengan pemikiran itu, Jasmine merasa lebih baik. Tenggorokannya terasa kering dan saat dia hendak mengambil gelas di atas nakas—yang selalu tersedia di sana untuk jaga-jaga kalau tengah malam dia terbangun dengan perasaan haus—Jasmine menemukan kalau gelas itu telah kosong. Jasmine lupa bahwa dari tadi dia sudah bangun berkali-kali dan minum.
Turun dari ranjang, Jasmine mengambil gelas tersebut dan membawanya keluar. Dia berniat untuk mengambil air minum sendiri ke dapur. Jasmine berpikir untuk membuat susu juga. Orang bilang susu bisa membantu untuk membuat ngantuk dan tidur yang lebih baik.
Jasmine keluar dari kamar dan mempercepat langkahnya di lorong saat tiba-tiba saja dia berhenti dengan napas yang juga terasa ikut terhenti. Di hadapannya, berdiri Xavier yang baru saja keluar dari kamar Jelena. Sama seperti Jasmine, pria itu juga tampak terkejut.
Mereka berdua mematung di lorong yang sepi itu dengan tatapan yang tertuju pada satu sama lain. Jasmine tanpa sadar menatap Xavier terlalu lama dari yang seharusnya dan terlalu intens.
Wajah pria itu tampan, tampak segar seolah dia baru selesai mandi. Saat Jasmine menarik napas, dia memang mencium aroma yang sangat harum, aroma yang familiar dengan Jelena.
Apakah Xavier habis mandi di kamar kakaknya. Jasmine tidak ingin terlalu memikirkannya dan hendak mengalihkan pandang saat dia melihat sebuah tanda kemerahan di leher Xavier, di atas kemeja putihnya yang dua kancing teratasnya terbuka.
Jasmine bukanlah gadis polos, dia tentu tahu itu tanda apa! Dengan cepat, wanita itu memutuskan untuk berbalik, dan hendak meninggalkan Xavier, akan tetapi geraknya terhenti di kala Xavier menghadangnya.
“Jasmine, kenapa kau belum tidur?” Xavier nampak begitu peduli.
“Aku tidur atau belum tidur, sama sekali bukan urusanmu, Tuan Coldwell.”
Setelah mengatakan itu, Jasmine berjalan cepat dan melewati Xavier begitu saja. Pria itu tidak mencegahnya. Pun wanita itu hampir menghela napas penuh syukur saat dia menyadari bahwa Xavier justru mengikutinya di belakang. Langkahnya semakin cepat saat menuruni tangga. Karena terlalu terburu-buru, dia tersandung oleh sesuatu yang ada di lantai.
“Akh!” Jasmine memekik dan siap dengan benturan yang akan terjadi. Namun itu tidak terjadi karena sebuah rengkuhan dari belakang yang menahannya tertarik oleh gravitasi ke bawah tangga.
Napas Jasmine memburu, jantungnya meloncat-loncat. Fakta bahwa dia hampir saja membuat kepalanya berdarah, atau tulangnya keseleo, atau paling buruk mungkin patah, membuat pikirannya kosong untuk beberapa saat.
Dia bisa saja mati!
“Kau baik-baik saja?” tanya sebuah suara bariton di belakangnya yang terdengar khawatir.
Tersadar, Jasmine langsung melepaskan dirinya dari rengkuhan pria itu. “Terima kasih,” ucapnya tanpa menoleh, lalu melanjutkan langkahnya menuju bawah. Dia tidak ingin menatap Xavier, tidak ingin merasa berutang budi karena pria itu telah menyelamatkannya.
Rumah itu sepi, lampu-lampu utama telah dimatikan untuk menghemat energi. Yang tersisa hanya lampu-lampu kecil yang memberi penerangan redup dan hangat. Dapur tentu saja juga sepi, semua pelayan sudah beristirahat. Saat Jasmine melihat ke arah jam tadi, jarum panjang di jam itu menunjuk ke arah angka tiga. Ini sudah hampir pagi.
Sesampainya di dapur, Jasmine meletakkan gelas yang dibawanya dari kamar ke atas meja. Dia bahkan tidak sadar gelas itu masih di tangannya, bahkan ketika dia hampir terjatuh di tangga. Jasmine bersandar di meja itu untuk beberapa saat, menenangkan dirinya saat suara bariton itu lagi-lagi terdengar.
“Jasmine!”
Jasmine terlonjak kaget. Dia berbalik dan langsung bertatapan dengan Xavier. “Tuan Coldwell, apa yang—”
“Bisakah kau berhenti memanggilku dengan nama itu, Jasmine?” sahut Xavier. Ekspresi di wajahnya jelas menunjukkan ketidaksenangan dan sedikit kekhawatiran dari matanya yang menatap Jasmine.
Jasmine mendadak jadi salah tingkah. Ini adalah pria yang telah menghancurkan hatinya, meninggalkannya empat tahun lalu, dan kembali lagi seolah dia tidak memiliki dosa sama sekali, lantas ... kenapa Jasmine masih saja dibuat berdebar akan kehadirannya?
“Itu namamu,” kata Jasmine dengan nada dingin. “Kau tidak suka dipanggil dengan namamu sendiri?”
Sebuah senyum tipis terbit di bibir Xavier. “Mau kau berusaha bagaimanapun untuk membuat seolah-olah kita adalah orang asing, itu tidak akan berhasil, Jasmine.”
Jasmine menelan ludahnya dan merasa dadanya mulai sesak oleh segumpalan emosi yang pria itu timbulkan. “Maksudmu?”
Xavier mendekat, berhenti di hadapan Jasmine. Dari jarak sedekat ini, dia bisa mencium aroma sabun milik Jelena semakin jelas. Jasmine harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa pria di hadapannya ini adalah kekasih kakaknya.
“Ada hal yang belum terselesaikan di antara kita empat tahun lalu, Jasmine,” Xavier berkata dingin, dan penuh ketegasan nyata.
Jasmine mematung, lalu beberapa detik kemudian ekspresinya berubah menjadi kaku. Dia menyahut dengan nada dingin yang membeku, “Dengan kepergianmu, itu adalah akhirnya. Selesai.”
“Aku memiliki penjelasan untuk itu,” kata Xavier menekankan.
Jasmine menggeleng. “Aku tidak peduli.”
“Jasmine—”
“Tidak, Xavier!” sela Jasmine cepat. Dia merasakan kemarahan mulai mengambil alih dan mensabotase rasa gugup juga sakit hatinya. Kemudian dia pun berkata dengan tajam, “Penjelasan tidak akan mengubah apa pun! Penjelasan tidak akan menyatukan kembali kepingan hatiku yang hancur. Penjelasan tidak akan membuat semua penderitaanku selama empat tahun ini menjadi baik-baik saja. Dan penjelasan ... tidak akan mengubah fakta bahwa kau sekarang adalah kekasih kakakku.”
Xavier membuka mulutnya, napasnya terdengar lebih berat, namun dia menutupnya lagi dan tidak ada kata-kata yang berhasil dia ucapkan. Tertohok, yang Xavier berhasil lakukan kemudian hanya gumaman kata maaf yang tidak didengar oleh Jasmine karena wanita itu sudah lebih dulu berbalik dan melangkah meninggalkan dapur.
Tanpa Xavier sadari, di kala Jasmine berbalik—matanya sudah tergenang air mata yang membasahi pipi mulus wanita itu. Dia sudah berusaha kuat dan tangguh, tapi jika tentang hati tentu saja Jasmine akan tetap terpancing.
“Shit!” umpat Jasmine berulang kali saat dia dengan susah payah mengenakan sepatunya di ruang gantinya dengan gerakan tergesa-gesa. Dia mengambil tas dengan asal, memasukkan barang-barangnya ke dalam, lalu menarik sebuah mantel berwarna cokelat dari lemari dan melangkah setengah berlari keluar dari kamarnya.Jasmine melirik arlojinya, lalu terbelalak. “Aku terlambat!” ucapnya dan kini dia benar-benar berlari. Saat turun dari tangga, Jasmine memelankan langkahnya, teringat pada kejadian semalam ketika dia hampir terjatuh. Setelah sampai di lantai bawah, Jasmine pergi ke ruang makan untuk berpamitan dengan kedua orang tuanya yang saat itu tengah sarapan.“Mom! Dad! Aku pergi dulu!” seru Jasmine, tidak perlu merasa repot-repot untuk sarapan terlebih dahulu.Mila memanggilnya, tapi Jasmine tidak berhenti dan sudah lebih dulu berada di teras. Saat di sana, langkah Jasmine sontak terhenti. Dia bisa merasakan keringat mulai terbentuk di permukaan kulitnya.“Jasmine?” Jelena berdiri di hadapa
Jasmine sontak berbalik dan menatap Xavier tajam. “Apa maksudmu?”Sebelah alis milik Xavier yang tebal dan hitam terangkat sedikit, kepuasan masih mengerling di tatapannya yang tertuju pada Jasmine.“K-kau ... kau mengatur ini?!” serunya.Xavier tidak menjawab, dia melangkah melewati Jasmine dan duduk di kursi dengan meja bundar terbuat dari marbel di depannya. Xavier menyentuh permukaan yang dingin itu sembari menjawab dengan singkat, “Ya.”Jasmine membelalakkan mata. “Berengsek!” rutuknya di antara napasnya yang menjadi tajam. “Aku tidak ingin membuang-buang waktuku untuk ini!” serunya lagi, lalu hendak melangkah pergi saat ucapan Xavier menghentikannya.“Bersikaplah profesional, Nona Welsh! Kau tidak mau jabatan yang baru kau dapatkan kembali diturunkan, bukan?” Kata-kata angkuh penuh ancaman Xavier berhasil membuat Jasmine tak berdaya.Jasmine menutup matanya, merasakan kemarahannya yang mengalir mulai surut perlahan. Xavier benar. Jasmine harusnya bisa bersikap lebih profesional.
Jasmine menatap makan siangnya dengan tatapan kosong, pikirannya masih terfokus pada pembicaraan bersama Xavier. Pria yang telah mencampakannya itu berkata kalau dia masih menyukainya.Dalam kondisi sekarang, dia dan Xavier tidak akan mungkin …Jasmine mendesah, lalu berkata dalam hati, ‘Apa yang sedang aku pikirkan? Menerima Xavier kembali setelah dicampakan oleh makhluk tidak berperasaan itu?’Tidak akan pernah! Jasmine terlalu menyayangi dirinya untuk jatuh dalam pelukan pria itu kembali. Apa yang dikatakan Xavier pasti hanya karena dirinya adalah seorang bajingan.Jasmine memijat pelipis, memikirkan ini saja sudah membuat kepalanya pening.“Jasmine?”Jasmine tersadar, menatap ke arah Ivy yang duduk di hadapannya. Mereka berdua telah sepakat menjadikan makan siang sebagai hari perayaan kenaikan jabatan. Sialnya, sekarang, bisa-bisanya Jasmine malah melamunkan Xavier—pria berengsek yang sudah tak ingin lagi dia pikirkan.“Apa kau sedang dalam masalah? Kau sama sekali tidak menyentuh
Jasmine membuka lembaran demi lembaran di kepalanya sendiri, mencari-cari kisah yang cocok untuk menjelaskan soal Xavier kepada Ivy. Menjalin hubungan dengan Xavier sebagai kekasih, di masa lalu, membuat Jasmine harus menutup rapat rahasia itu. Sampai kapan pun, dia tidak akan pernah membiarkan orang tahu tentang kisahnya dengan Xavier.“Aku mendengarmu berteriak, jadi aku langsung melihat situasi di luar. Apa yang terjadi, Jasmine? Siapa pria tampan ini? Apa kau mengenalinya?” Rentetan pertanyaan Ivy, membuat raut wajah Jasmine memucat akibat panik.“Dia ini—” Kepala Jasmine berputar mencari jawaban yang tepat.Mantan kekasih? Orang yang pernah aku cintai? Calon kakak ipar? Atau ... investor?Tidak ada jawaban yang bisa dia pilih. Dia harus memikirkan keberlangsungan hubungannya dengan Bernard. Calon kakak ipar yang tiba-tiba datang akan lebih menimbulkan kesalahpahaman. Tidak ada alasan bagi seorang investor menyusulnya ke acara non-formal ini, Ivy akan menyangka kalau mereka memili
Kegelapan menutupi langit dengan erat, tanpa secercah cahaya bintang yang menghiasi langit. Hanya bulan yang menjulang tinggi, menyapu permukaan bumi dengan sinar lembutnya.Di arah sana, tepatnya di halaman Starlight Car Park dua insan sedang beradu pandang dalam pertentangan. Waktu seakan berhenti membawa kenangan yang telah lama tertinggal, saat di mana hanya ada mereka berdua, saat luka kembali merajut dan mengkhianati Jasmine berulang kali.Sentuhan lembut Xavier di permukaan pipinya membuat Jasmine terhanyut, segera tersadar ketika tahu maksud Xavier yang ingin menciumnya. Dia langsung memalingkan muka sehingga sebuah kecupan hanya berlabuh di pipinya.“Menjauh dariku, Sialan!” seru Jasmine dengan suara tegas, hatinya hancur oleh sikap Xavier yang seolah meremehkan soal mereka di masa lalu. “Kita sudah selesai!”Xavier menatap dalam Jasmine yang masih ada di hadapannya. “Kisah kita tidak pernah selesai, Jasmine.”Jasmine menggelengkan kepalanya dengan senyuman sinis. “Tidak pern
Lutut Jasmine seakan lemas, memandangi Xavier dan kakaknya berciuman dengan mesra. Pegangannya pada pembatas beranda menjadi erat. Dia tidak bisa merasakan ada di mana hati dan pikirannya saat ini. Kosong.Tubuhnya begitu kaku untuk dibalikkan, padahal dia tahu kalau terus menatap pemandangan di depannya hanya akan membuat hatinya semakin tercabik-cabik. Terlebih saat pandangan dia dan Xavier kemudian bertemu.Berbeda dengan Jasmine, Xavier tidak tampak terkejut, justru semakin mengeratkan pelukan pada Jelena dan mencium wanita itu semakin mesra. Dia bahkan memejamkan mata seolah benar-benar menikmati keromantisan tersebut.Sementara di sini, Jasmine merasakan pilu. Bayangan kebersamaannya dengan Xavier kembali terlintas, kali ini posisinya sudah digantikan oleh Jelena. Perasaan frustrasi seketika memuncak. Sialnya, dia tidak bisa menghapus perasaannya sampai detik ini.Karena sudah tidak tahan lagi, Jasmine akhirnya memilih untuk segera masuk ke kamar, berlari menghampiri ranjang, da
Mata Jasmine mengawasi lalu lintas di luar jendela, tetapi pikirannya jauh dari perjalanan mereka. Hatinya terasa hancur karena ingatan yang masih segar tentang semalam. Wajah kakaknya dan Xavier terpampang jelas dalam ingatan, berciuman dengan begitu mesra, sesuatu yang juga dia dan Xavier pernah lakukan dulu, ketika mereka masih menjadi sepasang kekasih.Jasmine berusaha menenangkan diri, mencari cara untuk mengatasi perasaan campur aduknya, tetapi itu tidak mudah. Setiap kali dia melihat ke arah Xavier, bayangan kakaknya yang sedang berciuman dengan mantan kekasihnya itu langsung menghantamnya kembali.“Kau cantik.”Dua kata yang berhasil memecahkan keheningan yang terbentang di dalam mobil yang tengah melaju ini. Xavier tidak menyembunyikan senyumannya, terlihat tulus, tapi Jasmine tidak ingin mengakui karena hanya akan membuatnya terjatuh dalam jurang yang selama ini mati-matian dia hindari.“Tapi ngomong-ngomong, kenapa sejak di rumah tadi kau berusaha menutup mulutmu dengan sca
Jasmine sudah banyak menangis, tetapi untunglah dia memiliki es batu di kantor untuk mengompresi matanya sehingga wajahnya terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya. Pagi hari dimulai dengan drama bersama Xavier membuat energinya banyak terkuras, tetapi dia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaan.“Di mana kau membeli scarf itu, Jasmine?”Jasmine menolehkan kepala, menemukan Ivy datang ke ruangannya. Dia bahkan tidak menyadari ada yang masuk, karena berusaha keras mengimbangi antara pekerjaan dan Xavier. Bisa dikatakan kalau kedatangan Ivy sudah menjadi sumber penyelamatnya.“Aku membelinya saat bazar waktu itu. Apa kau ingat?”“Saat bersama anggota lainnya?”“Ya, atasan kita meminta agar kita mengikuti acara itu sebagai hiburan,” ucap Jasmine sembari memperhatikan tulisan yang ada pada lembar dokumen.“Nyatanya kita tidak terhibur sama sekali.” Ivy mendesah panjang. “Kalau diingat-ingat lagi sangat mengesalkan, karena seharusnya kita pulang ke rumah dan beristirahat, tapi atasan kit