LOGINHujan turun seperti gumam panjang yang lupa sendiri apa yang sedang ia ratapi. Setiap titiknya jatuh dengan arah yang tak sepenuhnya pasti—seakan sedang belajar memilih, lalu selalu gagal, lalu mencoba lagi. Dunia di sekeliling kami terasa seperti lembaran yang diremas, lalu dibuka kembali, membentuk lipatan-lipatan yang tak bisa benar-benar hilang.
Dan di tengah suara hujan itu, kau duduk bersandar pada bahuku. Kepalamu berat—bukan karena beban pikir, tetapi karena tubuhmu sedang letih, lemah, seperti nyala kecil yang perlu dilindungi. Aku menunduk sedikit, menyandarkan daguku di atas rambutmu.“Aku di sini,” kataku. Bukan sebagai mantra, bukan sebagai janji. Hanya sebuah kehadiran yang tak meminta syarat apa pun.Kau menarik napas panjang, seperti seseorang yang akhirnya menemukan sudut tenang setelah terlalu lama berdiri di tengah badai.“Terkadang…” bisikmu, suaramu serak karena sakit, “aku takut jadi titik yang hilang, yang tak punya tempat dalam kalimat.”APagi datang tanpa suara.Tidak ada burung, tidak ada angin yang tergesa, bahkan cahaya pun tampak ragu untuk masuk sepenuhnya ke ruangan tempat Aira terbangun. Jendela terbuka setengah, dan tirai tipis bergoyang pelan—seolah sedang menghafal bentuk udara.Aira duduk perlahan di tepi ranjang.Tubuhnya terasa utuh, tapi pikirannya seperti baru kembali dari tempat yang jauh. Ada sisa-sisa mimpi yang belum sepenuhnya lepas dari kulitnya, melekat di pergelangan tangan, di tengkuk, di belakang kelopak mata.Ia mengingat suara itu lagi.Bukan suara yang memanggil keras, melainkan suara yang tahu persis bagaimana caranya masuk ke dalam sunyi.Namanya.“Aira…”Ia menoleh, refleks.Tidak ada siapa-siapa.Rumah itu—rumah yang tak pernah benar-benar mereka sepakati sebagai milik siapa—terasa lebih nyata pagi ini. Lantai kayunya dingin. Dindingnya menyimpan retak kecil yang kini terlihat jelas di bawah cahaya pucat. Tidak ada hal magis yang melayang, tidak
Pagi itu turun dengan cara yang aneh—bukan sebagai cahaya yang menyingkap gelap, melainkan sebagai suara. Seperti bisikan kain yang diseret pelan di lantai, seperti langkah samar seseorang yang belum benar-benar memutuskan apakah ia hidup atau sekadar gema.Aira terbangun dengan napas tercekat. Bukan karena mimpi buruk, tetapi karena ia merasa ada sesuatu di kamar itu yang tidak bisa dilihat oleh mata biasa.Bukan Rendra.Bukan dirinya.Bukan anak kecil itu.Sesuatu yang lain.Dia duduk perlahan, merasakan dingin di telapak kakinya. “Itu kau?” bisiknya lirih, tidak tahu kepada siapa kalimat itu diarahkan.Bayangan di pojok ruangan bergerak sedikit—bukan seperti sosok manusia yang mencondongkan tubuh, tapi seperti gelombang tinta dalam air, menyusut lalu melebar, seolah mencari bentuknya sendiri.Aira tidak mundur. Ia sudah terlalu jauh berjalan bersama segala yang tak masuk akal. Yang ditakutinya bukan lagi bayangan, tapi kebenaran yang mungkin ikut b
Senja merayap perlahan di antara bangunan-bangunan yang patah, seakan tidak ingin membuat suara. Cahaya jingganya menempel di dinding yang retak, memantul di genangan air yang tak bisa membedakan apakah ia berasal dari hujan atau dari tangis kota itu sendiri. Aira berjalan pelan, menyentuh sisa-sisa warna yang sudah lama kehilangan namanya.Beberapa hari terakhir, setiap langkahnya membawa gema yang tidak pernah ia dengar sebelumnya—bukan gema dari dunia luar, tetapi dari dalam dirinya sendiri. Ada semacam ketukan halus, seperti seseorang yang mengetuk pintu kayu tipis, menunggu, tanpa tergesa.Dan malam ini, ketukan itu terdengar lagi.Bukan dari gedung-gedung runtuh di sekitar.Bukan dari angin yang lewat dengan membawa sisa abu masa lalu.Tapi dari dalam dirinya sendiri.Seolah ada sesuatu—atau seseorang—yang ingin keluar, berbicara, menuntut diakui.Aira berhenti di depan sebuah dinding batu yang setengah runtuh. Dinding itu pernah menjadi bagian loro
Hujan turun sejak pagi—tanpa jeda, tanpa ritme, seperti seseorang yang menangis sampai lupa bagaimana cara menahan diri. Kota itu kembali terbungkus kabut tipis, seakan seluruh bangunannya sedang berdiri di antara tidur dan terjaga. Jalan-jalan mulai meluap, tetapi Aira tetap berjalan, membiarkan setiap langkahnya menjadi suara kecil yang menembus riuhnya hujan yang kehilangan arah.Sejak percakapan dengan anak itu di bab sebelumnya—anak yang tidak seharusnya memiliki lebih dari satu bayangan—ada sesuatu di dalam dada Aira yang berubah. Seperti ada pintu yang terbuka setengah, memperlihatkan ruangan gelap tanpa benar-benar mengizinkannya masuk. Ia tidak tahu apakah perasaan itu ketakutan… atau undangan lembut dari masa lalu yang belum mau pergi.Aira berhenti di bawah sebuah kanopi toko tua. Di kaca jendela yang buram, ia melihat pantulan dirinya—tetapi untuk sesaat, pantulan itu tidak bergerak sama seperti dirinya. Bayangan itu berdiri setengah detik lebih lambat, lalu meny
Hujan turun pelan, seperti suara napas bumi yang letih tetapi tidak menyerah. Di batas antara dua dunia—yang retak namun tetap bertaut oleh seutas cahaya tipis—kita berdiri bersebelahan tanpa berkata apa pun.Kadang cinta memang begitu: tidak selalu butuh suara.Cukup dua langkah yang masih mengarah pada titik yang sama.Di hadapan kita, jalan itu terbelah menjadi dua:satu menuju dunia yang ingin melupakan,dan satu lagi menuju dunia yang ingin mengingat.Namun tidak ada tanda arah. Tidak ada penunjuk. Tidak ada bisikan dari angin yang biasanya selalu mengantar pesan.Hanya hening.Hening yang terasa seperti sedang menguji.“Apa kau takut?” tanyamu pelan, hampir hanya berupa getaran udara.Aku menggeleng, meski jujur rasa gemetar itu sempat muncul lagi—gemetar yang sama seperti bab-bab sebelumnya, saat luka lama mulai bersuara.“Tidak, sayang,” jawabku. “Selama langkahmu masih memilih mengarah padaku…”Kau genggam tanganku. Hangatnya
Hujan turun seperti gumam panjang yang lupa sendiri apa yang sedang ia ratapi. Setiap titiknya jatuh dengan arah yang tak sepenuhnya pasti—seakan sedang belajar memilih, lalu selalu gagal, lalu mencoba lagi. Dunia di sekeliling kami terasa seperti lembaran yang diremas, lalu dibuka kembali, membentuk lipatan-lipatan yang tak bisa benar-benar hilang.Dan di tengah suara hujan itu, kau duduk bersandar pada bahuku. Kepalamu berat—bukan karena beban pikir, tetapi karena tubuhmu sedang letih, lemah, seperti nyala kecil yang perlu dilindungi. Aku menunduk sedikit, menyandarkan daguku di atas rambutmu.“Aku di sini,” kataku. Bukan sebagai mantra, bukan sebagai janji. Hanya sebuah kehadiran yang tak meminta syarat apa pun.Kau menarik napas panjang, seperti seseorang yang akhirnya menemukan sudut tenang setelah terlalu lama berdiri di tengah badai.“Terkadang…” bisikmu, suaramu serak karena sakit, “aku takut jadi titik yang hilang, yang tak punya tempat dalam kalimat.”A







