LOGINSusan menyiapkan bubur ayam Mangga Besar kesukaan Julio. Ia menyuruh sopirnya membelikan bubur kesukaan Julio , berharap aroma bubur kesukaan anaknya itu bisa membangkitkan kembali selera makan sang anak tercinta. Sejak sadar dari operasinya kemarin siang, Julio belum menyentuh makanan sama sekali.
“ Yo… makan yuk, mama suapin buburnya”
Julio menggeleng, matanya masih tertutup perban, kata dokter perban baru bisa dibuka siang nanti , 24 jam setelah transplantasi agar syaraf-syaraf matanya tersambung sempurna dulu. Saat perban di buka, baru akan tahu, apakah kornea bisa berfungsi baik dan Julio bisa melihat kembali.
“ Ayolah sesuap atau dua suap saja, ini bubur kesukaanmu. Bubur Mangga besar, dulu kamu bisa habis dua mangkok kalau kita makan di sana.” Kata Susan mencoba membujuk
“ Itu waktu aku belum buta, mama. Waktu aku bisa melihat sendiri bagaimana tampilan buburnya. Mana ayamnya, mana telurnya, warna buburnya. Sekarang aku tidak bisa melihat dan aku tidak mau makan!!!” Jerit Julio histeris
“ Kamu sudah tidak makan dari kemarin siang Julio. Malamnya kamu juga tidak makan, makanya pagi ini, mama suruh Pak Narto beliin bubur kesukaanmu. Ayo lah makan sesuap atau dua suap biar ada tenaga” Susan mencoba menyodorkan sesuap bubur mendekati mulut Julio, tapi Julio menepis tangannya dan Prang….. sendok yang ada di tangan Susan, jatuh menghantam lantai menyebabkan suara keras yang membuat Susan kaget.
“ Mama! Aku uda bilang , aku nggak mau makan! Aku nggak mau makan . Bagaimana aku bisa makan , kalau aku tidak bisa melihat”
Susan menghela nafas, sedikit kesal tapi berusaha bersabar dan tetap berusaha membujuk anaknya yang dia tahu sedang terpuruk dengan keadaannya
“ Kamu kan tidak pake mata untuk makan Julio, mama akan menyuapimu, kamu cukup buka mulut dan menelan makananmu.”
“Mama jangan paksa aku!” Julio berkata dengan suara gemetar,ntah karena rasa sakit atau kesal .
“Aku makan pake semua indraku. Termasuk mata! Kalau tampilannya bagus, baru ada selera makan. Sekarang aku nggak bisa lihat apa-apa. Jadi gimana aku bisa makan?!”
Susan terdiam sesaat. Lalu mencoba lagi, pelan.
“ Tapi Julio kamu harus makan, supaya kuat, supaya ada tenaga, biar nanti saat perban matamu dibuka, kornea hasil transplantasinya bisa bagus” kata Susan.
“ Aku masih di infus, mama, nggak makan juga tak apa. Aku dapat tenaga dar infusan aja.” Kata julio, memencet tombol down, untuk menurunkan tempat tidur electriknya dari posisi duduk menjadi tidur, lalu berbalik membelakangi mamanya.
Susan menghela nafas , dia akhirnya diam, mengambil kursi dan duduk di samping Julio, Tangannya mengelus punggung Julio. lalu berkata dengan nada lembut
“ Okay, mama tidak akan membujukmu makan lagi, jangan punggungi mama dong, berbalik lah ke sini, kita ngobrol aja sambil menunggu dokter datang untuk membuka perbanmu”
Julio berbalik pelan menghadap mamanya
“ Aku toh nggak bisa melihat mama, jadi sebenarnya aku tidak perlu membalik."
“ Tapi mama kan bisa melihatmu” jawab Susan “ Mama ingin melihat hidungmu yang mancung , bibirmu yang tipis , rahangmu yang kokoh dan ingin mengelus tanganmu.” Susan membelai tangan Julio lembut
“ ihh.. mama.. cringe deh. Kok gombalin anak sendiri.” Kata Julio kini dengan senyum tipis di bibirnya.
“Nah gitu dong, bisa senyum, jangan terus terusan manyun, mama jadi kehilangan putra ganteng mama.”
“ Mana bisa ganteng kalau mataku buta , Ma” kata Julio menghela nafas.
“ Kamu tidak akan buta Julio, kamu akan bisa melihat kembali. Transplantasimu sukses dilakukan” Susan berkata dengan yakin.
“ Belum tahu sukses atau tidak mama, prosesnya masih panjang seperti kata dokter. Perban aja belum dibuka, ibaratnya dokter hanya berhasil memasangnya, tapi belum di test, seperti membeli lampu yang masih dalam dus, tampak baik dari luar, tapi saat dipasang belum tentu bisa nyala, itu kondisiku saat ini.”
“ Tapi kita harus optimis. Kita harus tetap berdoa. Lihat nasib baik selalu menyertaimu. Dari yang tiba-tiba dapat donor karena orang yang seharusnya mendapat donor meninggal, sampe operasi yang berjalan lancar, kini tinggal step terakhir yang harus kita tunggu, buka perban dan matamu kembali terang. ” Kata Susan membakar semangat anaknya.
“ Belum Ma, masih panjang, aku tidak boleh banyak mempergunakan mataku dulu, melihat handphone, laptop dan aku tidak boleh stress. Mama kan dengar sendiri kata-kata dokter saat visit, Mataku juga tidak boleh langsung terkena sinar matahari , harus selalu pake kaca mata hitam kalau siang. Mungkin 3 sampai enam bulan lagi, kalau semuanya berjalan lancar baru aku bisa melihat dengan sempurna”
“ One step at a time , Boy.. One step at a time. Kita jalani satu persatu ” Susan berkata tetap dengan belaian lembut di tangan anaknya “ Yang penting kamu ingat, mama dan papa akan selalu bersamamu. Lupakan hal yang sedih-desih. Tidak usah ingat tentang Erika. Kamu pasti bisa mendapatkan wanita yang lebih baik darinya kalau kamu bisa melihat kembali, mama yakin banyak wanita yang berjejer ingin menjadi istrimu.”
“ Berarti kalau aku tidak bisa melihat kembali , nggak ada wanita yang mau sama aku?” Tanya Julio cemberut.
“ Mama menjawab pertanyaanmu dengan jujur dan realistis ya. Jadi jangan ngamuk. Kalau wanita yang setara ekonominya, setara pendidikannya dengan kita, seperti keluarga Erika, mungkin tidak mau menikah denganmu. Karena wanita zaman sekarang uda terkontaminasi standar tiktok, tidak mau menikah hanya untuk hidup susah apalagi menderita.”
“ Jadi aku harus memilih wanita yang lebih rendah standarnya secara ekonomi dan pendidikan dari aku? Tanya Julio
“ Mungkin itu yang harus kamu lakukan kalau kamu tetap tidak bisa melihat. Tapi kan kamu akan kembali bisa melihat, jadi tidak perlu khawatir. Mungkin saat Erika tahu kalau kamu bisa melihat kembali , dia yang akan mengemis-ngemis untuk balikan dengan dirimu.” Kata Susan.
Julio tertawa sinis “ Dan kalau itu terjadi, aku juga tidak akan menerimanya kembali, betapapun aku mencintai dirinya.”
“ Jangan putuskan apa-apa dulu Julio. Jangan keluarkan kata-kata tidak mau menerimanya kembali, kamu tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, mungkin rasa cintamu bisa menghapus semua kesalahan Erika dan kamu bisa menerimanya kembali ” Dia mengambil nafas sebelum melanjutkan “ Kata orang -orang bijak rasa cinta yang besar bisa menghapus semua rasa sakit dan dendam.” Kata Susan menasehati anaknya.
“ Mama tidak marah? Mama tidak sakit hati pada Erika setelah dia mencampakkan aku bagai sampah karena buta?” Tanya Julio heran “ Padahal mama yang memaki-maki dirinya dan menyuruhnya mengembalikan cincin dan seserahan”
Susan menghela napas. “Mama nggak munafik. Mama sempat marah… sempat sakit hati juga. Tapi, kalau nanti kamu memutuskan untuk menerima Erika kembali sebagai istrimu, mama akan menerimanya. Karena yang paling penting bagi mama adalah kebahagiaanmu.”
Ia berhenti sejenak, menatap Julio meski tahu anaknya masih tak bisa melihat. Tangannya mengelus lembut jemari putranya, lalu melanjutkan, pelan tapi mantap
“Lagipula, dari segi bibit, bebet, bobot… Erika itu memang yang terbaik untukmu. Hanya saja, tidak semua wanita kuat hidup dalam penderitaan. Kalau mama punya anak perempuan, mama juga pasti akan menyuruhnya berpikir ulang kalau calon suaminya tiba-tiba buta.”
Julio terdiam. Ia menggenggam tangan mamanya, memejamkan mata, lalu berbisik pelan,
“Nggak semua orang bisa ambil keputusan seperti Erika. Tapi juga... nggak semua ibu bisa ngerti keputusan itu seperti Mama.”
Tangannya naik, menyentuh perban yang masih melilit matanya. Dalam gelap pandangannya, pikirannya berkelana.
Ia tahu mamanya sangat mencintainya. Selalu memanjakannya, selalu mengikuti semua keinginannya bahkan. Ia tahu mamanya rela melakukan apapun demi dirinya. Tapi… kenapa mama bisa sedamai itu menerima keputusan Erika? Kenapa bisa begitu cepat memaafkan?
Apakah benar karena ingin melihat Julio bahagia… seperti yang ia bilang?
Atau karena Erika adalah pilihan terbaik dari segi bibit , bebet, bobot, perempuan sempurna yang bisa menjaga nama baik keluarga, dan bisa melanggengkan semua rencana menggabungkan bisnis besar kedua keluarga yang telah disusun dengan rapi setelah pernikahan?Julio tak tahu pasti. Yang dia tahu, cinta mamanya memang tidak perlu dia ragukan Tapi sekarang, terbaring di ranjang rumah sakit dengan matanya yang masih gelap tertutup perban, Julio merasa sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak pernah ia pertanyakan sebelumnya.
Apakah Mama mencintainya setulus itu, tanpa syarat, tanpa rencana?
Atau sebenarnya, di balik semua empati dan maaf yang begitu mudah ia berikan kepada Erika.. ada sesuatu yang lain? Sesuatu yang lebih dingin dan terencana, demi uang atau kekuasaan? Apakah Mamanya seorang oportunis? Atau... sekadar ibu yang mencintai dengan cara berbeda dengan empathic realism?Apa Itu Empathic Realism? Empathic realism adalah bentuk cinta atau sikap peduli yang tidak hanya dilandasi oleh perasaan, tapi juga oleh logika dan kesadaran akan realita. Ini bukan cinta yang membutakan. Bukan empati yang memanjakan. Tapi cinta yang tetap bisa memahami, sambil tetap berpijak di tanah. Orang yang menerapkan empathic realism tahu kapan harus memeluk, kapan harus mendorong. Mereka tidak menyangkal luka, tapi juga tidak larut di dalamnya. Mereka tidak menjanjikan bahwa semua akan baik-baik saja, tapi tetap ada, tetap bertahan, dan tetap mendampingi. Itulah rasa sayang versi paling dewasa. Kadang terkesan dingin, kadang dianggap terlalu rasional. Tapi sesungguhnya... di balik itu ada kasih yang sangat dalam, hanya saja tidak semua orang bisa memahaminya. Bahasaku untuk parenting ini: Parenting tarik ulur. Kadang kejam, diktator bagai didikan jaman VOC dan kadang harus lembut dan menerima pendapat anak kita agar anak kita tidak menjauh. Do you agree with me?
Laras POV Papa Johan benar-benar menepati janjinya. Hari Jumat pagi, ketika aku membuka pintu dapur, aku terpukau. Dapur lamaku yang dulu hanya ruang kecil dengan kompor dua tungku, dan meja kayu tempat meniriskan donat kini telah berubah total. Semuanya tampak baru. Modern. Rapi. Berkilau. Udara di dalamnya pun terasa berbeda. Lebih terang, lebih segar, dan entah kenapa, seperti membawa semangat baru bersamanya. Lantai keramik putih mengilap, dindingnya bersih tanpa noda minyak sedikit pun. Di sisi kanan berdiri dua meja aluminium panjang dengan permukaan mengilap, tempat aku akan mencetak , menata adonan donat juga menghiasnya sebagai sentuhan terakhir. Di sudut ruangan berdiri mesin proofing setinggi dadaku berbentuk kabinet stainless steel dengan kaca bening di pintunya. Aku bisa membayangkan aroma adonan hangat yang akan mengembang sempurna di dalamnya. Tak jauh dari situ, mixer industri besar dengan mangkuk baja berkapasitas puluhan liter berdiri gagah. Bayangan tubuhku mem
Warning Trigger : Mature content 21 ++ Saat Laras sedang mandi sepulang kami dari gereja untuk pemberkatan, aku duduk santai ngobrol bersama Mama dan Papa di meja makan. Kami menikmati seteko teh Melati. Kini wangi semerbak harum Melati yang menenangkan mengisi seluruh rumah dengan aroma khasnya. “Liyo,” kata Mama pelan, “tadi Pak Hutabarat telepon. Katanya pihak kejaksaan sudah menghubungi rumah dan kantor kita uda tidak lagi di segel . Hanya rekening yang harus tunggu beberapa saat lagi. Jadi besok Mama dan Papa mau pulang ke rumah kita. Rumah itu udah lama kosong, jadi harus dibersihin. Mama yang akan urus rumah, Papa langsung urus kantor.” Aku menaruh cangkir tehku. “Masalah dapur Labayo gimana, Pa?” “Nggak usah khawatir,” jawab Papa tenang, “itu udah hampir kelar. Nanti Papa tambah tukangnya, biar Jumat ini bisa segera selesai. Jadi Sabtu kalian bisa langsung mulai produksi.” Mama menyesap tehnya dan menatapku. “Nggak mau bikin upacara peresmian?” Aku tertawa kecil. “Lar
Senin sore itu, Jakarta terasa lebih tenang dari biasanya. Matahari menggantung rendah di langit barat, menyapukan cahaya jingga ke atap-atap seng dan jendela rumah-rumah kontrakan di jalan kecil tempat Laras tinggal. Awan cumulus melayang seperti kapas besar yang sedang beristirahat membuat pemandangan sore itu tampak seperti lukisan mahakarya Sang Pencipta, seolah Tuhan ikut tersenyum, karena hari ini Laras dan Julio akan diberkati di gereja. Awalnya mereka mama Susan dan papa Johan. Riris dan Ario tentunya bersama kedua pengantin Julio dan Laras akan berangkat naik Avanza milik kantor Papa Johan. Tapi baru saja pagar rumah di buka, ternyata di luar sudah ramai. Warga tetangga berdiri di depan pagar, seperti rombongan yang menunggu pawai pengantin. Ada Bu Sri yang selalu kepo tapi baik hati, ada Bu Kus yang pemilik warung tempat Laras menitipkan donat pertamanya. Ada juga Pak RT dengan kemeja batiknya, juga Bu Pur mamanya Riris yang suka humor, cerewet tapi penyayang. “Laras!” s
Julio POV Sore itu, langit Jakarta bersih seperti baru saja dicuci hujan. Udara hangat, dan sinar matahari berwarna oranye menembus di sela-sela gedung kaca di kawasan Mega Kuningan. Laras baru pulang dari kelas baking-nya di Bogasari saat kami memutuskan berjalan kaki menuju gereja tua di belakang kawasan Mega Kuningan. Gereja tempat kami berencana mendaftar kelas pranikah. Lokasi gereja itu tak jauh dari penthouse-ku dulu. Saat melewati gedung tinggi itu, aku menoleh dan menunjuk ke atas “Ini tempat tinggalku dulu, Ra.” Laras mendongak, matanya membulat. “Gedung tinggi ini?” Aku mengangguk, tersenyum. “Mama kemarin ada nawarin, kalau semua urusan kejaksaan sudah selesai dan semua aset milik mama dan papa tidak lagi diblokir , kita boleh tinggal di sini. Tapi aku nggak mau. Kebayang kan, repotnya kalau tiap pagi buta kita harus jalan kaki untuk buat donat ke dapur Labayo?” Laras terkekeh, mengangguk paham. “Makanya aku lebih pilih kita tetap tinggal rumahmu aja. biar lebih
Julio POV Aku sedikit terkejut ketika mendengar Jaksa Guntur menyebut bahwa aset milik Arifin di Boston juga ikut dibekukan. Kata Boston langsung membuatku teringat tentang Erika, yang tiba-tiba menghilang dari Bangkok setelah membuat kekacauan di hari liburku bersama Laras. Sekarang semuanya masuk akal. Ia pasti disuruh mengamankan aset keluarganya. Tapi ternyata gagal juga. Semua harta mereka disita. Ketika Arifin dengan suara terbata-bata bertanya, “Apakah... Erika…?” Aku tahu, itu bukan sekadar kegelisahan seorang tersangka. Itu suara seorang ayah yang menanggung rasa bersalah karena membuat anaknya menderita. Aku menarik napas panjang. Entah kenapa, kali ini tidak ada lagi rasa kesal mendengar nama Erika. aku hanya merasa iba. Aku yakin, selama Erika tidak terlibat langsung dalam bisnis ayahnya, ia tidak akan sampai dijerat hukum. Hanya saja… aku tahu, wanita seperti dirinya tak bisa hidup tanpa uang.Tapi ah, apa peduliku lagi? Aku dan dia sudah selesai. Setelah semua l
Ruang tunggu Kejaksaan Negeri itu terasa lebih dingin dari pendingin udaranya sendiri. Lampu neon putih memantulkan cahaya ke lantai granit, membuat suasana seperti ruang interogasi di film kriminal. Johan duduk di kursi besi, kedua tangannya mengepal, menahan degup jantung yang rasanya berpacu dengan waktu. Di sampingnya, Julio menatap lurus ke depan, gelisah, tapi berusaha tampak tenang. Pak Hutabarat, pengacara keluarga mereka, berdiri di depan pintu kaca buram bertuliskan Bidang Tindak Pidana Khusus. Di tangannya tergenggam map biru berisi dokumen yang sudah beberapa minggu ini tidak pernah lepas dari gengamannya. “Tenang, Pak Johan,” katanya datar “Kita hanya klarifikasi dan datang sebagai saksi.” Namun kalimat itu tak mampu menghapus bayangan ketakutan Johan, takut ratusan karyawan perusahaannya tidak bisa mendapatkan gaji bulan ini. Pintu terbuka. Seorang petugas memanggil, “Pak Johan Wicaksano, silakan masuk.” Ketiganya masuk ke ruang pemeriksaan. Di dalam, aroma kopi







