LOGINSaat di ruang operasi Jakarta Eye Centre, mata Julio sedang berjuang menerima kornea baru demi bisa melihat kembali dunia, di sisi lain di tengah kota Jakarta, langit yang mendung menyelimuti sebuah rumah mewah di kawasan Pondok Indah. Di dalam kamar utama yang luas dan dingin itu, tampak Erika tengah memasukkan satu per satu pakaiannya ke dalam koper Rimowa putihnya. Gaun-gaun mahal, winter coat tebal, sepatu-sepatu boot dari Paris, perlahan dilipat dan disusun rapi, namun tangan Erika tampak gemetar.
Air mata jatuh satu-satu membasahi pipinya. Bukan tangisan keras yang meledak-ledak. Tapi sunyi, menyakitkan, dan tertahan seperti hujan pertama di musim kemarau panjang.
Di sebelahnya, sang ibu, Arumi, membantu melipat jaket kulit dan sweater wol. Diam-diam memperhatikan setiap gerakan anak semata wayangnya itu, hingga akhirnya pelan-pelan bertanya, “Rika... Apakah kamu mencintai Julio?”
Erika menghentikan lipatannya. Ia menarik napas panjang, lalu menatap ibunya dengan matanya yang masih penuh air mata.
“Mama tahu jawabanmu, kamu mencintai Julio ,” lanjut Arumi dengan lembut, “ Tapi mama tidak mengerti, kalau kamu mencintainya, kenapa kamu memilih pergi? Kenapa kamu memilih meninggalkan dia di saat dia paling membutuhkanmu?”
Erika tidak segera menjawab . Tangannya meletakkan sepatu boatnya ke dalam koper, lalu perlahan ia duduk di tepi ranjang. Tangisnya pecah, kali ini lebih deras.
“Aku mencintai Julio, Ma. Aku mencintainya selama delapan tahun, sejak kami kuliah di Amerika. Tidak mungkin aku tidak punya hati. Tapi... Tapi…. Aku…. aku tidak sanggup. Aku tidak bisa menjadi istri dari pria yang buta. Aku tidak sanggup mendampingi Julio dan bertindak sebagai wanita bahagia kalau suamiku buta.”
Erika menunduk, kedua tangannya menutup wajahnya sendiri, bahunya terguncang oleh isak tangis. Arumi segera memeluknya, memeluk seluruh kesakitan, kekecewaan, dan kebimbangan yang sedang bergejolak di tubuh anak yang sejak kecil hidup dalam segala kemewahan dan tak pernah mengenal kata susah.
“Aku tahu keputusan ini egois, Ma. Tapi rasa cinta pada diriku sendiri... lebih besar daripada rasa cintaku pada Julio.”
Arumi terdiam. Ia tak bisa berkata-kata.
“Aku takut hidup dalam penderitaan. Aku takut bangun setiap pagi lalu bertanya dalam hati kenapa aku menjalani hidup seperti ini. Mama tahu, aku tidak pernah hidup dalam kekurangan. Sejak bayi aku punya babysitter, di TK aku punya nanny. Bahkan sekarang aku punya asisten pribadi. Aku tidak pernah tahu rasanya susah. Lalu kalau aku harus menikah dengan pria yang tidak bisa melihatku... tidak bisa melihat dunia... tidak bisa berjalan sendiri tanpa dibimbing? Aku tidak sanggup.”
Erika bangkit dan kembali memasukkan pakaian ke koper. Suaranya kini lebih tegas, dingin, tapi getir.
“Kalau aku tetap bersama Julio, aku hanya akan menjadi wanita yang perlahan-lahan membenci hidupnya sendiri. Aku akan berubah, dan Julio akan merasakannya. Jadi, daripada kami saling menyakiti,daripada akhirnya kami saling benci, lebih baik aku memutuskan hubungan sekarang.” Erika menghela nafas sebelum melanjutkan “ Seperti luka di kaki, Ma. Kalau sudah parah, jangan tunggu bernanah, langsung saja di amputasi.. Sakit? Pasti, tapi tidak berkepanjangan. Aku dan Julio merasa sangat sakit saat ini tapi kami akan sembuh dan sakit kami tidak berlarut-larut”
Kalimat itu diucapkan Erika tanpa air mata kali ini. Tegas. Penuh keteguhan, meski suaranya serak menahan luka.
Arumi hanya mengangguk. Di matanya, ada campuran antara rasa kagum, sakit dan pengertian. Ia tahu, Erika tidak akan pernah sanggup hidup sebagai istri dari pria yang cacat. Hidup Erika terlalu rapi. Terlalu teratur. Terlalu sempurna.
Dulu, ia bisa jatuh cinta pada Julio karena Julio adalah simbol kesempurnaan dari seorang pria. Tampan. Kaya. Dari keluarga terpandang. Meski Julio manja dan masuk kerja sesuka hati di perusahaan ayahnya, tidak ada yang peduli. Karena pada akhirnya, rekeningnya selalu penuh, posisinya tetap aman, dan dia adalah anak kebanggaan , pewaris tunggal keluarga Wicaksono, yang hartanya bernilai jutaan dolar.
Erika memutuskan hubungan ini bukan karena dia membenci Julio. Tapi karena dia lebih mencintai dirinya sendiri.
Arumi tahu itu. Dan dalam hati kecilnya... ia sangat kagum.
Anaknya memilih sesuatu yang tidak pernah ia sanggup pilih untuk dirinya sendiri.
Karena Arumi pun punya luka. Luka yang sudah lama dia terima sebagai seorang istri.
Ia hidup bertahun-tahun menerima suami yang kerap tidur dengan wanita lain, sekretarisnya, koleganya, teman SMA-nya, bahkan janda tetangga. Suaminya lelaki genit yang tak bisa melihat perempuan lewat tanpa menggodanya. Mungkin kalau dinding punya lubang, dia pun akan meniduri dinding itu.
Dan Arumi... hanya bisa diam selama bertahun-tahun pernikahan mereka, dia tidak berani memilih untuk mencintai dirinya sendiri seperti yang Erika lakukan karena satu-satunya kekurangan suaminya itu hanyalah kesetiaan. Selebihnya, ia lelaki yang bertanggung jawab. Menyayangi keluarga. Menyayangi Erika dan tidak pernah nginap di luar rumah, jadi Arumi berprinsip, asalkan suaminya tetap pulang, dia akan menutup mata dan menerima kegenitan suaminya, meskipun dia tidak bahagia
Klik.
Suara koper yang ditutup, membuyarkan lamunan Arumi. Ia menatap anak perempuannya yang kini berdiri dengan punggung tegak dan mata sembab.
“Mama hargai keputusanmu, Rika,” ucap Arumi pelan, “Mama bahkan... kagum. Karena kamu memilih mencintai dirimu sendiri. Jangan seperti mama, yang terlalu lama menerima, hingga akhirnya penerimaan itu menjadi kebiasaan pahit yang harus mama telan dalam diam.”
“Iya, Ma. Itu yang aku hindari,” jawab Erika sambil menatap wajah ibunya.
“Aku tidak mau hidup seperti Mama.”
Mata Arumi membulat, ia kaget “Kamu tahu soal Papa?” bisik Arumi. Ternyata anaknya tahu rasa sakitnya , padahal dia tidak pernah menunjukkannya, dia selalu simpan dalam-dalam rasa sakit itu. Rasa sakit tidak dihargai sebagai istri, rasa sakit mengetahui suaminya selingkuh dan terpaksa menerimanya.
Erika tersenyum getir “Tahu. Aku lihat Mama sering nangis diam-diam di taman belakang. Tapi selalu tersenyum begitu Papa pulang. Meskipun kerah kemeja papa penuh lipstik merah.”
Diam. Suasana hening. Arumi hanya bisa menarik napas panjang.
“Mama, semua yang mama jalani adalah keputusan Mama, dan aku hormati. Tapi jangan salahkan aku juga, karena aku memutuskan untuk pergi dan mencintai diriku sendiri. ”
Arumi mengangguk. “Mama tidak akan pernah menyalahkan kamu, Erika. Tidak semua perempuan berani mencintai dirinya sendiri seperti yang kamu lakukan. Kamu sangat hebat.”
“Terima kasih, Ma. Terima kasih sudah mengerti.”
Erika menatap keluar jendela. Langit tetap abu-abu. Tapi dia sudah siap meninggalkan semua. Termasuk cinta yang pernah ia lalui bersama Julio selama delapan tahun.
“Mungkin Julio bukan jodohku,” gumamnya. “Semoga di Amerika nanti, aku bisa membuka hatiku untuk pria yang... lebih sempurna. Atau setidaknya, bisa kuliah lagi. Ambil S3, biar ada kegiatan.”
“Penerbangan kamu malam ini, ya?” tanya Arumi sambil berdiri.
“ Iya nanti tengah malam. Transit di Jepang, karena aku pake ANA”
“Hati-hati di sana, Nak. Jangan pulang sebelum kamu benar-benar bisa melupkan Julio. Jangan pulang kalau hatimu masih saki t.tidak apa tidak ada cinta yang baru dari lelaki yang paling penting kamu tetap bisa mencintai dirimu sendiri seperti sekarang.”
Erika tersenyum tipis. Air matanya kembali jatuh. Mungkin ini air mata terakhir untuk Julio. Cinta yang ia akan ia lepaskan karena ia lebih memilih mencintai dirinya sendiri.
Banyak di kehidupan kita , wanita yang tidak berani mencintai dirinya sendiri karena takut dihujat dunia. Biasalah lelaki, selingkuh tipis=tipis asal dia tetap mencintai keluarganya ya biarin aja, masak tega ninggalin anak. Itu yang selalu orang2 katakan. Iya ngak? Bagaimana menurutmu teman2. Mari kita keluarkan opini kita di comment. Happy reading.
Laras POV Papa Johan benar-benar menepati janjinya. Hari Jumat pagi, ketika aku membuka pintu dapur, aku terpukau. Dapur lamaku yang dulu hanya ruang kecil dengan kompor dua tungku, dan meja kayu tempat meniriskan donat kini telah berubah total. Semuanya tampak baru. Modern. Rapi. Berkilau. Udara di dalamnya pun terasa berbeda. Lebih terang, lebih segar, dan entah kenapa, seperti membawa semangat baru bersamanya. Lantai keramik putih mengilap, dindingnya bersih tanpa noda minyak sedikit pun. Di sisi kanan berdiri dua meja aluminium panjang dengan permukaan mengilap, tempat aku akan mencetak , menata adonan donat juga menghiasnya sebagai sentuhan terakhir. Di sudut ruangan berdiri mesin proofing setinggi dadaku berbentuk kabinet stainless steel dengan kaca bening di pintunya. Aku bisa membayangkan aroma adonan hangat yang akan mengembang sempurna di dalamnya. Tak jauh dari situ, mixer industri besar dengan mangkuk baja berkapasitas puluhan liter berdiri gagah. Bayangan tubuhku mem
Warning Trigger : Mature content 21 ++ Saat Laras sedang mandi sepulang kami dari gereja untuk pemberkatan, aku duduk santai ngobrol bersama Mama dan Papa di meja makan. Kami menikmati seteko teh Melati. Kini wangi semerbak harum Melati yang menenangkan mengisi seluruh rumah dengan aroma khasnya. “Liyo,” kata Mama pelan, “tadi Pak Hutabarat telepon. Katanya pihak kejaksaan sudah menghubungi rumah dan kantor kita uda tidak lagi di segel . Hanya rekening yang harus tunggu beberapa saat lagi. Jadi besok Mama dan Papa mau pulang ke rumah kita. Rumah itu udah lama kosong, jadi harus dibersihin. Mama yang akan urus rumah, Papa langsung urus kantor.” Aku menaruh cangkir tehku. “Masalah dapur Labayo gimana, Pa?” “Nggak usah khawatir,” jawab Papa tenang, “itu udah hampir kelar. Nanti Papa tambah tukangnya, biar Jumat ini bisa segera selesai. Jadi Sabtu kalian bisa langsung mulai produksi.” Mama menyesap tehnya dan menatapku. “Nggak mau bikin upacara peresmian?” Aku tertawa kecil. “Lar
Senin sore itu, Jakarta terasa lebih tenang dari biasanya. Matahari menggantung rendah di langit barat, menyapukan cahaya jingga ke atap-atap seng dan jendela rumah-rumah kontrakan di jalan kecil tempat Laras tinggal. Awan cumulus melayang seperti kapas besar yang sedang beristirahat membuat pemandangan sore itu tampak seperti lukisan mahakarya Sang Pencipta, seolah Tuhan ikut tersenyum, karena hari ini Laras dan Julio akan diberkati di gereja. Awalnya mereka mama Susan dan papa Johan. Riris dan Ario tentunya bersama kedua pengantin Julio dan Laras akan berangkat naik Avanza milik kantor Papa Johan. Tapi baru saja pagar rumah di buka, ternyata di luar sudah ramai. Warga tetangga berdiri di depan pagar, seperti rombongan yang menunggu pawai pengantin. Ada Bu Sri yang selalu kepo tapi baik hati, ada Bu Kus yang pemilik warung tempat Laras menitipkan donat pertamanya. Ada juga Pak RT dengan kemeja batiknya, juga Bu Pur mamanya Riris yang suka humor, cerewet tapi penyayang. “Laras!” s
Julio POV Sore itu, langit Jakarta bersih seperti baru saja dicuci hujan. Udara hangat, dan sinar matahari berwarna oranye menembus di sela-sela gedung kaca di kawasan Mega Kuningan. Laras baru pulang dari kelas baking-nya di Bogasari saat kami memutuskan berjalan kaki menuju gereja tua di belakang kawasan Mega Kuningan. Gereja tempat kami berencana mendaftar kelas pranikah. Lokasi gereja itu tak jauh dari penthouse-ku dulu. Saat melewati gedung tinggi itu, aku menoleh dan menunjuk ke atas “Ini tempat tinggalku dulu, Ra.” Laras mendongak, matanya membulat. “Gedung tinggi ini?” Aku mengangguk, tersenyum. “Mama kemarin ada nawarin, kalau semua urusan kejaksaan sudah selesai dan semua aset milik mama dan papa tidak lagi diblokir , kita boleh tinggal di sini. Tapi aku nggak mau. Kebayang kan, repotnya kalau tiap pagi buta kita harus jalan kaki untuk buat donat ke dapur Labayo?” Laras terkekeh, mengangguk paham. “Makanya aku lebih pilih kita tetap tinggal rumahmu aja. biar lebih
Julio POV Aku sedikit terkejut ketika mendengar Jaksa Guntur menyebut bahwa aset milik Arifin di Boston juga ikut dibekukan. Kata Boston langsung membuatku teringat tentang Erika, yang tiba-tiba menghilang dari Bangkok setelah membuat kekacauan di hari liburku bersama Laras. Sekarang semuanya masuk akal. Ia pasti disuruh mengamankan aset keluarganya. Tapi ternyata gagal juga. Semua harta mereka disita. Ketika Arifin dengan suara terbata-bata bertanya, “Apakah... Erika…?” Aku tahu, itu bukan sekadar kegelisahan seorang tersangka. Itu suara seorang ayah yang menanggung rasa bersalah karena membuat anaknya menderita. Aku menarik napas panjang. Entah kenapa, kali ini tidak ada lagi rasa kesal mendengar nama Erika. aku hanya merasa iba. Aku yakin, selama Erika tidak terlibat langsung dalam bisnis ayahnya, ia tidak akan sampai dijerat hukum. Hanya saja… aku tahu, wanita seperti dirinya tak bisa hidup tanpa uang.Tapi ah, apa peduliku lagi? Aku dan dia sudah selesai. Setelah semua l
Ruang tunggu Kejaksaan Negeri itu terasa lebih dingin dari pendingin udaranya sendiri. Lampu neon putih memantulkan cahaya ke lantai granit, membuat suasana seperti ruang interogasi di film kriminal. Johan duduk di kursi besi, kedua tangannya mengepal, menahan degup jantung yang rasanya berpacu dengan waktu. Di sampingnya, Julio menatap lurus ke depan, gelisah, tapi berusaha tampak tenang. Pak Hutabarat, pengacara keluarga mereka, berdiri di depan pintu kaca buram bertuliskan Bidang Tindak Pidana Khusus. Di tangannya tergenggam map biru berisi dokumen yang sudah beberapa minggu ini tidak pernah lepas dari gengamannya. “Tenang, Pak Johan,” katanya datar “Kita hanya klarifikasi dan datang sebagai saksi.” Namun kalimat itu tak mampu menghapus bayangan ketakutan Johan, takut ratusan karyawan perusahaannya tidak bisa mendapatkan gaji bulan ini. Pintu terbuka. Seorang petugas memanggil, “Pak Johan Wicaksano, silakan masuk.” Ketiganya masuk ke ruang pemeriksaan. Di dalam, aroma kopi







