Share

Bab 2. Alasan Mas Indra

"Tunggu dulu!!" Aku tiba-tiba teringat dengan sesuatu dan segera beranjak menuju lemari rak piring.

Aku berjongkok untuk mengambil dua wadah bekal makan yang kusimpan rapi di bagian paling bawah lemari rak piring.

Kenapa aku harus menyembunyikan bekal kedua anakku? Karena aku sengaja menyembunyikan lauk ayam goreng yang ku masak pagi ini agar Mas Indra tidak ikut menyentuhnya.

Suamiku itu sudah dewasa dan bisa mencari nafkah sendiri dan aku yakin tabungannya sekarang sudah menggembung. Jadi tak apalah kalau aku membuat dia mengeluarkan sedikit uangnya untuk biaya makannya sendiri.

Sedangkan anak-anakku, mereka masih kecil-kecil, baru kelas 1 SD. Mereka masih membutuhkan banyak asupan gizi dan protein untuk tumbuh besar. Tak mungkin aku memberi mereka makan hanya nasi, kecap, dan kerupuk, atau ikan asin setiap hari.

Tak masalah jika ukuran potongan ayamnya kecil-kecil, yang penting mereka mendapatkan asupan gizi yang cukup dan memadai. Itupun aku mengalah tak ikut mengambil lauk ayam agar kedua anakku cukup makan lauk ayam waktu pagi, siang, dan sore.

"Ini bekal untuk kalian makan siang nanti di sekolah. Jangan lupa cuci tangan dan berdoa sebelum makan!" ucapku seraya memasukkan kedua wadah bekal yang sama persis bentuknya tapi hanya beda di warna saja ke dalam tas mereka masing-masing.

Wadah bekal warna merah muda ke dalam tas Keyla, sedang wadah bekal warna kuning ke dalam tas Keyra.

Mereka lalu bergantian mencium punggung tanganku dan berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Aku mengantarkan mereka sampai ke depan gerbang rumah.

Beruntung, jarak sekolah dan rumah tidak terlalu jauh. Jadi mereka cukup berjalan kaki saja. Memang sih kadang-kadang mereka merajuk ingin diantarkan dengan sepeda motor seperti kawan-kawannya yang rumahnya sedikit jauh. Jadilah aku sesekali mengantarkan mereka dengan sepeda motor supra bututku.

Jangan harap Mas Indra mau memberikan tumpangan si kembar ke sekolah. Rasa-rasanya selama Mas Indra membeli sepeda motor berukuran besar itu, belum pernah aku atau kedua anaknya ikut merasakan membonceng di belakangnya.

Aku kembali ke dalam setelah memastikan anak-anak masuk ke dalam lingkungan pagar sekolah. Jarak gerbang sekolah si kembar dan gerbang rumahku hanya sekitar lima ratus meter. Jadi aku masih bisa memastikan mereka benar-benar masuk ke area sekolah tanpa harus mengantar sampai ke depannya.

Setelah ada di dalam, aku malah menjadi bingung hendak melakukan apa karena semua pekerjaan rumah sudah aku bereskan sejak sebelum subuh berkumandang.

"Huft, berkebun sajalah daripada suntuk." Aku memilih mengambil sekop dan bibit tanaman sayuran yang kubeli di pasar tempo hari. Aku harus lebih produktif lagi agar bisa menekan biaya pengeluaran bulanan.

Jika aku bisa membudidayakan tanaman sayuran sendiri di pekarangan rumahku, itu artinya aku tak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk membeli kebutuhan sayur mayur dan bisa menghemat uang belanja.

Aku hanya harus memikirkan beras, lauk pauk, dan bumbu-bumbu lainnya.

Entah kenapa tiba-tiba aku merasa sedih saat sedang menyirami bibit yang baru saja ku semai. Bayangan kejadian tiga bulan yang lalu melintas begitu saja di kepalaku.

Hari itu adalah hari gajian di tempat kerja suamiku.

Mas Indra pulang ke rumah tepat sebelum maghrib menjelang. Setelah selesai mandi dan makan malam, ia mengajakku untuk duduk di sofa ruang keluarga yang ada televisi besarnya.

"May, kesini dulu! Mas mau ngomong penting."

Aku yang baru saja selesai merapikan piring bekas makan malam menurut saja saat Mas Indra menuntunku dan mendudukanku di sofa empuk.

"Ada apa, Mas? Kok kayaknya serius banget?" tanyaku kaget. Biasanya laki-laki yang bergelar suamiku itu selalu blak-blakan dan tak pernah berbasa-basi untuk memulai sebuah percakapan.

Deg…

Aku jadi ikutan tegang menunggu apa yang ingin dibahasnya malam ini. Bahkan beberapa pikiran jelek sempat menghampiriku. Apa jangan-jangan dia mau meminta izin poligami? Ah tidak, tidak, itu tidak mungkin!

Hey Maya, tenangkan pikirmu! Aku sontak mengerjapkan mata berkali-kali agar kembali fokus.

"Kamu pengen punya mobil gak?" tanya Mas Indra memulai percakapan dan aku menanggapinya dengan mengangguk senang, "Kamu pengen punya rumah bertingkat juga kan?" tanyanya kemudian. Dan lagi-lagi aku mengangguk dengan mata penuh binar bahagia.

Aku terlalu bersemangat mendapat pertanyaan itu dari Mas Indra. Bayangan akan hidup kaya dan mapan melintas di depan mata. Sontak aku langsung menatapnya dengan tatapan penuh curiga. Apakah suamiku habis dapat hadiah bonus ratusan juta rupiah? Atau jangan-jangan dia menang judi lotere?

"Tapi dari mana uangnya, Mas? Apa tabungan kita sudah cukup dan mampu untuk membeli mobil serta membangun lantai atas?" akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya menyelidik.

Selama ini, keuangan utama keluarga dipegang oleh Mas Indra sebagai kepala keluarga. Aku sebagai ibu rumah tangga hanya diberikan jatah bulanan sebesar enam juta rupiah untuk dikelola dan dicukupkan sampai gajian bulan depannya lagi. Sisanya, Mas Indra simpan di bank untuk bekal hari tua kami nanti.

Aku juga tidak pernah tahu berapa jumlah gaji dan jumlah tabungan yang Mas Indra miliki. Aku harus berpuas diri dengan jatah bulanan dari suamiku. Cukup gak cukup, aku harus bisa mengelolanya dengan baik dan benar agar tak kekurangan.

"Kita coba hidup berhemat yuk, May! Sekarang kan lagi marak tuh gaya hidup frugal living. Jadi gak ada salahnya kalau kita mencoba." Ia lalu mengutak-atik gawainya sebelum menunjukkan padaku sebuah artikel yang terkait dengan hidup irit ala frugal living.

Aku menscroll dan membaca artikel tersebut pelan-pelan untuk memahami inti dan makna dari frugal living itu sendiri.

Sekilas memang bagus sih, tapi apakah aku mampu menjalani gaya hidup serba mepet tersebut mengingat aku mempunyai dua putri kembar yang sedang dalam masa pertumbuhan dan memerlukan banyak biaya hidup.

"Teman Mas malah ada yang sudah sukses terapkan gaya hidup itu, May. Dia sudah punya mobil, juga rumah di kawasan perumahan elit ibu kota. Apa kamu gak pengen juga kaya gitu?" Kembali suara Mas Indra terdengar meyakinkanku. Ia bahkan sampai menggenggam telapak tanganku untuk membujukku.

Aku diam saja karena merasa sedikit ragu.

"Kalau kamu gak percaya, kamu bisa lihat akun youtubenya Mona Ratuliar, dia teman yang mas bicarain tadi. Dia sudah punya segalanya padahal usianya masih muda." Mas Indra terlihat bersemangat sekali meyakinkanku.

Entahlah aku masih tak yakin.

Selama ini aku biasanya hanya bisa menyisihkan beberapa ratus ribu rupiah saja dari sisa uang enam juta rupiah pemberiannya. Itupun karena aku mengalah untuk tidak membeli skincare yang biasa kupakai. 

Aku pandai merawat wajah dengan skincare alami dari buah-buahan, lidah buaya, telur, madu, dan bahan alami lainnya yang tersedia di dapur. Jadi tak perlu lagi membeli skincare yang harganya bisa dipakai untuk membeli dua karung beras.

"May…" Desaknya lagi sambil meremas jemariku yang masih bertaut dengan jemarinya. Aku dibuatnya gelagapan setelah kesadaranku kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status