Share

Frugal Living Bikin Kepala Pusing Tujuh Keliling
Frugal Living Bikin Kepala Pusing Tujuh Keliling
Author: Hana Sofia

Bab 1. Irit Pangkal Kaya

"May… kenapa sarapannya cuma ada nasi, kecap manis, kerupuk, sama sambel terasi? Mana yang lainnya?!" Cicit Mas Indra saat membuka tudung saji yang ada di meja makan. Raut mukanya tampak bingung celingukan mencari menu makanan yang dulu biasanya tersaji lengkap dan memenuhi standar empat sehat lima sempurna.

Bodo amat! 

Aku pura-pura tak mendengar keluhannya dan malah asik melanjutkan aktivitas mencuci piring bekas sarapan anak-anak tadi.

Kesal karena ku abaikan, nada suara Mas Indra mulai meninggi, "Maya Rosita! Ditanya suami kok malah diam!!" tegurnya dengan suara nyalang.

Hello, Pak Suami… apa dia lupa kalau sudah tiga bulan ini uang belanja bulananku sudah dia pangkas habis-habisan? Dari yang tadinya enam juta sebulan menjadi dua setengah juta sebulan. Lebih dari separuhnya malah, dan itu terasa banget buatku yang hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga.

Apa dia tidak tahu kalau harga sembako dan kebutuhan pokok lainnya melonjak tajam seperti grafik pertumbuhan populasi dunia. Belum lagi kedua anak kembarku saat ini sedang memasuki usia sekolah dasar dan tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Semuanya butuh uang, Mas! Bukan daun yang tinggal petik di pohon, ataupun kertas yang tinggal potong gunting saja. 

Tapi semua itu hanya berani kugemakan dalam batinku saja.

Akhirnya aku menoleh dan menjawab pertanyaannya dengan enggan, "Uang belanja sudah mepet, Mas. Sudah gak cukup kalau sampai akhir bulan." sahutku datar. Aku sudah tak ingin berdebat lagi dengannya masalah uang belanja.

"Kamu itu terlalu boros, May! Coba contoh si Mona. Dia aja bisa kok ngatur uang satu setengah juta buat satu bulan." 

Aku sangat benci ketika Mas Indra selalu membanding-bandingkanku dengan Mona, teman kerjanya yang juga seorang youtuber terkenal.

Mas… sini ku kasih tahu. Aku ini sudah punya anak dua, dan si Mona itu masih single. Jadi wajarlah kalau kebutuhan dia belum sebanyak kebutuhanku.

"Udah sih makan aja yang ada. Kan ngirit biar cepet kaya!!" Aku sengaja melontarkan kalimat sarkas karena kesal mendengar ocehannya.

Kalau diladenin tidak akan ada habisnya, dia tak pernah mau kalah berdebat.

Sebenarnya sudah berkali-kali aku menolak keras pemangkasan uang belanja yang katanya pengiritan lah, ikuti tren masa kini lah, nyobain frugal living lah, mau gemukin tabungan lah. Mas Indra selalu beralasan seperti itu saat aku memprotes kebijakannya.

Apa dia tidak tahu kalau uang bulanan dua setengah juta rupiah itu tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami sekeluarga berempat. Belum lagi kalau adiknya datang selalu meminta makanan yang enak-enak dan mewah-mewah. Cepat habislah itu uang bulananku yang tak seberapa besar.

Bukannya aku tak pandai bersyukur, tapi aku benar-benar dibuat kewalahan mengatur keuangan yang pas-pasan dari Mas Indra, suamiku.

"Huh, ya udah Mas berangkat dulu, mau sarapan di kantin pabrik saja." Tak punya pilihan lain, akhirnya suamiku memutuskan berangkat bekerja dengan kondisi perut kosong.

Ia langsung mengeluarkan motor Honda Nmax miliknya dari garasi. Aku segera mengakhiri kegiatan cuci piring yang baru saja selesai dan mengantarnya ke gerbang depan rumah. Lalu aku mencium punggung tangannya, melambaikan tangan, dan memasang senyum termanis saat ia hendak memacu sepeda motornya dengan mimik muka ditekuk.

Kalau ku pikir-pikir lucu juga sih ekspresi muka Mas Indra.

"Emang makan di kantin pabrik gratis apa? Kalau kaya gini caranya, bukannya irit tapi malah pailit!" Aku sempat mendengar Mas Indra menggerutu sambil menjalankan sepeda motornya dengan pelan. Mungkin kalau aku bisa melihat raut mukanya, pasti bibirnya sudah monyong sampai bisa dikuncir pake karet gelang bekas beli nasi uduk.

Aku memilih pura-pura tak mendengarnya dan segera berlalu masuk ke dalam rumah untuk bergantian mengurus kedua anak kembarku.

Kasihan sih sebenarnya, tapi biar sajalah, biar dia juga merasakan bagaimana penderitaanku mengelola keuangan yang pas-pasan.

"Keyra, Keyla, ayo siap-siap berangkat!" Kupanggil kedua anak kembarku untuk bersiap ke sekolah. Biasanya setelah sarapan, mereka melanjutkan kembali menonton TV acara kartun kesayangannya tentang petualangan sepasang anak kembar laki-laki, karya sineas muda dari negara tetangga sebelah.

Kedua putri kembarku langsung menghambur ke tempat dimana aku merapikan dan menata cucian piring yang sudah tiris ke tempatnya masing-masing. Mereka sudah siap dengan pakaian seragam, keduanya menenteng tas dan sepatu di tangannya masing-masing.

"Ayah sudah berangkat ya, Bu?" tanya Keyla, si kembar yang lebih dulu lahir. Ia memang mempunyai perasaan yang sangat lembut dan sedikit sensitif. Tidak seperti saudara kembarnya yang terlihat cuek dan sedikit tomboy.

"Mm." Aku mengangguk lalu ku lirik sekilas raut wajahnya yang sudah berubah menampilkan rasa kecewa dan sedih. Mungkin karena pembawaannya yang lembut jadi ia merasa kehilangan ketika diabaikan oleh ayahnya sendiri.

Aku langsung menunduk untuk membantu mereka berdua memakai sepatu.

"Memangnya kenapa kalau ayah masih di rumah? Toh dia juga gak akan peduli sama kita kan?" Aku tertegun mendengar penuturan si kecil Keyra dan memilih untuk mengikat tali sepatu Keyla terlebih dahulu.

Aku tak menyangka jika Keyra, gadis yang cuek, periang, dan pemberani ini mempunyai pemikiran seperti itu terhadap Mas Indra, ayah kandungnya sendiri. 

Apakah selama ini mereka terluka dengan sikap cuek dan dingin yang Mas Indra tampilkan di rumah.

Memang sih, beberapa kali mereka sempat menyampaikan keluhan setelah pulang bermain. Mereka ingin ayah mereka bersikap dan berlaku sama seperti ayah teman-temannya yang lain.

Mereka hanya menginginkan hal-hal sepele seperti dipamiti dan dicium sebelum ayahnya berangkat bekerja, diajak berkeliling naik motor setelah ayahnya pulang kerja, diajak jalan-jalan saat hari libur tiba, atau hanya sekedar mendapatkan buah tangan saat pulang kerja. Tapi semua itu hanya ada dalam angan-anganku dan si kembar saja. Mas Indra tidak pernah mau dekat dengan anak-anaknya.

Terburu-buru, sedang sibuk, atau sudah lelah adalah alasan klasik yang selalu ia lontarkan jika anak-anak sedang merajuk padanya.

"Udah gak usah mewek!! Kalau ayah gak mau sayang kita, setidaknya kita masih punya ibu yang sangat menyayangi kita." tegur Keyra. Ia mencoba menguatkan hati saudara kembarnya.

Aku langsung mendongak dan menatap wajah imut Keyla yang matanya sudah berkaca-kaca. Aku segera memeluknya dengan hangat dan menghapus air mata di pipinya. "Sabar ya sayang! Mungkin ayah sedang sibuk dan terburu-buru, takut terlambat sampai di pabrik."

Aku sangat memahami perasaan Keyla karena aku sendiri juga besar tanpa sosok ayah. Ibuku sakit dan menderita amnesia setelah kecelakaan yang menimpa kami saat aku masih kecil. Jadi aku tidak pernah tahu siapa dan dimana ayahku berada.

Setelah Keyla merasa sedikit tenang, aku beralih menunduk untuk berganti membantu Keyra mengikat tali sepatunya.

"Gak usah, Bu! Keyra sudah bisa sendiri  kok!" Ia menghalau tanganku dan tak membiarkanku menyentuh ujung tali sepatunya.

Aku lalu memperhatikan gadis periang itu memakai sepatu dan mengikat sendiri simpul tali sepatunya. "Benar-benar mandiri." Aku tersenyum dan bergumam dalam hati mengagumi kemandirian Keyra.

"Tunggu dulu!!" Aku tiba-tiba teringat dengan sesuatu dan segera beranjak pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status