"May… kenapa sarapannya cuma ada nasi, kecap manis, kerupuk, sama sambel terasi? Mana yang lainnya?!" Cicit Mas Indra saat membuka tudung saji yang ada di meja makan. Raut mukanya tampak bingung celingukan mencari menu makanan yang dulu biasanya tersaji lengkap dan memenuhi standar empat sehat lima sempurna.
Bodo amat!
Aku pura-pura tak mendengar keluhannya dan malah asik melanjutkan aktivitas mencuci piring bekas sarapan anak-anak tadi.
Kesal karena ku abaikan, nada suara Mas Indra mulai meninggi, "Maya Rosita! Ditanya suami kok malah diam!!" tegurnya dengan suara nyalang.
Hello, Pak Suami… apa dia lupa kalau sudah tiga bulan ini uang belanja bulananku sudah dia pangkas habis-habisan? Dari yang tadinya enam juta sebulan menjadi dua setengah juta sebulan. Lebih dari separuhnya malah, dan itu terasa banget buatku yang hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga.
Apa dia tidak tahu kalau harga sembako dan kebutuhan pokok lainnya melonjak tajam seperti grafik pertumbuhan populasi dunia. Belum lagi kedua anak kembarku saat ini sedang memasuki usia sekolah dasar dan tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Semuanya butuh uang, Mas! Bukan daun yang tinggal petik di pohon, ataupun kertas yang tinggal potong gunting saja.
Tapi semua itu hanya berani kugemakan dalam batinku saja.
Akhirnya aku menoleh dan menjawab pertanyaannya dengan enggan, "Uang belanja sudah mepet, Mas. Sudah gak cukup kalau sampai akhir bulan." sahutku datar. Aku sudah tak ingin berdebat lagi dengannya masalah uang belanja.
"Kamu itu terlalu boros, May! Coba contoh si Mona. Dia aja bisa kok ngatur uang satu setengah juta buat satu bulan."
Aku sangat benci ketika Mas Indra selalu membanding-bandingkanku dengan Mona, teman kerjanya yang juga seorang youtuber terkenal.
Mas… sini ku kasih tahu. Aku ini sudah punya anak dua, dan si Mona itu masih single. Jadi wajarlah kalau kebutuhan dia belum sebanyak kebutuhanku.
"Udah sih makan aja yang ada. Kan ngirit biar cepet kaya!!" Aku sengaja melontarkan kalimat sarkas karena kesal mendengar ocehannya.
Kalau diladenin tidak akan ada habisnya, dia tak pernah mau kalah berdebat.
Sebenarnya sudah berkali-kali aku menolak keras pemangkasan uang belanja yang katanya pengiritan lah, ikuti tren masa kini lah, nyobain frugal living lah, mau gemukin tabungan lah. Mas Indra selalu beralasan seperti itu saat aku memprotes kebijakannya.
Apa dia tidak tahu kalau uang bulanan dua setengah juta rupiah itu tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami sekeluarga berempat. Belum lagi kalau adiknya datang selalu meminta makanan yang enak-enak dan mewah-mewah. Cepat habislah itu uang bulananku yang tak seberapa besar.
Bukannya aku tak pandai bersyukur, tapi aku benar-benar dibuat kewalahan mengatur keuangan yang pas-pasan dari Mas Indra, suamiku.
"Huh, ya udah Mas berangkat dulu, mau sarapan di kantin pabrik saja." Tak punya pilihan lain, akhirnya suamiku memutuskan berangkat bekerja dengan kondisi perut kosong.
Ia langsung mengeluarkan motor Honda Nmax miliknya dari garasi. Aku segera mengakhiri kegiatan cuci piring yang baru saja selesai dan mengantarnya ke gerbang depan rumah. Lalu aku mencium punggung tangannya, melambaikan tangan, dan memasang senyum termanis saat ia hendak memacu sepeda motornya dengan mimik muka ditekuk.
Kalau ku pikir-pikir lucu juga sih ekspresi muka Mas Indra.
"Emang makan di kantin pabrik gratis apa? Kalau kaya gini caranya, bukannya irit tapi malah pailit!" Aku sempat mendengar Mas Indra menggerutu sambil menjalankan sepeda motornya dengan pelan. Mungkin kalau aku bisa melihat raut mukanya, pasti bibirnya sudah monyong sampai bisa dikuncir pake karet gelang bekas beli nasi uduk.
Aku memilih pura-pura tak mendengarnya dan segera berlalu masuk ke dalam rumah untuk bergantian mengurus kedua anak kembarku.
Kasihan sih sebenarnya, tapi biar sajalah, biar dia juga merasakan bagaimana penderitaanku mengelola keuangan yang pas-pasan.
"Keyra, Keyla, ayo siap-siap berangkat!" Kupanggil kedua anak kembarku untuk bersiap ke sekolah. Biasanya setelah sarapan, mereka melanjutkan kembali menonton TV acara kartun kesayangannya tentang petualangan sepasang anak kembar laki-laki, karya sineas muda dari negara tetangga sebelah.
Kedua putri kembarku langsung menghambur ke tempat dimana aku merapikan dan menata cucian piring yang sudah tiris ke tempatnya masing-masing. Mereka sudah siap dengan pakaian seragam, keduanya menenteng tas dan sepatu di tangannya masing-masing.
"Ayah sudah berangkat ya, Bu?" tanya Keyla, si kembar yang lebih dulu lahir. Ia memang mempunyai perasaan yang sangat lembut dan sedikit sensitif. Tidak seperti saudara kembarnya yang terlihat cuek dan sedikit tomboy.
"Mm." Aku mengangguk lalu ku lirik sekilas raut wajahnya yang sudah berubah menampilkan rasa kecewa dan sedih. Mungkin karena pembawaannya yang lembut jadi ia merasa kehilangan ketika diabaikan oleh ayahnya sendiri.
Aku langsung menunduk untuk membantu mereka berdua memakai sepatu.
"Memangnya kenapa kalau ayah masih di rumah? Toh dia juga gak akan peduli sama kita kan?" Aku tertegun mendengar penuturan si kecil Keyra dan memilih untuk mengikat tali sepatu Keyla terlebih dahulu.
Aku tak menyangka jika Keyra, gadis yang cuek, periang, dan pemberani ini mempunyai pemikiran seperti itu terhadap Mas Indra, ayah kandungnya sendiri.
Apakah selama ini mereka terluka dengan sikap cuek dan dingin yang Mas Indra tampilkan di rumah.
Memang sih, beberapa kali mereka sempat menyampaikan keluhan setelah pulang bermain. Mereka ingin ayah mereka bersikap dan berlaku sama seperti ayah teman-temannya yang lain.
Mereka hanya menginginkan hal-hal sepele seperti dipamiti dan dicium sebelum ayahnya berangkat bekerja, diajak berkeliling naik motor setelah ayahnya pulang kerja, diajak jalan-jalan saat hari libur tiba, atau hanya sekedar mendapatkan buah tangan saat pulang kerja. Tapi semua itu hanya ada dalam angan-anganku dan si kembar saja. Mas Indra tidak pernah mau dekat dengan anak-anaknya.
Terburu-buru, sedang sibuk, atau sudah lelah adalah alasan klasik yang selalu ia lontarkan jika anak-anak sedang merajuk padanya.
"Udah gak usah mewek!! Kalau ayah gak mau sayang kita, setidaknya kita masih punya ibu yang sangat menyayangi kita." tegur Keyra. Ia mencoba menguatkan hati saudara kembarnya.
Aku langsung mendongak dan menatap wajah imut Keyla yang matanya sudah berkaca-kaca. Aku segera memeluknya dengan hangat dan menghapus air mata di pipinya. "Sabar ya sayang! Mungkin ayah sedang sibuk dan terburu-buru, takut terlambat sampai di pabrik."
Aku sangat memahami perasaan Keyla karena aku sendiri juga besar tanpa sosok ayah. Ibuku sakit dan menderita amnesia setelah kecelakaan yang menimpa kami saat aku masih kecil. Jadi aku tidak pernah tahu siapa dan dimana ayahku berada.
Setelah Keyla merasa sedikit tenang, aku beralih menunduk untuk berganti membantu Keyra mengikat tali sepatunya.
"Gak usah, Bu! Keyra sudah bisa sendiri kok!" Ia menghalau tanganku dan tak membiarkanku menyentuh ujung tali sepatunya.
Aku lalu memperhatikan gadis periang itu memakai sepatu dan mengikat sendiri simpul tali sepatunya. "Benar-benar mandiri." Aku tersenyum dan bergumam dalam hati mengagumi kemandirian Keyra.
"Tunggu dulu!!" Aku tiba-tiba teringat dengan sesuatu dan segera beranjak pergi.
"Tunggu dulu!!" Aku tiba-tiba teringat dengan sesuatu dan segera beranjak menuju lemari rak piring.Aku berjongkok untuk mengambil dua wadah bekal makan yang kusimpan rapi di bagian paling bawah lemari rak piring.Kenapa aku harus menyembunyikan bekal kedua anakku? Karena aku sengaja menyembunyikan lauk ayam goreng yang ku masak pagi ini agar Mas Indra tidak ikut menyentuhnya.Suamiku itu sudah dewasa dan bisa mencari nafkah sendiri dan aku yakin tabungannya sekarang sudah menggembung. Jadi tak apalah kalau aku membuat dia mengeluarkan sedikit uangnya untuk biaya makannya sendiri.Sedangkan anak-anakku, mereka masih kecil-kecil, baru kelas 1 SD. Mereka masih membutuhkan banyak asupan gizi dan protein untuk tumbuh besar. Tak mungkin aku memberi mereka makan hanya nasi, kecap, dan kerupuk, atau ikan asin setiap hari.Tak masalah jika ukuran potongan ayamnya kecil-kecil, yang penting mereka mendapatkan asupan gizi yang cukup dan memadai. Itupun aku mengalah tak ikut mengambil lauk ayam a
"May…" Desaknya lagi sambil meremas jemariku yang masih bertaut dengan jemarinya. Aku dibuatnya gelagapan setelah kesadaranku kembali.Ia tak memberikan aku waktu untuk berpikir dengan jernih."Gimana? Hhmm? Kita coba ya?!" Mas Indra memiringkan wajahnya dan menatap lekat manik mataku untuk meminta persetujuan. Genggaman tangannya semakin mengakar di telapak tanganku.Dipenuhi oleh kabut hawa n4fsu ingin merasakan hidup kaya dan mapan, tanpa sadar aku menganggukan kepala secara samar dan menyetujui ide Mas Indra untuk menerapkan tren hidup ala frugal living yang sedang marak terjadi di ibu kota besar."Nah gitu dong." ucap Mas Indra sambil mengelus lembut pucuk kepalaku. Ia lalu mengeluarkan amplop coklat dari balik saku bajunya dan mulai menghitung dua puluh lima lembar uang pecahan seratus ribuan dan menyerahkannya padaku.Mataku mendelik tak percaya saat melihat ia menyimpan kembali sisa uang ke dalam kantong bajunya setelah memberikan jatah bulanan padaku."Yang bener saja, Mas?!
Hari Minggu telah tiba.Seperti yang Mas Indra beritahukan sebelumnya, Irfan, adik kesayangannya itu benar-benar datang ke rumah. Tanpa salam tanpa mengetuk pintu ia main menyerobot masuk ke dalam rumah."Pinjam duit seratus ribu dong!!" Ucapan Irfan sukses membuatku terkejut sampai-sampai aku menjatuhkan wajan penggorengan bekas aku menumis capcay tadi.Klonthang!"Astaghfirullah!! Ngangetin aja sih! Orang itu kalau masuk rumah pakai permisi kek, salam kek, ini main selonongan aja!!" Aku menegur manusia yang entah berasal dari planet mana ia dilahirkan, sopan santunnya sangat minim sekali."Sini!! Ada gak uangnya?" Sepertinya teguranku tak digubrisnya sama sekali. Ia malah menengadahkan tangannya untuk meminta uang dariku. Udah macam preman pasar lagi memalak tukang sayur yang mangkal di lapak umum tanpa persetujuannya.Hei manusia planet, enak kali hidupmu itu tinggal main tadah duit orang saja. Lagipula kamu itu sedang bicara sama kakak iparmu, bukan kepada temanmu. Pakailah itu se
"Astaghfirullah, Irfan!! Kenapa kamu makan duluan?! Kamu kan bisa nungguin Mas Indra sama si kembar, kita bisa makan sama-sama!" Aku menegurnya saat melihat sayur dan lauk pauk yang ada di meja makan sudah hampir tandas setengah piring. Irfan sudah memporak-porandakan isi piring saji hingga terlihat seperti makanan sisa di piring bekas di orang hajatan.Berkali-kali aku menelan ludah kecewa. Ia bahkan tak peduli apakah yang lain sudah makan atau belum, masih cukup atau tidak. Yang ia pedulikan hanyalah perutnya sendiri. Benar-benar egois!!Untung aku sudah menyisihkan sedikit dari beberapa menu yang ku masak tadi dan menyembunyikannya di lemari rak piring tempat persembunyianku. Aku memang sudah mengantisipasi akan hal ini dari awal. Dan dugaanku kejadian bener kan? Kalau saja aku belum sempat menyisihkannya, sudah pasti aku akan mengamuk dan memaki-makinya. Apa dia tidak tahu aku capek sekali membuat berbagai menu makanan dari subuh hingga siang. Seenaknya saja dia habiskan sendiria
Pov IrfanKesel deh... minggu besok, bapak dan ibu ada acara keluarga besar di luar kota. Kata mereka aku gak boleh ikut, takut mereka malu kalau banyak yang tanya pekerjaanku sekarang apa."Kamu gak usah ikut! Jagain rumah aja." Saran Bapak saat mereka sedang membahas rencana pernikahan si Salsa, saudara sepupuku yang tinggal di luar kota. Ibu yang sedang mengemas pakaian dan memasukkannya ke dalam koper langsung mengiyakan saran bapak. "Iya, kamu di rumah saja gak usah ikut!"Aku pun sedih mendengarnya. "Nanti siapa yang mengurusi Irfan kalau bapak sama ibu pergi?" protes ku karena tak diperbolehkan ikut. Lagian kenapa harus merasa malu sama anaknya sendiri? Namanya juga aku belum ketemu pekerjaan yang cocok, jadi wajarlah jika masih menganggur.Bapak mencebik kesal. "Heh, kamu itu udah besar, bukan anak TK atau anak SD lagi. Masak iya mau ngetek melulu sama orang tua. Belajarlah mandiri di rumah sendiri! Sukur-sukur mau pergi cari kerja." Ujar Bapak sedikit sewot. Mungkin dia sudah
Pov Irfan "Mmm... naik taksi online ajalah." Gumamku dalam hati saat melihat teriknya cuaca pagi ini. Masih juga pagi tapi matahari sudah bersinar begitu terang seperti di siang hari. Aku langsung mengurungkan niatku untuk naik angkutan umum dan mengutak-atik gawai guna memesan moda transportasi roda empat dari aplikasi yang didominasi oleh warna biru. Buat apa panas-panasan dan berdesak-desakan di angkutan umum kalau bisa duduk santai ditemani semilir angin dari AC mobil taksi online. Masalah ongkos itu gampang, tinggal minta sama Bang Indra atau istrinya, beres!! "Bang, tunggu sebentar ya! Saya gak bawa ongkos." pamit ku pada sang sopir saat mobil sudah sampai di rumah Bang Indra. Entah kenapa rumah abangku terasa sepi, biasanya dua keponakan kembarku bermain di halaman rumah dengan sangat berisik. Aku langsung masuk saja ke dalam rumah untuk meminta ongkos pada abangku. Tapi si4l, yang kutemui malah si Maya, istrinya Bang Indra yang cerewet dan sok ngatur. Kakak iparku itu be
Pov Irfan Hmm norak sekali kamar si kembar ini. Sudah catnya didominasi warna pink dan kuning, di sepanjang temboknya juga banyak bertebaran stiker barbie dan unicorn dimana-mana. Tapi tak apalah daripada aku tidur di depan TV. Masa iya aku tidur di kamar bareng Bang Indra sama istrinya, kan gak lucu. Belum ada setengah jam aku memejamkan mata, kudengar suara anak kecil bersahut-sahutan memanggilku dan menarik-narik tanganku. "Om, bangun Om!!" "Om, ini kamar kita. Jangan tidur di sini." Lama-lama aku tak sabar juga dan terpaksa bangun. "Heh gak sopan sekali jadi anak. Kalau ada orang lagi tidur jangan berisik! Gangguin aja." Ku bentak mereka dan itu sukses membuat mereka langsung kicep tak berani mengusikku lagi. Bahkan kulihat si Keyla langsung mewek setelah ku bentak. Aku melanjutkan tidur siang yang sempat terganggu tadi. Entah selang berapa lama dari kejadian itu, seseorang masuk kamar dan langsung memaki-maki aku. "Heh!! Irfan!! Kalau numpang itu sadar diri. Ini kamar ana
"Keyra, Keyla, dengerin ibu!!" ucapku penuh penekanan begitu membawa si kembar masuk ke dalam kamar mereka. Aku mendudukkan keduanya di kasur Keyra yang spreinya dipenuhi dengan motif unicorn. Aku berlutut untuk menyamakan tinggi dengan keduanya, "Lain kali jangan biarkan Om Irfan masuk ke kamar kalian. Kalau perlu kalian kunci dari dalam, ingat ya!" Keduanya mengangguk dengan patuh. Beberapa hari yang lalu aku mendengar kabar berita dari desa sebelah, katanya ada seorang paman yang tega berbuat kurang ajar kepada keponakannya. Jujur, aku takut banget kalau manusia alien itu berbuat hal yang tidak wajar kepada kedua putriku. Mana tau dia seorang ped*fil. Kita kan harus selalu waspada terhadap ancaman bahaya, sekalipun itu saudara ipar. "Bu, kenapa sih Om Irfan itu galak banget sama kita? Tadi aja pas keluar dari kamar, Om Irfan pelototin kita berdua lagi." Tanya si kecil Keyla yang matanya masih sedikit sembab. Mungkin dia ketakutan karena mendapat tatapan tajam dari pamannya.