Share

Bab 3. Ancaman Mendekat

"May…" Desaknya lagi sambil meremas jemariku yang masih bertaut dengan jemarinya. Aku dibuatnya gelagapan setelah kesadaranku kembali.

Ia tak memberikan aku waktu untuk berpikir dengan jernih.

"Gimana? Hhmm? Kita coba ya?!" Mas Indra memiringkan wajahnya dan menatap lekat manik mataku untuk meminta persetujuan. Genggaman tangannya semakin mengakar di telapak tanganku.

Dipenuhi oleh kabut hawa n4fsu ingin merasakan hidup kaya dan mapan, tanpa sadar aku menganggukan kepala secara samar dan menyetujui ide Mas Indra untuk menerapkan tren hidup ala frugal living yang sedang marak terjadi di ibu kota besar.

"Nah gitu dong." ucap Mas Indra sambil mengelus lembut pucuk kepalaku. Ia lalu mengeluarkan amplop coklat dari balik saku bajunya dan mulai menghitung dua puluh lima lembar uang pecahan seratus ribuan dan menyerahkannya padaku.

Mataku mendelik tak percaya saat melihat ia menyimpan kembali sisa uang ke dalam kantong bajunya setelah memberikan jatah bulanan padaku.

"Yang bener saja, Mas?! Masa iya uang bulananku dipangkas tiga setengah juta sendiri?" protesku tak terima. Mas Indra memangkas terlalu banyak jatah bulanan untukku, lebih dari separuhnya malah.

"Katanya pengen cepet kaya? Ya kita harus coba cara ini kalau mau tabungan kita cepat banyak." elaknya.

Aku hanya bisa menghela nafas panjang sebelum akhirnya menerima tumpukan uang lembaran merah. Aku berharap ikhtiar yang kujalani nanti akan membawakan kesuksesan dan kekayaannya pada keluarga kecil kami sesuai dengan planning Mas Indra.

***

"May, besok minggu si Irfan mau nginep di rumah kita satu minggu katanya. Kamu urusin adikku ya." Mataku mendelik tak percaya. Masalah baru apalagi ini?

Apa gak salah Mas Indra menyuruhku untuk mengurusi adiknya? Si Irfan ini kan sudah 22 tahun, bukan anak SD lagi. Kenapa aku harus mengurusinya? Ada-ada saja Mas Indra ini.

Dan lagian, sejak dulu aku tidak suka dengan adik iparku itu. Dia sudah besar tapi gak mau kerja, sudah begitu maunya jajan dan makan enak setiap hari. Duh, ancaman bagi dompetku sudah mengintip di depan mata.

"Tumben lama amat, Mas nginepnya?" tanyaku penasaran. Biasanya si Irfan ini hanya betah menginap barang sehari atau dua hari saja di rumah. Tak lain karena ia malas mendengar ocehanku yang selalu menyuruhnya ini dan itu.

"Ibu sama Bapak lagi ada kondangan saudara di luar kota. Si Irfan gak mau di rumah sendirian, takut gak keurus nanti." Jawab Mas Indra datar dan langsung membuat mimik mukaku berubah kesal.

Apa-apaan ini, cowok kok melempem kaya gitu. Sudah besar harusnya bisa mandiri, bukan malah bergantung kepada orangtua terus-terusan. Kalau mereka pergi jauh begini jadi repot sendiri dan malah nyusahin orang lain kan?

Baru juga ditinggal pergi seminggu, bagaimana kalo seumpama amit-amit bapak dan ibu mertuaku pergi selama-lamanya, apa dia gak kelabakan dan bakalan menjadi benalu yang menempel pada keluargaku terus menerus?

Mengetahui kegelisahanku, Mas Indra segera menoleh dan tersenyum kepadaku. "Tolong jangan marahi dia! Kamu itu harus akur sama ipar. Walaupun begitu juga kan dia adikku, kita itu lahir dari rahim yang sama. Jadi sudah seharusnya kamu menghormatinya juga." pesan Mas Indra menasehatiku.

Dalam hatiku aku berkata, tergantung adik modelan seperti apa yang harus dihormati, Mas. Kalau kaya modelan si Irfan sih, aku ogah banget! Toh dia juga gak pernah menghormati aku sebagai kakak iparnya kok.

"Terserah, Mas Indra saja lah." Kujawab dengan ketus, sudah malas rasanya ribut sama Mas Indra, "Yang penting uang belanja ditambahin! Mas tahu kan kalo adikmu itu lidahnya lidah sultan! Pengen makanannya yang enak-enak dan mahal-mahal." Sengaja kusindir kelakuan adiknya yang tak tahu diri itu. Setiap datang bertamu bukannya membawa buah tangan tapi malah seperti merampok meminta ini dan itu.

Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu mengambil dompet dari saku belakang celananya dan mengangsurkan dua lembar uang kertas warna merah padaku.

Hah, dua ratus ribu? Cukup apa dua ratus ribu untuk seminggu? Apa dia gak tahu kalo adiknya itu suka request makanan yang harganya gak masuk akal.

"Kenapa malah ngelamun? Kalo gak mau, Mas simpan lagi nih uangnya." Ucap Mas Indra seraya menarik kembali tangannya yang masih mengudara memegang dua lembar uang pecahan seratus ribuan.

"Eeitts, jangan, Mas!!" Aku langsung menarik tangannya dan merebut uang dua ratus ribu rupiah dari tangannya sebelum ia berubah pikiran kembali.

Tak apalah dua ratus ribu rupiah, itu sudah cukup untuk menyambung hidup sampai awal bulan nanti. Masalah Irfan, lihat saja akan aku kasih dia pelajaran nanti.

Anak manja itu pasti akan kapok menginap di sini lagi.

"Aku tadi mau bikin mie rebus kok gak ada stock mie sama telur, May?" tanya Mas Indra. 

Memang tadi ku lihat ia celingukan mencari keberadaan duo bahan penyelamat saat perut dilanda kelaparan pas tengah malam seperti ini. Tapi setelah melihatku ia malah menyampaikan kabar Irfan yang akan menginap.

"Stock nya sudah habis, Mas. Maya belum belanja lagi. Kan uangnya baru dikasih sama Mas barusan." 

Mas Indra langsung melengos kembali ke kamar. Kasian juga sebenarnya, tapi biar sajalah. Dia juga sudah bikin aku sama anak-anak hidup sulit kok.

Aku terkikik geli melihat punggung Mas Indra yang terlihat letoy. Mungkin dia sudah menahan lapar sejak tadi tapi tak menemukan makanan apapun di dapur. Padahal sore tadi dia sudah makan malam walaupun dengan lauk ala kadarnya.

Jangan salahkan aku kalau menu makanan di rumah kurang enak. Salahkan uang belanjamu yang kurang.

Jangan cuma memerintah untuk hidup irit dan hemat, tapi perut tidak mau ikut prihatin.

Ku buka lemari rak piring paling bawah dan seketika senyum lebar terkembang saat melihat deretan telur yang tersusun rapi di baki telur. Disampingnya berjejer bahan sembako lainnya seperti gula, teh, kopi, mie, dan lain-lainnya.

Biar saja aku menjadi orang jahat dengan menyembunyikan bahan makanan di tempat yang bahkan suamiku saja tak pernah menyentuhnya sama sekali. Aku hanya memikirkan kebutuhan si kecil yang harus terpenuhi.

Pasalnya setiap aku kekurangan uanh dan meminta uang tambahan, ia akan merepet kesana kemari dan menyalahkan aku karena tak pandai mengelola keuangan. Tapi lain halnya jika itu berhubungan dengan Irfan, dia akan sangat mudah mengeluarkan isi dompetnya. Uang dua ratus ribu yang masih dalam genggaman tanganku ini adalah contoh nyatanya.

"Kalian diem baik-baik disini ya!!" bisikku pelan dan langsung menutup lemari piring. 

Mulai saat ini lemari piring ini adalah gudang penyimpananku. Insya Allah aman, karena Mas Indra tidak pernah mau berada di dapur lama-lama.

Aku segera melangkah ke kamar si kembar yang sudah tertidur pulas untuk mematikan lampu kamar mereka. Lalu menyusul tidur di kamarku bersama Mas Indra. 

Besok pagi-pagi sekali aku harus ke pasar untuk belanja demi menyambut adik ipar tersayang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status