Ethan Ellias Zaferino, pewaris dinasti mafia paling ditakuti di Asia, mengelola jaringan usaha bawah tanah berupa perdagangan gelap, kasino ilegal, dan penyelundupan barang mewah. Namun, sebuah kecelakaan tragis membuatnya kehilangan ingatan. Tanpa identitas dan masa lalu, dia hidup sebagai Nio Alenka, seorang buruh miskin. Hidupnya berubah ketika dia menyelamatkan Zhen Ruby Ashaki, seorang wanita baik hati yang kemudian memintanya menikah untuk menghindari perjodohan. Saat ingatannya kembali karena sebuah insiden misterius, Ethan dihadapkan pada pilihan berat: kembali ke dunia kelam yang dulu dia pimpin, atau memperjuangkan cinta murni Ruby dan meninggalkan segalanya. Mampukah Ethan meninggalkan dunia dan segalanya termasuk Ruby?
View MoreDi kota Macau, pada malam yang basah dan bergelombang oleh cahaya neon, seorang pria ditemukan terkapar di bawah teriknya lampu jalan dan hujan yang mengguyur dengan garang. Tubuhnya dipenuhi luka, darah mengalir dari pelipis, pergelangan tangan terkilir, dan tulang rusuk yang kemungkinan retak.
Pria itu adalah Ethan Ellias Zaferino, nama yang bergema bagai lonceng kematian di dunia kriminal Asia. dia adalah pewaris keluarga mafia paling ditakuti, seseorang yang ditakdirkan untuk memegang kekuasaan lebih besar dari yang pernah dibayangkan. Namun malam itu, semua tentang dirinya, semua kejayaan dan kebengisan, terhapus begitu saja. Kecelakaan misterius atau mungkin pengkhianatan yang sudah lama disusun menghancurkan segalanya. Ketika matanya terbuka kembali dua minggu kemudian, dunia yang dikenalnya telah lenyap. Dia terbangun di sebuah kamar kecil dengan aroma kayu lapuk dan suara angin yang menggoyangkan jendela. Tidak ada nama yang terlintas di kepalanya. Tidak ada wajah yang teringat. Tidak ada tempat yang terasa seperti rumah. Dia bangkit dari koma tanpa identitas, tanpa masa lalu, hanya dengan kemampuan bertarung yang seolah tertanam dalam daging dan tulangnya, naluri yang tak bisa dijelaskan, bagaikan binatang liar yang tahu cara bertahan hidup bahkan tanpa ingatan. Seorang wanita tua duduk di samping ranjang, menggenggam tangannya dengan penuh perhatian. "Oh Tuhan, syukurlah," desah wanita itu lega, matanya berkaca-kaca. "Kau akhirnya sadar, Nak." Pria itu mengerjap, mencoba berbicara, namun hanya suara serak yang keluar. Nenek itu buru-buru menuangkan air ke dalam gelas kecil dan menyentuh bibirnya perlahan. "Pelan-pelan ... kau sudah tidur sangat lama." Beberapa teguk kemudian, suara seraknya berubah menjadi bisikan. "Di-di mana ... aku?" "Kau di rumahku," jawab Nenek Lina lembut. "Aku menemukanmu di jalanan, malam saat hujan deras. Luka-lukamu parah sekali, Nak. Siapa namamu?" Pria itu terdiam. Dia mencoba mencari dalam pikirannya, tetapi hanya kehampaan yang menjawab. Tidak ada nama. Tidak ada bayangan. Hanya gelap. "Aku ... aku tidak tahu," katanya lemah, kebingungan merayapi wajahnya. Nenek Lina menghela napas panjang, membelai rambut basah di dahinya. "Tidak apa-apa, Nak. Kadang, trauma membuat seseorang melupakan. Kau butuh waktu." Wanita itu tersenyum tipis, berusaha menenangkannya. "Kalau begitu," lanjutnya pelan, "dari mana asalmu? Siapa keluargamu? Mungkin kau ingat sesuatu?" Pria itu menutup matanya sejenak, mengerutkan kening dalam usaha keras untuk mengingat. akan tetapi, yang ada hanya kekosongan. Tidak ada rumah, tidak ada suara orang tua, tidak ada satu pun potongan kenangan. "Aku ... aku tidak ingat," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada pada wanita itu. Nenek Lina mengangguk, memahami. "Kalau begitu," katanya sambil tersenyum hangat, "untuk sementara waktu, kau di sini saja. Kau butuh tempat untuk pulih. Dan butuh nama untuk dipanggil." Nenek Lina menatap pria itu dengan penuh sayang, lalu mengangguk seolah membuat keputusan besar. "Aku akan memanggilmu ... Nio, Nio Alenka," katanya sambil tertawa kecil. Pria itu yang kini menjadi Nio hanya mengangguk lemah. Dalam hatinya, nama itu terasa asing. Nio memandang Nenek Lina di depannya dengan kebingungan dan rasa bersalah samar yang dia sendiri tidak mengerti. Tubuhnya masih terasa berat, tetapi dia berusaha duduk bersandar di ranjang tua itu. Nenek Lina tersenyum kecil melihat usahanya. "Aduh, pelan-pelan saja, Nak. Lukamu belum benar-benar sembuh," katanya lembut sambil membenarkan bantal di belakang punggungnya. Nio menatap wajah keriput itu, begitu penuh kasih dan ketulusan, sesuatu yang anehnya membuat dadanya hangat. "Aku ... aku merepotkanmu," bisiknya serak. Nenek Lina menggeleng cepat, matanya penuh ketegasan. "Jangan berkata begitu. Saat aku menemukamu, aku tahu kau butuh pertolongan. Tapi, maafkan aku, Nak..." Ia menarik napas panjang, seolah merasa sedikit bersalah. "Aku tidak punya cukup uang untuk membawamu ke rumah sakit." Nio hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. "Tapi aku bersyukur," lanjutnya dengan suara pelan, tetapi penuh rasa syukur, "luka-lukamu tidak terlalu parah. Luka luar saja, memar dan beberapa sobekan. Aku bisa merawatmu di sin i... dengan obat seadanya." Nenek Lina tersenyum, memperlihatkan giginya yang sudah mulai menipis. "Kadang, Tuhan tidak membiarkan kita sendirian saat benar-benar butuh bantuan," kata Nenek Lina lagi sambil mengelus punggung tangan Nio dengan lembut. Nio menatapnya. Ada sesuatu dalam cara wanita tua itu berbicara, kehangatan, ketulusan, dan kekuatan dalam kesederhanaan. Dia tidak tahu siapa dirinya, dari mana dia berasal, tapi saat itu, dia tahu satu hal kalau dia berutang nyawa kepada wanita ini. Dengan sisa tenaga, Nio berbisik pelan. "Terima kasih, Nenek ...." Nenek Lina tertawa kecil, senang mendengar panggilan itu. "Lina. Panggil Nenek Lina ya ... Kau istirahat saja dulu, Nak. Nenek akan membuatkan bubur lagi untukmu. Kau butuh banyak makan supaya cepat pulih," katanya sambil bangkit perlahan dari kursinya. *** Enam bulan telah berlalu sejak hari itu. Tubuh Nio kini telah sepenuhnya pulih berkat perawatan penuh kasih dari Nenek Lina. Setiap harinya, dia bekerja sebagai buruh di sebuah proyek konstruksi di pinggiran kota Macau, menjalani kehidupan sederhana dan jujur, jauh dari ingatan masa lalunya yang masih terkubur dalam kabut tebal. Suatu malam, saat sedang menyelesaikan pekerjaan lembur, Nio mendengar teriakan dari gang dekat lokasi pembangunan. Dia segera berlari ke sumber suara dan melihat seorang wanita muda dirampok oleh dua pria bertopeng. "Rampok! Tolong! Tas saya!" Nio menangkap pemandangan seorang wanita yang berusaha mengejar dua pria bertopeng yang membawa lari tasnya. Tanpa berpikir panjang, tubuh Nio bergerak, seolah-olah naluri lamanya yang tertidur kini terbangun dengan kekuatan penuh. Nio berlari, menyusul para perampok dengan kecepatan mengejutkan untuk seorang buruh biasa. Ketika salah satu perampok menoleh dan mencoba mengayunkan pisau ke arahnya, Nio bergerak dengan kelincahan yang tak lazim. Dengan satu gerakan terlatih, dia menahan lengan penyerangnya, memelintirnya hingga terdengar suara retakan, membuat pisau itu terjatuh ke tanah. Perampok kedua mencoba menyerangnya dari belakang, tetapi Nio seolah-olah sudah mengantisipasi. Dia berputar, menggunakan berat tubuhnya untuk menjatuhkan pria itu dengan teknik cekatan yang bahkan petarung profesional pun akan kagumi. Dalam hitungan detik, kedua perampok itu tergeletak di tanah, mengerang kesakitan. Nio mengatur napasnya, menatap kedua pria itu dengan sorot mata dingin yang bahkan membuat mereka terlalu takut untuk bangkit kembali. Namun, mereka tetap memilih kabur. Wanita itu, Ruby terengah, syok, tetapi tidak terluka. Dia menatap pria asing yang menyelamatkannya. “Siapa Kau? Bagaimana bisa Kau bertarung seperti itu?” Nio hanya diam beberapa detik sebelum menjawab pelan, “Aku ... Nio. Hanya itu yang kutahu.” “Ah begitu rupanya, tapi apa Kau baik-baik saja?” tanya Ruby khawatir. Nio hanya mengangguk dan berjalan meninggalkan tempat itu. “Tunggu!” tiba-tiba Ruby berteriak menghentikan Nio. “Kau mau ke mana? Apa Kau akan membiarkan aku berdiri di sini seorang diri? Bagaimana jika orang-orang itu kembali dan menyakitiku?” tanya Ruby panjang tanpa koma. Nio berbalik dan berpikir sejenak. Lalu dia pun menjawab, “Hanya satu tempat yang aku tahu.” Bersambung ...Menjelang tengah malam, pelabuhan Jepang semakin sunyi, hanya diwarnai suara ombak yang memecah dermaga dan derit baja kapal yang sesekali terdengar. Lampu-lampu sorot dari menara pelabuhan memantulkan cahaya pucat ke permukaan laut, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalur bongkar muat.Sarah duduk di sebuah peti kayu, tangannya tak henti-henti meremas ujung jaketnya. Nikolai mondar-mandir di tepi dermaga, menghisap cerutu yang sudah hampir habis, wajahnya tegang. “Ini sudah hampir tengah malam, Ethan,” gumamnya sambil menatap Nio yang berdiri menghadap kapal. “Tak ada tanda-tanda mereka akan mulai menurunkan barang. Kau yakin orang itu akan datang?”Nio hanya diam. Tatapannya tertuju pada kapal barang mereka yang masih terikat di dermaga, kontainer-kontainer berwarna biru dan merahnya berdiri seperti menara tak tersentuh. Sejak tadi sore, ia memang tak banyak bicara. Bagi Sarah, keheningan Nio terasa menyesakkan.Waktu terus bergulir. Jam digital di ponsel Sarah menunjukkan p
Di kursi penumpang, Sarah bersandar sambil memandangi jalanan Tokyo yang mulai padat. Ia masih bisa merasakan ketegangan dari semalam hingga siang ini, bercampur dengan rasa khawatir. “Kalau sampai tengah malam dia tetap diam, apa yang akan kau lakukan?” tanyanya akhirnya.Nio menatap lurus ke depan, fokus pada jalan. “Kalau dia diam… maka aku akan cari jalan lain. Tapi sampai saat itu, aku akan tetap menunggu.”Sarah tidak membalas, hanya menghela napas panjang. Entah kenapa, meski pikirannya penuh kekhawatiran, hatinya percaya bahwa Nio selalu punya rencana meski terkadang rencana itu penuh risiko yang tak masuk akal.Mobil mereka pun melaju, meninggalkan rumah Tuan Yakuza dan membawa pesan yang entah akan mendapat jawaban… atau berakhir sebagai sebuah tantangan yang tidak pernah diindahkan.***Pelabuhan sore itu dipenuhi suara burung camar dan aroma asin laut yang terbawa angin. Kapal-kapal besar tampak berderet, sebagian masih dalam
Nio menarik napas panjang, sebelum akhirnya menjawab, “Karena aku tahu kau merindukan keluargamu, Tuan. Dan aku yang membawakan putrimu kembali padamu. Anggap saja ini sebagai awal hubungan baru… yang saling menguntungkan.”Ucapan itu membuat Tuan Yakuza terdiam. Ia menatap Sarah beberapa saat, lalu kembali pada Nio. Sorot matanya kini lebih sulit dibaca antara marah, terkesan, dan penasaran.“Aku akan berpikir,” katanya akhirnya. “Tapi ingat, Ethan… sekali kau membuatku kecewa, tidak akan ada lagi negosiasi.”Nio mengangguk sekali, lalu melangkah mundur. “Itu risiko yang sudah kupahami sejak awal.”Udara di ruangan masih terasa berat, tapi ketegangan sedikit mereda. Sarah menghela napas lega, walau dalam hati ia masih khawatir karena ia tahu, ini baru permulaan dari permainan yang jauh lebih berbahaya.***Pagi pun tiba, aroma kopi hitam memenuhi ruang tamu rumah besar Tuan Yakuza. Nio duduk santai di kursi panjang, menyandarkan
Tatapan Tuan Yakuza mengeras mendengar jawaban Nio. Udara di ruangan itu seakan membeku, dan hanya terdengar bunyi jam dinding tua yang berdetak pelan. Sarah yang berdiri di samping Nio merasakan jantungnya berdegup semakin cepat, takut kalau-kalau percakapan ini akan berakhir dengan letusan peluru atau pedang yang terhunus.Tuan Yakuza mengangkat dagunya sedikit, lalu menatap lurus ke arah Nio.“Kau… benar-benar berani bicara begitu padaku, bocah,” ucapnya pelan, namun setiap kata mengandung ancaman. “Kalau benar aku yang mengundang, lalu apa maksudmu datang bersama anakku di jam seperti ini?”Nio tetap santai, meski tatapan matanya tak pernah goyah.“Karena aku tidak datang untuk main-main,” jawabnya tegas. Ia melangkah dua langkah lebih dekat, membuat dua penjaga Tuan Yakuza otomatis merapatkan posisi, siap bertindak jika diperintah.“Aku datang untuk membicarakan sesuatu yang bahkan kau sendiri takkan abaikan.”Tuan Yakuza terkekeh pelan, meski nada tawanya terdengar sinis. “Lucu
Nikolai mendengus pelan, lalu melangkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi.Nio menarik napas panjang, menatap hamparan pelabuhan yang terbentang di depannya. Angin laut yang dingin masih menyelimuti pelabuhan saat Nio berjalan cepat menuju mobil sewaan yang sudah disiapkan sejak kemarin. Di belakangnya, Sarah mengejar dengan tatapan bingung.“Ethan, kau mau ke mana?” tanyanya heran, menarik jaketnya lebih erat ke tubuh.Nio membuka pintu mobil, lalu menoleh dengan senyum tipis yang mencurigakan. “Ayo ikut. Aku tak mau pergi sendirian.”Sarah mengerutkan kening. “Pergi ke mana?”“Ke Tokyo,” jawab Nio singkat.“Tokyo? Tengah malam begini?” Sarah memandangnya dengan ragu. “Ada urusan apa di sana?”Nio masuk ke kursi kemudi dan menyalakan mesin. “Ayahmu sudah menunggu kedatanganku.”Sarah terdiam di tempatnya, tubuhnya membeku oleh pernyataan itu. “Ayahku?” tanyanya, seakan tak percaya dengan apa yang baru
Ruby hanya mengangguk pelan. Matanya menerawang ke jendela, menatap langit biru yang terasa jauh dan dingin.Nio… apa yang sebenarnya sedang kau hadapi sendirian?“Kalau begitu saya pamit Bu Ruby,” ucap Thomas.“Ya, berikan saya informasi apa pun meski pun itu sesuatu yang masih meragukan,” perintah Ruby dengan serius.“Baik, permisi.”Setelah Thomas berpamitan dan meninggalkan ruangan, Ruby masih berdiri terpaku di tengah ruang kerjanya. Matanya kosong, pikirannya terus berputar tanpa arah. Detak jam dinding terdengar jelas di antara keheningan, seolah menertawakan kekalutan yang melanda dadanya.Ruby mulai mondar-mandir, langkahnya tak menentu, seolah berharap dengan berjalan, pikirannya bisa lebih jernih. Namun yang ada, kegelisahan semakin menusuk. Bayangan wajah Nio, suara tawa dan tatapannya semalam terus terngiang. Mengapa harus sekarang? Mengapa tanpa sepatah pun kata perpisahan?Pintu ruangannya terbuka pelan. L
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments