Share

2 - Kita

Penulis: Everdine37
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-10 17:55:29

Ini seperti buah simalakama.

Maju kena, mundur kena.

Kalau aku kembali ke aula, aku akan mendapati pengantin bahagia itu di depan sana. Kalau aku ke taman, lelaki aneh itu mungkin masih disana. Paling tidak berpapasan dengannya. Aku saja menghindari menghirup udara yang sama dengannya. Bisa-bisa aku keracunan.

Jadi langkahku berhenti di lobi utama yang lengang, duduk di salah satu sofa tunggalnya yang nyaman dan empuk, lantas pura-pura sibuk membaca majalah. Itu majalah fashion terbaru, lumayan juga isinya, tidak buruk. Bisa menjadi inspirasiku besok kalau sedang keluar dengan teman.

Baru-baru ini aku menyukai gaya ala gadis Korea yang lucu dan imut-imut, padahal sebelumnya aku menyukai gaya yang riasannya agak berat karena gandrung sekali dengan Tasya Farasya. Entahlah, seleraku berubah-ubah begitu.

Sekian lama memandangi majalah itu, akhirnya aku merasa bosan. Aku benar-benar tidak ingin kembali ke sana. Jadi dengan nekad, aku memesan taksi dan pulang ke rumah tanpa memberi tau orang tuaku. 

Begitu sampai, sudah membersihkan diri dan mengenakan piyama, aku baru membuka ponsel untuk menghubungi orang tuaku. Pada saat itu ada banyak sekali panggilan, juga pesan, berisi nada panik karena tidak mendapati aku ada dimana pun. Mama berpikir aku diculik oleh oom-oom mesum dan dibawa ke hotel. Oh ya ampun, yang benar saja, memangnya aku ini selera oom-oom?

'Lyra, kamu dimana?'

'Lyra, angkat teleponnya!'

'Lyra, kamu diculik?!!!'

Dan, Lyra begini, Lyra begitu. Panik sekali, seperti aku tidak bisa menjaga diri. Padahal Maxi sudah mengajariku beberapa teknik kuncian untuk pertahanan diri. Kan lumayan. 

Pesan-pesan dari Ayah dan Mama juga datang beruntun, membuatku merasa aneh karena, lucu sekali mendapati mereka mengkhawatirkanku. Dengan cepat, aku mengetik balasan, 

'Aku meriang, jadi aku pulang duluan.'

Lalu ada pesan lain, darinya. Dia yang saat ini sudah jadi suami orang dan sedang jadi orang paling bahagia di pelaminan sana. 

Saverio. 

'Kamu dimana? Kakak mencari sejak tadi.'

'Kenapa tidak diangkat panggilan kakak?'

'Lyra, kakak khawatir.' 

'Lyra, maafkan kakak.'

Aku bingung hendak membalasnya atau tidak. Dia masih peduli padaku, setidaknya itu yang kupikirkan begitu membaca pesannya. 

Tapi peduli yang seperti apa? Peduli karena rasa bersalah? Atau peduli karena basa-basi semata? Mungkin. 

Mungkin juga ia mencariku karena melihat orang tuaku panik mencari putri tunggal kesayangan mereka yang banyak maunya ini.

Tapi akhirnya kuputuskan untuk hanya mengirimi emoticon 'oke' pada bagian ia meminta maaf. Aku tidak menggubris pesan sebelum-sebelumnya. Apakah aku betulan menerima maafnya? Tentu saja tidak. Aku sedang muak dan tidak ingin memperpanjang pembicaraan dengannya. 

Kubuka lagi pesan lain, kali ini dari nomor tidak dikenal, yang isinya absurd sekali.

'Gadis kecil, kamu dimana? Jangan bilang kalau kamu betulan ke dukun dan mengirim santet?!!!!'

Oh. Sebentar! Orang ini, bagaimana caranya ia mendapatkan nomorku? Jangan-jangan dia mendapatkannya karena menggeledah buku tamu? 

Tapi... sudahlah. 

Aku lantas mengirimnya emoticon 'oke' lagi dan menutup ponsel. Ketika aku memejamkan mata untuk tidur, nyanyian itu terngiang lagi, dengan suara berat yang sama sekali tidak cocok.

Aku meriang, aku meriang, merindukan kasih sayang, ,

Sial, suaranya sumbang. Tapi malah terngiang! 

***

Hari ini aku bangun siang. Tidak siang betulan, hanya sedikit terlambat dari jam bangun pagiku. Yahh, jam 8 tidak terlalu siang kan? 

Aku tidak memiliki agenda lain di sekolah selain mengambil rapor dan ijazah bersama Maxi, sahabat kentalku yang kentalnya melebihi darah. Maxi bersedia menjemputku kapan pun ia luang, namun ia juga tak segan mendepakku pergi kalau aku menjahilinya. 

Maxi bersedia berkelahi kalau ada yang menggangguku, tapi ia juga jadi orang nomor satu kalau membalas kejahilanku. Tipikal sahabat sejati yang pendendam tapi dibuang sayang.

Pagi ini, usai buang hajat, aku mengirim pesan kepada Maxi, jemput aku *emoticon cium*. 

Semenit kemudian, balasannya muncul di ponselku, *emoticon kotoran*. 

Aku buru-buru membalasnya sementara sikat gigiku masih di mulut, kujepit dengan gigi geraham, dan mengetikkan balasan, *emoticon babi*. 

Lalu ponselku kutaruh lagi. Karena sulit sekali berhenti bertukar pesan dengan Maxi. Kami bahkan bisa menghabiskan setengah jam sendiri hanya untuk saling bertukar pesan yang isinya emoticon binatang alih-alih kata. 

Setelahnya aku segera merampungkan mandiku, mengenakan seragam untuk terakhir kalinya, dan turun untuk sarapan. Ayah sudah berangkat kerja lebih dulu, tinggal Mama yang masih berkutat di dapur dengan mikser.

"Pagi, Mam," sapaku sebelum meneguk susu. "Buat apa?"

"Kue bolu untuk Saverio." Lalu sedetik kemudian, Mama sudah mendelik ke arahku seolah teringat sesuatu. "Kemana saja semalam?! Kenapa tidak bilang kalau sudah pulang? Kami mencarimu! Saverio bahkan membatalkan penerbangannya ke Belitong untuk bulan madu!" 

Aku yang sedang mengunyah sandwich, mendadak hilang selera. Seharusnya hari ini pikiranku terbebas dari apapun tentang Saverio karena setelah dari sekolah, aku akan pergi nonton dengan Maxi. Dia tumben tidak pelit, mau mentraktir tiket nonton beserta konsumsinya. 

"Kasihan Saverio, dia sudah sangat lelah karena pesta pernikahannya yang seharian tapi tetap memaksakan diri mencarimu." Mama masih melanjutkan ucapannya sembari mengawasi adonan bolunya. "Bulan madu Saverio dan Angela betulan dibatalkan karena kamu tidak ada kabar. Kalaupun diagendakan lagi, masa cutinya sudah selesai. Saverio harus kembali bekerja." 

"Kenapa begitu?" tanyaku heran, setengah malas. "Dia kan anaknya direktur. Penerus perusahaan pula." 

"Nah, ini!" Mama menudingku melalui tatapannya yang agak jengkel. "Ini lah kenapa, waktu Saverio se-usia kamu, dia sudah terlihat akan jadi orang sukses di masa depan. Kalian punya pola pikir yang berlawanan." 

"Tidak semua orang sukses memiliki langkah yang sama." 

"Menjawab terus kalau diberi tau." 

Aku mengerucutkan bibir, sudut hatiku merasa kalau Mama sering kali kesal dengan apa yang kukatakan. "Jadi bolu itu untuk penebusan rasa bersalah, begitu?" Tanyaku malas.

Mama mengangguk. "Harusnya kamu yang membuat bolu ini." 

"Kalau itu aku, lebih baik aku beli. Tidak ribet," sahutku lagi.

Mama mendelik lagi, tampak jengkel dengan sahutanku yang tidak merasa berdosa sama sekali karena sudah membuat sepasang pengantin membatalkan bulan madu mereka.

Eh, tunggu dulu? Secara tidak langsung berarti aku membatalkan bulan madu mereka?

Sudut bibirku menyunggingkan senyum kemenangan, merasa cukup puas sudah sedikit memberi andil atas batalnya perjalanan bulan madu mereka.

Apakah ini yang namanya rasa ingin balas dendam? 

Suara klakson motor di luar membuyarkan lamunanku. Aku meraih ransel kosong yang hanya berisi dompet dan ponsel, tidak lupa membawa serta sandwich yang masih belum habis, pamit pada Mama hanya dengan kiss bye, dan mengenakan sepatuku sebelum naik ke motor Maxi. Sialnya, cowok itu sudah mencomot sandwich yang kubawa dan memakannya cepat-cepat.

"Supir juga perlu makan," ujarnya segera sebelum aku naik darah. 

"Aku baru makan dua gigit!" protesku, memukul bahunya tidak terima, sambil menaiki motornya. "Yang jelas, nanti siang harus traktir mie ayam." 

Maxi tak menyahut sampai aku mencubit pinggangnya agar ia menyahut. "Iya!! Sudah bagus dibelikan tiket nonton, masih minta traktir. Jahara memang!" 

Aku menggeplak helmnya dari belakang. Ups! Sepertinya agak keras. Membuat sahabatku itu mengomel lagi sembari menyalakan mesin motor. 

Ketika motor melaju, dan seolah ada yang menarik firasatku, aku menoleh ke belakang. 

Dia ada disana, berdiri di halaman rumahnya seraya memegang kunci mobil dengan marah, menatapku lurus tanpa ekspresi.

Saverio. Dia tidak pernah suka kalau aku dekat dengan laki-laki lain. Sekalipun laki-laki lain itu adalah Maxi. 

***

"Serius?! Kamu mengambil kuliah tata boga?" Maxi tiba dengan 2 mangkuk mie ayam dan duduk di seberangku, menyodorkan satu mangkuk untukku.

"Iya, serius." Aku mengangguk.

"Seingatku dulu ada yang pernah bercita-cita jadi desainer." 

"Itu kan dulu." 

"Memangnya kamu bisa masak?" Maxi menatapku ragu. "Gula dan garam saja tidak bisa membedakan, apalagi telur ayam dan telur bebek."

"Aku tidak separah itu tau!" 

Maxi hanya mengendikkan bahu dan menaruh sesendok sambal di mangkuknya.

Kami baru saja selesai mengambil rapor dan ijazah, lalu aku menagih janji Maxi untuk mengganti sarapanku yang tadi dicomotnya seenak jidat. Maka disinilah kami, terdampar di kantin ramai yang akan kami rindukan saat sudah lulus.

Omong-omong, mie ayam disini memang juara! Ayamnya tidak pelit dan ceker pedasnya tidak ada tandingan. 

"Apa motivasimu mengambil tata boga?" Maxi bertanya lagi. 

"Supaya bisa makan enak dan gratis," sahutku spontan. Kadang spontanitasku membuat orang lain jengkel. Lihat saja Maxi yang sekarang malah mendengus. 

"Dasar fakir."

"Hardik saja aku sepuas hatimu," ujarku dramatis.

Maxi mengerucutkan hidungnya, jijik oleh tingkahku kalau sudah drama. 

"Omong-omong, yang lain mana?"

"Masih di kelas. Beruntunglah alfabet nama kita bukan huruf terakhir." 

Aku mengamininya. "Diberkatilah Mama. Namaku aman di barisan tengah." 

10 menit kemudian saat mie ayam kami mulai habis, satu persatu teman-teman kami menghampiri. Ada Vernon, Eric, Viona, dan Zannabelle.

Jujur saja, aku awalnya bingung kenapa nama Zana tidak sekalian Annabelle saja biar seram, tapi waktu aku bertanya, pinggangku malah dicubitnya. Barulah ia menjelaskan kalau mulanya, namanya memang Annabelle. Tapi sudah diganti baru-baru ini karena mirip boneka setan yang terkenal itu. 

"Jadi kita nonton apa?" Viona duduk di sebelahku dan mencomot es jerukku tanpa ijin.

"Zannabelle Creation," jawabku diseram-seramkan.

Eric tertawa lepas bersama Vernon sambil menggebrak meja. Zana menjewer telingaku, tapi ia duduk di sebelahku.

"Serius!"

"Spiderman, Far From Home."

"Tapi setelah itu Zannabelle ya," pintaku, yang membuatku mendapat jeweran lagi.

Aku mendesis minta ampun, sementara Maxi akhirnya tertawa melihatku disiksa.

***

[] 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    26 - Impian Yang Fana

    Meski baru kenal, Ibu benar soal satu hal. Bahwa aku berbagi kebahagiaan lewat masakan. Itu salah satu filosofi memasak yang kupelajari di kampus, yang membuatku memiliki motivasi dan memasak dengan bahagia untuk Saverio. Melalui filosofi, kita memang jadi lebih memaknai sesuatu yang ada di hadapan dibanding tidak mengetahui maknanya sama sekali.Sekarang, aku bahkan berbagi kebahagiaan yang lebih luas dengan anak-anak panti.Dan melihat mereka makan dengan lahap, sembari tertawa bahagia melihat potongan buah yang dibalut cokelat, aku juga bahagia.Dan Saverio benar. Berbagi seperti ini, membuatku merasa lebih baik. "Vivi, udangnya tambah lagi ya," ujarku pada seorang anak perempuan pemalu yang duduk di sebelah kananku di kursi makan.Vivi mengangguk malu-malu. Aku mengambilkan sepotong besar udang goreng rambutan untuk menemani nasinya yang belum habis. "Sama supnya juga ya."Lagi-lagi Vi

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    25 - Baby Saviera

    Ketika semuanya selesai, aku membereskan dapur dan langsung mandi. Acara bersih-bersihnya saja sampai satu jam lebih, jadi aku tidak heran ketika aku dan Saverio sudah siap keluar ketika hari beranjak senja. Langit cakrawala di luar warnanya sudah seperti es krim favoritku, kuning ke oranye ke kemerahan.Terakhir, aku menyemprotkan parfum ke sekitar leher dan pergelangan tangan, bertepatan dengan Saverio yang juga baru selesai menerima telepon di balkon.Aku mengamati Saverio. Laki-laki itu juga sudah ganti pakaian yang lebih santai dengan celana bahan yang merupakan celana wajib dan kaos Polo warna hitam. Dan rambutnya rapi seperti biasa dengan potongan cepak.Aku sendiri hanya mengenakan celana jeans dan blouse warna merah muda, cukup rapi dan sopan untuk dipakai berkunjung ke panti asuhan.Aku membawa satu box berukuran sedang berisi gorengan yang tadi kumasak dan masih menguarkan aroma menggiurkan, sementara Saverio me

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    24 - Bertambah Dewasa

    Secara singkat, apa yang terjadi semalam dimana Saverio bertelepon dengan orang yang pembicaraannya membuatku penasaran, segera saja aku melupakan hal itu keesokan paginya.Karena hal pertama yang menyapaku di pagi hari itu begitu membuka mata adalah, sesuatu yang agak berat melingkari pinggangku dan sesuatu yang hangat terasa menghangatkan punggungku.Aku berbalik, membuat Saverio yang tadinya tidur seraya memelukku dari belakang ikut membuka mata dengan berat. "Pagi, Lyra," sapanya dengan suara serak. Sesaat kemudian, matanya sudah terpejam lagi.Aku tersenyum kecil, membalas, "Pagi juga. Sejak kapan Kakak ada di kamarku?" Karena seingatku, sesudah kami minum semalam, aku dan Saverio berlalu ke kamar masing-masing.Karena masih mengantuk, aku langsung tidur lagi dan tidak menyadari apalagi yang terjadi setelah itu. Sekedar mimpi Saverio datang saja tidak.Saverio melenguh sebentar, menjawab dengan suara pelan yang lebih mirip igauan saat tidur, "Jam dua pagi

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    23 - Telepon Tengah Malam

    Usai makan malam, kami membereskan balkon bersama. Di tengah kegiatan itu, aku menyetel musik-musik indie yang rasanya nyaman sekali diputar di saat seperti ini. Malam santai, balkon di ketinggian gedung apartemen, vibes langit malam Jakarta, dan musik indie. Menyenangkan sekali menikmati semua perpaduan itu setelah hari yang melelahkan di kampus dan jalanan Jakarta yang banyak macetnya.Aku bergabung dengan Saverio untuk membereskan lilin lampu mungil dan menaruhnya di kardus yang dipegang laki-laki itu. Kemudian, bersama Saverio, kami mengangkut meja dan kursi kembali ke ruang makan. Hal yang tidak kusangka adalah, bahwa perabot itu cukup berat rupanya."Kakak, padahal aku sama sekali tidak masalah makan malam di dalam," kataku, kembali mengawali pembicaraan.Saverio masih menatapku, menunggu kalimatku selanjutnya yang bilang,"Kakak kan baru sembuh dari tipes. Mengangkut perabot begini sendirian bisa melelahka

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    22 - Laki-laki Yang Jatuh Cinta

    "Bagaimana hari Kakak di kantor?" Aku bertanya di tengah kegiatan makan malam romantis dadakan di balkon ini."Oh--" Saverio menelan makanannya sejenak, kemudian menjawab, "Tidak terlalu baik. Tapi itu hanya masalah sehari-hari di kantor."Ah iya. Dulu Saverio kerap kali bercerita kalau di kantor sedang ada sedikit masalah yang kadang membuatnya terlambat datang atau bahkan terpaksa membatalkan janji nonton denganku.Ayah juga kadang cerita pada Mama beberapa masalah kecil yang dilaluinya di kantor, yang tidak sengaja kudengar tentu saja.Terkadang, Mama juga kerap kali kelepasan membahas kalau dia sedang ada masalah di tempat kerjanya saat memarahiku karena aku pulang terlalu malam bersama Maxi.Jadi aku selalu menganggapnya sebagai 'masalah sehari-hari' sebagaimana yang dibilang Saverio barusan. Toh aku juga punya masalah sehari-hari di sekolah atau di kampus. Dan tentu saja, masalahku biasanya masih sesuai kapasitas remaja perempuan di

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    21 - Makan Malam Romantis

    Nanti malam tidak perlu memasak. Kita akan makan di luar. Kakak berhasil dapat tempat untuk kita.'Begitulah isi pesan teks Saverio saat sebelumnya aku bilang kalau aku perlu belanja untuk menyiapkan makan malam. Sejenak, aku mendiamkan pesan itu dan menatap piring batagorku. Rasanya ada yang mengganjal di hatiku mengenai isi pesan itu."Nanti malam bagaimana?" Kina bertanya tiba-tiba di antara keriuhan kantin fakultas yang agak ramai karena jam makan siang. Aku mengalihkan atensi dari sepiring batagor yang isinya tinggal separuh sekaligus memecah lamunanku tentang Saverio, dan juga mematikan ponselku, kemudian menatap Kina dengan kening berkerut. "Apanya yang nanti malam?" Kina berdecak, dia menyodorkan ponsel yang sedari tadi diperhatikannya. "Tentu saja nonton, apalagi? Yang kita bahas di kelas sejak tadi.""Aku tidak bisa," sahutku tanpa berpikir panjang, kemudian menyuap batagorku dengan cuek. Tentu saja, aku mau berpikir apal

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    20 - Morning Glory

    Hari ini, sudah hampir sepuluh hari Saverio pemulihan di apartemen pasca rawat inap karena thypus dan tampaknya dia sudah mulai bosan setengah mati.Selama dua hari terakhir, Saverio hanya duduk di sofa dengan gurat bosan yang dia tunjukkan kalau ada aku, sembari fokus dengan layar iPad yang jadi teman setianya selama beberapa hari ini. Aku juga menyaksikan apa saja kegiatannya itu, yang tidak jauh-jauh dari laporan kantor dan kabar dari panti asuhan.Karena dia tidak punya kerjaan, Saverio seringkali menyibukkan dirinya untuk mengirim sesuatu ke panti selama setiap hari. Pagi hari dia mengirim susu, siang hari mengirim buah, dan sore hari mengirim puding.Tentu saja. Menghabiskan uang untuk anak panti yang jumlahnya bahkan tidak sampai sepuluh anak itu memang tidak berpengaruh sama sekali buat Saverio. Lalu karena fisik Saverio tampaknya sudah mulai prima lagi, maka aku juga sudah membolehkannya kembali ke kantor. Tentu

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    19 - Panti Asuhan

    Mata kuliah Ilmu Gizi pagi ini selesai, kemudian berlanjut ke Dasar Boga sampai siang. Selama dua kelas itu aku berpisah dengan Kina karena dia mengambil mata kuliah yang berbeda. Namun tidak urung, Maxi mengirimiku pesan. 'Ayo makan siang di warung bebek bakar belakang kampus,' ketiknya. Aku menepi sebentar di tangga agar mahasiswa lain di belakangku bisa lewat, kemudian membalas, 'Lain kali saja, aku mau mengambil laptop untuk mengerjakan tugas' 'Kan bisa sambil makan siang,' balasnya. Aku buru-buru mengetik, 'Memangnya kamu bisa membiarkan mengerjakan tugas? Kamu kan selalu mengajakku nonton' 'Benar juga. *Lol* Ya sudah, kapan-kapan saja kalau begitu' 'Oke' Dan aku segera memesan ojek online untuk mengantarku ke kost yang banyak sekali mahasiswa keluar masuk dengan bebas. Mereka bahkan tidak akan peduli kalau aku tidak pulang ke tempat ini selama berhari-hari. Bahkan mungkin mereka tidak men

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    18 - Prioritas

    "Kamu pulang..." Saverio kembali bergumam lirih, seolah memastikan bahwa apa yang dikatakannya benar. Bahwa mau berapa kali pun dia mengatakan bahwa aku pulang, maka tidak ada yang membantahnya. Termasuk aku. Yang terisak keras di pelukannya. "Iya, aku pulang," sahutku tersedu. Saverio membawa langkah kami memasuki apartemennya dan menutup pintu di belakangku dengan mudah. Laki-laki itu lantas mengurai pelukan kami dan menatap wajahku lekat. Kedua tangan lebar dan hangat Saverio menangkup wajahku. Kedua ibu jarinya mengusap air mata yang masih bercucuran di pipiku. "Kamu disini," gumamnya. Matanya tampak berkaca-kaca. Tapi kemudian kusadari bahwa mataku-lah yang berkaca-kaca lagi. "Kamu tidak akan pergi lagi kan?" "Tidak." "Kamu tidak akan meninggalkan Kakak lagi kan?" Bertanya, seolah untuk memastikan bahwa kami bertemu bukanlah untuk berpisah lagi. Aku menggeleng, menangis lagi. "Aku mau disini... bers

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status