Ini seperti buah simalakama.
Maju kena, mundur kena.
Kalau aku kembali ke aula, aku akan mendapati pengantin bahagia itu di depan sana. Kalau aku ke taman, lelaki aneh itu mungkin masih disana. Paling tidak berpapasan dengannya. Aku saja menghindari menghirup udara yang sama dengannya. Bisa-bisa aku keracunan.
Jadi langkahku berhenti di lobi utama yang lengang, duduk di salah satu sofa tunggalnya yang nyaman dan empuk, lantas pura-pura sibuk membaca majalah. Itu majalah fashion terbaru, lumayan juga isinya, tidak buruk. Bisa menjadi inspirasiku besok kalau sedang keluar dengan teman.
Baru-baru ini aku menyukai gaya ala gadis Korea yang lucu dan imut-imut, padahal sebelumnya aku menyukai gaya yang riasannya agak berat karena gandrung sekali dengan Tasya Farasya. Entahlah, seleraku berubah-ubah begitu.
Sekian lama memandangi majalah itu, akhirnya aku merasa bosan. Aku benar-benar tidak ingin kembali ke sana. Jadi dengan nekad, aku memesan taksi dan pulang ke rumah tanpa memberi tau orang tuaku.
Begitu sampai, sudah membersihkan diri dan mengenakan piyama, aku baru membuka ponsel untuk menghubungi orang tuaku. Pada saat itu ada banyak sekali panggilan, juga pesan, berisi nada panik karena tidak mendapati aku ada dimana pun. Mama berpikir aku diculik oleh oom-oom mesum dan dibawa ke hotel. Oh ya ampun, yang benar saja, memangnya aku ini selera oom-oom?
'Lyra, kamu dimana?'
'Lyra, angkat teleponnya!'
'Lyra, kamu diculik?!!!'
Dan, Lyra begini, Lyra begitu. Panik sekali, seperti aku tidak bisa menjaga diri. Padahal Maxi sudah mengajariku beberapa teknik kuncian untuk pertahanan diri. Kan lumayan.
Pesan-pesan dari Ayah dan Mama juga datang beruntun, membuatku merasa aneh karena, lucu sekali mendapati mereka mengkhawatirkanku. Dengan cepat, aku mengetik balasan,
'Aku meriang, jadi aku pulang duluan.'
Lalu ada pesan lain, darinya. Dia yang saat ini sudah jadi suami orang dan sedang jadi orang paling bahagia di pelaminan sana.
Saverio.
'Kamu dimana? Kakak mencari sejak tadi.'
'Kenapa tidak diangkat panggilan kakak?'
'Lyra, kakak khawatir.'
'Lyra, maafkan kakak.'
Aku bingung hendak membalasnya atau tidak. Dia masih peduli padaku, setidaknya itu yang kupikirkan begitu membaca pesannya.
Tapi peduli yang seperti apa? Peduli karena rasa bersalah? Atau peduli karena basa-basi semata? Mungkin.
Mungkin juga ia mencariku karena melihat orang tuaku panik mencari putri tunggal kesayangan mereka yang banyak maunya ini.
Tapi akhirnya kuputuskan untuk hanya mengirimi emoticon 'oke' pada bagian ia meminta maaf. Aku tidak menggubris pesan sebelum-sebelumnya. Apakah aku betulan menerima maafnya? Tentu saja tidak. Aku sedang muak dan tidak ingin memperpanjang pembicaraan dengannya.
Kubuka lagi pesan lain, kali ini dari nomor tidak dikenal, yang isinya absurd sekali.
'Gadis kecil, kamu dimana? Jangan bilang kalau kamu betulan ke dukun dan mengirim santet?!!!!'
Oh. Sebentar! Orang ini, bagaimana caranya ia mendapatkan nomorku? Jangan-jangan dia mendapatkannya karena menggeledah buku tamu?
Tapi... sudahlah.
Aku lantas mengirimnya emoticon 'oke' lagi dan menutup ponsel. Ketika aku memejamkan mata untuk tidur, nyanyian itu terngiang lagi, dengan suara berat yang sama sekali tidak cocok.
Aku meriang, aku meriang, merindukan kasih sayang, ,
Sial, suaranya sumbang. Tapi malah terngiang!
***
Hari ini aku bangun siang. Tidak siang betulan, hanya sedikit terlambat dari jam bangun pagiku. Yahh, jam 8 tidak terlalu siang kan?
Aku tidak memiliki agenda lain di sekolah selain mengambil rapor dan ijazah bersama Maxi, sahabat kentalku yang kentalnya melebihi darah. Maxi bersedia menjemputku kapan pun ia luang, namun ia juga tak segan mendepakku pergi kalau aku menjahilinya.
Maxi bersedia berkelahi kalau ada yang menggangguku, tapi ia juga jadi orang nomor satu kalau membalas kejahilanku. Tipikal sahabat sejati yang pendendam tapi dibuang sayang.
Pagi ini, usai buang hajat, aku mengirim pesan kepada Maxi, jemput aku *emoticon cium*.
Semenit kemudian, balasannya muncul di ponselku, *emoticon kotoran*.
Aku buru-buru membalasnya sementara sikat gigiku masih di mulut, kujepit dengan gigi geraham, dan mengetikkan balasan, *emoticon babi*.
Lalu ponselku kutaruh lagi. Karena sulit sekali berhenti bertukar pesan dengan Maxi. Kami bahkan bisa menghabiskan setengah jam sendiri hanya untuk saling bertukar pesan yang isinya emoticon binatang alih-alih kata.
Setelahnya aku segera merampungkan mandiku, mengenakan seragam untuk terakhir kalinya, dan turun untuk sarapan. Ayah sudah berangkat kerja lebih dulu, tinggal Mama yang masih berkutat di dapur dengan mikser.
"Pagi, Mam," sapaku sebelum meneguk susu. "Buat apa?"
"Kue bolu untuk Saverio." Lalu sedetik kemudian, Mama sudah mendelik ke arahku seolah teringat sesuatu. "Kemana saja semalam?! Kenapa tidak bilang kalau sudah pulang? Kami mencarimu! Saverio bahkan membatalkan penerbangannya ke Belitong untuk bulan madu!"
Aku yang sedang mengunyah sandwich, mendadak hilang selera. Seharusnya hari ini pikiranku terbebas dari apapun tentang Saverio karena setelah dari sekolah, aku akan pergi nonton dengan Maxi. Dia tumben tidak pelit, mau mentraktir tiket nonton beserta konsumsinya.
"Kasihan Saverio, dia sudah sangat lelah karena pesta pernikahannya yang seharian tapi tetap memaksakan diri mencarimu." Mama masih melanjutkan ucapannya sembari mengawasi adonan bolunya. "Bulan madu Saverio dan Angela betulan dibatalkan karena kamu tidak ada kabar. Kalaupun diagendakan lagi, masa cutinya sudah selesai. Saverio harus kembali bekerja."
"Kenapa begitu?" tanyaku heran, setengah malas. "Dia kan anaknya direktur. Penerus perusahaan pula."
"Nah, ini!" Mama menudingku melalui tatapannya yang agak jengkel. "Ini lah kenapa, waktu Saverio se-usia kamu, dia sudah terlihat akan jadi orang sukses di masa depan. Kalian punya pola pikir yang berlawanan."
"Tidak semua orang sukses memiliki langkah yang sama."
"Menjawab terus kalau diberi tau."
Aku mengerucutkan bibir, sudut hatiku merasa kalau Mama sering kali kesal dengan apa yang kukatakan. "Jadi bolu itu untuk penebusan rasa bersalah, begitu?" Tanyaku malas.
Mama mengangguk. "Harusnya kamu yang membuat bolu ini."
"Kalau itu aku, lebih baik aku beli. Tidak ribet," sahutku lagi.
Mama mendelik lagi, tampak jengkel dengan sahutanku yang tidak merasa berdosa sama sekali karena sudah membuat sepasang pengantin membatalkan bulan madu mereka.
Eh, tunggu dulu? Secara tidak langsung berarti aku membatalkan bulan madu mereka?
Sudut bibirku menyunggingkan senyum kemenangan, merasa cukup puas sudah sedikit memberi andil atas batalnya perjalanan bulan madu mereka.
Apakah ini yang namanya rasa ingin balas dendam?
Suara klakson motor di luar membuyarkan lamunanku. Aku meraih ransel kosong yang hanya berisi dompet dan ponsel, tidak lupa membawa serta sandwich yang masih belum habis, pamit pada Mama hanya dengan kiss bye, dan mengenakan sepatuku sebelum naik ke motor Maxi. Sialnya, cowok itu sudah mencomot sandwich yang kubawa dan memakannya cepat-cepat.
"Supir juga perlu makan," ujarnya segera sebelum aku naik darah.
"Aku baru makan dua gigit!" protesku, memukul bahunya tidak terima, sambil menaiki motornya. "Yang jelas, nanti siang harus traktir mie ayam."
Maxi tak menyahut sampai aku mencubit pinggangnya agar ia menyahut. "Iya!! Sudah bagus dibelikan tiket nonton, masih minta traktir. Jahara memang!"
Aku menggeplak helmnya dari belakang. Ups! Sepertinya agak keras. Membuat sahabatku itu mengomel lagi sembari menyalakan mesin motor.
Ketika motor melaju, dan seolah ada yang menarik firasatku, aku menoleh ke belakang.
Dia ada disana, berdiri di halaman rumahnya seraya memegang kunci mobil dengan marah, menatapku lurus tanpa ekspresi.
Saverio. Dia tidak pernah suka kalau aku dekat dengan laki-laki lain. Sekalipun laki-laki lain itu adalah Maxi.
***
"Serius?! Kamu mengambil kuliah tata boga?" Maxi tiba dengan 2 mangkuk mie ayam dan duduk di seberangku, menyodorkan satu mangkuk untukku.
"Iya, serius." Aku mengangguk.
"Seingatku dulu ada yang pernah bercita-cita jadi desainer."
"Itu kan dulu."
"Memangnya kamu bisa masak?" Maxi menatapku ragu. "Gula dan garam saja tidak bisa membedakan, apalagi telur ayam dan telur bebek."
"Aku tidak separah itu tau!"
Maxi hanya mengendikkan bahu dan menaruh sesendok sambal di mangkuknya.
Kami baru saja selesai mengambil rapor dan ijazah, lalu aku menagih janji Maxi untuk mengganti sarapanku yang tadi dicomotnya seenak jidat. Maka disinilah kami, terdampar di kantin ramai yang akan kami rindukan saat sudah lulus.
Omong-omong, mie ayam disini memang juara! Ayamnya tidak pelit dan ceker pedasnya tidak ada tandingan.
"Apa motivasimu mengambil tata boga?" Maxi bertanya lagi.
"Supaya bisa makan enak dan gratis," sahutku spontan. Kadang spontanitasku membuat orang lain jengkel. Lihat saja Maxi yang sekarang malah mendengus.
"Dasar fakir."
"Hardik saja aku sepuas hatimu," ujarku dramatis.
Maxi mengerucutkan hidungnya, jijik oleh tingkahku kalau sudah drama.
"Omong-omong, yang lain mana?"
"Masih di kelas. Beruntunglah alfabet nama kita bukan huruf terakhir."
Aku mengamininya. "Diberkatilah Mama. Namaku aman di barisan tengah."
10 menit kemudian saat mie ayam kami mulai habis, satu persatu teman-teman kami menghampiri. Ada Vernon, Eric, Viona, dan Zannabelle.
Jujur saja, aku awalnya bingung kenapa nama Zana tidak sekalian Annabelle saja biar seram, tapi waktu aku bertanya, pinggangku malah dicubitnya. Barulah ia menjelaskan kalau mulanya, namanya memang Annabelle. Tapi sudah diganti baru-baru ini karena mirip boneka setan yang terkenal itu.
"Jadi kita nonton apa?" Viona duduk di sebelahku dan mencomot es jerukku tanpa ijin.
"Zannabelle Creation," jawabku diseram-seramkan.
Eric tertawa lepas bersama Vernon sambil menggebrak meja. Zana menjewer telingaku, tapi ia duduk di sebelahku.
"Serius!"
"Spiderman, Far From Home."
"Tapi setelah itu Zannabelle ya," pintaku, yang membuatku mendapat jeweran lagi.
Aku mendesis minta ampun, sementara Maxi akhirnya tertawa melihatku disiksa.
***
[]
Aku sampai rumah ketika malam sudah larut. Kami berenam sedang puas-puasnya menghabiskan waktu bersama karena Vernon dan Eric akan lanjut kuliah di Singapura. Sementara Viona di Jepang karena orang tuanya yang Kedubes bekerja disana. Zana akan ke Bandung. Lalu di Jakarta, tinggal aku dan Maxi.Yeah, kami lagi-kami lagi. Aku dan Maxi memang duo yang tidak terpisahkan.Buktinya meski kami sering baku hantam, Maxi selalu rela mengantar-jemputku."Besok tidak usah menjemput. Aku mau tidur sampai siang," kataku seraya melepas helmet dan menyerahkannya pada Maxi.Cowok itu mendengus. "Siapa juga yang mau menjemput."Aku berusaha tabah karena hari ini Maxi bersedia menjadi supirku seharian. "Ya sudah sana pulang," usirku sehalus mungkin yang membuatnya mengetuk kepalaku kesal. Sekejap kemudian, motor matic putihnya sudah melesat pergi.Aku be
"Dramanya sad ending ya?" Aku mengerjap ke arah Maxi. Tangan kiriku menopang dagu dan tangan kanan mengaduk milkshake. Akhirnya aku mengangguki Maxi dengan wajah drama ala bucin oppa. "Sedih sekali, ya ampun." Mungkin ia mengingat kalau tadi pagi aku menonton drama. Kisahnya tidak sesedih itu, tapi aku tidak seharusnya menampakkan kegalauanku gara-gara percakapan di teras tadi. "Kita tidak selesai, tidak akan pernah." Tanganku digenggam hangat olehnya saat hendak berlalu, membuat langkahku tertunda. Ia menyelusupkan jari telunjuknya ke jemariku yang mengepal lemah. Tangannya hangat dan nyaman, selalu seperti itu. "Kakak ingin kamu menunggu." Apa? Apa yang harus kutunggu?! "Makanan saja bisa kadaluwarsa, apalagi perasaanku." Untuk sesaat aku merasa lebay, tapi aku tidak tau harus berkata apa. Situasi ini terlalu sulit kalau harus kuhadapi sekarang. Aku hanya,
"Keluar terus," sindir Mama saat aku turun dari tangga dengan pakaian rapi.Aku berdecak, maklum saja, pengangguran banyak acara memang begini. Baik ada kegiatan formal atau tidak, pokoknya jalan terus. Lagipula, aku ini seperti remaja pada umumnya, yang rapi jali kalau mau keluar, tapi kalau di rumah hanya mengenakan celana dan kaus belel yang nyaman."Ada sesuatu yang mau kulakukan," ujarku dengan tangan terkepal dan terangkat layaknya orator dalam demonstrasi mahasiswa. Toh aku juga calon mahasiswa. "Demi masa depan yang lebih baik!"Ayah yang baru muncul untuk sarapan menatapku dengan kening berkerut, namun tak ambil pusing. Katanya, tingkah absurdku menurun dari Ayah dan Mama sekaligus, jadi absurdnya double-double. "Mau kemana?""Mau jalan, dengan Maxi." Aku meneguk susu UHT favoritku dan melahap sarapan dengan tenang. Untuk saat ini, orang tuaku tidak perlu tau rencanaku yang akan
Kakak masih mencintai kamu. Kata-kata itu berdengung bak nyamuk berisik di telingaku, sudah dihalau, tapi tidak juga hilang suaranya, bahkan meski sudah satu jam berlalu. Rasanya gamang ketika netra cokelat muda Saverio menatapku dengan sungguh-sungguh, binarnya sendu sekali. Dia selayaknya anak kecil yang penuh luka. Kalau bukan karena aku mendorong Saverio agar menjauh dan meninggalkannya disana, aku pasti sudah menangis di hadapan Saverio. Tega sekali dia mengkhianati istrinya seperti itu. Dan aku, aku juga akan merasa jahat sekali kalau terus disini, di rumah ini, memberi Saverio kesempatan untuk terus bertemu yang tidak seharusnya dia terima. Jelas, aku harus pergi. Lebih cepat lebih baik. Benar, aku tidak bisa terus disini. Setidaknya, salah satu dari kami harus pergi. Aku mengusap mataku yang rupanya sudah berlinang air mata dan menatap kalender
"Terima kasih sudah mengijinkan kami bergabung di meja." Zana berucap sopan selagi Abang warung mengantar minuman kami.Angela tertawa kecil. "It's okay, Sweetheart. Jadi kalian sedang berlibur di Bandung?""Bukan." Maxi yang menjawab. "Zana berencana kuliah di Bandung, lalu si tukang makan di sebelahku ini memohon-mohon agar bisa ikut ke Bandung juga dengan dalih membantu beres-beres. Kak Saverio, Lyra tidak mungkin sebaik itu kan?" tanya Maxi pada laki-laki yang sudah mengenalku sejak kecil itu.Tapi Maxi tidak bertanya. Dia hanya sedang bergurau sembari meledekku.Dan lagi-lagi, membuat Saverio menatapku.Aku menunduk, pura-pura sibuk melipat tisu.Lalu dengan senang hati, Angela melanjutkan, "Kami ke Bandung untuk berlibur, sekaligus untuk bulan madu yang tertunda. Lagipula, Saverio terlalu sibuk kerja sampai tidak mau
Yang kami lakukan di dalam studio itu salah.Memori baru yang dibuat demi mengenang memori lama itu adalah salah.Ketika film selesai, aku merasa sangat jahat. Melihat Maxi yang keluar studio sambil merenggangkan punggung tanpa menyadari apa yg terjadi di bangku belakang, aku menunduk menatap cincin yang Saverio pasangkan di jari manisku dan melepasnya diam-diam.Lebih baik menyimpannya dan tidak seorang pun tau tentang cincin itu.Ketika aku melihat wajah istrinya, aku merasa sangat berdosa. Yang kulakukan dengan Saverio tadi tidak seharusnya terjadi. Harusnya tadi aku mendorongnya menjauh. Harusnya tadi aku tidak membiarkan dia menggenggam tanganku.Harusnya... kami tidak duduk bersebelahan.Dan ketika aku menatap Saverio, dia akan membalas tatapanku dengan intens. Seolah ada rona baru di wajahnya yang membuat laki-laki itu ter
Sejak kapan aku menangis?Aku juga tidak tau. Aku menyusut air mataku dengan punggung tangan dan membalas tatapan Maxi. "Aku mimpi jadi Ratu, tapi tau-tau saja Rajanya pergi meninggalkanku," jelasku datar. "Bukankah mengenaskan?"Bukannya simpati, Maxi malah mendengus. Caraku bercerita memang agak tengil untuknya. Tapi aku hanya tidak ingin orang lain tau apa yang sedang kurasakan.Aku tidak mau orang lain tau aku sedih, apalagi sedihnya gara-gara Saverio.Aku lantas meraih bungkusan di tangan Maxi dan membukanya, seporsi nasi padang yang sambal hijaunya banyak!Senyumku langsung mengembang cerah.Maxi tau benar apa yang kubutuhkan. Perasaanku kacau balau sejak bangun tidur. Mimpi itu menamparku pada realita menyakitkan, bahwa kenyataannya, Saverio memang meninggalkanku saat aku menaruh kepercayaan dan rasa sayang yang begitu bes
Pada akhirnya Saverio menyerah. Baiklah, aku tidak apa. 'Seharusnya' aku tidak apa-apa. Aku 'hanya' ditinggalkan untuk kedua kalinya oleh orang yang sama. Seharusnya kejadian kedua ini menjadi sesuatu yang bagus dan membuatku merasa lebih baik. Toh aku sudah mengalaminya pada kali pertama dalam rentang waktu yang tidak jauh. Rasa sakit karena Saverio menyerah akan membuatku kebas. Iya, begitu. Pagi di pelabuhan itu terasa aneh sekali, seperti mimpi yang aku tidak tau tentang apa dalam episode hidupku, namun sangat menggangguku ketika aku sudah bangun. Sebuah mimpi yang sebenarnya bukan mimpi buruk, tapi amat membuat gusar. Sejak pagi itu, hari-hariku tidak pernah lagi diganggu oleh Saverio. Hari ketika aku akhirnya harus berangkat untuk menyongsong waktu menjad