Share

Menjauh?

Semenjak hari itu, Elang mulai menjaga jarak dari Adeera. Membuat gadis bertubuh gimpal itu dilanda rasa kebingungan.

“Lu kenapa sih, Lang? Udah tiga hari ngejauhin gue,“ katanya saat kelas masih sepi. Hanya mereka berdua yang datang.

“Lang!“ Adeera menarik tangan sahabatnya itu karena tak kunjung direspon.

“Airlangga! Lu dengerin gue ngomong nggak sih?“ teriaknya frustasi.

"Apaan sih Lu teriak-teriak? Gue juga denger kali,“ sahut Elang jutek. Sambil menarik tangannya, kasar.

“Ya habisnya Lu gitu. Lu kenapa? Tumbenan banget baper, kek cewek pas lagi datang bulan. Apa jangan-jangan Mbak Lu lagi datang bulan, ya? Terus Lu ketularan, gitu kan?“ cerocos Adeera.

“Nggak usah bawa-bawa Mbak gue. Mbak gue itu manusia bersosok bidadari, nggak kayak Lu. Udah ah, males gue lihat muka Lu.“

Elang menyahut ketus sambil melenggang keluar kelas. Meninggalkan Adeera yang benaknya dipenuhi ribuan tanya.

“Lu kenapa sih, Lang? Nggak biasanya seperti ini,“ gumamnya tanpa mengalihkan pandangan ke arah pintu. Dimana punggung sahabatnya itu tak lagi terlihat.

Ia sama sekali tak mengira kalau perkataannya tempo hari telah melukai hati sahabatnya itu. Padahal niatnya hanya bercanda saja. Karna pada dasarnya, Elang itu berparas tampan juga memiliki badan yang atletis. Hanya saja tertutup oleh penampilan yang urakan dan sikap yang terkadang kasar.

Bahkan di awal jadi murid baru, ketampanannya sempat viral dan tak sedikit siswi yang terang-terangan mencari perhatiannya. Namun perlahan, semuanya tenggelam seiring dengan kesetiaannya menjadi sahabat Adeera. Semua orang menganggapnya aneh karena bersahabat dengan gadis berbobot seratus kilogram itu.

Adeera sendiri sebenarnya tak kalah dengan Elang. Ia memiliki paras cantik, berkulit putih mulus, dengan tubuh bak gitar spanyol. Namun lebih memilih menyamarkan dengan menaikkan bobotnya dan tentu bukan tanpa alasan, ia melakukan hal itu.

*

Adeera berjalan dengan gontai menyusuri lorong-lorong sekolah. Hingga akhirnya ia memilih berhenti di bawah pohon akasia—di taman belakang sekolah. Rasa lelah yang menggelayuti tubuh, membuatnya merebah dan perlahan rasa kantuk menyergap. Ia tertidur dengan tangan sebagai bantalnya.

Sementara di depan kantor tata usaha, seorang pemuda berdiri ditemani kedua orangtuanya. Menunggu penyelesaian administrasi pendaftaran siswa pindahan.

“Kalau mau pulang, pulang aja, Mi, Pi. Reynan bisa sendiri kok,“ ujarnya.

“Beneran kamu nggak apa-apa kami tinggal?“ tanya sang ayah.

“Beneran, Pi. Lagian jaman sudah canggih gini. Reynan tinggal tanya aja ke Mbah G****e,“ jawabnya bergurau. Membuat sang Ibu tersenyum lalu mengusap pundak anaknya itu.

“Yaudah, Mami sama Papi pulang duluan, ya,“ katanya.

“Siap, Mi.“

“Kami pulang ya, Rey.“

“Oke, Pi. Hati-hati.“

Kedua orang tuanya mengangguk lalu meninggalkan pemuda itu sendiri. Sambil menunggu administrasi selesai, pemuda bernama Reynan itu berjalan menyusuri beberapa sudut sekolah dan langkahnya terhenti di taman belakang sekolah. Di menit selanjutnya, dahinya mengernyit melihat penampakan yang terlihat sangat menggemaskan di matanya.

Tanpa canggung, ia menghampiri Adeera yang tidur begitu tenang.

"Hebat nih cewek bisa tidur dimana aja, nyenyak pula,“ gumamnya sambil menyentuh pipi tembam dan putih itu. Senyumnya pun terus mengembang, memandang wajah yang tampak cantik meski tertutup lemak.

Lalu secara tiba-tiba Adeera menarik bahunya. Merangkul dengan posesif, membuatnya tersentak kaget tapi tak sedikit pun ingin menguraikannya.

"Lang, kemana aja sih Lu? Gue kangen tau,“ gumamnya.

“Lu gitu amat sama gue. Gue sedih tau, Lang. Lu sendiri tau kan, kalau gue sedih nanti tubuh gue jadi langsing dan Lu nggak mau hal itu terjadi kan?“ tambahnya. Setelah itu ia kembali terlelap dan Reynan pun menguraikan rangkulannya dengan hati-hati. Meninggalkannya dengan degup jantung yang seperti berloncatan.

*

Suara bel membangunkan Adeera dari tidurnya. Setengah sadar, ia membenahi penampilannya lalu berjalan tergesa-gesa ke arah kelasnya. Wajahnya lagi-lagi cemberut saat tak mendapati Elang di kelas. Hatinya bertanya-tanya, kemana perginya pemuda bersenyum manis itu?

“Lu lihat Elang, nggak?“ tanya Elang pada Dewi. Gadis bertubuh semampai itu mengangkat bahu, membuat Adeera mendesah kecewa.

“Kenapa tuh si Buntelan Kentut?“ tanya yang lainnya.

"Biasalah, nyariin bestie-nya,“ jawab Dewi, cuek.

“Ooh ... Bestie-nya nggak ada to?“

“Huum.“

“Mungkin si Elang sekarang udah sadar. Udah salah gaul,“ celetuk Dita.

“Maybe. Lagian temenan sama Si Buntelan Kentut cuma bawa sial. Kalian lihat kan, pamor Elang langsung meredup setelah temenan sama dia.“ Dewi menyeringai sinis, sambil melirik Adeera yang membeku di tempatnya.

*

Di sebuah rumah minimalis, Elang menatap sang kakak yang terkulai lemas setelah mendapat tindak kekerasan dari suaminya. Elang tak habis pikir, kenapa juga kakak iparnya berbuat kriminal hanya karena masalah sepele—kakaknya diberi buah mangga oleh tetangga depan rumah.

"Kamu kalau mau ke sekolah lagi, ke sekolah aja, Lang. Mbak nggak apa-apa, kok,“ ujar sang kakak. Merasa tak enak karena mengganggu aktifitas belajar sang adik.

Elang menggeleng, lalu mengompres dahi memar itu.

"Elang udah izin kok, Mbak. Lagian mana mungkin Elang bisa fokus belajar, sementara Mbak di sini kesakitan,“ sahutnya membuat sang kakak terenyuh hingga meneteskan air mata.

"Jangan nangis, Mbak. Sekarang istirahat, ya. Elang mau ganti baju dulu,“ ucap Elang. Sang kakak mengangguk lalu membaringkan tubuhnya.

Setelah menyelimuti tubuh sang kakak, Elang bergegas masuk ke kamarnya. Merebahkan tubuh di pembaringan sambil menatap langit-langit kamar, mengingat ucapan Adeera seminggu lalu. Ia sama sekali tak tersinggung, hanya merasa kesal saja karena gadis itu tak peka dengan kode yang diberikannya.

Elang sendiri tak tahu kapan pastinya perasaan itu ada, karena persahabatannya dengan Adeera sudah terjalin cukup lama—sejak masa putih biru.

Elang masih mengingat masa-masa itu. Masa dimana Adeera yang masih bertubuh ideal, menolongnya yang dikunci di gudang oleh kakak kelas.

Sejak hari itu, hubungan persahabatan mereka pun terjalin. Sudah banyak hal yang mereka bagi bersama. Mulai dari hal umum hingga yang bersifat rahasia. Seperti saat Adeera mendapati haid pertama dan Elang memberikan baju hangatnya untuk menutupi rok putih Adeera yang terkena bercak darah. Selain hal itu, masih banyak rahasia yang mereka simpan rapat-rapat.

Elang menghela napas dalam-dalam. Bibirnya melengkung tipis mengingat reaksi Adeera yang tak sesuai keinginannya. Akhir-akhir ini ia memang gencar memberikan kode ketertarikan tapi gadis itu selalu mengabaikannya.

“Apa mungkin gue terlalu egois? Memikirkan perasaan sendiri tanpa mau tahu bagaimana perasaannya ke gue?“

Elang bermonolog. Lalu beranjak duduk. Mengambil figura di atas nakas. Dimana ia dan Adeera tertawa lepas saat wisata ke dunia fantasi. Saat itu mereka tertawa karena Adeera salah pegang. Seharusnya memegang tangannya tapi malah memegang tangan bule India.

“Lu emang egois, Lang. Harusnya Lu sabar aja. Lagian Lu juga nggak bakalan punya saingan. Siapa coba yang tertarik sama cewek oversize seperti Deera? Nggak ada kan?

Seharusnya Lu juga tikung dia dalam doa dan jangan terlalu ngekang dia. Kasihan dia kalo Lu diemin gini, temennya cuma Lu, nggak ada yang lain lagi,“ gumamnya sambil menyentuh foto Adeera.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status