Junot melangkah keluar dari mobil sportnya, menatap rumah besar yang megah di depannya. Pilar-pilar tinggi dan taman yang tertata rapi menambah kesan elegan dan megah pada rumah tersebut. Namun, di balik keindahan itu, ada rasa kosong yang menyelimuti hatinya. Pintu depan yang berat dibukanya, dan dia pun melangkah masuk ke dalam rumah yang dingin dan sunyi.
“Kembali kepada mode sunyi senyap!” sergah Junot tak semangat. Ruangan besar dengan langit-langit tinggi dan dekorasi mewah terasa begitu hampa tanpa suara kehidupan. Junot melepas sepatunya dan berjalan ke ruang tamu, berharap melihat kedua orang tuanya di sana, seperti di masa kecilnya. Namun, tak ada seorang pun di rumah itu. Papa dan mamanya sedang sibuk dengan aktivitas mereka di luar rumah, seperti biasa. Papa Alfonso sering kali terbang ke luar negeri untuk urusan bisnis, sementara Mama Belva kerap menghadiri acara sosial di berbagai tempat. Junot meletakkan tas kerjanya di sofa dan berjalan menuju kamarnya di lantai atas. Kamar yang luas dengan jendela besar yang menghadap ke taman belakang itu selalu menjadi tempat favoritnya untuk merenung. Setelah menutup pintu kamarnya, Junot menyalakan lampu meja dan mulai melepas pakaiannya, bersiap untuk mandi. Setelah mandi dengan air hangat yang menyegarkan tubuhnya, Junot mengenakan pakaian santai dan duduk di ranjangnya. Dia lalu meraih buku yang baru saja dibelinya, akan tetapi pikirannya tidak bisa fokus pada halaman-halaman di depannya. Wajah Lilian tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Lilian yang ditemuinya beberapa hari yang lalu di warung lesehan Bu Jayanti, dengan senyum manisnya dan kecantikan alami yang memikat hatinya sejak pandangan pertama. “Lilian … kenapa aku selalu teringat dengan gadis itu?” serunya dari dalam hatinya. Lilian berbeda dari gadis-gadis yang pernah ditemui oleh Junot sebelumnya. Gadis itu berpenampilan sederhana, akan tetapi memiliki pesona yang sulit dijelaskan. Rambutnya yang tergerai, mata yang berbinar, dan senyumnya yang tulus membuat Junot tidak bisa berhenti memikirkannya. Setiap kali Junot memejamkan matanya, bayangan Lilian selalu hadir, membuat hatinya berdebar kencang. “Lilian … kenapa wajahmu begitu cantik?” lirihnya dalam hati Junot meraih ponselnya dan membuka galeri foto. Di sana ada foto-foto yang diambilnya secara diam-diam saat di warung lesehan. Salah satunya adalah foto Lilian yang sedang tersenyum sambil melayani pelanggan. Junot jadi tersenyum melihat foto itu. Ada sesuatu yang hangat dan menenangkan dalam senyum Lilian, seolah-olah semua masalah di dunia ini bisa teratasi hanya dengan melihat senyum itu. "Kenapa aku sangat merindukanmu, Lilian?" gumam Junot pelan, sambil menatap foto itu lebih lama. Junot tahu bahwa hidupnya yang penuh dengan kemewahan dan kesibukan sering kali membuatnya merasa kesepian. Dia merindukan kehangatan dan kebahagiaan sederhana yang dilihatnya di wajah Lilian. Sang pria sungguh merindukan cinta yang tulus, bukan sekedar penampilan atau status sosial. Di saat itulah Junot memutuskan, dirinya harus bertemu lagi dengan Lilian. Dia harus mengenal gadis itu lebih dekat dan, jika mungkin, merebut hatinya. “Aku harus menjadikan Lilian sebagai kekasihku!” tekadnya dalam hati. Keesokan paginya, Junot bangun dengan semangat baru. Dia sudah memikirkan rencana untuk bertemu lagi dengan Lilian. Setelah sarapan yang sederhana, pria itu segera bersiap dan mengendarai mobilnya menuju warung lesehan Bu Jayanti. Di sepanjang perjalanan, hatinya berdebar tak menentu, antara gugup dan penuh harapan. “Semoga aku bisa bertemu dengan Lilian!” harapnya dalam hati. Sesampainya di warung lesehan, Junot turun dari mobil dan berjalan dengan langkah mantap menuju tempat itu. Warung itu tidak terlalu ramai pagi ini, dan Junot merasa sedikit lega. Dia pun lalu duduk di salah satu meja yang terletak di sudut, tempat yang sama saat ia pertama kali melihat Lilian. Tak lama kemudian, Lilian muncul dari balik dapur, membawa nampan dengan beberapa piring makanan. Matanya yang ceria segera menangkap sosok Junot yang duduk di sudut. Lilian tersenyum ramah dan berjalan mendekat. "Mas Junot, sudah datang lagi," sapa Lilian sambil meletakkan piring di atas meja. Junot tersenyum dan mengangguk. "Iya, aku sangat menyukai makanan yang ada di sini. Dan suasananya juga." Lilian tersenyum lebih lebar, "Senang mendengarnya. Ada yang bisa saya bantu, Mas?" Junot menatap mata Lilian sejenak sebelum menjawab, "Sebenarnya, aku ingin bicara denganmu, kalau kamu tidak sibuk." Lilian terlihat sedikit terkejut, tetapi kemudian tersenyum. "Tentu, sebentar ya." Setelah melayani beberapa pelanggan lain, Lilian kembali dan duduk di seberang Junot. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari pekerjaan Junot, aktivitas sehari-hari Lilian di warung, hingga impian dan harapan mereka. Junot merasa semakin terhubung dengan Lilian. Gadis itu bukan hanya cantik, tetapi juga cerdas dan memiliki pandangan hidup yang luas. "Mas Junot, kenapa kamu tertarik padaku?" tanya Lilian tiba-tiba, dengan nada serius. Junot terdiam sejenak, menatap mata Lilian yang penuh tanya. "Aku merasa ada sesuatu yang berbeda denganmu, Lilian. Kamu membuatku merasa tenang dan bahagia. Kamu bukan seperti gadis-gadis lain yang aku kenal. Kamu spesial." Lilian tersenyum lembut mendengar jawaban Junot. "Terima kasih, Mas Junot. Aku juga merasa nyaman berbicara denganmu. Kamu adalah salah satu teman baikku." “Deg! Jantung Junot tiba-tiba berdetak tak karuan saat mendengar ucapan Lilian yang hanya menganggapnya sebagai teman biasa saja. “Apakah aku terlalu cepat untuk mengungkapkan perasaanku? Atau ada baiknya aku tunda untuk menyatakan cinta kepada Lilian?” Setelah menimbang-nimbang akhirnya Junot pun memutuskan untuk menunda untuk mengungkapkan rasa sukanya kepada gadis itu. Sebulan telah berlalu, Dahlia dan Lilian merantau di Jakarta. Lilian, seorang gadis yang sangat rajin tetap memilih untuk membantu Bu Jayanti di warung lesehannya. Berbeda dengan Dahlia. Dia lebih memilih tinggal di rumah Bu Jayanti untuk membersihkan rumah. Karena banyaknya pelanggan baru sejak Lilian membantu Bu Jayanti di warung, membuat sang ibu lebih cepat membuka warungnya. Biasanya, Bu Jayanti membuka warungnya hanya disaat siang menjelang sore saja. Namun sudah seminggu berlalu sang ibu membuka warungnya mulai jam sepuluh pagi. Hal itu juga berdampak dengan omset dagangan Bu Jayanti yang meningkat pesat. Seperti pagi ini, keduanya sudah disibukkan dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat gado-gado dan ketoprak. Setiap subuh Bu Jayanti bersama Lilian berbelanja bumbu-bumbu dagangan mereka di pasar. Saat ini mereka terlihat selesai meracik bahan-bahan untuk membuat pecel ayam. Lalu Bu Jayanti dan Lilian bersiap-siap berganti baju. Sebelumnya, Bu Jayanti menasehati Lilian agar memakai pakaian yang sopan saat berjualan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Lilian pun mengikuti semua perkataan Bude Rani. Disaat gadis itu selesai berganti pakaian di kamar. Dahlia baru saja bangun. Lilian lalu berkata kepada saudaranya, "Dahlia, mau sampai kapan kamu bermalas-malasan seperti ini? Lebih baik kamu bantuin aku dan Ibu di warung." ujarnya. Namun Dahlia malah langsung menatap dengan tajam ke arah Lilian, sambil berkata, "Apa sih maksud kamu ngomong begitu?" "Maksudku baik, Dahlia. Biar kamu juga ada pengalaman," ujar, Lilian. "Pengalaman menggoreng kerupuk, gitu? Tanpa diajari aku juga tahu, Lilian! Yang aku butuhkan saat ini adalah pekerjaan! Bukannya menggoreng kerupuk dan sejenisnya!" seru Dahlia tak mau kalah. "Terus, jika kamu kerjaannya tiap hari tidur, apakah kamu akan mendapatkan pekerjaan? Ingat, Dahlia. Kita di sini hanya numpang di rumah Bu Jayanti, setidaknya kita tahu diri, jangan malah menjadi beban bagi Ibu itu! Kamu juga jangan lupa, apa tujuan awal kita datang ke Jakarta, yaitu untuk merubah nasib kita, untuk merubah jalan hidup kita," ujar Lilian panjang lebar. "Dari awal juga aku nggak setuju kita tinggal di rumah ini!" seru Dahlia tak suka. "Lah, kalau kita tidak tinggal di sini, terus di mana kita tinggalnya? Aku jujur saja ya, Dahlia. Tabungan dari nenek itu, untuk menambah biaya kuliah kita nanti. Bukan untuk foya-foya, dan aku harap kamu mau mendengarkan ku kali ini. Satu lagi, kamu juga jangan lupa, jika kamu yang dulu ngotot ingin merantau ke Jakarta. Kami mau jualan dulu, di atas meja ada makanan untukmu." seru Lilian, lalu keluar dari kamar itu. Setelah berkata seperti itu, Lilian pun menuju teras menemui Bu Jayanti yang sudah menunggunya dari tadi, lalu mereka bersiap-siap mendorong gerobak menuju ujung jalan utama di mana sang ibu biasa berjualan. “Sialan nih, Lilian! Sudah mulai mengatur dia! Bikin kesal saja!” gerutu Dahlia dalam hati. Dahlia terdiam dan mengingat semua perkataan Lilian, jika dulu dialah yang ngotot untuk ke Jakarta, impiannya untuk tinggal di kota ternyata terlalu tinggi sehingga saat Dahlia sampai ke Jakarta dan angan-angannya tentang Kota Jakarta sungguh berbeda jauh dari kenyataan. Membuat hatinya sedikit kecewa dan memilih untuk tidak melakukan apa pun. Dahlia pun bertekad dalam hatinya jika dia akan mencari pekerjaan mulai dari sekarang. “Aku harus mendapatkan pekerjaan secepatnya!”"Aku menyelidikinya sendiri, Kak.""Apa? Kamu menyelidikinya sendiri?""Yap." jawab junot, singkat."Aku pikir Papa sudah jujur kepadamu." "Belum, Kak.""Sepertinya, kita harus membuat Papa buka suara kepada kita! Pokoknya, Papa harus jujur kepada kita." "Iya, Kak. Aku setuju dengan pendapatmu."Sementara di dapur, Lilian dan Dewi terlihat akrab."Jadi kamu masih kuliah?""I-ya, mbak.""Wah Junot dapat gadis muda rupanya."Lilian hanya tersenyum malu."Kamu sabar-sabar ya sama Junot. Walaupun anaknya keras kepala dan suka emosian. Akan tetapi dirinya memiliki hati yang lembut.""I-ya mbak.""Oh ya, Kamu sudah ketemu sama Mama?""Belum, mbak." "Belum ya? Nanti jika kamu ketemu sama Mama, kamu maklum ya bagaimana orang tua kepada anaknya.""Iya, Mbak." Entah kenapa, Dewi memiliki kekhawatiran jika Nyonya Belva tidak menyukai Lilian.Lalu ke empat orang dewasa itu pun memulai makan siangnya. Hampir seharian mereka berada di rumah itu, sekedar bercengkrama atau sekedar berbagi cerita.
"Pasti Lilian marah kepadaku, bagaimana caraku untuk merayunya?" Junot merutuki dirinya yang tidak bisa menahan hasratnya, saat di dalam bioskop tadi."Sayang, bagaimana kalau kita makan siang?" tanya Junot, hati-hati."Ok." jawab Lilian singkat.Lalu, Junot pun meraih tangan Lilian dan menggenggamnya dengan erat menuju ke dalam sebuah restoran terkenal di mall itu.Junot mengitari pandangannya. Mencari tempat yang cocok untuk mereka berdua."Sayang, kamu mau pesan apa?""Terserah saja, aku nggak pemilih makanan, kok." ketusnya, lagi."Baiklah, Sayang kita samain saja apa yang kita makan." seru Junot, lalu memanggil salah seorang waiter."Sayang, bolehkah aku memesan makanan pedas?" Mendengar perkataan Junot tersebut, Lilian dengan segera menatapnya dengan sangat tajam."He-he-he, aku hanya bercanda, Sayang!" ucap, Junot. Sementara sang waiter tersenyum melihat tingkah Junot yang sepertinya takut kepada kekasihnya itu.Keduanya pun memulai makan siang mereka berdua dalam diam. Setela
Setelah urusan di barbershop selesai. Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka menuju sebuah mall besar di daerah Jakarta Pusat."Sayang, yuk kita belanja untuk mu." tutur, Junot."Ih ... Mas! Bajuku masih banyak kok, nggak usah deh." sahut, Lilian."Sayang, tolong jangan membantahku kali ini, please ...." ujarnya, memelas.Lilian diam sebentar."Duh ngapain sih, Mas Junot mengajakku belanja? Mubazir nih. Tapi aku juga nggak enak menolak. Sepertinya Mas Junot sangat bahagia dengan kebersamaan kami.""Baiklah, Mas." "Nah gitu, baru pacarku!" Lalu mereka pun memulai belanja mereka siang itu. Ada banyak pakaian yang dibeli oleh Junot untuknya. Semuanya sudah dikirim ke alamat rumah Bu Jayanti.Dan ada beberapa yang Lilian bawa pulang ke apartemen Junot sebagai baju gantinya selama seminggu tinggal bersama Junot.Tanpa keduanya sadari, ada orang yang diam-diam memotret kebersamaan mereka. Padahal, Asisten Taufik mengetahui siapa orang itu.Orang itu ternyata suruhan Nyonya Belva. Untuk
"Asisten Taufik, apakah kalian menyembunyikan sesuatu dari saya?" tanya Lilian."Kenapa Nona berpikiran seperti itu?""Soalnya tadi juga Mas Junot berkata agar saya tidak meninggalkannya, memangnya ada apa sebenarnya?" selidik Lilian semakin curiga."Tidak ada apa-apa kok, Nona. Saya hanya berharap saja semoga Tuan Muda dan Nona bisa berbahagia selalu. Kalau begitu, saya permisi dulu," seru Asisten Taufik, segera berlalu dari tempat itu. Dia takut salah ngomong dan membuat semua menjadi kacau lagi.Junot selesai mandi, lalu berkata, "Yang datang siapa, Sayang?" Penampilan Junot sangat keren pagi ini, Lilian sedikit gugup karena melihat sang kekasih yang sangat gagah pagi ini."Asisten Taufik, Mas. Dia memberiku ini." Lilian pun menunjukkan sebuah paper bag yang ada di tangannya."Segeralah mandi, baru kita sarapan. Kamu temani aku untuk ke barbershop. Setelah itu kita jalan-jalan.""Iya, Mas.""Eh, tunggu dulu Sayang. Kamu ada kuliah nggak hari ini?""Kebetulan hari ini, aku nggak ad
"Iya, Sayang. Kamu bisa pegang kata-kataku ini." jawab Junot, tegas.Jadilah kedua sejoli yang baru jadian itu tidur seranjang malam itu.Lilian juga tidak lupa mengabari, kepada Bu Jayanti jika dirinya menginap di rumah temannya.Keduanya masuk ke dalam kamar. Junot memberi sebuah paper bag di tangan Lilian."Ini apa, Mas?""Ini baju ganti untukmu, mandilah.""Eh, iya Mas." Lalu Lilian pun segera meraih paper bag itu di tangan Junot dan segera masuk ke dalam toilet.Di dalam toilet, Lilian melihat penampilannya. Dia senyum-senyum sendiri di depan cermin karena baju tidur yang dipilih oleh Junot untuknya menutupi seluruh bagian tubuhnya.Dia pun keluar dari toilet, dan melihat jika Junot juga sudah berganti dengan baju tidur yang sama dengannya."Surprise!" ucap, Junot."Bagaimana penampilan kita, Sayang?""He-he-he, keren Mas.""Kamu suka, nggak?""Suka banget, Mas. Terima kasih ya, Mas.""Okay, Sayangku." jawab Junot, senang."Ih, Mas junot kok terkesan genit gitu, sih?" gumamnya, h
"Dikit saja dong, Lilian. Please ..." ujar Junot memelas."Maaf Mas, nggak boleh. Tolong kamu tuh, jangan keras kepala gitu, ya?" "Tapi bagaimana aku bisa berselera makan jika nggak ada sambelnya, Lilian.""Pokoknya, nggak boleh! Mas ikutin aturan dong, ya?"Junot diam, dia pastikan dirinya pasti tidak akan punya selera makan, karena tidak ada rasa pedas sedikit pun."Kok wajah kamu cemberut gitu, Mas?" tanyanya."Habis, aku rasa aku tidak berselera makan nih." ujarnya, tak bersemangat."Mas coba dulu masakanku," ucap Lilian, lalu mulai menyusun semua hasil masakannya di atas meja.Junot dari tadi hanya mengaduk-aduk nasi dan beberapa lauk di piringnya. Sementara Lilian yang kelaparan, tidak memperhatikan Junot sama sekali.Setelah piringnya kosong, barulah gadis itu menegakkan kepalanya.Dirinya pun kaget dengan apa yang dilakukan oleh Junot."Mas Junot ! Ya ampun Mas, kamu ngapain sih dari tadi? Bukannya makan!" kesalnya lalu menatap tajam ke arah pria itu. Sedangkan Junot yang me
Di dalam kamar,Lilian akhirnya terbangun. Dia terlihat mulai menggeliatkan tubuhnya lalu melihat sekelilingnya, mencoba mengingat kembali, dia sedang berada di mana."Tadi bukannya aku sedang berada di di kamar Mas junot? Aku kan tadi sedang menjaganya karena dia masih belum siuman. Tapi sekarang, kok jadi aku yang terbaring di atas ranjang?" serunya, bingung sendiri.Lilian lalu meraih ponselnya, dan melihat jika ada sebuah pesan dari nomor baru, dia lalu membuka pesan itu.Asisten Taufik : "Nona, ini saya Asisten Taufik, asisten Tuan Junot. Maaf jika saya lancang mengirim pesan kepada Anda. Akan tetapi sepertinya, hal ini sangat penting. Saya rasa Anda patut mengetahuinya. Ini mengenai kondisi Tuan Muda. Sudah beberapa bulan terakhir ini Tuan Junot menderita penyakit maag akut. Hal itu terjadi, karena Tuan Junot tidak teratur makan. Dokter sudah memperingatkannya namun Tuan Muda, tidak pernah mau mendengar perkataan saya maupun perkataan dokter Adi. Akan tetapi saya sangat yakin j
Lilian berjalan keluar dari kafe itu dengan langkah santai. Dirinya sedang menunggu taksi online yang tadi baru saja dia pesan.Junot yang juga baru selesai meeting melihat Lilian yang berada di depan sebuah kafe tepat di sebelah restoran tempat dirinya meeting.Junot yang ingin masuk ke dalam mobilnya dan mencoba untuk tidak mempedulikan Lilian, namun tiba-tiba dia mengurungkan niatnya. Karena Junot melihat ada sebuah motor gede yang telah siap-siap ingin menabrak wanita kesayangannya, itu.Namun dengan cepat, Junot berlari menuju ke tempat di mana gadis favorit sedang berdiri. Lalu pria itu pun berteriak,"Lilian, Awas!" Bersamaan dengan itu, Junot segera menghadang tubuh Lilian sehingga dia terlepas dari pemotor yang ingin menabraknya. Alhasil yang jatuh ke tanah dan terkena senggolan pemotor itu adalah Junot."Tuan Muda!" teriak, Asisten Taufik. Dia segera menelpon anak buahnya untuk mengejar pemotor tersebut.Asisten Taufik :"Segera kejar orang itu!"Anak buah :"Siap, Tuan."Se
"Hei! Kamu kok melamun terus, sih? Udah bosan belajarnya? Kalau memang iya, jangan dipaksain." tutur Doan, kepada Lilian. Saat ini keduanya sedang berada di sebuah kafe. Seperti biasa, disela-sela kesibukannya Doan membantu Lilian mengerjakan tugas-tugas kuliahnya."Enggak kok, Kak." lirihnya."Hei, kamu jangan bohong. Kakak tahu sifatmu! Biasanya kamu periang dan semangat gitu. Tapi sekarang kok berbeda?""Aku nggak apa-apa kok, Kak." ujarnya, menutupi kegalauan hatinya."Kamu sudah tonton video yang Kakak kirim kemarin?" selidik, Doan. Dia curiga perubahan sikap Lilian gara-gara video itu."Su ... sudah," jawabnya, singkat."Terus setelah kamu menonton video itu, makanya sikapmu berubah seperti ini, benar nggak tebakan, Kakak?""Aku tidak mau membahasnya, Kak." "Lil, kakak mau tanya sama kamu. Apakah kamu masih mencintai Junot?""Aku tidak mau membahasnya, Kak. Please ..." serunya, memelas."Baiklah." sahut, Doan.Namun Doan masih bisa merasakan kesedihan hati adik angkatnya itu.