Share

Bab 10

Danish menghampiri Bianca yang sedang asyik membersihkan kaca jendela kamarnya. Seragam putih dengan aksen renda di ujungnya begitu pas menempel di tubuh mungil gadis itu.

Danish menutup pintu yang tadinya terbuka. Suaranya membuat Bianca kaget dan menoleh. Gadis berkuncir kuda itu kembali menghadap jendela dan menghela napas panjang, menyadari masalah apa yang akan segera dihadapinya.

"Bianca." Terdengar suara berat agak serak dari lelaki yang selalu saja menghantuinya. Gadis itu bergeming. Dia menatap ke luar.

Langkah kaki terdengar mendekatinya. Jantung gadis itu berdebar tak karuan.

'Ya Tuhan, tolong kuatkan imanku menghadapi mahlukmu yang satu ini,' batin Bianca.

Sebuah sentuhan terasa di pundaknya. Bianca memejamkan matanya hingga kelopaknya tampak mengerut.

Tangan itu berusaha memutar tubuhnya. Tak bisa menolak, Bianca hanya bisa menunduk untuk menghindari tatapan lelaki itu.

"Kau marah?" tanyanya yang membuat gadis itu mengernyit bingung. Wajahnya perlahan terangkat. Mata elang itu tengah menatapnya tajam.

"Maksudnya? Kenapa aku harus marah?" Bianca balik bertanya. Mata elang itu menyipit. Seulas senyum tersungging di bibirnya.

"Kau milikku, tentu saja kau berhak marah dan cemburu saat aku membawa Barbara ke sini," ujar Danish yang berhasil membuat wajah Bianca merona.

Mereka begitu dekat. Tangan kanan Danish terulur ke dinding di samping kiri Bianca. Kini gadis itu berada dalam himpitan Danish.

Bianca terlihat gugup dan menunduk. Tangan danish yang lain terulur dan meraih dagu gadis yang tampak gugup itu.

"Kenapa kau menunduk? Kenapa kau tak lawan aku seperti biasanya?" bisik Danish seraya menatap dalam pada gadis itu. Bianca makin terlihat gugup.

"Hei, kau malu?" tanya Danish. Bianca membuang muka.

"Wajahmu merah. Apakah kau suka padaku?" tanya Danish menelisik. Bianca gelagapan seolah tidak bisa menjawab pertanyaan yang sama sekali tak diduganya. Dia berusaha menguasai keadaan. Namun, sepertinya gagal. Hatinya malah semakin berdebar tak keruan.

Danish mengendus rambut Bianca dan menghirupnya dalam.

"Kau begitu menggairahkan, Bianca. Kenapa kau tidak menyerah saja denganku dan hutangmu lunas," bisik Danish lagi.

Bianca mendongak menatap tajam lelaki itu.

"Kenapa di otakmu hanya selangkangan saja? Aku tidak akan sudi menjual tubuhku hanya untuk melunasi hutang bandot tua itu. Aku lebih baik bekerja banting tulang sampai mati daripada harus menyerahkan tubuhku pada bajingan seperti kamu!" umpat Bianca. Napasnya tampak tersengal.

Danish tersenyum sinis. Jarinya menelusuri rambut lalu  ke dahi, pipi dan bibir Biancaca.

"Kamu gadis keras kepala. Apa yang kau minta agar aku bisa menikmatimu di tempat tidur?" bisik Danish lagi.

"Tidak ada. Hanya suamiku yang berhak menikmati tubuhku!" ucap Bianca tegas. Mulut Danish membulat.

"Tuan, kenapa tidak kau hentikan saja petualanganmu. Pilih salah satu wanita lalu kau nikahi dia. Tak perlu kau berpindah dari satu pelukan ke pelukan lainnya."

"Oww ... ooww ... Bianca sang gadis berutang sedang memberikan ceramahnya. Tidakkah kau tahu jika hanya satu wanita itu sangat membosankan? Jika kau tidak percaya, kau bisa tanyakan pada ayahku. Betapa membosankannya jika terikat pada satu wanita." Mata itu terlihat nyalang. Mata Bianca membulat sempurna.

Danish  menarik tangannya lalu berbalik dan pergi. Bianca memejamkan matanya. Menarik napas dalam lalu tubuhnya luruh ke lantai.

'Ya Tuhan, ada apa dengannya? Kenapa aku merasa dia terluka dalam sikapnya yang jahat itu? Kenapa aku merasakan sesuatu yang aneh padanya? Apakah aku mulai menyukainya?' jerit hati Bianca.

Di dalam kamar yang lain, Danish menikmati guyuran air dari shower di atasnya. Matanya terpejam menahan perih di dada.

'Haruskah aku berubah hanya karena gadis itu?' Danish membatin. Kepalanya menggeleng kuat ingin menyangkal. Tanggannya terkepal lalu tanpa sadar meninju cermin di depannya. Tangannya terluka dan mulai berdarah. Danish kaget. Dia segera mengambil handuk yang tersampir dan memasangkannya di pinggang.

Setelah mematikan shower, dia segera keluar dari kamar mandi. Dia coba mencari plester juga obat merah di tiap laci di kamarnya. Nihil. Memang tidak ada di sana. Danish keluar dari kamarnya bertepatan saat Bianca melewati kamar itu hendak ke luar.

Mata mereka bertemu. Danish segera menyembunyikan tangannya yang terluka ke belakang. Namun, darah dari luka itu tak sengaja mengenai handuk yang dipakai Danish dan  meninggal noda merah di sana.

Mata mereka bertemu. Danish segera menyembunyikan tangannya yang terluka ke belakang. Namun, darah dari luka itu tak sengaja mengenai handuk yang dipakai Danish dan  meninggal noda merah di sana.

Gerakan Danish yang tiba-tiba juga menarik perhatian Bianca. Mata gadis itu langsung tertuju pada tangan Danish yang disembunyikan. Saat itu pula Bianca bisa melihat noda darah di handuk putih itu.

"Kau kenapa, Tuan? Kenapa ada darah di sini?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status