Danish menghampiri Bianca yang sedang asyik membersihkan kaca jendela kamarnya. Seragam putih dengan aksen renda di ujungnya begitu pas menempel di tubuh mungil gadis itu.
Danish menutup pintu yang tadinya terbuka. Suaranya membuat Bianca kaget dan menoleh. Gadis berkuncir kuda itu kembali menghadap jendela dan menghela napas panjang, menyadari masalah apa yang akan segera dihadapinya.
"Bianca." Terdengar suara berat agak serak dari lelaki yang selalu saja menghantuinya. Gadis itu bergeming. Dia menatap ke luar.
Langkah kaki terdengar mendekatinya. Jantung gadis itu berdebar tak karuan.
'Ya Tuhan, tolong kuatkan imanku menghadapi mahlukmu yang satu ini,' batin Bianca.
Sebuah sentuhan terasa di pundaknya. Bianca memejamkan matanya hingga kelopaknya tampak mengerut.
Tangan itu berusaha memutar tubuhnya. Tak bisa menolak, Bianca hanya bisa menunduk untuk menghindari tatapan lelaki itu.
"Kau marah?" tanyanya yang membuat gadis itu mengernyit bingung. Wajahnya perlahan terangkat. Mata elang itu tengah menatapnya tajam.
"Maksudnya? Kenapa aku harus marah?" Bianca balik bertanya. Mata elang itu menyipit. Seulas senyum tersungging di bibirnya.
"Kau milikku, tentu saja kau berhak marah dan cemburu saat aku membawa Barbara ke sini," ujar Danish yang berhasil membuat wajah Bianca merona.
Mereka begitu dekat. Tangan kanan Danish terulur ke dinding di samping kiri Bianca. Kini gadis itu berada dalam himpitan Danish.
Bianca terlihat gugup dan menunduk. Tangan danish yang lain terulur dan meraih dagu gadis yang tampak gugup itu.
"Kenapa kau menunduk? Kenapa kau tak lawan aku seperti biasanya?" bisik Danish seraya menatap dalam pada gadis itu. Bianca makin terlihat gugup.
"Hei, kau malu?" tanya Danish. Bianca membuang muka.
"Wajahmu merah. Apakah kau suka padaku?" tanya Danish menelisik. Bianca gelagapan seolah tidak bisa menjawab pertanyaan yang sama sekali tak diduganya. Dia berusaha menguasai keadaan. Namun, sepertinya gagal. Hatinya malah semakin berdebar tak keruan.
Danish mengendus rambut Bianca dan menghirupnya dalam.
"Kau begitu menggairahkan, Bianca. Kenapa kau tidak menyerah saja denganku dan hutangmu lunas," bisik Danish lagi.
Bianca mendongak menatap tajam lelaki itu.
"Kenapa di otakmu hanya selangkangan saja? Aku tidak akan sudi menjual tubuhku hanya untuk melunasi hutang bandot tua itu. Aku lebih baik bekerja banting tulang sampai mati daripada harus menyerahkan tubuhku pada bajingan seperti kamu!" umpat Bianca. Napasnya tampak tersengal.
Danish tersenyum sinis. Jarinya menelusuri rambut lalu ke dahi, pipi dan bibir Biancaca.
"Kamu gadis keras kepala. Apa yang kau minta agar aku bisa menikmatimu di tempat tidur?" bisik Danish lagi.
"Tidak ada. Hanya suamiku yang berhak menikmati tubuhku!" ucap Bianca tegas. Mulut Danish membulat.
"Tuan, kenapa tidak kau hentikan saja petualanganmu. Pilih salah satu wanita lalu kau nikahi dia. Tak perlu kau berpindah dari satu pelukan ke pelukan lainnya."
"Oww ... ooww ... Bianca sang gadis berutang sedang memberikan ceramahnya. Tidakkah kau tahu jika hanya satu wanita itu sangat membosankan? Jika kau tidak percaya, kau bisa tanyakan pada ayahku. Betapa membosankannya jika terikat pada satu wanita." Mata itu terlihat nyalang. Mata Bianca membulat sempurna.
Danish menarik tangannya lalu berbalik dan pergi. Bianca memejamkan matanya. Menarik napas dalam lalu tubuhnya luruh ke lantai.
'Ya Tuhan, ada apa dengannya? Kenapa aku merasa dia terluka dalam sikapnya yang jahat itu? Kenapa aku merasakan sesuatu yang aneh padanya? Apakah aku mulai menyukainya?' jerit hati Bianca.
Di dalam kamar yang lain, Danish menikmati guyuran air dari shower di atasnya. Matanya terpejam menahan perih di dada.
'Haruskah aku berubah hanya karena gadis itu?' Danish membatin. Kepalanya menggeleng kuat ingin menyangkal. Tanggannya terkepal lalu tanpa sadar meninju cermin di depannya. Tangannya terluka dan mulai berdarah. Danish kaget. Dia segera mengambil handuk yang tersampir dan memasangkannya di pinggang.
Setelah mematikan shower, dia segera keluar dari kamar mandi. Dia coba mencari plester juga obat merah di tiap laci di kamarnya. Nihil. Memang tidak ada di sana. Danish keluar dari kamarnya bertepatan saat Bianca melewati kamar itu hendak ke luar.
Mata mereka bertemu. Danish segera menyembunyikan tangannya yang terluka ke belakang. Namun, darah dari luka itu tak sengaja mengenai handuk yang dipakai Danish dan meninggal noda merah di sana.
Mata mereka bertemu. Danish segera menyembunyikan tangannya yang terluka ke belakang. Namun, darah dari luka itu tak sengaja mengenai handuk yang dipakai Danish dan meninggal noda merah di sana.
Gerakan Danish yang tiba-tiba juga menarik perhatian Bianca. Mata gadis itu langsung tertuju pada tangan Danish yang disembunyikan. Saat itu pula Bianca bisa melihat noda darah di handuk putih itu.
"Kau kenapa, Tuan? Kenapa ada darah di sini?"
Bianca berusaha mencari tahu. Namun, Danish hanya menggeleng."Tidak apa-apa, aku hanya terluka sedikit," ucap Danish datar. "Coba aku lihat, Tuan." Bianca menarik paksa lengan Danish. Namun, yang dipaksa enggan memberikan tangannya. Danish mundur untuk menghindari Bianca. Akan tetapi gadis itu tetap memaksa ingin melihat luka tuannya. Karena gerakan mereka yang saling menarik, tanpa sengaja handuk yang dipakai Danish terlepas. Bianca yang sedang berusaha menarik tangan Danish, refleks menjerit dan menutup matanya saat melihat sesuatu yang tabu. "Sudah kubilang aku tidak apa-apa. Kenapa kau malah memaksa." Danish menggerutu sambil meraih handuknya dan memakainya kembali. Sepintas Bianca bisa melihat luka di jari tangan Danish yang masih mengeluarkan darah. "Tanganmu berdarah, Tuan. Tunggu sebentar akan aku ambilkan plester dan obat merah," ujar Bianca. Dia berlari ke ruang tengah di mana terdapat peralatan P3K. Setelah didapat, dia segera kembali ke kamar Danish. Di sana Danish
"Memangnya siapa yang rambutnya acak-acakan?" tanya Danish dingin. Bianca terlihat salah tingkah. "Eh, itu ... ish aku lagi ngomongin Lee Min Ho. Dia kan penampilannya memang rapi," jawab Bianca kikuk. Danish menyunggingkan seulas senyum sinis kemudian berlalu ke kamarnya. "Rey, kakakmu seperti tersinggung," ujar Bianca dengan wajah menyesal. Rey hanya tertawa kecil. "Kak Danish emang selalu serius. Gak usah diambil pusing. Aku mandi dulu ya." Rey bangkit dan berlalu ke kamarnya. Bianca mengangguk sembari tersenyum. ****** Keesokan harinya, saat sore menjelang Bianca mengganti sprei di tiap kamar. Sengaja dilakukan sore, agar saat pemilik kamar tiba sprei-nya terlihat masih bersih. Lagu Pretty Boy dari M2M mengalun merdu dari ponsel gadis itu. I lie awake at night See things in black and white I've only got you inside my mind You know you have made me blind I lie awake and pray That you will look my way I have all this longing in my heart I knew it right from the start
"Astaga! Tuan, Anda baik-baik saja?" tanya Bianca makin mendekat. Dia sentuhkan punggung tangannya ke kening Danish."Panas sekali, Tuan," ujar Bianca seraya menarik tangannya, "Anda sakit. Tunggu sebentar saya ambilkan kompresan." Bianca segera berlari ke arah dapur dan mengambil air es. Kemudian, sebuah handuk kecil dia ambil dari ruang laundry. Tak lama, gadis itu kembali ke kamar Danish. Dia bahkan tidak menghiraukan pertanyaan dari Rey yang heran melihat Bianca bolak-balik.Bianca mengambil sebuah kursi dan menempatkannya tepat di samping tempat tidur. Dia segera memeras handuk dalam wadah air es dan menempelkannya di kening Danish. Lelaki itu tampak mengernyitkan dahinya. Sepertinya dia tidak nyaman dengan rasa dingin yang tiba-tiba terasa. Tubuhnya menggeliat. "Dingiin," rintihnya pelan. "Tapi Anda panas sekali, Tuan." Bianca menempelkan kembali handuk yang sempat terjatuh. "Minum obat dulu ya? Atau saya panggilkan dokter?" Danish menggeleng. "Aku hanya pusing setelah mem
"Makanya harus nurut kalau mau diurusin!" ujar Bianca ketus. Danish mengangguk pelan. "Iya, Tuan Putri," jawab Danish lirih. Wajahnya yang pucat tampak memelas. Bianca kembali ke tempat duduknya."Haa ...!"Bianca menyodorkan sesendok bubur yang mulai dingin. Walau rasa mual terasa menyiksa, lelaki bermata elang itu berusaha membuka mulutnya. Sesuap bubur berhasil dia telan dengan kekuatan super."Kamu sakit karena telat makan. Makanya jangan susah makan, Tuan. Apa susahnya, sih? Orang lain pada susah mau makan. Ini tinggal buka mulut, tapi susahnya minta ampun," cerocos Bianca tanpa jeda. Danish memperhatikan gadis itu sambil mengunyah bubur yang terasa pahit di lidah."Kamu cantik kalau lagi cerewet sepert itu," ucap Danish yang berhasil membuat wajah Bianca merah seketika. Gadis itu terlihat salah tingkah."Kalau kamu mau aku gak telat makan, mulai sekarang kamu harus suapin aku tiap hari," lanjut Danish."Kenapa kamu manja sekali, Tuan? Dan kenapa tidak kau nikahi saja salah satu
Gadis bertubuh mungil itu memindai seisi lemari pendingin yang ukurannya lebih besar dari lemari di kamarnya. Ada chesse cake juga brownies aneka rasa. Setelah mengambil beberapa potong dan menaruhnya di piring kecil, Bianca segera menyiapkan teh chrysant. Secepat kilat dia menaruh di meja di mana Rey sudah ada di sana."Silakan. Aku ke kamar dulu ya." Bianca menyunggingkan seulas senyum sebelum pergi. Baru satu langkah, terdengar lelaki itu memanggil namanya, "Bianca."Gadis itu menoleh."Iya?""Temani aku sebentar. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama kamu."Gadis itu urung melanjutkan langkahnya. Dia kembali ke meja dan menarik sebuah kursi di depan Rey.Lelaki itu bangkit. Bianca menatapnya penuh tanya."Tunggu! Sekarang giliranku membuatkan teh untuk kamu. Diam di situ!" pinta lelaki berkaos putih itu. Kening Bianca mengerut.Tak perlu waktu lama, secangkir teh chrysant telah tersaji di depan Bianca. Wanginya menguar seantero ruangan."Kamu belum pernah mencobanya, 'kan? Ban
Sore itu Bian dengan telaten menyeka tubuh Danish menggunakan waslap, lalu menggantikan bajunya dengan yang baru."Tolong ambilkan juga pakaian dalamku, Bian. Aku sudah tidak nyaman."Mendengar itu mata Bian membulat sempurna."Siapa yang mau pakaikan, Tuan. Memangnya kau bisa memakainya sendiri?" Bian berkacak pinggang dengan wajah memberengut."Tentu saja kau yang pasangkan. Aku mana bisa. Kau lihat sendiri, 'kan, tanganku susah bergerak karena selang infus ini.""Anda jangan ngelantur, Tuan. Sementara kau pakai saja celana dalam itu sampai sembuh.""Biiiaaan, kau bisa membuka dan memakaikannya tanpa melihat. Kau bisa tutupi tubuhku dengan selimut. Ayo, tolonglah. Aku sudah tidak nyaman." Wajah Danish terlihat memelas. Bian menarik napas panjang."Ok, tapi kau tidak boleh berbuat mesum, ya. Kalau tidak, aku potong pakai pisau buah ini!" ancam Bian. Melihat itu, Danish meringis ngeri."Jahat banget kamu, Bian.""Bilang jahat, tapi maunya aku yang urusin. Kau itu aneh sekali, Tuan. Pa
Bian menyiapkan bubur yang sudah disiapkan juru masak. Semangkuk komplit dengan sayur sop juga telur rebus. Wanginya tercium menggugah selera.Danish sudah mulai membaik dan tidak diinfus lagi. Nafsu makannya sudah kembali."Bian, ada Pak Demian sama Bu Monic ke sini." Yuni tergopoh-gopoh mendekati Bian. Gadis yang hendak beranjak ke kamar tuannya itu seketika berhenti mengangkat baki."Kenapa, Bi? Ada yang harus aku sajikan untuk mereka?" tanya Bian sambil menatap Yuni."Eh, itu nanti saja aku yang siapkan. Kamu hati-hati, dia orangnya jutek sekali," jawab Yuni."Siapa? Tuan Demian menurutku sangat baik. Aku pernah bertemu waktu itu sebentar.""Bu Monic, dia jutek sekali. Dan biasanya suka sok ngatur kalau dia ke sini, terlebih kalau tidak ada Tuan Danish. Hiih juteknya minta ampun." Yuni bergidik ngeri. Bian tertawa kecil melihat kelakuan temannya itu."Ya sudah, aku coba lihat seberapa juteknya Nyonya Monic. Bi Yuni di dapur aja, biar nanti aku yang bawa cemilannya ke depan," ucap
"Kalian tidak perlu berbasa-basi. Aku tidak butuh perhatian dari kalian. Jika kalian akan berhenti menggangguku kalau aku menikah, baiklah. Secepatnya aku akan menikah," jawab Danish lugas.Mata Demian juga Monic membulat tak percaya. Anak lelaki yang mereka tahu senang berpetualang dari satu wanita ke wanita lainnya itu memutuskan menikah."Benarkah itu? Irene pasti bahagia mendengarnya. Kita bisa siapkan pertemuan keluarga ini dengan keluarga Samuel. Mama akan siapkan dengan sempurna," ujar Monic dengan wajah semringah."Siapa yang bilang padamu aku akan menikah dengan Irene?" tukas Danish sinis membuat mata Monic hampir keluar. Wajahnya terlihat marah."Secepatnya aku akan menikahi Bian. Biar kalian tidak perlu pura-pura khawatir lagi padaku," ujar lelaki itu.Wajah Demian menunjukkan senyum bahagia. Namun, tidak dengan Monic. Dia memandang tajam pada gadis di depannya. Sedang Bian sontak menoleh pada lelaki di sampingnya. Wajah lelaki itu tidak menunjukkan sedang bercanda sama sek