LOGINMalam itu, Evelyn benar-benar tak bisa memejamkan matanya. Meskipun kamar yang diberikan Moskov adalah yang ternyaman yang pernah dia tempati, tapi pikiran Evelyn berkelana ke mana-mana.
Ia takut jika Moskov menyakiti adiknya yang sedang dirawat di rumah sakit. Meski ia sudah menandatangani perjanjian, tapi bukan tidak mungkin pria itu tidak melakukan apapun yang dia suka. "Tidak, dia tak boleh menyakiti adikku," gumam Evelyn. Gadis itu terus mondar-mandir di kamarnya. Rasa lapar yang tadi dia rasakan menguap begitu saja. "Aku harus kembali memohon kepadanya agar tak melukai Gery. Aku akan melakukan apa saja asal Gery bisa selamat." Evelyn lantas keluar dari kamar menuju ruang kerja Moskov. Meskipun tubuhnya menggigil ketakutan, tapi dia sudah membulatkan tekadnya agar Moskov tak pernah menyentuh Gery. Tok tok. Di dalam ruangan, Moskov yang sudah siap untuk pergi, mengerutkan keningnya. Pria itu membuka pintu itu dengan cepat, matanya menatap nyalang ke arah Evelyn yang berdiri kaku di hadapannya. Ekspresinya yang mengeras menunjukkan bahwa ia tak suka dengan Evelyn yang lancang menemuinya tanpa perintah. "Apa yang kau lakukan di sini?" suara bariton Moskov terdengar. Evelyn menelan ludah gugup, kepalanya menunduk tak berani melihat ke arah Moskov. Lalu tiba-tiba ia berlutut di kaki pria itu. "Tuan, aku ingin meminta sesuatu kepadamu." Mata Moskov menajam, tapi ia tidak mengatakan apapun dan menunggu apa yang ingin Evelyn katakan kepadanya. "Tolong jangan sakiti adikku, Tuan. Hanya dia yang aku punya di dunia ini," mohon Evelyn dengan suara bergetar. Moskov tiba-tiba menarik lengan Evelyn dan melemparnya masuk ke dalam ruang kerjanya. Tubuh Evelyn berbenturan dengan lantai yang membuatnya meringis. Moskov berjongkok di hadapannya, lalu meraih dagunya dan mencengkeram dengan erat. "Berani sekali seorang budak meminta sesuatu pada tuannya?" Evelyn memejamkan matanya karena cengkeraman tangan Moskov yang membuatnya kesakitan. "Jika itu demi adikku, aku akan melakukan apapun," cicit Evelyn dengan suara bergetar. Moskov menghempaskan wajah Evelyn. Tubuh gadis itu gemetar, tapi tak ada yang lebih penting daripada keselamatan adiknya saat ini. "Apa yang kau berikan padaku jika aku mengabulkan permintaanmu? Kau tak punya apapun selain tubuhmu, bukan?" Deg. Lagi-lagi tubuh Evelyn membeku. Dia baru sadar jika apa yang dikatakan Moskov adalah kebenaran. Evelyn masih terus melihat ke arah Moskov yang tengah menikmati sebatang rokok. Sementara di depannya, Moskov diam-diam meliriknya, seolah menunggu sejauh mana keberanian Evelyn untuk sebuah permintaan. Permintaan yang sebenarnya bisa dikabulkan Moskov dengan mudah. Pikiran Evelyn kosong, dia tak bisa berpikir apapun karena selama ini sudah terlalu lama pasrah dengan semua keadaan yang menimpanya. Setetes air mata jatuh kembali dari kedua matanya. Perlahan dengan tubuh gemetar Evelyn mencoba bangkit dari posisi berlututnya. Dia meremas kedua ujung gaunnya yang lusuh. "Ya, Tuan benar. Aku hanya punya tubuhku saja,” katanya dengan suara tercekat. “Ji-jika Tuan memang mau mengambilnya, aku tak keberatan.” Dengan tangan gemetar, Evelyn membuka gaun yang dia kenakan sambil memejamkan mata. Dia takut, sangat takut. Tapi saat ini, hanya ini yang bisa dia lakukan untuk melindungi adiknya yang tidak bersalah. Bukankah sudah kepalang tanggung? Dia sendiri sudah dijual oleh ayahnya. Jadi dia tak akan berharap apapun lagi di dunia ini. Tangan Moskov bergerak lambat dan membuang rokok yang dia hisap tadi. Matanya terus terpaku pada Evelyn. Tubuh putih pucat itu kurus kering. Seolah belum cukup mengenaskan, ada beberapa luka yang belum kering. Moskov juga baru memperhatikan jika sudut bibir Evelyn juga sobek, ada bekas darah yang mengering di sana. Evelyn masih memejamkan matanya saat ini, dia mengepalkan kedua tangannya menahan semua perasaannya yang ingin meledak. Moskov berjalan mengitari tubuh Evelyn. Dia terkejut saat melihat punggung Evelyn yang terdapat bekas cambukan. Tak hanya satu, bahkan di bagian pundaknya juga ada bekas jahitan yang sudah lama. Sepasang mata hitam legam itu berkilat. Ada amarah yang berusaha ditahan. Namun, suaranya tetap terdengar tenang ketika berbicara. "Jadi tubuh seperti ini yang ingin kau tawarkan kepadaku?" katanya. Suara bariton Moskov yang masuk ke telinga Evelyn terdengar seperti ejekan. Evelyn membuka matanya perlahan. Dia bisa melihat dari pantulan kaca jendela jika saat ini Moskov sedang berdiri di belakangnya. “Ya, Tuan... hanya ini yang tersisa dariku.” Moskov menyeringai, perlahan tangannya mengusap punggung Evelyn yang penuh luka itu. Seketika mata Evelyn kembali memejam, berusaha menahan ringisan karena Moskov mengusap bagian luka yang belum kering, bekas hukuman yang diberikan Roni kepadanya. "Jika aku memintamu untuk membuka semuanya, apa kau akan melakukannya juga?" tantang Moskov. Namun, tanpa pria itu duga, tangan Evelyn bergerak membuka bra yang dikenakannya. Benda penutup itu terjatuh begitu saja di lantai. Tak berhenti di sana, tangan Evelyn bergerak ke bawah untuk meraih benda segitiga itu. Evelyn menggigit bibir bawahnya, menahan semua rasa takut, malu, marah dan semuanya yang tak bisa dia ungkapkan saat ini. "Bukankah tanggung sekali jika hanya telanjang di depanku?” Suara Moskov kembali terdengar, membuat Evelyn gemetar di tempatnya. “Bukankah kau berniat menjadi jalang dengan melakukan ini semua? Dan berharap jika aku akan memberikan apa yang kau mau?” Semua perkataan Moskov benar-benar melukai harga diri Evelyn. Saat ini, ia sudah tak memakai sehelai benang pun. Semua pakaiannya sudah tergeletak mengenaskan di dekat kakinya. Perlahan, gadis itu membuka matanya dan berbalik ke arah Moskov. Sepasang mata Moskov melihat tubuh Evelyn dengan tenang, sementara Evelyn melangkah pelan ke arah pria itu. Dia memberanikan diri untuk memegang Moskov. Tapi belum sempat Evelyn menyentuhnya, tangan Moskov mencengkeram erat leher Evelyn. Gadis itu tersentak. Matanya membelalak ngeri karena tindakan tidak terduga itu. Tubuh Evelyn sedikit terangkat ke atas, membuatnya hampir kehabisan napas. Wajahnya memerah karena cengkeraman Moskov. “Le-lepas ….” Evelyn berusaha melepaskan tangan Moskov. “Aku tak tertarik dengan tubuhmu itu,” ujar Moskov. “Pakai bajumu dan kembali ke kamarmu. Kau benar-benar membuatku muak!" Setelah mengatakan itu, Moskov melepaskan cengkeramannya, membiarkan tubuh Evelyn jatuh lemas ke lantai. Kening Evelyn terbentur sudut meja kerja Moskov. Dia meringis kesakitan, memegang keningnya yang terluka. "Pergi dari sini!" usir Moskov dingin. Evelyn meraih gaunnya yang teronggok di lantai, lalu melihat Moskov masuk ke dalam sebuah ruangan lain yang ada di sana. Tangannya yang pucat terasa dingin dan kebas. Evelyn menahan isak saat mengenakan kembali pakaiannya. Sungguh … rasanya ia ingin ikut ibunya pergi dari dunia. Sementara itu, di dalam ruangan pribadinya, Moskov mengumpat kasar, lalu meninju cermin di depannya hingga buku-buku jarinya berdarah …. to be continuedMoskov yang baru selesai membersihkan badannya mencari keberadaan Evelyn yang tak ada di kamarnya. "Kemana dia?" Moskov melihat piyama miliknya sudah berada di atas ranjang Dia tersenyum kecil melihat itu. Meskipun marah pada Moskov tapi Evelyn tak pernah lupa menyiapkan semua keperluan Moskov. Moskov meraih itu, dan tak lama dia memilih mencari Evelyn keluar kamar. Disaat Moskov berasa di anak tangga dia mencium bah harum masakan. "Mau di bilang marah tapi semua masih di urusin sama dia." gumam Moskov. Moskov menghampiri Evelyn yang sibuk menyiapkan makanan untuknya. Tercium aroma seafood dari arah dapur. Tak lama Evelyn sudah selesai dengan masakannya. Dia sedikit berjingkat karena melihat Moskov sudah duduk manis di depannya. "Kenapa kau selalu mengagetkan ku, jika aku kena serangan jantung bagaimana?" omel Evelyn. Meskipun sejak tadi dia sudah cemberut tapi dia tetap menyiapkan makanan untuknya. Moskov yang melihat piring di depannya pun menaikkan sebe
Evelyn masih menunggu penjelasan dari Moskov. Feeling nya mengatakan jika baru saja terjadi sesuatu pada Moskov. Moskov akhirnya menyerah. Dia menarik lembut tangan Evelyn lalu memindahkan tubuh Evelyn di pangkuannya. "Aku ceritakan, tapi kau tak boleh menyela sama sekali." Evelyn mengangguk patuh, setelahnya dia mendengar semua cerita Moskov tanpa ada yang terlewat. Evelyn hanya diam tanpa ingin menyahut. Tapi terlihat sekali jika Evelyn kesal. "Kau marah?" tanya Moskov lembut. Evelyn menggeleng, dia menarik kerah baju Moskov lalu mencium bibir Moskov. Belum sempat Moskov menikmatinya, Evelyn sudah melepaskannya dengan cepat. "Sayang, kenapa cepat sekali? Aku bahkan belum menikmatinya." protes Moskov. Tapi bukannya kembali mencium Moskov, Evelyn malah turun dari pangkuan Moskov dan kembali naik ke ranjang. Dia kembali mengambil tab milik Moskov lalu mencari drama kesukaannya. Moskov yang melihat tingkah Evelyn tentu saja bingung. Dia ingin menyusul Evelyn
Gadis penjual bunga itu terisak, sampai seseorang temannya datang kesana. Dia terkejut melihat temannya itu terduduk di sudut toko dengan keadaan toko yang berantakan. "Saskia, apa yang terjadi? Kenapa kau terluka seperti ini?" "Cara aku di lecehkan oleh seseorang." jawab Saskia pelan. Mata Cara membola mendengar itu, dia membantu Saskia untuk bangun. Dia tak mengatakan apa apa tapi dia tetap menolong Saskia dan membawanya ke belakang. Tapi sebelum itu dia menutup pintu toko bunga itu terlebih dahulu agar tak ada pembeli yang masuk ke dalam. "Katakan pada ku apa yang terjadi sebenarnya dan bagaimana kau bisa sampai di lecehkan seseorang?" tanya Carra ingin tahu. Saskia menggigit bibir bawahnya, bingung harus bercerita seperti apa. Tapi dia menginginkan Moskov saat ini. Dia tak pernah merasakan ketertarikan secara langsung pada laki laki. Dan baru ini dia merasakan hal yang tak bisa di cegahnya. Carra yang melihat itu merasa curiga, tapi dia masih ingin mendengar kan cer
Semua sudah selesai, Tanu juga sudah di habisi oleh Max. Saat ini Moskov berada di kamar nya yang ada di markas. Segelas anggur merah berada di tangannya. Berkali kali dia menghela napas panjang. Entah apa yang dia pikirkan saat ini. Tapi rasanya dia sudah muak, semua orang orang terdekatnya tewas dengan cara yang mengenaskan. Tapi memang dia tak akan bisa menghindari semuanya. "Kau tak pulang? Apa istrimu tak menunggumu?" Moskov masih diam di tempatnya. Gerald mendekat, dia langsung mengambil gelas anggur dari tangan Moskov. "Kalau kau mau marah, marah saja. Aku tak peduli. Tapi aku lebih peduli sama kakak iparku yang jelas sedang menunggumu di kastil. Bukan kah kau berjanji untuk kembali pulang secepatnya?" Moskov berpindah tempat dan duduk tak jauh dari Gerald. Gerald yang kesal pun, mulai menggoda Moskov dengan semua kalimat yang akan membuat Moskov marah kali ini. "Kalau kau tak mau pulang, biar aku yang temani kakak ipar. Aku dengar dia semakin cantik sekarang!"
Victor terdiam, dia menatap geram kepada Gerald. Apalagi sekarang Barra juga sudah tewas, jadi penyokong utama Victor pun sudah menghilang. "Argh..... sakit.... bunuh saja aku...." Terdengar kembali teriakan dari Tanu. Perempuan itu benar benar di siksa oleh Max dan anak buah Moskov. Victor menggeram marah. "Lepaskan Tanu!" Bugh... Gerald menghantam wajah Victor dengan keras yang membuat dirinya juga meringis kesakitan. "Sial, wajahnya keras sekali!" umpat Gerald. Moskov menggeleng, dia enggan menyentuh Victor meskipun dia sudah menghabisi Bibi pelayan yang mengurusnya. Rasanya hati Moskov bahkan sudah tak ingin berurusan dengan mereka lagi. "Gerald, terserah kau ingin melakukan apa kepada mereka. Aku hanya ingin melihat," ucap Moskov. Gerald merasa aneh dengan Moskov, terlihat sekali jika Moskov enggan bertindak. Tapi Gerald tak tahu apa yang terjadi dengan Moskov kali ini. "Kau kenapa?" Mereka berdua bahkan dengan santai mengobrol, mengabaikan Victor
Victor terdiam, Victor lupa karena mengatakan hal yang membuat Moskov kembali mengingat apa yang sudah mereka semua lakukan pada orang tua Moskov. Victor menundukkan kepalanya, dia sebenarnya menyesal melakukan semua itu kepada Moskov. Tapi karena ambisi dan juga bisikan dari banyak musuh Moskov membuat Victor gelap mata.. Victor mendongak saat terdengar suara teriakan keras dari arah ruangan Tanu. Ternyata disana Tanu baru saja di siram dengan air dingin agar dia kembali bangun. "Papa, tolong Tanu papa!!" teriak Tanu saat pertama kali Tanu tersadar. Victor menggeleng, tanpa disadari air mata Victor keluar dengan sendirinya. Tanu yang sejak tadi sudah ketakutan terbelalak saat melihat Moskov ada disana. "Moskov, apa ini ulahmu?" tanya Tanu lirih. Tanu tak percaya jika Moskov melakukan ini semua kepadanya dan juga sang papa. "Iya, memang aku pelakunya. Dan bagaimana? Apa kau menikmati semua siksaan ini?" Tanu menggelengkan kepalanya tak percaya, dia masih tak







