Baru saja keluar dari lokasi tes wawancara, ponsel Reta sudah berdering. Reta merogoh saku roknya. Dia bisa melihat nama Rumi ada di layar ponselnya.
Reta menggerakkan kursi rodanya ke pinggiran. Dia menerima telepon di tepian lorong tempat dirinya tes wawancara tadi.
“Iya. Apa kabar, Bu Rumi,” sapa Reta dengan ramah. “Apa Ibu sudah baik-baik saja?”
“Reta, makasih ya. Berkat kamu, saya tertolong,” balas Rumi dengan sangat ramah.
Hati Reta merekah mendengarkan suara ramah Rumi. Mendadak dia memiliki intuisi bagus tentang kontrak kerjasamanya dengan Rumi.
“Bu Rumi masih di rumah sakit? Atau, sudah pulang?” tanya Reta. “Beneran udah baikan, kan, Bu?”
“Sekarang lagi persiapan pulang ke rumah. Saya tidak betah lama-lama di rumah sakit.”
“Saya senang Ibu bisa sehat lagi. Kemarin saya kaget dan khawatir. Saya kira Ibu kenapa-kenapa. Apalagi, kita kan lagi di kafe, Bu. Mendadak saya jadi teringat kejadian kasus kopi sianida. Takutnya nanti saya dituduh yang tidak-tidak,” celoteh Reta setengah bercanda.
Rumi terkekeh mendengar candaan Reta. Dia suka dengan selera humor gadis cantik berlesung pipi itu.
“Reta, kamu ada waktu besok?”
“Besok jam berapa, Bu?” balas Reta. “Kebetulan saya menganggur semenjak kecelakaan sembilan bulan lalu. Sekarang masih kerja freelance seperti membuat desain untuk Ibu sambil mendaftar kerja.”
“Oh, gitu rupanya.”
“Iya, Bu,” ucap Reta malu. Dia menyadari bahwa dirinya mendadak terlalu terbuka pada Rumi. Padahal, Rumi adalah kliennya. Tak baik jika terbuka soal urusan pribadi pada klien sebenarnya.
“Besok sore bisa datang ke rumah saya?” tanya Rumi. “Anak saya melihat draft gambarmu yang tertinggal di meja rumah sakit kemarin. Dia suka dengan desainnya dan mau membiayainya. Tapi, ada beberapa catatan tambahan yang harus kamu benahi.”
Ujung bibir Reta langsung tertarik melebar ke atas. Senyuman manisnya terlihat kentara begitu nyata.
“Sungguh, Bu? Ibu sungguh-sungguh tertarik dengan draft rancangan saya?” timpal Reta dengan penuh semangat.
“Kalau saya pribadi, sejak lihat portofoliomu di i*******m, saya memang sudah cocok. Cuma anak pertama saya itu orangnya pemilih. Makanya, kemarin saya minta kamu gambarin draft-nya. Lumayan gitu buat jadi bahan pertimbangan. Soalnya anak pertama saya itu yang paling bawel,” terang Rumi.
“Anak perempuan biasanya emang bawel, Bu. Tapi, semuanya pasti demi kebaikan Ibu.”
“Ah, anak pertama saya laki-laki kok,” ujar Rumi mengklarifikasi jenis kelamin anaknya. “Kamu ke rumah saya ya? Nanti saya kirim sopir buat jemput dan antar kamu pulang deh. Kamu kirimin alamat rumahmu habis ini ya, Reta? Saya tunggu besok sore. Biar desain bangunan impian saya cepat terwujud.”
“Iya, Bu,” sahut Reta mengakhiri percakapan.
Senyuman Reta tak bisa terhenti. Dia benar-benar senang karena sebentar lagi akan mendapatkan gaji pertamanya setelah menganggur hampir satu tahun.
Reta pun menyiapkan beberapa buah portofolio-nya saat sudah sampai di rumah. Dia mencoba merevisi gambar-gambar yang sebelumnya sempat dia presentasikan pada Rumi kemarin.
“Ret, makan, Ret. Dapet kiriman nih dari orang tuaku,” Ninda masuk ke dalam kamar Reta.
Semenjak keluar dari rumah sakit, Reta dan Ninda bergantian tinggal di rumah Reta dan Ninda. Tiap satu minggu ke rumah Reta dan minggu berikutnya di rumah Ninda. Memang agak merepotkan tapi mereka senang karena bisa saling mengisi kesepian satu sama lain.
Ninda pun sebenarnya tak banyak jadwal selain pergi ke kafe dan ikut kencan buta pilihan orang tuanya. Untungnya Ninda memang tipe yang cuek dan menurut saja. Ya, Ninda sudah melalui masa-masa nakalnya saat di bangku kuliah. Sekarang dia sudah sadar dan memilih hidup sederhana dan menuruti keinginan orang tuanya saja. Tujuan Ninda sesederhana ingin hidup damai, berkecukupan, dan memiliki banyak pahala untuk bekal mati. Semua keputusan itu muncul karena Ninda sudah pernah nyaris berada di ambang kematian saat overdosis narkoba di mobilnya.
Reta mengambil potongan apel dan stroberi di piring buah yang berukuran lebar itu. “Papamu panen lagi ya?” ucap Reta.
“Iya. Katanya angin dan cuaca tahun ini bagus buat bercocok tanam. Makanya, panennya banyak sampai dikirimin mulu ke kafeku,” balas Ninda. “Ini aja sisaan. Masih seger dan manis, kan?”
“Iya. Enak terus kok. Aku paling seneng kalau dapet makanan dari orang tuamu. Semuanya enak. Berasa punya orang tua lengkap juga.”
Ninda tersenyum simpul. “Nikah sama Kak Doni aja, Reta. Nanti kamu bakal jadi keluargaku beneran,” kekeh Ninda menggoda Reta.
“Eiy, nggak berani aku. Udah kubilang kan, sekarang aku cacat. Nilai jualku udah anjlok,” Reta merapikan berkasnya. Dia memasukkannya ke dalam stopmap plastik agar tak rusak.
“Ret, nilai jual nggak ditentuin sama fisik kok. Yang terpenting itu hati,” ujar Ninda dengan nada yang mendramatisasi.
“Kamu ini semenjak tobat, hobi banget ya kayak gini,” tawa Reta terkekeh sekarang.
“Ya mau gimana lagi. Hidup ternyata gitu-gitu aja. Aku nggak pengen tersesat lagi. Enak hidup kayak gini pokoknya, Ret.”
“Iya, paham kok. Aku pun pengen hidup kayak kamu, Ninda,” tutur Reta dengan senyuman getirnya. “Ya, tapi nasibku lebih apes sekarang.”
“Nggak apeslah. Kan mau ketemu sama calon mertuamu.”
“Eh, Bu Rumi itu klienku. Okay?”
“Berawal dari klien, nanti turun ke hati jadi mertua.”
“Gila kamu, Nin. Udah ah. Hush! Hush!” Reta mengusir Ninda dari kamarnya. Dia butuh lebih banyak konsentrasi sekarang.
***
Tepat di hari H, mobil jemputan dari Rumi datang sesuai jadwal. Reta naik ke dalam mobil mewah dan pergi ke rumah Rumi.
Tentu saja rumah Rumi ini terhitung luas. Reta terkagum takjub melihatnya.
Seorang pembantu menolong Reta dengan menggerakkan kursi roda Reta dari belakang. Pembantu itu mengarahkan Reta ke ruang tamu di mana Rumi sudah menunggu di sana.
“Reta,” Rumi tersenyum manis. Dia melangkah menghampiri Reta dan memeluknya dengan hangat.
Reta tentu saja merasa malu. Jarang sekali ada orang asing yang bersikap ramah pada Reta.
“Bu Rumi, saya senang melihat Ibu sehat,” ujar Reta. Dia memberikan paper bag berisi buah dari kebun orang tua Ninda. “Ini ada sedikit oleh-oleh.”
Rumi menerimanya dan tersenyum lebar usai melihat isinya. “Wah, kebetulan banget ini. Saya memang pengen coba stroberi.”
“Syukurlah.”
Rumi memanggil pembantu. Dia menyuruh pembantu itu membawa oleh-oleh dari Reta ke dapur untuk disimpan di kulkas.
Setelah itu, Rumi mengajak Reta mengobrol soal draft desain rumah itu. Rumi memberikan catatan revisi untuk Reta. Dia juga menjelaskannya.
Reta tentu saja mencatat semuanya. Bekerja pada Rumi menjadi sebuah harapan untuknya. Dia akan memperlakukan harapan ini dengan sangat baik agar bisa berbuah baik juga.
“Reta, sudah mendaftar kerja di mana saja?” tanya Rumi. “Sudah coba ke High Level belum?”
“High Level?” Reta terdiam sebentar. “Ah, kemarin saya sudah wawancara kerja ke High Level, Bu.”
“Oh, begitu. Semoga keterima ya,” Rumi tersenyum manis. “Oh iya, saya mau foto sama kamu. Mumpung kamu belum pulang.”
“Foto buat apa, Bu?”
“Biasa. Buat kasih tahu suami dan anak-anak siapa heroin yang sudah selametin saya kemarin,” Rumi mengarahkan kamera selfie ponselnya ke dirinya dan Reta. Dia memotret beberapa kali foto wefie bersama Reta.
Reta berpose cukup kaku. Dia sedikit kaget tapi memang Rumi sangat ramah dan baik. Bahkan, saat Reta pulang, Rumi memberi banyak makanan untuk Reta.
“Buat dimakan ya?” ujar Rumi lembut.
Reta tak bisa menolaknya. Dia menerimanya dan pulang dengan mobil milik Rumi.
Sesaat setelah Reta pulang, ada mobil lain datang ke rumahnya. Rumi menunggu karena itu adalah mobil anak pertamanya, Dirgantara Pratama Sanjaya yang akrab disapa Dirga.
Dirga menghampiri Rumi dan memeluknya. “Katanya mau ketemu sama arsitek kesayangan Mama. Mana?” tanya Dirga heran.
“Udah pulang. Kamu sih kelamaan.”
“Aku masih ada kerjaan. Kan udah kubilang pas diner aja ketemuannya.”
“Anaknya pemalu. Kayaknya bakal nolak kalau diajak ketemu pas diner. Makanya, Mama undang pas sore hari ke sini tadi,” terang Rumi. Tangan Rumi mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto-foto dirinya bersama Reta.
“Cantik ya, Ga?” ucap Rumi.
Dirga paham maksud Rumi. Mamanya itu ingin dia cepat menikah. Namun, Dirga memang belum bisa menikah atau mencintai perempuan usai tunangannya meninggal karena kecelakaan setahun lalu.
“Nggak deh, Ma,” tolak Dirga.
“Coba aja. Anaknya baik dan arsitek. Sama kayak kamu,” ujar Rumi mendesak. “Kali ini aja, Ga. Kabulin permintaan Mama ya?”
“NINDA!” seru Reta riang saat tiba di rumah Ninda.Ninda yang menunggui Reta di ruang tamu langsung berlari keluar dan membukakan pintu rumah. Dia tersenyum melihat Reta yang berteriak senang hingga kedua tangannya diangkat ke atas semua.“Gimana, Ret? Kabar baik nih pasti,” Ninda menghampiri Reta. Dia membantu Reta mendorong kursi roda masuk ke dalam ruang tamu. Lantas, dia menutup dan mengunci pintu rumah dari dalam.“Iya, Nin. Bu Rumi baik lho. Dia udah transfer uang mukanya ke aku,” celoteh Reta riang. “Aku mendadak berasa kaya.”Tawa Ninda terkekeh. “Simpen dulu aja. Kan minggu depan kamu harus jenguk ibumu, kan?” timpal Ninda mengingatkan. “Nggak usah bayar utang ke aku dulu. Aku anggap ini usahaku buat bayar semua kebaikanmu waktu bantu aku sembuh dari jerat narkoba, Reta.”Reta mendongak menatap Ninda dengan wajahnya yang penuh haru. “Ninda, thanks ya. Aku bersyukur banget bisa tetep temenan sama kamu,” aku Reta jujur. “Kalau misal nih kita lost contact, aku nggak tahu bakal ng
Jantung Reta tersentak kaget mendengar teguran dari pria itu. Sekilas pria itu memang tampan dan bertubuh tegap. Namun, pandangan mata pria itu terlalu tajam dan intimidatif untuk Reta. Membuat Reta perlahan memundurkan kursi roda.Sialnya, bagian roda kursi roda Reta terbentur pinggiran pintu cukup keras. Reta yang dalam kondisi takut dan bingung tak bisa mempertahankan posisi tegapnya di atas kursi roda itu. Tak pelak, dia jatuh bersama dengan kursi rodanya ke arah belakang.“AKH!” teriak Reta kesakitan.Dia tak hanya sakit sekarang. Posenya terjatuh sangat buruk. Ditambah lagi, dia menggunakan dress sekarang.“Hei! Apa-apaan kamu?!!” teriak pria itu ikutan panik.Pria itu berlari ke arah Reta. Tampak Reta masih berusaha mempertahankan posisi bagian bawah dressnya agar tak semakin turun ke bawah sehingga dalamannya terlihat.Sementara itu, pria itu membantu Reta bangun dengan cara menggendongnya. Dia membawa Reta duduk di sofa. Baru kemudian, dia membenarkan posisi kursi roda Reta a
“Bu Rumi nggak lagi ajak saya bercanda, kan?” timpal Reta tak percaya. “Bu Rumi, jika memang sebuah candaan, saya rasa ini bukan candaan yang bagus.” “Ini bukan candaan, Reta. Aku serius menawarimu hal ini. Aku sudah memikirkan syaratnya juga,” terang Rumi menggebu-gebu. Sekilas Reta bisa melihat Rumi tampak serius. Namun, untuk apa? Bahkan, mereka tak saling kenal dalam waktu lama. Rumi tak tahu banyak hal tentang Reta. Hal ini semakin terasa absurd sekarang. “Memangnya apa syaratnya?” tanya Reta. “Kamu sudah bertemu anak sulungku tadi, kan? Namanya Dirga. Dia anak sulungku dan usianya sudah tiga puluh tiga tahun. Tapi, karena pacarnya meninggal dalam kecelakaan, dia menutup hatinya dan tidak mau menikah dengan siapapun,” terang Rumi. “Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku berusaha menjodohkan Dirga dengan perempuan lain. Aku dan suamiku sudah mencoba berulang kali tapi semua perempuan yang kami jodohkan pada Dirga memilih mundur.” “Kamu pasti paham kan alasan para perempuan
“Memangnya apa yang ingin Anda katakan?” balas Reta was-was.“Oh, kamu tipe yang suka to the point ya?” Dirga berdecak senang. “Ya, itu bagus.”“Lalu, apa inti yang ingin Anda bicarakan pada saya, Pak Dirga?” tanya Reta sekali.Reta mencoba tetap tenang meski sekarang jantungnya seperti genderang ditabuh kencang. Dia tak tahu seperti apakah isi hati dan pikiran Dirga. Yang dia tahu adalah Dirga tipe pria arogan yang sangat percaya diri dengan kekayaan dan ketampanannya.“Saya perlu membayar berapa padamu agar kamu mau menolak permintaan mama saya?”“Eh?” Reta terperangah. “Maksudnya?”“Tolak permintaan mama saya,” suruh Dirga. “Kamu dapat tawaran berapa dari mama saya? Nanti saya ganti lebih?”Reta paham maksud ucapan Dirga. Namun, harga diri Reta sedikit tersinggung ketika Dirga mulai melanjutkan kalimat-kalimatnya lain.“Kamu mau apa? Uang berapa milyar? Nanti saya berikan. Yang penting kamu tolak semua tawaran mama saya dan jangan pernah muncul lagi di depan mama saya,” terang Dirg
“Iya, saya mau,” jawab Reta dengan lantang.Senyuman jahat tersungging di bibir Reta. Dia memutuskan untuk membalas dendam pada Dirga yang selalu memandangnya dengan rendah.“Be-beneran mau?” balas Rumi dengan riang. Wanita itu tampak sangat antusias dengan jawaban dari Reta.“Iya, Bu Rumi. Saya bersedia menikah dengan anak Ibu,” tutur Reta. “Tapi, saya tidak bisa berjanji bisa memberikan cucu secepatnya pada Ibu. Ibu kan tahu sendiri kalau anak Ibu membenci saya. Ditambah lagi, anak Ibu belum bisa move on dari mantan pacarnya.”“Nggak masalah. Yang penting mau menikah dengan anak saya saja saya sudah seneng,” terang Rumi girang. “Biar pikiran anak saya lebih terbuka.”“Iya, Bu. Saya sudah pikirkan masak-masak. Saya maau menjadi menantu Ibu. Semoga Ibu tidak kecewa ya? Saya punya banyak kekurangan soalnya. Termasuk lumpuh.”“Nggak masalah. Nanti Ibu temani kamu berobat ke Singapura,” balas Rumi. “Um, berarti kamu jangan panggil saya Ibu lagi ya?”“Terus panggil apa?”“Mama lah. Kan sa
“Ret, serius kamu nerima tawaran buat nikah sama anak Bu Rumi?” Ninda terpukau menatap sahabatnya itu.Reta tersenyum dengan penuh percaya diri. Dia mengambil sambal bawang pedas di meja ruang tengah dengan bahagia.“Iya, aku udah putusin buat nikah sama anaknya Bu Rumi,” Reta melahap nasi lele bakarnya. Dia suka makan lele bakar dan tempe goreng. Selain harganya murah, rasanya enak.“Tapi, bukannya kamu nggak mau nikah? Kenapa mendadak berubah pikiran?” Ninda menatap penasaran sahabatnya itu.Reta menatap Ninda. Dia kemudian menceritakan bagaimana Dirga menipunya dengan undangan wawancara kerja itu.“Pak Dirga itu arogan banget. Dia sombong banget. Sampai kesel hatiku,” celoteh Reta. “Aku bakal bikin dia sadar meski dia kaya dan tampan, semua itu bakal percuma.”“Dengan cara menikahinya?” balas Ninda bingung. Dia belum bisa menangkap maksud Reta.“Iya. Aku bakal bikin hidup dia sengsara sampai dia mau mengubah sifatnya!” balas Reta penuh keyakinan.“Kamu yakin mau menikah dengannya?
“Semua ini gara-gara perempuan lumpuh itu!” oceh Dirga sepanjang perjalanan menuju kantornya.Baru kali ini ada seorang perempuan yang berani melawannya dengan tegas. Biasanya para perempuan tidak berani menentang Dirga. Mereka memilih kabur atau mengambil uang yang Dirga berikan.“Sialan! Dia sepertinya ingin banyak,” decak Dirga. “Dia kira dia siapa? Berani-beraninya mau mengambil banyak untung dengan kondisiku yang seperti ini.”Dirga menghentikan mobilnya tepat di parkiran kantor. Dia mengambil ponselnya dan menelepon sekretarisnya.“Ada apa, Pak?” jawab sekretarisnya.“Suruh perempuan lumpuh itu ke kantor lagi. Bilang kalau aku ingin bicara dengannya siang ini,” tutur Dirga. “Ini perintah.”“Baik, Pak.”Dirga mendengkus kesal. Dia membuka pintu mobilnya dan mengayunkan langkah menuju lift yang ada di parkiran.Sementara itu, Reta sedang asik-asiknya menggambar di atas kasurnya. Sudah lama dia tak membuat sketsa dengan santai.Dia mulai berpikir untuk menambah beberapa gambaran ba
Reta membuka matanya. Tepat di depannya tampak wajah Dirga sedang melotot kaget kepadanya.Reta merasakan ada sesuatu yang empuk menyentuh bibirnya. Dia tersentak kaget saat menyadari bahwa bibirnya bersentuhan dengan bibir Dirga sekarang.Reta mengangkat kepalanya agar bibir mereka tak lagi bersentuhan. Sejujurnya Reta ingin segera bangun dari posisinya saat ini. Namun, bagian bawah tubuhnya tak bisa dia gerakan karena kelumpuhan yang dia derita.“Minggir!” Dirga melotot galak kepada Reta.“Kalau bisa minggir, aku pasti minggir,” balas Reta tak kalah kesal. “Aku lumpuh tahu. Aku—“Reta terdiam. Dia merasakan ada sesuatu yang menonjol di bagian bawahnya itu. Tepatnya di bagian bawah tubuh Dirga muncul sebuah tonjolan yang semakin lama semakin mengeras.Wajah Reta semakin merah padam. Dia tahu tonjolan apa itu.Refleks Reta memukul wajah Dirga. “Buruan! Angkat badanku!” jerit Reta memerintah. “Jangan mesum kamu!”“Aow!” Dirga mengusap pipinya yang terasa pedih dan panas karena pukulan