Share

KESEMPATAN KERJA YANG MERAGUKAN

Reta menunggui kliennya di rumah sakit. Kliennya itu sudah ditangani oleh dokter sepenuhnya. Kini Reta tinggal menunggu kedatangan pihak keluarga dari kliennya itu.

"Ret, udah kamu hubungi kan keluarganya?" tanya Ninda mengecek. Ninda menoleh ke arah lorong di mana orang-orang biasanya datang membesuk pasien. Tak tampak kedatangan seorang pun di sana.

“Tunggu bentar lagi. Aku udah kirim pesan sama ttelepon ke alamat kantornya Bu Rumi kok," balas Reta.

Pandangan Reta kembali mengarah ke kartu nama milik Rumi. Dia kembali menelepon kantornya dan memberitahu bahwa Rumi sedang di rumah sakit.

“Iya, terima kasih informasinya. Sekarang anak Bu Rumi sudah ke rumah sakit,” jawab bagian administrasi perusahaan Rumi.

Reta menghela napas lega. Setidaknya sudah ada anak Rumi yang datang ke rumah sakit.

“Nin, kita balik duluan aja. Kamu kan ada acara habis ini. Kalau mepet berangkatnya nanti kena macet,” tutur Reta.

“Nggak apa-apa nih kita tinggal?”

“Tadi anaknya udah jalan ke sini kok. Kita balik aja. Ketemunya kalau Bu Rumi udah sembuh,” terang Reta. Dia menggerakkan kursi rodanya ke arah Ninda.

Ninda meraih pegangan kursi roda Reta. Dia mendorongnya keluar dari kamar pasien.

“Ngeri juga ya kena hipertensi itu,” ujar Ninda.

“Iya. Katanya hipertensi yang parah, bisa bikin kena serangan di otak. Pendarahan gitu dan bikin mati juga,” timpal Reta. Dia setuju dengan ucapan Ninda.

“Wah, padahal ya, Bu Rumi itu nggak kelihatan kayak orang yang kena hipertensi lho.”

“Masih muda ya? Kelihatan kayak masih lima puluh tahun awal.”

“Mungkin emang segitu usianya, Ret,” ucap Ninda. Mereka masuk ke dalam mobil Ninda.

“Ah, aku seneng banget kalau pergi sama kamu, Nin,” ujar Reta sambil menata posisi duduknya.

“Kenapa gitu?” kekeh Ninda. Dia membantu Reta menggunakan sabuk pengaman.

“Soalnya kamu punya mobil. Kan mobil itu kendaraan yang nyaman buat orang cacat kaki sepertiku,” jelas Reta.

“Nah, kan. Sekarang kamu sadar kan kalau aku ini berguna buat kamu,” hidung Ninda mulai kembang kempis membesar karena perasaannya sangat bangga. “Sekarang kamu harus kabari aku kalau mau pergi kemanapun, Ret. Nanti aku temenin kamu. Cuma antar jemput kamu doang. Nggak bakal bikin aku sakit.”

“Tetep aja, Ninda. Aku tuh nggak mau ganggu kamu. Kan kamu ada kafe tuh. Harus ngurusin kafe dan belum lagi orang tuamu minta dijenguk seminggu sekali, kan?” timpal Reta mengingatkan sahabatnya itu.

“Eits, santai. Orang tuaku sekarang kan rumahnya sampingan sama rumah kakakku,” kekeh Ninda. “Kak Doni masih naksir kamu lho, Ret.”

“Eh, kok malah bahas gituan,” Reta terkaget dengan ucapan Ninda. “Lagian nih aku tuh lumpuh, Ninda. Malah jadi beban pasangan. Emang dasar nasibku kayaknya. Ditakdirkan jomlo seumur hidup.”

“Jangan patah semangat, Ret. Jodoh itu nggak ada yang tahu. Kalau emang beneran ada yang tulus sama kamu gimana? Rugi kan kalau nggak kamu balas cintanya,” nasihat Ninda sebijak yang dia bisa. “Aku aja nih tiap ada kesempatan kencan buta ya ikut aja. Mungkin kan ada yang lolos sebiji gitu.”

Tawa Ninda kembali memenuhi mobil. Suara tawanya berbalapan dengan suara musik radio yang barusan dia nyalakan.

Reta hanya mengulas senyuman simpul saja. Dia tidak ingin membandingkan dirinya dengan Ninda. Tentu karena dia tahu persis seperti apa keluarga Ninda.

Ninda memiliki seorang kakak laki-laki bernama Doni. Usianya terpaut 5 tahun lebih tua dari Ninda. Kedua orang tua Ninda adalah orang kaya. Ibu Ninda adalah dosen jurusan di fakultas Reta berkuliah dulu. Sementara itu, ayah Ninda memiliki bisnis perkebunan buah dan mengajar sebagai dosen di kampus khusus pertanian.

Meskipun Ninda pernah terjebak dalam pergaulan bebas dan terjerat narkoba saat kuliah, kini hidup Ninda sudah menginjak masa-masa stabilnya. Memang kafe Ninda tak melejit dengan cepat. Namun, Ninda bisa menikmati hasilnya dan memperkerjakan satu hingga lima orang karyawan. Cukup menyenangkan untuk ukuran seorang perempuan yang sudah lelah dengan kehidupan seperti Ninda.

Ponsel Reta berdering. Dia terbangun dari lamunannya. Ada nomor tak dikenal memanggil.

“Siapa, Ret?” tanya Ninda. Dia menghentikan mobil karena sekarang sedang lampu merah.

“Nggak tahu. Nggak kenal.”

“Angkat aja. Siapa tahu anaknya klienmu itu,” suruh Ninda. “Kalau ganteng dan jomlo, coba aja digebet. Siapa tahu kan jodoh.”

“Dih, Ninda. Apaan sih kamu,” Reta menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu.

Sayangnya, baterai ponsel Reta lowbat. Belum sempat percakapan dimulai, telepon sudah mati duluan.

“Duh, mati hapeku,” ucap Reta sedikit kesal.

Tawa Ninda terdengar kembali. “Ya udah. Besok ke rumah sakit lagi aja, Ret. Sekalian bawa buah,” ujar Ninda.

“Apaan sih. Besok aku tes wawancara kerja ya,” ujar Reta penuh semangat. “Aku harap besok aku beneran bisa lolos wawancara itu. Aku beneran butuh duit nih. Udah setahun nganggur. Duitku beneran tinggal recehan. Obat ibuku juga harus terus jalan.”

“Amin. Aku doain lolos, Ret. Kamu pasti bisa,” timpal Ninda dengan sangat tulus.

Lampu rambu lalu lintas kembali menghijau. Ninda mengemudikan mobilnya lagi menuju rumahnya.

***

Reta mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tampak deretan pelamar yang lolos tes wawancara.

Semua peserta tampak sehat. Hanya dirinya yang cacat dan menggunakan kursi roda.

Reta menghela napas gusar. Memang ada peraturan UU Ketenagakerjaan yang mewajibkan perusahaan swasta untuk tetap memberikan kuota pekerjaan untuk orang cacat. Namun, Reta tak yakin jika dirinya akan diterima. Mengingat perusahaan ini termasuk perusahaan besar di Bandung.

"Apa aku pulang aja ya?" desis Reta. Dia mulai gugup dan rasa tak percaya dirinya mulai timbul.

Menjadi arsitek tak hanya sekadar menggambar. Dia tetap harus mengecek ke lokasi pembangunan dan menyamakan desain dengan rumus bangunan agar harmonis. Dia tak mau menjadi seorang arsitek yang dianggap hanya sekadar untuk melukis keindahan. Dia tetap ingin menghasilkan desain yang mudah dibangun bagi para pembangun bangunan dan tentunya aman untuk keselamatan para pengguna bangunan saat gedung atau rumah sudah selesai dibangun.

Namun, dengan kondisinya yang cacat begini, pasti dia akan mendapatkan cercaan dari tim pewawancara. Reta yakin sekali akan hal itu.

Dan, keyakinan Reta memang terbukti benar. Tepat ketika dirinya sudah berada di dalam ruangan wawancara, salah satu pewawancara mulai menanyai Reta tentang kondisi fisik Reta yang cacat itu.

"Proyek yang kami buat selalu proyek bangunan besar. Anda harus bisa mengecek ke lapangan juga. Dengan kondisi seperti ini, apa Anda yakin bisa melakukannya?"

Reta menelan ludahnya. Jika ditanya seperti itu, Reta juga merasa gamang. Sedari tadi dia pun sudah memprediksi pertanyaan seperti ini akan terlontar untuknya.

"Iya, saya bisa," sahut Reta mantap.

Dia tak bisa menyerah begitu saja. Walaupun ragu, Reta tetap harus berjuang. Dia butuh uang. Dia harus bekerja. Menjadi perempuan single yang cacat dan pengangguran adalah hal terburuk dalam hidup Reta. Dia ingin mengubahnya. Minimal meskipun cacat, dia tetap harus bekerja agar bisa bertahan hidup dan punya kesempatan untuk berobat.

"Saya sudah mengikuti workshop untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan dan pekerjaan. Saya yakin bisa bekerja di lapangan untuk melakukan pengecekan langsung," terang Reta.

Pewawancara sebanyak tiga orang hanya saling tukar pandangan. Mereka tak lagi berkomentar dan melanjutkan ke pertanyaan berikutnya.

Selang satu jam, wawancara selesai. Reta mendekati pewawancara dan bertanya. "Kapan pengumuman berikutnya diumumkan?"

"Kami akan segera menghubungi. Maksimal dua minggu dari sekarang."

"Terima kasih," ujar Reta dengan anggukan kepala.

Dua minggu lagi dia akan tahu hasil pengumuman tes wawancaranya. Dia berharap hasilnya positif.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status