Share

SIAPA KAMU?

“NINDA!” seru Reta riang saat tiba di rumah Ninda.

Ninda yang menunggui Reta di ruang tamu langsung berlari keluar dan membukakan pintu rumah. Dia tersenyum melihat Reta yang berteriak senang hingga kedua tangannya diangkat ke atas semua.

“Gimana, Ret? Kabar baik nih pasti,” Ninda menghampiri Reta. Dia membantu Reta mendorong kursi roda masuk ke dalam ruang tamu. Lantas, dia menutup dan mengunci pintu rumah dari dalam.

“Iya, Nin. Bu Rumi baik lho. Dia udah transfer uang mukanya ke aku,” celoteh Reta riang. “Aku mendadak berasa kaya.”

Tawa Ninda terkekeh. “Simpen dulu aja. Kan minggu depan kamu harus jenguk ibumu, kan?” timpal Ninda mengingatkan. “Nggak usah bayar utang ke aku dulu. Aku anggap ini usahaku buat bayar semua kebaikanmu waktu bantu aku sembuh dari jerat narkoba, Reta.”

Reta mendongak menatap Ninda dengan wajahnya yang penuh haru. “Ninda, thanks ya. Aku bersyukur banget bisa tetep temenan sama kamu,” aku Reta jujur. “Kalau misal nih kita lost contact, aku nggak tahu bakal ngapain. Mentok aku udah ilang nyawa gara-gara bunuh diri kali ya.”

“Hush! Jangan ngomong gitu,” tegur Ninda. “Kan dulu kamu yang bilang ke aku kalau hidup itu harus diperjuangkan. Sekarang kamu harus konsisten dong sama ucapanmu itu. jangan sembarangan bilang bunuh diri.”

“Iya, Ninda.”

“Nah, gitu dong,” ucap Ninda lega. “Kalau emang udah nggak sanggup, nikah sama kakakku. Kak Doni pasti mau kok nikah sama kamu.”

Reta nyengir saja mendengar ucapan Ninda. “Nggaklah. Pasti Kak Doni udah ada pacar juga, kan?”

“Pacar selalu ada kayaknya. Tapi, dia nggak seserius itu kok,”ujar Ninda. “Eh, terus dia masih sering nanyain kamu lho. Dia tanya apa kamu baik-baik aja. Ada chatnya. Mau lihat?”

“Ah, nggak usah, Ninda. Aku nggak mau nambah beban pikiran,” tolak Reta dengan sangat konsisten. “Aku mau fokus kerja. Sekarang aku perbaiki dulu semua pesanan dan revisi dari Bu Rumi.”

“Eits, jangan langsung kerja, Ret!” Ninda menghalangi Reta yang berniat langsung mengurung diri di dalam kamar agar bisa fokus bekerja.

“Kenapa, Nin?”

“Kita party dulu. Pesta makanan. Biar kamu kakin semangat buat kerja,” kekeh Ninda dengan penuh semangat.

Tawa Reta mencelos keluar. Dia mengangguk dan mengacungkan kedua jempolnya ke Ninda. “Kita beli bakso ya?” ujar Reta.

“Sama sate dan mi ayam. Kita makan sampai puas,” seru Ninda penuh semangat.

“Sip!”

***

Sambil menunggu pengumuman hasil wawancara kerja, Reta fokus pada pesanan draft rumah yang diinginkan oleh Rumi. Hampir setiap hari hari, Reta mengirim pesan chat dan email kepada Rumi. Selain itu, Reta juga menyisihkan waktu khusus selama tiga jam untuk membuat konten promosi jasanya di sosial media.

Awal mula Reta mengenal Rumi dari sosial media. Rumi tertarik dengan gambar-gambar lawas Reta yang sebenarnya digambar Reta untuk tujuan healing.

Gambar-gambar itu sebenarnya ingin Reta simpan saja sebagai koleksi pribadi. Namun, karena segala kesialan yang mendadak menimpa dirinya, Reta terpaksa mengeluarkan semua koleksinya itu sebagai bahan promosi berkala di sosial media.

Reta berharap dengan adanya Rumi sebagai kliennya, akan muncul beberapa klien baru lainnya. Dia berjanji akan memperlakukan para klien dengan baik. Yang penting banyak klien baru muncul dan mengorder jasanya. Jadi, dia tak perlu cemas sepanjang malam jika dirinya mendapatkan email penolakan dari perusahaan-perusahaan yang sudah dia daftari.

Ponsel Reta kembali bergetar. Dia mengambil ponselnya. Ada notifikasi email baru masuk.

Reta langsung membuka email tersebut. Dia berharap email tersebut adalah pengumuman tahap terakhir untuk wawancara bersama dengan jajaran direksi.

Pandangan Reta menelusuri isi email. Usai membaca, tubuhnya lemas. Dia lagi-lagi ditolak.

Padahal, Reta sudah berusaha sebisa mungkin mengendalikan dirinya jauh-jauh hari jika dia mengalami penolakan. Namun, perasaannya tetap saja kecewa dan sedih ketika mendapati penolakan tersebut secara nyata.

Reta menghela napas berat. “Susah banget masuk industri kerja ya,” ucap Reta lesu. “Umurku emang masih dua tujuh tahun. Tapi, aku cacat. Karena itu kali ya. Perusahaan jadi menimbang untuk menolakku.”

Pikiran Reta mencoba mencari-cari alasan logis tentang penolakan dirinya. Sayangnya, ketika dia mencoba berpikir begitu, rasa sakitnya malah semakin menggebu-gebu. Benar-benar menyedihkan!

reta menggelengkan kepala. Dia memilih menyingkirkan ponselnya dari hadapannya.

“Udahlah. Fokus sama proyek dengan Bu Rumi saja. Siapa tahu habis ini Bu Rumi bakal bantu aku promosi buat jasa kerjaku, kan?” harap Reta dengan sepenuh hati.

Harapan dan kecemasan menjadi sebuah lingkaran tak terpisahkan dalam hidup Reta. Batasnya tipis dan bisa oleng ke arah yang tak diduga.

Reta menyelesaikan sisa revisinya. Sore ini dia harus bertemu dengan Rumi lagi. Mereka ada janji untuk minum teh bersama dan membahas tahap akhir rancangan bangunan pesanan Rumi sebelum minggu depan mulai dikerjakan.

“Ret, jadi aku anter?” wajah Ninda muncul dari pintu kamar Reta.

Reta menoleh. Dia mengangguk mengiyakan. “Jam tiga nanti ya, Ninda,” ujar Reta.

“Oke. Aku santai kok. Udah nemu karyawan baru kan dua hari lalu,” kekeh Ninda bahagia.

Reta tersenyum simpul. Kebahagiaan sahabatnya itu sekarang sangat mudah ditebak. Terkadang Reta iri dengan kehidupan Ninda. Namun, setiap orang itu pada dasarnya memiliki nasibnya masing-masing. Bagaikan roda berputar, akan ada titik terbawah dan titik tertinggi.

Dulu Reta sudah menyaksikan bagaimana Ninda berada di titik terendahnya. Kini Reta melihat dirinya sendiri sedang berada di titik terendah hidupnya.

“Semoga saja aku bisa segera naik ke level roda yang lebih tinggi,” doa Reta sepenuh hati.

Reta bergegas menyiapkan semua kebutuhannya untuk rapat bersama Rumi. Dia mengenakan pakaian yang simpel tapi sopan. Sebuah dress selutut berwarna merah muda.

Tangan Reta meraih tas punggungnya yang berwarna cokelat. Dia menyimpan semua berkasnya ke dalam tas punggung itu dan segera bergerak keluar ke ruang tamu.

“Nin, aku udah siap!” teriak Reta memberitahu Ninda.

“Oke!” sahut Ninda.

Tak berapa lama, Ninda muncul. Seperti biasa, Ninda membantu Reta naik ke dalam mobil.

“Ret, nanti kabari aku ya kalau udah selesai,” pesan Ninda saat sudah menurunkan Reta di depan teras rumah Rumi. “Aku ke kafe dulu. Sidak pegawai baru.”

“Iya. Thanks ya, Nin,” ujar Reta dengan senyuman lembutnya.

Ninda kembali ke dalam mobil. Reta menyempatkan diri menatap ke arah gerbang rumah hingga mobil Ninda tak lagi terlihat oleh pandangannya.

Reta menghela napas. Dia berdoa dan menggerakkan kursi rodanya masuk ke dalam rumah Rumi.

“Siapa kamu?” tegur seseorang ketika Reta masuk ke dalam ruang tamu.

Reta menoleh ke asal muasal suara itu. Tampak seorang laki-laki berkacak pinggang sebelah dan menatap tajam ke arah Reta.

“Tidak sopan. Apa kamu mau mencuri di rumah ini?” tuduh pria itu dengan sinis.

bonanzalalala

Hai, salam kenal semuanya. Jangan lupa ikuti kisah Dirga dan Reta sampai tamat. Follow IG-ku @bonanzalalala :D

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status