Share

BELAJAR MELUPAKAN

“Gimana?” Ninda melangkah menghampiri Reta.

Sudah berjalan tiga bulan semenjak Reta keluar dari rumah sakit. Tiap seminggu sekali Reta periksa ke rumah sakit untuk latihan menguatkan syaraf bawah tubuhnya.

Reta tahu harapannya itu tipis. Namun, masih tersisa harapan besar dalam hati Reta bahwa dirinya akan bisa berjalan lagi.

“Ini aku lagi cek email. Katanya hari ini pengumuman buat wawancara perusahaan,” terang Reta.

Ninda menyodorkan makanan ke depan Reta. “Makan dulu, Ret. Jangan sampai kurang gizi,” ujar Ninda.

“Aku belum gitu laper, Nin,” Reta membuka email masuk teratas. Hatinya berdebar-debar.

Sorot mata Reta membaca satu per satu tulisan yang ada di email itu. Penolakan. Reta mendesah resah. Lagi-lagi dirinya ditolak.

Dia berdecak. “Kenapa ya? Padahal, aku udah kirim semua portofolio terbaikku,” ucap Reta sedih. Dia sungguh berharap ada satu saja perusahaan yang mau memanggilnya untuk ikut wawancara pekerjaan.

“Ret, cek lagi. Itu kan ada banyak email masuk,” Ninda menunjuk layar laptop Reta.

“Moga aja ada yang tembus ya,” ujar Reta. Dia kembali membuka email-email yang memang belum dia baca itu.

“Amin. Pasti bakal ada yang tembus sih, Ret,” tutur Ninda. “Kan desainmu itu unik. Terus, kamu itu berbasis ekologi kalau bikin desain rumah. Pertimbanganmu kan banyak banget. Termasuk soal sanitasi, ruang udara masuk, tingkat kelembaban. Kamu nggak cuma sekadar mendesain dengan tujuan keindahan. Ada nilai guna dari tiap desain yang kamu buat. Itu poin terbaik dari tiap desain yang kamu hasilkan.”

Reta tersenyum simpul mendengarkan ucapan Ninda. Hatinya terharu mendengarkan pujian dari temannya itu.

Tentu saja ucapan Ninda memang benar. Namun, Reta paham bahwa Ninda mengucapkan itu semua agar dirinya lebih bersemangat menghadapi kenyataan yang terasa pahit ini.

“Lagian, kan kemarin ada yang pesen satu desain sama kamu, kan?” celetuk Ninda.

“Bener-bener,” ucap Reta membenarkan. “Orang itu ngajakin ketemuan di kafe gitu. Kafe mahal deh.”

“Mau aku temenin?” tawar Ninda.

“Kamu kan kerja. Jaga kafemu,” tolak Reta. “Kan kamu belum nemu karyawan baru, Nin.”

“Aku bisa off setengah hari kok,” balas Ninda. “Lagian, capek banget aku tuh, kerja mulu. Mana nggak dapet-dapet karyawan lagi.”

“Mau cari karyawan berarti?”

“Bener. Sekalian sebar brosur,” kekeh Ninda.

“Oke deh,” Reta mengulas senyuman simpul. Dia kembali membuka hasil pengumuman seleksi pekerjaan yang dia ikuti.

Dari sekian ratus lamaran yang Reta kirim, hanya ada tiga buah perusahaan yang mau menerima Reta. Sisanya menolak semuanya.

“Tapi, dua di antaranya itu mewajibkan aku kerja di Kalimantan, Nin,” desah Reta sedih. “Mana bisa aku kerja keluar Bandung.”

“Ya udah. Ambil yang di Bandung aja,” suruh Ninda. “Meski hanya satu perusahaan, harapan tetaplah harapan, Ret. Nggak boleh dibuang atau ditolak. Kamu harus perjuangin semuanya sampai titik darah penghabisan.”

Reta mengangguk. Dia paham maksud ucapan Ninda.

“Bener sih. Aku butuh banyak uang. Demi ibuku. Aku juga harus cari pengacara buat bantu aku ngurusin kasus tabrak lariku itu.”

“Kamu kapan jadwal ke kantor polisi lagi? Beneran nggak ada rekaman CCTV dari mobil yang nyundul kamu itu?”

Reta menggelengkan kepala. “Nggak ada. Itu blind spot,” ucap Reta sedih. “Aku pun nggak ingat apa-apa. Aku hanya tahu badanku melayang dan jatuh. Abis itu remuk semua tulangku rasanya. Udah nggak ada yang bisa kuingat lagi.”

Ninda menatap kasihan Reta. Selama hampir enam bulan Reta harus menginap di rumah sakit. Sekarang Reta sudah bisa rawat jalan selama tiga bulan. Total semuanya adalah sembilan bulan proses Reta menjalani kegetiran atas kecelakaan yang terjadi ini. Hampir satu tahun. Tak ada hasil apapun dari penyelidikan tabrak lari itu. Sangat menyedihkan.

“Terakhir aku ke kantor polisi. Polisi nyuruh aku relain aja,” wajah Reta semakin tertekuk sendu. Hatinya sangat tergerus ketika mengingat kembali penjelasan polisi itu.

“Kenapa kok relain? Gara-gara nggak ada bukti?”

Kepala Reta mengangguk lemas. “Bener. Kalaupun mau cari bukti, aku harus cari pengemudi di belakangku. Cuma kan susah banget. Gimana coba carinya. Kenal aja nggak. Beneran deh. Sedih,” Reta mencoba menahan dirinya agar tidak menangis.

Ninda hanya bisa mengusap-usap punggung Reta. Dia memahami rasa sedih dan insecure Reta saat ini.

“Berarti sekarang mau nyerah aja?”

Reta menatap ragu Ninda. “Menurutmu gimana, Nin? Aku nyerah aja kali ya? Fokus cari kerja dan kumpulin uang?” balas Reta.

Ninda menghela napas gelisah juga. “Kalau kamu bisa ikhlas, relain aja, Ret. Nanti kan yang tabrak lari kamu pasti bakal kena batunya,” tutur Ninda memberikan pandangannya. “Ini bukan berarti aku sepelein rasa sakit yang kamu derita ya, Reta. Aku pun ngerasain gimana capeknya jaga kamu di rumah sakit. Pasti jadi kamu bakal ribuan kali lipat lebih capek ketimbang aku.”

Reta mengangguk lemah. “Iya. Aku paham itu,” Reta memejamkan matanya dan menghembuskan napas. “Oke deh. Aku coba fokus ke pekerjaan dulu aja. Siapa tahu nanti aku dapet duit gede dari orang yang sempet DM I*-ku itu.”

Reta mencoba menyunggingkan senyumannya selebar mungkin. Tentu itu adalah senyuman pahit. Tapi, paling tidak sebuah senyuman tetap jauh lebih baik dibandingkan sebuah tangisan.

***

Sekitar pukul tiga sore, Reta pergi ke kafe di mana kliennya menunggunya. Dia ditemani oleh Ninda agar ada yang membantu Reta saat terjadi hal buruk.

Kafe tersebut adalah sebuah kafe lawas yang memiliki dekorasi bangunan ala bangunan Belanda. Reta tahu kafe ini terlihat jadul. Namun, interiornya klasik. Makanan yang disajikan pun terhitung mahal.

Reta menemui seorang perempuan berusia 60 tahun. Perempuan itu masih terlihat muda. Masih seperti perempuan yang berusia 50 tahunan awal.

Dandanannya sederhana. Akan tetapi, kesederhanaan itu tak bisa menutupi keeleganan perempuan itu.

“Ini dengan Bu Rumi Nilawani ya?” sapa Reta. Dia menyesuaikan dengan petunjuk yang diberikan oleh kliennya itu.

“Benar. Saya Rumi,” jawab perempuan bernama Rumi itu. “Silakan duduk.”

“Terima kasih,” ujar Reta.

Ninda membantu Reta mengatur posisi. Dia duduk di sisi Reta.

Reta mengeluarkan buku catatan dan draft yang sudah dia buat sebagai contoh. Kliennya itu meminta Rumi untuk membuatkan draft rumah dengan model yang minimalis tapi sehat. Sirkulasi cahaya dan udara harus bagus. Itu adalah salah satu persyaratan yang diajukan oleh Rumi.

“Ini, Bu. Silakan dilihat dulu desain saya,” Reta mengangsurkan desain tersebut. “Jika cocok, bisa dipilih. Tapi, kalau belum cocok, tolong sebutkan ketidakcocokkannya di mana. Nanti saya akan catat dan buat sesuai dengan rikues Ibu.”

Rumi menerimanya. Dia memeriksa semua draft gambar Reta satu per satu dengan teliti.

Hati Reta berdebar tak menentu. Dia berdoa agar kliennya itu menyukai salah satu draftnya. Kalaupun tidak suka, minimal ada sesuatu yang menarik perhatian agar kerjasama mereka ini masih terus berlanjut.

Namun, kliennya itu justru menunjukkan sikap lain. Perempuan dengan dress berwarna cokelat muda itu memegangi kepala. Keningnya berkernyit seperti kesakitan. Tak berapa lama, tubuhnya ambruk memiring ke sisi kiri.

“ASTAGA!” jerit Reta dan Ninda nyaris bersamaan.

“Nin, buruan dibantu!” teriak Reta langsung memberikan perintah. “Aku telepon ambulans. Biar segera dibantu sama pihak medis.”

“Oh, o-oke. Oke!” sahut Ninda terbata.

Ninda bergerak bangun dari duduknya. Dia melangkah menuju Rumi dan membantunya duduk kembali. Sementara itu, Reta langsung mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status