“Thanks,” Grace membaca name tag yang ada di sebelah kiri seragam bartender itu, “sekali thanks, Grey.”
Grey tertawa ketika mendengar Grace menyebut namanya.
“Kau memang hebat, setiap kau tampil para pengunjung akan berteriak histeris.”
“Aku suka menari di bawah lampu sorot panggung, membuat adrenalinku semakin terpacu, dan semua masalahku seakan hilang begitu saja.”
“Grace, itu kan namamu?”
Grace mengangguk.
“Benar, namaku Grace Collins. Kenapa, Grey?”
Grey tersenyum. “Apakah lain waktu, di luar jam kerja aku bisa mengajakmu pergi?” tanya Grey dengan sopan.
Grace tertawa renyah, kemudian menjawab, “Tentu saja. Hari minggu ini aku libur.”
“Pas sekali. Hari minggu juga aku libur. Mungkin kita bisa jalan-jalan ke pantai? Atau kau yang menentukan tempatnya,” ujar Grey.
Grace tak langsung menjawab, diperhatikannya Grey dengan seksama. Pemuda yang sedang berbicara padanya saat ini terlihat menarik. Tubuh Grey
Bantu vote, ya. Semoga suka dengan novel ini. Love you, all :*
“Lagi-lagi dengan pemuda yang berbeda, harus berapa banyak pria yang mengejarmu? Apa yang kurang dariku, Grace?” ujar Edward seorang diri. Di dalam restoran, Grey dan Grace tertawa-tawa tanpa menyadari kalau Edward masih memperhatikan keduanya. Rasanya Edward ingin segera masuk ke dalam restoran, meghardik Grey dan melemparkan wajahnya dengan sebuah bangku. “Besok, aku akan menjemputmu di kampus, lalu mengajakmu pergi sebentar sebelum kau ke bar, apa boleh?” tanya Grey dengan sopan. “Boleh, kau tahu kan di mana kampusku?” “Winston University sudah sangat terkenal, siapa yang tak tahu kampus itu. Lagi pula aku heran, kau berasal dari keluarga berada kenapa kau mau bekerja di bar?” “Aku kebetulan mendapatkan beasiswa di kampus, dan rumah beserta fasilitasnya bukan milikku, itu semua milik pamanku. Aku—“ “Paman?” Grace melonjak kaget dari bangkunya melihat Edward sudah berada di samping meja dan memelototinya. “Kau mau apa
“Ed, kau pulang saja. Sudah kubilang aku tak mau melihatmu!” “Aku tak akan pulang tanpamu. Seandainya kau sadar, kau yang membuatku seperti ini. Selama ini aku tak pernah memohon hanya demi seorang gadis. Kau selalu membuatku sakit, kau selalu membuatku marah, apa kau tak sadar?!” Grace terdiam, didengarnya Edward terus berbicara. Sampai saat ini pun dia masih tak mengerti kenapa Edward begitu ngotot. Edward selalu marah jika dia berdekatan dengan pria lain. Edward selalu mengamuk jika melihat pria lain berbicara atau menyentuhnya, sebenarnya apa yang dia mau. “Kumohon. Kau selalu mengulik amarahku dengan berdekatan dengan laki-laki lain, apa kau tak mengerti apa yang kurasakan saat ini?” “Karena aku tak mengerti, maka jelaskan!” jawab Grace. Dia pun keluar dari balik punggung Grey dan menatap Edward dengan lantang, menantang Edward sebuah penjelasan. Grey mundur ke belakang membiarkan Grace saling berhadapan dengan Edward, dia merasa bukan ra
Edward terhenyak seakan baru saja terbangun dari lamunan panjang begitu mendengar nama Ethan. Bagaimana kalau sampai Ethan sampai membawa Grace ke Italia meski dia masih memiliki waktu? “Aku bisa gila jika Ethan berani melakukannya.” “Tapi kau terlalu lambat.” “Sudahlah, sekarang bantu aku.” “Kurasa yang kau rasakan saat ini lebih dari sekadar rasa suka,” kata Vanes. “Maksudmu?” “Kau mencintainya?” Menyatakan suka saja tak sanggup, apalagi harus menyatakan cinta? Vanes terus menanyakan pertanyaan yang Edward tak mampu untuk jawab. “Aku tak tahu.” “Sebentar lagi kau akan kehilangannya kalau kau terus ragu seperti ini, Ed. Rivalmu selain Kevin, Ethan sangat kuat. Kau dan Ethan sama-sama keras kepala, hanya bedanya Ethan lebih mampu menyatakan perasaannya, makanya dia bisa mendapatkan Karen.” “Tunggu, aku akan menyatakan perasaanku saat ulang tahun Grace. Apakah itu cukup?” “Tidak cukup bagiku
Ethan bergegas menuju rumah Grace, tapi Grace sudah berangkat kerja dan dia hanya bertemu dengan beberapa pembantu di sana. Kedua orangtua serta adik-adiknya pun tak ada di rumah. Tanpa berpikir lebih panjang, Ethan segera pergi menuju bar tempat Grace bekerja. Di dalam perjalanan dia terus memikirkan Grace. “Apakah kejadianku akan kembali terulang pada Edward? Aku tak yakin Edward mampu mengatasinya. Laki-laki tua itu benar-benar kejam dan tak pandang bulu, bahkan mampu menyingkirkan semua lawan bisnisnya dengan segala taktiknya,” kata Ethan sembari menyetir. Tak sampai setengah jam, Ethan sampai di bar. Dia langsung berlari ke arah ruang ganti di tempat biasa Grace bersiap-siap sebelum tampil, dan tebakannya pas. Grace ada di sana sedang bersiap-siap. “Grace!” seru Ethan membuat Grace berhenti memulas wajahnya. “Ethan? Ada apa?” “Ikut aku sekarang. Kau jangan banyak tanya.” “Ta-tapi pekerjaanku?” “Aku yang akan berneg
“Edward, kenapa aku tak pernah menyadarinya, Ethan,” ujar Grace pelan serupa bisikan. “Kenapa?” “Aku menyadari sesuatu, mungkin aku memang egois, keras hati, tapi aku tak pernah berniat menyakitinya.” “Grace, kali ini semua keputusan ada padamu. Kau harus bisa memilih; aku, Edward, atau Kevin. Tapi sekalipun kau sudah memilih, aku mungkin tetap tak akan pernah mundur.” “Ethan, apa benar aku menyakiti Edward?” “Bukti apa yang kurang? Apa kau pernah tahu jika Edward pernah melukai tangannya? Vanes pernah bercerita, beberapa bulan lalu saat kembali ke rumah dalam keadaan hancur dan berantakan, dia melukai telapak tangannya dengan menekan sebuah gelas di dalam genggamannya. Aku tak tahu masalah apa, yang aku ingat Vanes berkata saat itu dia habis bersamamu.” Grace teringat di malam saat dia dan Edward bertengkar di hotel. Edward merobek gaunnya, setelah itu Edward meminta maaf dan menawarkan diri mengantarkan Grace pulang dan dia menolak d
“Semua keputusan ada padamu. Menyerah dan kau kembali padaku, atau kau ingin melanjutkan yang berarti kau harus menghadapiku. Jika kau memilih menghadapiku, itu artinya kau siap menentangku dan kau akan menerima segala resikonya. Aku akan membuatmu kehilangan segalanya, Ed.” Kehilangan segalanya? Harta? Tahta? Apakah dia siap? “Apa jawabanmu?” tanya Mr. Jason dengan tenang. Dia tak akan peduli sekalipun Edward berlutut dan mengemis di hadapannya. Baginya siapa pun yang berani menentang adalah musuh, tak terkecuali darah dagingnya sendiri! ‘Aku harus bagaimana? Apa aku siap? Apakah berlebihan jika aku harus memperjuangkan Grace?’ batin Edward penuh pergulatan. Cepat atau lambat meski dia berusaha menyembunyikannya, semua akan ketahuan, dan Edward sudah mengetahuinya lebih dulu. Tapi bergerak mundur begitu saja tanpa memberi perlawanan sama saja menyerah sebelum berperang. “Aku menunggu jawabanmu. Kau tahu ibumu jika dia
Grace terdiam. Jujur saja, saat ini pikirannya memang hanya ada Edward. Mungkin Ethan berpikir Grace tak pernah memahami kata-kata yang dia ucapkan tentang Edward. Tapi dia salah, Grace memahami segalanya meski dia menutupi dengan berpura-pura bodoh. “Ayah pasti akan membuatmu berpisah dengan Edward melalui cara apa pun. Grace, aku tak tahu siapa yang pada akhirnya nanti akan bersama denganmu. Tapi kupastikan Edward akan mengorbankan sesuatu untukmu dengan matang. Dia mencintaimu, sangat mencintaimu meski dia tak pernah bisa mengatakannya. Aku pun ... men—“ Ethan terdiam dia malu melanjutkan kalimatnya. Dia malu mengulang-ulang perasaannya terhadap Grace. “Katakan saja.” “Aku juga menyukaimu seperti yang kukatakan. Mungkin lebih dari sekedar suka. Jika kau paham.” “Semua berhak memilih siapa yang dicintai, dan aku tak berhak melarang. Tapi, aku belum pernah memiliki hubungan dengan siapa pun. Semua pasti menganggapku murahan dengan sikapku yang semaun
Keduanya sampai di South Haven, sebuah kota kecil dengan pesona pantai di sekelilingnya. Tempat itu adalah sebuah tempat rahasia yang Ethan tak pernah tunjukkan pada siapa pun, di saat dia penuh dengan masalah, dia akan lari ke South Haven, mengasingkan diri dari keramaian dan berpikir. Ethan tak pernah mengajak Karen ke South Haven. Grace adalah gadis pertama yang diajaknya mengunjungi resort miliknya yang tertata rapi dengan dekorasi indah. Di sepanjang jalan masuk beberapa pepohonan rindang sengaja diletakkan di sana menyerupai gerbang masuk yang terbuat dari ranting pepohonan. Grace tak henti-hentinya mengagumi resort yang terlihat nyaman dan asri itu. “Indah sekali,” ujar Grace melayangkan pandangan ke sekeliling. “Kau makan dulu, setelah itu baru kita mencari pakaian. Tak mungkin kau memakai pakaian seperti itu,” kata Ethan seraya menunjuk pakaian yang dikenakan Grace. Pakaian yang hanya menutupi dada dan juga bagian bawah lebih menyerupai celana dalam.