Semua orang bertepuk tangan dengan riuh melihat adegan romantis dari pasangan pengantin yang sedang berciuman. Sedang para gadis yang saat itu sedang patah hati masing-masing merutuk dalam hati. Tanpa mengetahui latar belakang Olivia, tentu saja mereka begitu iri dengan wanita yang terbilang sempurna itu.Dengan wajah cantik dan kulit putihnya, Olivia sama sekali tak memperlihatkan tentang kemiskinannya. Padahal gadis yang telah berubah status menjadi seorang istri itu belum sempat melakukan perawatan di klinik kecantikan seperti yang dijanjikan oleh Ronan.Jadwal pernikahan yang dipercepat membuatnya hanya merawat diri seadanya. Dia bahkan tak tahu kenapa dia melakukannya. Olivia merasa sedang melakukan pernikahan sungguhan yang seharusnya dilakukan hanya sekali dalam hidupnya.Ronan melepaskan ciumannya. Membuat mata Olivia perlahan terbuka. Pipinya kini semakin memerah saat melihat senyum seringai Ronan di hadapannya."Kau menikmatinya?" ejek Ronan sambil berbisik.Olivia gelagapan
Hingga tepat pukul sembilan, acara selesai, dan tak ada lagi tamu yang datang.Ronan merogoh saku tuksedonya begitu merasakan getar dari ponselnya. Ronan segera menjawab panggilan, begitu melihat nama siapa yang tertera di layarnya."Kau sudah menyiapkan semuanya?" Ronan bertanya dengan wajah serius.Tak ada lagi raut bahagia atau senyum yang dia tunjukkan kepada para undangan tadi.Pria yang baru saja berubah status menjadi seorang suami itu menutup panggilan setelah memastikan sesuatu.*Olivia tersentak saat tubuhnya bergoyang. Dia terkejut begitu melihat Ronan sedang menatap dirinya yang tengah terbaring di atas ranjang. Sebuah kamar presidental suite yang khusus dipesan sebagai kamar pengantin mereka.Olivia langsung bangkit dan memeriksa pakaiannya kalau-kalau ada yang terbuka. Dia merasa tenang karena pakaian pengantin itu masih sempurna membungkus tubuh mungilnya. Dia bahkan tak mengira bahwa dirinya bisa tertidur. Padahal baru saja dirinya berbaring untuk menghilangkan rasa l
Olivia benar-benar tidak mengerti apa yang suaminya sedang lakukan. Di hadapannya, David duduk terikat di kursi kayu dengan wajah lebam dan penuh darah. Olivia bahkan hampir tak mengenali mantan kekasihnya itu."David! Kenapa kau bisa berada di sini? Apa yang terjadi padamu?" Olivia histeris melihat keadaan pemuda itu yang sudah tak berdaya.David memandang sendu pada Olivia. Gadis yang baru saja menikah dengan pria mengerikan yang memerintahkan orang untuk menculik dan menghajarnya hingga hampir mati seperti itu."O_Oliv." Suaranya terdengar parau. "Apa yang anda lakukan, Tuan? Tolong lepaskan dia. Dia bisa mati." Olivia bangkit dan memohon pada suaminya.Ronan melangkah pelan mendekati kedua orang itu, lalu menatap Olivia dengan penuh amarah."Kau mengkhawatirkan kekasihmu?" sindirnya dengan nada dingin. Ronan sedang tidak terlihat bermain-main."Apa yang anda katakan? Bukankah kita sudah pernah membahasnya? Aku dan David sudah tak ada hubungan apa pun lagi.""Kau pikir aku percaya
Olivia menonton sebuah video dari ponsel Ronan. Raut keterkejutan terlihat jelas dari wajahnya. Dia tak menyangka bahwa Ronan memiliki rekaman yang memperlihatkan saat David keluar dari kamarnya malam itu."Tidak, Tuan. Ini tidak seperti yang anda pikirkan." Olivia mulai mengerti akan sikap Ronan malam ini.Pria itu hanya tak ingin terjadi skandal dengan pernikahan mereka yang bahkan belum genap satu hari."Memangnya kau tahu apa yang aku pikirkan? Kalian hanya berbincang sambil meminum kopi sebagai salam perpisahan? Begitu?" Ronan tertawa sumbang."Tidak, itu__.""Jangan beralasan! Haruskah kau tidur dengan lelaki itu menjelang pernikahan? Kau sengaja melakukannya untuk mempermalukanku, hah!"Mata Olivia terpejam saat Ronan meneriaki wajahnya. Dia masih menangis memikirkan nasib David dan juga dirinya. Olivia tahu betapa kejamnya pria itu, hingga mungkin tak ingin mendengar alasan yang sebenarnya."Lalu apa yang akan anda lakukan?" Olivia bersikap pasrah."Menurutmu?""Anda akan memb
David menatap sendu adegan memilukan itu. Hatinya remuk redam melihat gadis yang dia cintai begitu mesra memperlakukan pria lain, tepat di depan matanya.Kim menatap sekilas, kemudian berpaling. Diikuti para bawahan yang tak ingin membuat kedua majikannya merasa risih dengan keberadaan mereka.Ronan menikmati sensasi yang diberikan oleh Olivia. Tanpa rasa canggung atau keterpaksaan seperti yang mereka lakukan sebelum-sebelumnya.Ronan tak menyia-nyiakan kesempatan. Memberikan kode dengan mengibaskan tangannya agar Kim dan yang lainnya segera keluar. Cukup David saja yang menyaksikan betapa mesra dan menggilanya pasangan pengantin baru itu.Ronan mulai membalas, lalu menguasai keadaan dengan mengungkung tubuh Olivia dalam dekapannya. Apa pun alasan gadis itu melakukannya, jelas tak melanggar isi perjanjian yang mereka sepakati. Karena Olivia sendiri yang memulainya.Bahu David bergetar. Dia mulai sesenggukan. Merasakan penyesalan dengan apa yang telah dia lakukan selama ini. Berbulan-b
Olivia bertemu seorang pelayan wanita di depan pintu kamar. Wanita itu sedikit tersenyum, lalu membungkuk untuk memberi hormat pada Olivia."Kau siapa?" tanya Olivia, heran."Tuan Ronan memintaku untuk membantu anda melepaskan pakaian, Nyonya. Silakan masuk." Wanita yang memakai rompi khas seragam hotel itu membukakan pintu kamar hotel yang sejak awal dia tempati.Olivia mengagguk ragu, lalu melangkah masuk. Dia menyisir tiap sudut ruangan, tak ada tanda-tanda bahwa Ronan sedang berada di dalam sana."Mari, Nyonya." Wanita itu meminta izin untuk menyentuh dan membuka kancing resleting gaun pengantin yang dikenakan Olivia.Olivia lagi-lagi menurut dan mengucapkan terima kasih. Dengan senang hati wanita itu tersenyum, merasa kalau wanita yang baru saja sah menjadi istri Ronan Ellyas itu terlalu sungkan terhadapnya."Saya permisi, Nyonya."*Olivia meraih ponselnya yang terletak begitu saja di atas ranjang setelah mendengar nada dering panggilan. Dia buru-buru menjawab saat melihat nama
"Apa yang sedang kau lakukan? Apa kau sedang mabuk di rumahku?" Laura bertanya dengan nada tegas. Sikap Silvia dia rasa cukup lancang, sebagai orang baru yang belum genap tiga bulan tinggal di rumahnya.Silvia tampak ketakutan mendengar amukan dari ibu tirinya. Namun gadis itu tetap tak bisa menutupi rasa kecewanya."Kenapa satu pun di antara kalian tidak ada yang memberitahukan aku tentang Ronan. Kenapa ibu tidak bilang kalau dia bukan kakakku?!" Silvia menangis di depan ibu tiri palsunya.Mata Laura membesar. Dahinya berkerut melihat tingkah aneh gadis itu."Ada urusan apa kau dengan putraku?" Laura semakin geram saat Silvia mengungkit-ngungkit status putra kesayangannya. "Jangan coba-coba mengusik anakku. Meski kau darah daging suamiku, aku bisa saja mengusirmu dari rumah ini. Kau dengar itu?" "Tenangkan dirimu, Laura!" Martin memutar kursi roda dan mendekati istrinya. "Biar aku yang bicara pada Silvia.""Baguslah! Tolong ajari anakmu bagaimana bersikap tahu diri. Atau aku tidak a
"Jaga ucapanmu, Laura! Tenangkan dirimu!" Martin berteriak saat melihat istrinya begitu terluka dan murka.Martin tahu Ronan adalah satu-satunya kelemahan Laura. Dia bisa melakukan apa pun asal putra kesayangannya itu bahagia. Laura bahkan berjuang sendiri agar putranya itu dapat hidup dengan layak seperti sekarang ini. Bahkan Laura tak dapat menolak permintaan Ronan dengan menikahkannya dengan gadis miskin seperti Olivia.*Di dalam ruang kerjanya, Martin memikirkan semua yang Silvia ucapkan. Di dalam hati dia membenarkan ucapan gadis itu. Andai mereka menikah, kedudukan Ellyas akan menjadi begitu sempurna. Bukan hanya kedudukan Ellyas Grup yang akan semakin kuat, tapi mereka juga akan melahirkan cucu yang masih memiliki garis keturunan Ellyas, meski hanya dari anak perempuan.Setidaknya keduanya bukan berasal dari orang luar.Martin mengisap kuat cerutunya. Andai sejak awal dia memiliki pikiran seperti Silvia, tentu Ronan tidak akan sampai terjebak dengan gadis miskin seperti Oliv