David dengan cepat menarik tangannya dari Pak tua. Lalu berdiri dan menghampiri Olivia. Silvia juga sama. Seperti melihat hantu, keduanya tampak memucat. Hingga para keluarga dan tamu menatap heran.
"Aku bisa jelaskan, Oliv." Suara David tercekat. Dia tampak menyesali perbuatannya.
"Apa yang ingin kau jelaskan? Bahwa selama ini kalian menertawakanku dari belakang?" Olivia terlihat santai. Berusaha tidak berapi-api di hadapan mereka.
Padahal hatinya kini remuk redam melihat sepasang pengantin yang belum sah itu.
"Olive, maaf...." David seperti tak mampu mengucapkan apa pun. "Silvia... hamil."
Olivia melirik Silvia yang tertunduk. Ingin sekali rasanya dia mencekik leher gadis itu. Dan juga membunuh David dengan tangannya sendiri. Selama berbulan-bulan Olivia menjaga dirinya dari pria itu. Dan David tak pernah memaksanya. Lalu kini dia bilang Silvia hamil. Benar-benar Olivia tak bisa mempercayainya.
"Kau yakin dia anakmu, David?" Olivia sedikit bermain-main dan berusaha mempermalukan keduanya.
"Apa maksudmu?!" Silvia tampak berang dengan ucapannya.
"Kau bertanya padaku? Kau tidak ingin David tahu apa pekerjaan sampinganmu?" Olivia menantang tatapan Silvia.
"Hentikan omong kosongmu, Olive! Pergi dari sini. Jangan mengganggu kebahagiaan kami. David sudah memilihku. Dan kau hanya iri."
Olivia memaksa tawanya dengan keras. Lalu menoleh ke arah David yang sama terkejutnya dengan ucapan kekasih yang dikhianatinya.
"Apa maksudmu, Olive?" David sedikit percaya. Karena dia menyadari saat pertama kali merasakan Silvia, gadis itu sudah tidak suci lagi.
Silvia mengaku bahwa saat masih remaja dia begitu polos. Hingga dengan mudahnya dimanfaatkan oleh kekasihnya yang lebih dulu berpengalaman.
Saking berhasratnya, David percaya begitu saja. Dia bahkan tidak tahu apa itu cinta atau bukan. Dia hanya khilaf dan berpaling dari Olivia karena Silvia kerap kali menggodanya. Hal-hal yang tidak pernah Olivia berikan, dengan mudah dia dapatkan dari Silvia. Hingga akhirnya rasa yang berkali-kali mereka lampiaskan berujung kehamilan.
David tak bisa mengelak. Namun tak punya keberanian mengaku pada Olivia. Jujur di lubuk hatinya yang paling dalam, dia ingin Olivia yang menikah dengannya.
Namun semua tak bisa berjalan sesuai dengan keinganannya. Anak yang dikandung Silvia butuh ayah. Dan yang dia tahu, Silvia hanya berhubungan dengannya.
Tak ada pilihan lain. Tak ingin menyakiti hati Olivia saat ini, dia melarikan diri bersama Silvia. Kelak jika keadaan sudah cukup tenang, dia akan kembali menemui Olivia dan meminta pengampunan.
"Kau sama sekali tak tahu apa pekerjaan Silvia? Atau kalian bersekongkol dan menikmati uangnya bersama?" Olivia menyeringai.
Gadis itu menikmati tiap inchi wajah Silvia yang ketakutan.
"Tutup mulutmu, Oliv. Kumohon pergilah. Biarkan aku bahagia." Silvia tampak memohon. Namun Olivia bisa melihat tak ada gurat penyesalan di wajahnya.
"Bahagia? Kau bahagia dengan semua ini?" Olivia lagi-lagi tertawa palsu.
"Katakan saja, Oliv. Jangan bertele-tele. Apa yang tidak aku tahu tentang Silvia." David merasa tidak sabar dengan ucapan Olivia. Berharap hal itu bisa membuat pernikahan yang tidak diinginkannya hari ini batal.
"Silvia seorang pelacur!" Olivia berkata dengan geram. " Dia menjual tubuhnya pada pria hidung belang melalui mucikari." Tatapan Olivia tampak berapi-api. Dia merasa puas telah berhasil melampiaskan amarahnya hari itu.
Semua orang ternganga. Orang tua David tampak sempoyongan menahan malu. Lalu terdengar bisik-bisik dari tiap tamu yang berkoloni.
"Apa yang kau katakan?" Mata David memerah. Tungkai kakinya melemah dan bergetar. Kata-kata Olivia sungguh di luar nalar dan tak pernah terpikirkan olehnya.
Tadinya dia berharap Olivia hanya mengatakan kalau Silvia memiliki kekasih lain yang Olivia kenal. Dan anak yang dikandungnya bisa saja anak dari lelaki itu. Tapi sekarang, Olivia mengatakan kalau Silvia seorang pelacur. Bukan hanya satu, tapi puluhan, bahkan ratusan pria yang pernah tidur dengannya.
David benar-benar tidak menyangka.
"Pembohong!" Silvia histeris. "Kau jangan percaya, David. Aku tidak seperti itu. Ini anakmu. Olivia hanya ingin membuatmu ragu dan membatalkan pernikahan. Dia tidak terima kalau kau akan menikahiku, bukan dia!" Silvia menjerit histeris.
David masih ragu dengan pembelaan Silvia. Namun di sudut hatinya, dia mengaminkan ucapan gadis itu. Berharap Olivia jauh-jauh datang dan hanya ingin membatalkan pernikahan mereka. Lalu dengan semua kejadian ini, Olivia dapat menggantikan posisi Silvia untuk untuk menjadi istrinya.
"Kumohon pergilah, Oliv. Biarkan aku bahagia. Jangan ambil David dariku. Aku mencintainya." Silvia semakin meraung. Riasannya bahkan hampir luntur karena air mata memenuhi pipinya.
"Mengambil David?" Olivia kini berucap pelan dengan tatapan mengejek. Lalu mendekatkan wajahnya ke arah gadis itu. "Aku tidak akan memungut sampah sisa darimu." Kata-kata itu terdengar kejam.
David masih bisa mendengarnya, namun dia hanya menunduk memahami kesalahannya.
"Lalu kenapa kau datang kemari dan menghancurkan semuanya?" Suara Silvia tampak melemah.
"Kau lupa? Kau masih membawa milikku yang berharga. Apa kau juga bermaksud merebutnya?" Olivia melirik kalung dengan liontin dari cincin giok berwarna hijau yang menggantung di leher Silvia.
"Ini?" Silvia memegangi benda yang baru sadar masih dipakainya. "Kau hanya ingin menjemput ini?"
Silvia meminjam kalung itu untuk memperindah penampilannya saat berpose terbuka demi melancarkan pekerjaan sampingannya. Dia menyesal karena tak segera mengembalikannya pada Olivia.
Andai saat itu dia langsung mengembalikannya, Olivia pasti tak akan sampai datang dan mengacau pada pernikahannya.
"Kau hanya ingin kalung ini, kan? Suara pelannya tampak bersemangat. Seolah semuanya akan selesai usai Olivia menerima kembali miliknya. "Akan kukembalikan."
Silvia bergegas melingkarkan tangan ke belakang lehernya. Bersamaan dengan itu, wanita yang tidak lain ibunya David ambruk dan pingsan.
Semua orang terkejut dan langsung mengerumuninya. Termasuk David yang begitu merasa bersalah telah membuat ibunya harus seperti itu.
Silvia dan Olivia juga menoleh ke arah kerumunan. Kalung yang dipakai Silvia belum juga terlepas. Saat dia kembali menyentuh belakang lehernya, suara kaca terdengar dihempaskan ke lantai hingga berserakan.
Puluhan pria dengan setelan jas hitam masuk, dan mendominasi ruangan.
"Semuanya keluar!" Salah seorang di antaranya berteriak hingga membuat orang-orang terkejut.
Wajah-wajah pria itu tampak garang, lalu mendorong orang-orang tidak berkepentingan untuk segera keluar. Beberapa di antaranya membantu wanita yang pingsan tadi hingga membuat semua orang terheran-heran. Termasuk keluarga David selaku pemilik rumah.
Pria-pria berjas hitam itu tidak peduli. Memaksa mereka hingga yang tersisa hanya Silvia dan Olivia menghadapi orang-orang tak dikenal itu.
Mata Olivia membesar saat melihat pria berbadan tinggi tegap berjalan menuju ke arah mereka. Olivia mengenalinya. Bahkan saat mata pria itu ditutupi kacamata hitam.
Dia itu....
~~~~Tubuh Olivia sedikit limbung. Tapi dia berusaha untuk tetap terlihat tidak takut. Apa yang pria itu inginkan sudah dia dapatkan. Silvia telah muncul di hadapannya. Kesalahpahaman akan segera berakhir.Mata Ronan melirik ke arah dada Silvia. Kerah baju dengan model rendah itu jelas memperlihatkan leher jenjangnya yang putih bersih. Olivia tidak lagi merasa heran dengan tatapan itu. Pria seperti Ronan tak akan puas jika tak melucuti semuanya.Ronan tampak mengangguk pada Kim yang berada di sebelahnya. Kim mengerti. "Bawa gadis itu!" Kim memerintah bawahannya."Apa yang kalian lakukan? Lepaskan aku." Silvia tampak ketakutan. Sepertinya dia juga tahu siapa orang-orang itu dan kenapa mereka menangkapnya.Silvia diseret keluar. Para tamu merasa heran, namun tak bisa berbuat apa-apa."David, tolong aku. Suruh mereka melepaskan aku." Silvia berteriak pada David. David hanya terdiam. Dia telah mendengar dari salah satu orang asing itu, bahwa Silvia melarikan uang dari majikan mereka sebelum
David kembali masuk dan mendapati Olivia sedang terduduk lemas di lantai. David tahu, ketegaran kekasih yang masih dia cintai di depan orang-orang itu hanyalah kepalsuan. Olivia begitu bersedih.David begitu merasa bersalah. Dia tak menyalahkan Olivia jika gadis itu kini membencinya. Tapi dia masih berharap Olivia masih mau memaafkan dan menerimanya kembali."Jangan bermimpi!" Olivia mencebik saat David mengutarakan harapannya."Aku akan bersabar menunggumu, Oliv. Aku tidak minta sekarang. Kau bisa menanangkan dirimu. Tak perlu menjawabnya saat ini juga.""Sampai mati pun aku tidak akan pernah kembali padamu!" Ingin sekali rasanya Olivia meludahi wajah pengkhianat itu. Mati-matian dia mempertahankan kehormatan, meski dengan mengorbankan keselamatannya sendiri. Hal itu hanya demi bisa memberikan kesucian pada pria yang akan menikahinya kelak. Tentu saja pada David yang saat itu sangat dia cintai.Tapi kini, perasaan itu benar-benar telah lenyap. Yang ada hanya rasa benci dan juga amar
Pagi harinya Olivia mengunjungi Heru setelah menghubunginya. Kebetulan pemuda yang bekerja sebagai buruh di pabrik yang sama dengan David itu mendapat shift malam. Sehingga dia dapat menemui Olivia di pagi hari."Kau mengembalikannya terlalu cepat." Heru dengan segan menerima amplop coklat dari Olivia."Aku sudah mendapatkan gajiku. Tak ada alasan menahan uangmu lebih lama lagi. Terima kasih banyak atas bantuanmu, Heru." Olivia berkata tulus."Ya. Katakan kalau kau butuh yang lain. Aku akan berusaha membantumu.""Benarkah?" Olivia berpikir sejenak. "Apa kamar di sebelahmu masih kosong?"Olivia berpikir dia harus pindah. Rumah yang dia sewa saat ini cukup besar utuk dia tempati seorang diri. Lagi pula dia tak punya teman lagi untuk berbagi biaya sewa bulanan. Dia hanya butuh kamar yang lebih kecil dan juga murah.Heru tersenyum senang."Ya. Kurasa kau bisa pindah ke sana."*Olivia tak lupa dengan janjinya pada Ronan. Lebih tepatnya perintah dari pria itu agar urusan mereka cepat seles
Olivia memegang dadanya sendiri. Kepalanya terasa begitu pusing. Gadis itu berpikir bahwa Ronan sengaja menyuruhnya menemui Roy untuk melihat apa yang sudah pria itu lakukan.Ronan hanya ingin menunjukkan bahwa ancamannya tidak main-main. Kata-katanya bukan sekedar kiasan untuk menakut-nakuti. Tiba-tiba saja Olivia teringat akan ancaman Ronan dengan membelah kepala.Dia memegangi keningnya sendiri. Tempat yang sama saat darah mengalir hingga mengotori wajah pria menakutkan itu. Ingin sekali rasanya gadis itu mematahkan tangannya sendiri karena telah lancang membuat kepala pria itu berakhir dengan dua jahitan.Olivia kembali ke rumah. Dia akan memikirkan apa yang akan dilakukannya untuk Ronan nanti.*"Gadis itu belum datang?" Ronan mengisap cerutu di ruang kerja di kediamannya."Anda memberinya waktu tiga hari, Pak." Kim menjawab apa adanya.Dia merasa ada yang tidak beres dengan majikannya. Dia bahkan tak pernah merasa tidak sesabar ini saat menandatangani kontrak bernilai milyaran.
"Anda mempermainkanku, Pak. Anda tahu uang itu tidak ada padanya. Anda hanya ingin membuatku melihat betapa kejamnya anda." Olivia berhasil menghafal dengan baik apa yang ingin dia katakan.Ronan tertawa sumbang."Kau bilang aku kejam? Bukankah harusnya kau merasa senang karena pria yang menjualmu mendapat hukuman?""Roy juga dijebak. Silvia melarikan diri dan menunjukku sebagai gantinya tanpa persetujuan. Anda bahkan sudah menangkapnya. Anda sudah berhasil mendapatkannya. Uang itu juga ada pada Silvia. Kenapa masih melibatkanku dalam transaksi kalian? Urusan kita hanya soal melukai anda. Itu pun karena tindakan membela diri. Harusnya anda juga tahu soal itu."Olivia sejenak terdiam. Dia bahkan tak berani bertanya bagaimana keadaan Silvia. Apakah setelah tidur dengannya, Ronan membuang atau mungkin memeliharanya. Angka dua puluh lima terlalu besar untuk wanita penghibur sekelas Silvia. Olivia berpikir, pria itu pasti begitu tergila-gila pada saudari angkatnya."Kau banyak bicara rupan
Ronan menyapu bersih benda-benda di atas meja dengan tangannya. Semuanya jatuh berserakan ke lantai. Semua itu dia lakukan setelah mengusir Olivia dengan kejam. Memberi perintah agar gadis itu jangan pernah lagi menunjukkan wajah ke hadapannya.Ronan mengatakan kalau gadis itu tak perlu membayar sepeser pun karena apa yang Ronan inginkan sudah berhasil dia dapatkan. Lalu urusan mereka telah selesai malam itu.Ronan menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kursi. Membayangkan wajah angkuh Olivia yang masih mencoba melawan dengan sisa tenaga yang tidak ada apa-apanya. Alih-alih memohon, berulang kali dia meludahi wajah Ronan yang tengah buas.Sekian lama hidup dalam kesendirian, gadis miskin itu yang membuatnya tak mampu lagi mengendalikan diri. Ronan menyesali apa yang sudah terjadi. Melanggar prinsip dan termakan ucapannya sendiri. Dia telah menodai gadis itu.*Olivia masih memikirkan kalung miliknya yang ada pada Silvia. Satu-satunya barang berha
"Maaf, Bu. Aku sudah bilang tidak mau melakukannya." Olivia menjawab tegas.Saat rombongan sosialita itu baru saja tiba, salah seorang dari mereka bertanya siapa yang akan melayani. Saat tahu Olivia orangnya, wanita paruh baya itu meminta Olivia memasukkan sesuatu pada minuman seseorang yang dimaksud. Dengan imbalan uang tentu saja."Serbuk itu tidak akan membuatnya mati. Aku hanya ingin membuat wanita arogan itu mabuk. Dia akan banyak mengoceh dan mulai mempermalukan dirinya sendiri. Aku tidak menyuruhmu membunuh orang, Nona. Aku hanya ingin menunjukkan pada semua orang, bahwa ketua asosiasi kami punya banyak cela dalam hidupnya.""Apa pun itu, aku tidak mau melakukannya. Biarkan aku pergi." Olivia bersikeras."Dasar orang miskin tidak tahu terima kasih. Bahkan uang yang akan aku berikan lebih banyak dari gajimu di sini.""Permisi, Bu. Aku harus kembali bekerja." Olivia tak menggubris ucapannya. Lalu pamit dengan sopan.Wanita itu mendengus
Olivia tiba di kediaman Laura dengan selembar kartu nama. Asisten pribadi Laura menyambut Olivia dan membawanya ke bagian dapur. Kepala pelayan memberikan satu stel pakaian seragam ala pelayan kelas atas. Olivia tampak menawan dengan pakaian yang begitu pas menempel di lekuk tubuhnya.Makan malam kali ini terkesan begitu mewah. Olivia berpikir bahwa wanita yang telah merekrutnya itu bukan hanya beralasan agar dapat memberinya uang. Namun melihat kesibukan malam ini, wanita itu benar-benar butuh tenaga tambahan.Olivia merasa senang. Mulai menikmati pekerjaan dengan upah luar biasa yang menantinya.Olivia baru saja mengantar minuman ke ruang tamu. Lalu kembali dengan nampan kosong melewati ruang keluarga hendak menuju dapur. Tiba-tiba saja langkahnya terhenti saat melihat sesosok yang selama ini dia cari.Olivia belum yakin. Bagaimana caranya orang itu bisa berada di tempat mewah ini. Namun sepertinya dia akan mati penasaran jika tidak me